Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Nurhayati 132111005
2013/2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok Keperawatan Kritis yang
berjudul “Konsep Psikososial dan Pengalaman Pasien dengan Penyakit Kritis”.
Dalam meyelesaikan tugas ini kami telah berusaha untuk mencapai hasil yang
maksimum, tetapi dengan keterbatasan wawasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan
yang kami miliki, kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna.
Terselesaikannya tugas ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan kali ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada :
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan
dan sempurnanya makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3.3. Identifikasi kejadian atau pengalaman klien pada saat kritis ………….……… 10
PENDAHULUAN
4
1.2. Tujuan Umum :
Dapat mengetahui konsep psikososial dan pengalaman pasien dengan penyakit kritis
Tujuan Khusus :
BAB II
5
TINJAUAN TEORI
ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress, tidak
hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik tentang
stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis. Pemahaman
ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan
potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri.
2.1 Stress
Stress didefinisikan sbg respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang dialami
individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam keseimbangan (Emanuelsen
& Rosenlicht, 1986).
Stres merupakan suatu fenomena komplek, dimana sekumpulan komponen saling
berinteraksi dan bekerja serentak. Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem,
maka keseluruhan sistem dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan
ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sistem, maka terjadilah stress. Individu kemudian
memobilisasi sumber-sumber koping untuk mengatasi stress dan mengembalikan
keseimbangan. Idealnya, stress bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan
mendorong suatu perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping
seseorang, maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.
2.2. Stresor
Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah individu
dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Sumber
stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau masyarakat. Stressor biofisik
antara lain organisme infeksius, proses penyakit atau nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh
stressor psikososial adalah harga diri yang rendah, masalah hubungan interpersonal, dan
krisis perkembangan. Stressor ini berasal dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi
polusi dan teknologi tinggi.
6
2.3. Respon stres
Respon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social.
Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan temuanya tentang stress
kedalam suatu model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri
atas 3 tahap yaitu alarm respon, stage of resistance dan stage of exhaustion.
a. Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat, singkat,
melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total dari system saraf
simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang atau lari (fight-or-flight
response).
b. Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi terhadap
ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan pada tahap ini
sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali kekeadaan
homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk koping, maka dapat
terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.
c. Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka tubuh
mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan psikososial
dan kematian.
7
b. Marah
Dapat terjadi setelah atau selama depresi. Seringkali marah menyembunyikan adanya
depresi dan dapat mencegah klien jatuh ke dalam depresi yang lebih dalam. Klien dapat
merasa marah atau benci tentang sakitnya dan seringkali mengeluh bahwa hidup tidaklah
adil.
BAB III
PEMBAHASAN
8
Pengalaman adalah suatu peristiwa atau kejadian yang sudah dilewati seseorang
dalam perjalanan kehidupannya, terlepas dari sengaja ataupun tidak, terlepas dari baik
ataupun buruk dan juga terlepas dari menyenangkan ataupun sebaliknya. Pasien yang mampu
melewati kondisi kritis pada saat sakit, mempunyai pengalaman yang bermakna dalam
hidupnya. Pengalaman tersebut adalah modal yang sungguh berarti bagi pasien yang
mengalaminya dan bagi orang lain. Gejala nyata yang bisa kita rasakan dari pengalaman
orang lain membuat arti dari sebuah pengalaman merupakan hal yang terpenting dari
perjalanan kehidupan seseorang, sepertinya ada keharusan bagi kita untuk mengelola
pengalaman-pengalaman yang kita miliki secara benar dan cermat, agar bisa mendapatkan
sesuatu yang berharga dari pengalaman tesebut. (Keeling&Ramos, 1995).
Penyakit kritis adalah kejadian dramatis emosional yang dialami pasien dan
keluarganya. Untuk beberapa situasi tertentu persiapan dari segi psikologis perlu dilakukan.
Perawat kritis berada di posisi yang paling tepat untuk memahami kondisi yang dialami
pasien dan keluarganya dan membantu mereka untuk beradaptasi dengan situasi yang ada.
Pengalaman psikologis pada saat kritis di dapatkan tiga kondisi yang dialami klien,
yaitu :
a. Tidak percaya
Dalam keadaan seperti ini, klien berada dalam tahapan berduka menolak (denial),
pasien merasa tidak percayadengan apa yang sedang terjadi pada kondisi sakitnya.
Respon pasien pada tahapan berduka berbeda setiap individu, sehingga implikasi
keperawatan yang harus di berikan harus disesuaikan dengan tahapan berduka
pada pasien. Dalam keadaan denial (menolak) pasien membutuhkan dukungan
kebutuhan emosi tanpa memperkuat penyangkalan, perawat menawarkan diri
untuk tetap bersama partisipan dan memberikan perawatan dasar sesuai
kebutuhannya.
b. Sedih
Kesedihan yang dirasakan partisipan pada saat kondisi kritis yaitu karena keadaan
sakitnya, partisipan tidak bisa beraktivitas secara normal seperti ketika sebelum
sakit. Partisipan tidak bisa kuliah, tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, merasa
kasian dan merepotkan orang tua. Sedih merupakan ekspresi partisipan pada awal
di rawat di rumah sakit.
c. Takut
Takut yang dirasakan partisipan adalah pada saat dipasang ventilator dan pada saat
akan dilakukan tindakan suction. Tindakan invasif yang belum pernah dirasakan
9
oleh partisipan merupakan suatu hal yang asing untuk dihadapi. Ketakutan yang
muncul penyebabnya adalah keadaan yang bisa terlihat atau nyata, dimana
tindakan pemasangan ventilator dan suction merupakan tindakan khusus yang
dilakukan hanya pada saat-saat tertentu di rumah sakit.
Perawat ruang intensif atau kritis harus memberikan pelayanan keperawatan yang
mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal keperawatan yang mencerminkan
pemahaman akan aspek etika dan legal kesehatan. Perawat ruang kritis harus bekerja sesuai
dengan aturan yang ada (standar rumah sakit atau standar pelayanan maupun asuhan
keperawatan).
Etik ditujukan untuk mengukur perilaku yang diharapkan dari manusia sehingga jika
manusia tersebut merupakan suatu kelompok tertentu atau profesi tertentu seperti profesi
keperawatan, maka aturannya merupakan suatu kesepakatan dari kelompok tersebut yang
disebut kode etik.
Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf
paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan kewajiban
mematuhi hukum dalam setiap tindakan atau pelayanan keperawatan yang dilakukan.
Peraturan keperawatan yang telah dikembangkan dikenal sebagai standar pelayanan
keperawatan. Standar pelayanan keperawatan ditentukan dengan pengambilan keputusan atas
tindakan profesional yang paling tepat dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada.
a. Dengan siapa klien tinggal, sendiri, dengan keluarga, atau dengan teman.
b. Apakah klien mempunyai teman untuk tempat bercerita.
10
c. Apakah ada orang atau lembaga yang dapat memberi bantuan.
d. Apakah punya keterampilan untuk mengganti fungsi orang hilang dan sebagainya.
a. Apakah yang biasa klien lakukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi.
b. Cara apa yang pernah berhasil dan tidak berhasil serta apa saja yang menyebabkan
kegagalan tersebut.
c. Apa saja yang sudah dilakukan untuk mengtasi masalah sekarang.
d. Apakah suka meninggalkan lingkungan untuk sementara agar dapat berfikir
dengan jernih
e. Apakah suka mengikuti latihan olah raga untuk mengurangi ketegangan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu tantangan yang unik bagi perawat
pada keperawatan kritis. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu lingkungan yang dapat menimbulkan
stress dan dehumanis. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai
11
pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan
psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.
4.2. Saran
Dilihat dari isi makalah penulis sebagai mahasiswa menyadari penting nya
mengetahui konsep psikososial dan pengalaman pasien dengan kondisi kritis agar
dapat mengaplikasikan nya di saat praktek dan menghargai respon psikis krpada
keluarga nya.
DAFTAR PUSTAKA
Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New
York: A Wiley Medical Publication.
Dossey, B. M., Cathie E.G., Cornelia V. K. (1992). Critical care nursing: body-mind-spirit.
(3rd ed.). Philadelphia: J. B. Lippincott Company.
12
Emergency Nurses Association. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum.
(5thed.).Philadelphia: W.B. Saunders Company.
The role of nursing history in preparing nursing for the future, 16-30
13