You are on page 1of 56

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam

bidang kesehatan yang saat ini terjadi di negara Indonesia. Derajat

kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak

sebagai generasi penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat

dikembangkan dalam meneruskan pembangunan bangsa. Berdasarkan

alasan tersebut, masalah kesehatan anak di prioritaskan dalam perencanaan

atau penataan pembangunan bangsa. Masalah kesehatan dan pertumbuhan

anak sangat dipengaruhi oleh keadaan gizi dan banyaknya penyakit infeksi

yang terus menerus meningkat di setiap tahunnya. Masalah gizi masih

merupakan masalah kesehatan dan perkembangan bayi sebagian besar

ditentukan oleh jumlah ASI yang diperoleh termasuk energi dan zat gizi

lainnya yang terkandung didalam ASI (Siregar dalam Sari, 2015).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar bayi

baru lahir mendapatkan ASI ekslusif (tanpa tambahan apa-apa) selama enam

bulan sebab ASI merupakan nutrisi alamiah terbaik bagi bayi dengan

kandungan gizi paling sesuai untuk pertumbuhan optimal (Hegar, 2008).

UNICEF menegaskan bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki

kemungkinan meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya dan

memiliki kemungkinan meninggal dunia 25 kali lebih tinggi daripada bayi

yang di susui oleh ibunya secara eksklusif (Selasi, 2009).

1
2

Di negara berkembang, sekitar 10 juta bayi mengalami kematian,

dan sekitar 60% dari kematian tersebut seharusnya dapat ditekan salah

satunya adalah dengan menyusui, karena Air Susu Ibu (ASI) sudah terbukti

dapat meningkatkan status kesehatan bayi sehingga 1,3 juta bayi dapat di

selamatkan, untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian anak. Di

Indonesia dukungan pemerintah terhadap pemberian ASI ekslusif telah

dilakukan melalui berbagai upaya diantaranya adanya Gerakan Nasional

Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu (GNPP-ASI), Gerakan Masyarakat

Peduli ASI dan Kebijakan Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu (PP-ASI).

Namun meskipun demikian dalam kenyataannya hanya 4% bayi yang

mendapat ASI pada 1 jam pertama kelahirannya dan 8% bayi yang

mendapatkan ASI Ekslusif (Roesli, 2007).

Berdasarkan data Kemenkes RI, 2014 didapatkan cakupan pemberian

asi eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan pada tahun 2013 di Indonesia sebesar

61,5%, pada tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 12,9% menjadi

48,6% dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 5,7% menjadi

54,3% namun pada tahun 2014 relatif turun menjadi 52,4% sedangkan target

progam pada tahun 2014 sebesar 80%. Sedangkan cakupan pemberian asi

eksklusif di Provinsi NTB pada tahun 2015 hanya sebesar 76,88% (Profil

Kesehatan NTB, 2015).

Table 1.1. Cakupan Pemeberian ASI Eksklusif Pada Bayi Di Provinsi NTB
Tahun 2015 Berdasarkan Tiga Daerah Terendah.
No Wilayah Presentase (%)
1 Kabupaten Lombok Utara 45,70
2 Bima 53,60
3 Kota Mataram 62,35
Sumber: Profil Kesehatan NTB, 2015
3

Berdasarkan tabel 1.1 diatas dapat disimpulkan bahwa Kabupaten

Lombok Utara mememiliki presentase cakupan pemberian asi Eksklusif

sebesar 45,70% dan menjadi kabupaten dengan cakupan pemberian asi

eksklusif terendah dan kota mataram menjadi kota dengan cakupan

pemberian asi eksklusif terendah ketiga dengan presentase cakupan

pemberian asi eksklusi sebesar 62,35%.

Upaya dalam mewujudkan pemberian asi eksklusif yang optimal pada

bayi usia 0-6 bulan tidak terlepas dari beberapa kondisi yang seringkali

ditemukan diantaranya beberapa ibu yang melahirkan memiliki produksi ASI

yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali pada tiga atau empat hari pertama

setelah melahirkan. Menurut Cox dalam Sari 2015 faktor persalian dengan

SC (section caesaria) menjadi factor yang menyebabkan produksi ASI ibu

mengalami hambatan. Pada Ibu dengan jenis persalinan SC (section

caesaria) akan mengalami kekurangan produksi asi disebabkan karena efek

obat anastesi.

Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

produkasi ASI pada Ibu Post Partum salah satunya pijat oksitosin. Pijat

oksitosin merupakan pemijatan pada sepanjang tulang belakang (vertebrae)

dan merupakan usaha untuk merangsang hipofisis anterior dan posterior

sehingga mengeluarkan hormon oksitosin setelah melahirkan (Biancuzzo,

2003; Indiyani, 2006; Yohmi & Roesli, 2009 dalam Mardiyaningsig, 2010).

Menurut Mardiyaningsig 2010, pijat oksitosin memiliki beberapa

manfaat diantaranya dengan terapi pemijatan ini ibu akan merasa rileks,

kelelahan setelah melahirkan akan hilang, sehingga dengan begitu hormon


4

oksitosin akan keluar sehinga produksi ASI ibu akan cepat keluar. Terapi ini

juga dapat memberikan kenyamanan pada ibu, mengurangi bengkak

(Engorgement), mengurangi sumbatan ASI , merangsang pelepasan hormone

oksitosin, dan mempertahankan produksi ASI ketika ibu dan bayi sakit

(Depkes RI, 2007).

Upaya alternatif melalui pijat oksitosin dapat dilakukan dengan tetap

memperhatikan waktu onset laktasi atau pengeluaran asi ibu yang dialmi oleh

ibu post partum. Onset laktasi merupakan ukuran kondisi dimana ibu

mendapatkan persepsi bahwa ASI nya sudah keluar, yang pada payudara

ditandai dengan mengerasnya konsistensi/breast hardness, rasa penuh atau

berat (fullness/heaviness), dan dapat disertai merembesnya cairan kolostrum

atau ASI. Proses pengeluaran air susu ibu yang keluar pada hari ke tiga atau

lebih disebut proses onset laktasi lambat (Marwati, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Endah dan Masdinarsah

pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

dalam jumlah Kolostrum yang dikeluarkan oleh ibu post partum yang

dilakukan pijat oksitosin dengan ibu post partum yang tidak dilakukan pijat

oksitosin. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakuakan oleh

Kiftia pada tahun 2014 yang menyimpulkan terdapatnya perbedaan yang

signifikan terhadap produksi ASI antara sebelum dan sesudah dilakukan pijat

oksitosin.

RSUD Kota Mataram adalah salah satu Rumah Sakit rujukan dari

rumah sakit kabupaten yang biasanya dimanfatakan oleh masyarakat dalam

pelayanan kesehatan termasuk dalam pelayanan persalinan. Hal ini dapat


5

dibuktikan dari jumlah persalinan yang dilayani pada dua tahun terakhir yang

dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:

Table. 1.2 Data Laporan Persalinan di RSUD Kota Mataram Tahun 2015-
2016
TAHUN
NO JENIS PERSALIANAN
2015 % 2016 %
1 Persalinan normal 215 10 272
2 Section Caesaria 775 37 1514 51
3 Persalinan dengan Komplikasi 25 1 0 0
4 Pendarahan sebelum persalinan 1 0,04 1 0,04
5 Pendarahan sesudah persalinan 2 0,09 3 0,1
6 Pre eclampsi 10 0,47 5 0.16
7 Eclampsi 0 0 1 0,04
8 Infeksi 6 0,28 25 1
9 Lain – lain 788 37 853
10 Abortus 290 14 291
JUMLAH TOTAL 2112 100 2964 100
Sumber: Data Primer 2016

Berdasarkan table 1.2 diatas dapat kita lihat jenis persalinan SC

menjadi jenis persalinan yang paling bayak dilakukan di Rumah Sakit ini yang

mencapai angka 37% atau 775 orang pada tahun 2015 dan meningkat menjadi

51% atau 1514 orang pada tahun 2016.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada di RSUD

Kota mataram terhadap 10 orang ibu yang melahirkan dengan cara SC (Sectio

Caesaria) didapatkan bahwa 7 dari ibu mengatakan ASI nya keluar setelah 3-4

hari setelah melahirkan atau bisa disimpulkan mengalami onset laktasi lambat

dan 3 orang lainya mengatakan ASI nya keluar sesaat setelah melahirkan.

Berdasarkan latar belakang diatas, tingginya angka persalinan secara

SC (Sectio Caesaria) serta terdapatnya onset laktasi lambat pada ibu

melahirkan secara SC (Sectio Caesaria) di rumah sakit ini menjadi alasan

peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Terapi Pijat


6

Oksitosin terhadap Onset Laktasi Ibu Post SC (Sectio Caesaria) di RSUD

Kota Mataram tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah Pengaruh Terapi Pijat Oksitosin terhadap Onset Laktasi Ibu

Post SC (Sectio Caesaria) di RSUD Kota Mataram?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh Terapi Pijat Oksitosin terhadap Onset

Laktasi Ibu Post SC (Sectio Caesaria).

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria)

sebelum dilakukan terapi pijat oksitosin.

2. Mengidentifikasi onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria)

sesudah dilakukan terapi pijat oksitosin.

3. Menganalisis pengaruh onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria)

sebelum dan sesudah yang dilakukan terapi pijat oksitosin.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Sebagai alternative untuk masyarakan khususmya para ibu

yang mengalami kesulitan dalam pengeluaran ASI.

1.4.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Tekhnologi Keperawatan

Untuk memberikan sumbang pemikiran tentang onset laktasi

ibu yang melahirkan normal yang dilakukan terapi pijat oksitosin, serta
7

hasil penelitian ini dapat dijaadikan rujukan untuk penelitian

selanjutnya.

1.4.3 Bagi Peneliti

Memperoleh pengalaman dalam melaksanakan riset

keperawatan di tatanan keperawatan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD Kota Mataram, untuk mengetahui

perbedaan onset laktasi ibu yang melahirkan normal yang dilakukan terapi

pijat oksitosin, tahun 2017. Penulis memilih untuk melakukan penelitian

diwilayah Kota Mataram. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah

dilakukan, diperoleh jumlah ibu melahirkan SC (Sectio Caesaria) yang

mengalami gangguan onset laktasi cukup tinggi. Adapun penelitian ini bersifat

quasi eksperimen dengan one group pre and post test.

Ruang lingkup penelitian terbatas pada ibu yang melahirkan SC

(Sectio Caesaria). Penelitian ini akan dilakukan dalam rentang waktu antara

bulan April-Mei 2017.


8

1.6 Keaslian Penelitian

Tabel. 1.3 Keaslian Penelitian


Perbeda
an Persamaan
dengan dengan
Judul Peneliti Metode Variabel Hasil
peneliti penelitian
an saat saat ini
ini
Penga Mariatu Peneliti Independ Hasil Analisa Variable
ruh l Kiftia an ini en : penelitian data: Independ
terapi (2014) menggu Pengaruh diketahui menggu en :
pijat nakan Terapi bahwa nakan pengaruh
oksito quasi Pijat nilai rata- Uji T pijat
sin eksperi Oksitosi rata (paired oksitosin
terhad men n produksi T-test)
ap dengan ASI Subjek
produ pre and Depende sebelum penelitian
ksi post n: dilakukan : ibu post
ASI test Produksi intervensi partum(de
pada Metode ASI pada (dipijat) ngan SC
ibu pengam ibu post dengan (section
post bilan partum nilai p Caesaria)
partu sampel value 0,00
m yang dengan Penelitian
digunak jumlah ini
an rata-rata mengguna
purposi 0,00. kan quasi
ve Sedangkan eksperime
samplin setelah n dengan
g. intervensi pre and
Analisa pijat post test
statistik oksitosin
menggu nilai p
nakan value 7,50
Wilcox dengan
on jumlah
Rank rata-rata
Test. 105,0,
sehingga
dapat
terlihat
adanya
peningkata
n rata-rata
produksi
ASI
sebelum
9

dan
setelah
dilakukan
terapi pijat
oksitosin,
selain itu
didapatkan
nilai Z
sebesar -
3,306 atau
p
value
0,001 (p
<0,05),
oleh sebab
itu dapat
dianalisa
bahwa ada
perbedaan
produksi
ASI yang
signifikan
antara
sebelum
dan
sesudah
pijat
oksitosin.
Penga Siti Nur Metode Indepen Dari hasil Variab Variable
ruh Endah peneliti den: penelitian le Independ
pijat dan an ini Pengaruh didapatkan depend en :
oksito Imas menggu pijat bahwa en : pengaruh
sin Masdin nakan oksitosin jumlah onset pijat
terhad arsah eksperi terhadap Kolostrum laktasi oksitosin
ap (2011) men pengelua yang ibu post
penge Quasi. ran dikeluarka SC
luaran Pengam kolostru n oleh ibu (Sectio
kolost bilan m post Caesari
rum sampel partum a)
pada dilakuk Depende yang
ibu an n : ibu dilakukan
post secara post pijat Peneliti
partu acident partum oksitosin ( an ini:
m di al Perlakuan menggu
ruang Sampli ) adalah nakan
kebid ng. rata-rata quasi
anan 5,333 cc eksperi
rumah dengan men
10

sakit nilai dengan


Muha standar pre and
mmad deviasi post
iyan (simpanga test
Bandu n baku)
ng sebesar
tahun 4,6368,
2011 sedangkan
jumlah
Kolostrum
yang
dikeluarka
n oleh ibu
post
partum
yang tidak
dilakukan
pijat
oksitosin
(kontrol)
adalah
rata-rata
0,0289 cc
dengan
nilai
standar
deviasi
(simpanga
n baku)
sebesar
0,03551.
11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pijat Oksitosin

2.1.1 Pengertian Pijat

Pijatan atau petrisage adalah suatu gerakan pijatan dengan

mempergunakan empat jari yang selalu lurus dan supel. Kesalahan

pada umumnya tidak dapatnya jari-jari tersebut melurus.

Metode pijat yang sering digunakan antara lain sebagai

berikut:

1. Mencubit

Teknik mencubit diterapkan hanya pada jari-jari tangan,

kaki, atau kuku. Titik-titik tersebut merupakan tempat bermula

dan berakhirnya meridian tubuh.

2. Menekan

Teknik penekanan dapat dilakukan dengan jari jempol,

telunjuk, dan jari tengah yang disatukan. Dapat juga dilakukan

dengan menggunakan kepalan tangan.

3. Memutar

Pada daerah pergelangan tangan atau kaki dapat diterapkan

teknik memutar. Biasanya teknik ini juga digunakan pada tulang

belakang. Tujuannya yaitu meregangkan dan merelaksasikan

otot-otot yang tegang.


12

4. Mengetuk

Teknik mengetuk dilakukan dengan gerakan mengetukkan

jari tengah, ibu jari, telunjuk, dan jari tengah ke titik-titik

meridian organ. Lama pengetukan yaitu 2-3 detik sekali selama

beberapa menit. 10

5. Menepuk

Teknik menepuk dilakukan dengan menepukkan telapak

tangan yang terbuka sebanyak 5-10 kali pada titik-titik meridian.

Gerakan ini beguna untuk mendorong aliran energi dan darah.

6. Menarik

Teknik menarik dilakukan dengan cara mengerut/memijat jari

tengah atau kaki, lalu menarik jari-jari perlahan dengan jempol

dan telunjuk.

Di bawah ini beberapa tehnik untuk meningkatkan dan

memperlancar ASI pada ibu post SC (Sectio Caesaria):

1. Tehnik marmet

Tehnik ini merupakan kombinasi antara cara memerah

ASI dan memijat payudara sehingga reflek keluarnya ASI dapat

optimal. Tehnik memerah ASI dengan cara marmet ini pada

prinsipnya tertujuan untuk mengosongkan ASI dari sinus

laktiferus yang terletak dibawah areola sehingga diharapkan

dengan mengosongkan ASI pada daerah sinus laktiferus ini akan

merangsang pengeluaran hormone prolaktin. Pengeluaran

hormone prolaktin ini selanjutnya akan merangsang mammary

alveoli untuk memproduksi ASI. Makin banyak ASI dikeluarkan


13

atau dikosongkan dari payudara maka akan semakin banyak ASI

akan diproduksi (Roesli, 2005, Soraya, 2006).

2. Breast Care (perawatan payudara)

Breast care adalah pemeliharaan payudara yang dilakukan

untuk memperlancar ASI dan menghindari kesulitan pada saat

menyusui dengan melakukan pemijatan (Welford, 2009).

Perawatan payudara sangat penting dilakukan selama hamil

sampai dengan menyusui. Hal ini karena payudara merupakan

penghasil ASI yang merupakan makanan pokok bayi baru lahir

sehingga harus dilakukan sedini mungkin (Azwar, 2008).

3. Kompres hangat

Kompres hangat pada payudara akan memberikan sinyal

ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor

yang peka terhadap panas di hipotalamus di rangsang, sistem

efektor mengeluarkan signal dengan vasodilatasi perifer (Potter,

2005). Kompres hangat payudara selama pemberian ASI akan

dapat meningkatkan aliran ASI dari kelenjar-kelenjar penghasil

ASI. Manfaat lain dari kompres hangat payudara antara lain:

a. Stimulasi refleks let down

b. Mencegah bendungan pada payudara yang bisa menyebabkan

payudara bengkak

c. Memperlancar perdedaran darah pada daerah payudara

(Saryono & Roicha, 2009).


14

4. Tehnik massase rolling (punggung)

Tehnik massase rolling (punggung) adalan tindakan yang

memberikan sensasi relaks pada ibu dan memperlancar aliran

syaraf serta saluran ASI kedua payudara (Perinasia, 2010).

Massase rolling (punggung) akan memberikan kenyamanan dan

membuat rileks ibu karena massase dapat merangsang

pengeluaran hormone endorphin serta dapat menstimulasi reflex

oksitosin. Tehnik pemijatan pada titik tertentu dapat

menghilangkan sumbatan dalam darah dan energy di dalam tubuh

akan kembali lancer (Dlimartha, 2008).

5. Pijat oksitosin

Pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang

belakang mulai dari nervus ke 5 - 6 sampai scapula yang akan

mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan

perintah ke otak bagian belakang sehingga oksitosin keluar

(Suherni, 2008: Suradi, 2006; Hamranani 2010).

Pijat oksitosin juga dapat didefinisikan sebagai tindakan

yang dilakukan oleh keluarga, terutama suami pada ibu menyusui

yang berupa pijatan pada punggung ibu untuk meningkatkan

produksi hormon oksitosin. Sehingga dapat mempercepat

penyembuhan luka bekas implantasi plasenta, mencegah

perdarahan, serta memperbanyak produksi ASI. Pijat stimulasi

oksitosin untuk ibu menyusui berfungsi untuk merangsang

hormon oksitosin agar dapat memperlancar ASI dan meningkatan

kenyamanan ibu.
15

2.1.2 Cara Kerja Hormon Oksitosin

Oksitosin merupakan suatu hormon yang dapat

memperbanyak masuknya ion kalsium kedalam intrasel . Keluarnya

hormon oksitosin akan memperkuat ikatan aktin dan myosin sehingga

kontraksi uterus semakin kuat dan proses involusi uterus semakin

bagus. Oksitosin yang dihasilkan dari hiposis posterior pada nucleus

paraventrikel dan nucleus supra optic. Saraf ini berjalan menuju

neuro hipofise melalui tangkai hipofisis, dimana bagian akhir dari

tangkai ini merupakan suatu bulatan yang mengandung banyak

granula sekretrotik dan berada pada permukaan hipofise posterior dan

bila ada rangsangan akan mensekresikan oksitosin. Sementara

oksitosin akan bekerja menimbulkan kontraksi bila pada uterus telah

ada reseptor oksitosin. Hormon oksitoksin yang dilepas dari kelenjar

hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi

pembuluh darah dan membantu proses hemostasis. Kontraksi dan

retraksi otot uterin akan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini

akan membantu mengurangi bekas luka implantasi plasenta serta

mengurangi perdarahan (Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2005).

2.1.3 Manfaat Pijat Oksitosin

Pijat oksitosin memberikan banyak manfaat dalam proses

menyusui, manfaat tersebut adalah selain mengurangi stress pada ibu

nifas dan mengurangi nyeri pada tulang belakang juga dapat

merangsang kerja hormon oksitosin, manfaat lain dari pijat oksitosin

bagi ibu nifas dan ibu menyusui, di antaranya :

1. Mempercepat penyembuhan luka bekas implantasi plasenta


16

2. Mencegah terjadinya perdarahan post partum

3. Dapat mempercepat terjadinya proses involusi uterus

4. Meningkatkan produksi ASI

5. Meningkatkan rasa nyaman pada ibu menyusui

6. Meningkatkan hubungan psikologis antar ibu dan anak

2.1.4 Efek Fisiologis Dari Pemijatan Oksitosin

Efek fisiologis dari pijat oksitosin ini adalah merangsang

kontraksi otot polos uterus baik pada proses saat persalinan maupun

setelah persalinan sehingga bisa mempercepat proses involusi uterus.

2.1.5 Cara Menstimulasi Hormon Oksitosin

Produksi ASI sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis ibu

menyusui. Saat ibu menyusui merasa nyaman dan rileks pengeluaran

oksitosin dapat berlangsung dengan baik. Mengutip artikel Tri

Sulistiyani (2013), menurut dr. H.M. Daris Raharjo, Akp.,

menerangkan bahwa terdapat titik-titik yang dapat memperlancar ASI

diantaranya, tiga titik di payudara yakni titik di atas putting, titik tepat

pada putting, dan titik di bawah putting. Serta titik di punggung yang

segaris dengan payudara. Pijat stimulasi oksitosin untuk ibu

menyusui berfungsi untuk merangsang hormon oksitosin agar dapat

memperlancar ASI dan meningkatan kenyamanan ibu.

Berikut cara yang dilakukan untuk menstimulasi refleks

oksitosin:

1. Bangkitkan rasa percaya diri ibu bahwa ibu menyusui mampu

menyusui dengan lancar.


17

2. Gunakan teknik relaksasi misalnya nafas dalam untuk

mengurangi rasa cemas atau nyeri.

3. Pusatkan perhatian ibu kepada bayi

4. Kompres payudara dengan air hangat

5. Pemijatan oksitosin

2.1.6 Persiapan Alat Untuk Pijat Oksitosin

1. Meja

2. Kursi

3. Handuk kecil 1 buah

4. Handuk besar 1 buah

5. Baskom berisi air hangat

6. Baskom berisi air dingin

7. Waslap 2 buah

8. Baby oil

9. Baju ganti ibu

2.1.7 Metode Pijat Oksitosin

Pijat oksitosin merupakan salah satu solusi untuk mengatasi

ketidaklancaran produksi ASI. Pijat oksitosin adalah pemijatan pada

sepanjang tulang belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima

sampai ke enam dan merupakan usaha untuk merangsang hormon

prolactin dan oksitosin setelah melahirkan (Biancezzo, 2003, Roesli,

2009).

Pijat oksitosin ini dilakukan untuk merangsang refleks

oksitosin atau reflex let down. Selain untuk merangsang refleks let
18

down manfaat pijat oksitosin adalah memberikan kenyamanan pada

ibu, mengurangi bengkak (engorgement) mengurangi sumbatan ASI,

merangsang pelepasan hormon oksitosin, mempertahankan produksi

ASI ketika ibu dan bayi sakit (Depkes RI, 2007).

Langkah – langkah melakukan pijat oksitosin sebagai berikut

(Depkes RI, 2007).

1. Melepaskan baju ibu bagian atas

2. Ibu duduk, bersandar ke depan, lipat tangan di atas meja di

depannya dan letakkan kepala di atas lengannya

3. Melumuri kedua telapak tangan dengan minyak atau baby oil

4. Memijat sepanjang kedua sisi tulang belakang ibu dengan

menggunakan dua kepalan tangan, dengan ibu jari menunjuk ke

depan

5. Menekan kuat-kuat kedua sisi tulang belakang membentuk

gerakan-gerakan melingkar kecil-kecil dengan kedua ibu jarinya

6. Pada saat bersamaan, memijat kedua sisi tulang belakang kearah

bawah dari leher kearah tulang belikat selama 2-3 menit

7. Mengulangi pemijatan hingga 3 kali

8. Membersihkan punggung ibu dengan washlap air hangat dan

dingin secara bergantian.


19

Gambar 2.1 Pijat Oksitosin

2.2 Konsep Onset Laktasi

Onset Laktasi didefinisikan sebagai “inisiasi produksi susu berlebihan

dalam kelenjar susu” dan diukur sebagai waktu dimana perempuan

melaporkan persepsi bahwa ASI mereka telah “mulai produksi,” berdasarkan

tanda-tanda seperti kekerasan payudara, kepenuhan/berat, atau

pembengkakan dan kolostrum atau ASI merembes. Persepsi ibu dari “susu

mulai keluar” itu sendiri merupakan indikator klinis yang sah dari

lactogenesis tahap II. Sekresi susu dewasa ditandai dengan perubahan garam,

gula dan komposisi protein yang terjadi 32- 40 jam post partum. Waktu onset

laktasi telah terbukti berhubungan dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

karena menyusu dini akan memperlancar dalam pengenalan bayi akan puting

ibu sehingga terjadinya Onset laktasi berlangsung cepat. Proses pengeluaran

air susu ibu yang keluar pada hari ketiga atau lebih disebut proses onset

laktasi lambat (Hruschka et al., 2003).


20

Persepsi ibu post partum tentang onset laktasi terjadi lebih dari 3

hari, 24% ibu memilih untuk tidak menyusui bayinya. Penelitian lainnya

mengungkapkan bahwa onset menyusui yang lebih lambat berhubungan

dengan persepsi ibu bahwa ASI tidak mencukupi kebutuhan bayinya dan

kehilangan kepercayaan diri akan kemampuan ibu untuk menyusui bayinya.

Selain itu usia ibu yang masih muda dan pendidikan yang rendah

berhubungan dengan pemberian ASI yang singkat (Hruschka et al., 2003)

2.2.1 Definisi ASI dan Menyusui

Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan yang dihasilkan oleh

sepasang payudara ibu dengan komposisi yang khas serta spesifik

untuk perkembangan bayi dan nutrisi yang paling tepat untuk bayi

(Wong, Perry, & Hockenberry, 2002; Biancuzzo, 2003). Menyusui

adalah metode yang tepat untuk memberikan manfaat kesehatan

untuk ibu dan bayi yang tergantung pada gabungan kerja hormone,

reflek, dan perilaku yang dipelajari ibu dan bayi baru lahir yang

terjadi secara alami (Pillitteri, 2003; Bobak, lowdermik dan Jensen,

2005; Poedianto, 2002).

2.2.2 Siklus Laktasi

Menurut Bianeuzzo (2003) tingkat dalam siklus laktasi ada

empat meliputi :

1. Mammogenesis

Proses ini dimulai sejak masa sebelum pubertas dan

dilanjutkan pada masa pubertas. Perkembangan payudara

dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan.


21

Payudara belum secara penuh dibentuk sampai payudara mampu

memproduksi ASI.

2. Laktogenesis I

Laktogenesis I dimulai pada pertengahan kehamilan.

Pada fase ini struktur, duktus dan lobus payudara mengalami

proliferasi akibat dari pengaruh hormon. Akibatnya kelenjar

payudara sudah mampu mensekresi akan tetapi yang disekresi

hanya kolostrum. Walaupun secara struktur kelenjar payudara

mampu untuk mengeluarkan ASI akan tetapi ini tidak terjadi

karena hormon yang berhubungan dengan kehamilan mencegah

ASI disekresi.

3. Laktogenesis II

System kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI

selama kehamilan dan beberapa hari pertama setelah

melahirkan. Ketika produksi ASI mulai stabil, system kontrol

autokrin dimulai. Pada tahap ini apabila ASI banyak dikeluarkan

maka payudara akan memproduksi ASI dengan banyak pula.

2.2.3 Reflek menyusui pada ibu

Menurut Bobak, Lowdermilk & Jensen (2005), reflek

maternal utama sewaktu menyusui terdiri dari:

1. Refleks prolaktin

Prolaktin merupakan hormone laktogenik yang penting

untuk memulai dan mempertahankan sekresi susu. Stimulus

isapan bayi mengirim pesan ke hipotalamus dan merangsang


22

hipofise anterior untuk melepas prolaktin, suatu hormone yang

meningkatkan produksi susu oleh sel-sel alveolar kelenjar

payudara. Jumlah prolaktin yang disekresi dan jumlah susu yang

diproduksi berkaitan dengan besarnya stimulus isapan yaitu

frekuensi intensitas, dan lama bayi menghisap.

2. Refleks ereksi puting susu

Stimulus puting susu oleh mulut bayi menyebabkan

puting ereksi. Reflex ereksi putting susu membantu propulsi

susu melalui sinus-sinus laktiferus ke pori-pori puting susu.

3. Refleks let-down

Akibat stimulus isapan bayi, hipotalamus melepas

oksitosin dari hipofise posterior. Stimulasi oksitosin membuat

sel-sel mioepitel di sekitar alveoli di dalam kelenjar payudara

berkontraksi. Kontaksi sel-sel yang menyerupai otot ini

menyebabkan susu keluar melalui duktus dan masuk ke dalam

sinus-sinus laktiferus.

Refleks let-down dapat dirasakan sebagai sensasi

kesemutan atau dapat juga ibu tidak merasakan sensasi apapun.

Tanda-tanda lain let-down adalah tetesan susu dari payudara ibu

dan susu menetes dari payudara lain yang tidak sedang diisap

oleh bayi. Banyak ibu mengalami refleks let-down hanya karena

berpikir tentang bayinya atau mendengar bayi lain menangis.

Refleks let-down dapat terjadi selama aktivitas seksual karena

oksitosin dilepas selama orgasme.


23

2.2.4 Pengelompokan (Stadium) ASI

Menurut Purwanti (2009), ada tiga stadium ASI:

1. ASI stadium I

ASI stadium I adalah kolostrum. Kolostrum merupakan

cairan yang pertama disekresi oleh kelenjar payudara dari hari

pertama sampai keempat. Kolostrum merupakan cairan viscous

kentas yang warna kekuning-kuningan, lebih kuning

dibandingkan dengan susu matur. Dibandingkan dengan susu

matur yang akhirnya disekresi oleh payudara, kolostrum

mengandung lebih banyak protein, yang sebagian besar adalah

globulin. Antibody yang terdapat dalam kolostrum juga lebih

tinggi dibanding dengan susu matur. Sedangkan kadar

karbohidrat dan lemak lebih rendah dari pada susu matur.

2. ASI stadium II

ASI stadium II adalah ASI peralihan dari kolostrum

sampai menjadi ASI matur yang diproduksi pada hari ke-4

sampai ke-10. Kadar protein makin merendah sedangkan kadar

karbohidrat dan lemak makin meningkat.

3. ASI stadium III

ASI stadium III adalah ASI yang matur, yang diproduksi

dari hari k-10 sampai seterunya. ASI matur merupakan cairan

berwarna putih kekuning-kuningan yang diakibatkan warna dari

garam Ca-caseinat, riboflavin dan karoten yang terdapat di

dalamnya.
24

2.2.5 Manfaat Menyusui

Manfaat menyusui dapat dilihat dari beberapa aspek:

1. Aspek gizi

a. Manfaat Kolostrum

Kolostrum mengandung zat kekebalan terutama IgA

(Immunoglobulin A) untuk melindungi bayi dari berbagai

penyakit infeksi terutama diare. Jumlah kolostrum yang

diproduksi bervariasi tergantung dari isapan bayi pada hari-

hari pertama kelahiran. Walaupun sedikit namun cukup

untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Kolostrum juga

mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan

mengandung karbohidrat dan lemak rendah sehingga sesuai

dengan kebutuhan bayi pada hari-hri pertama kelahiran.

Kolostrum juga merupakan pencahar yang ideal untuk

membersihkan zat yang tidak terpakai dari usus bayi yang

baru lahir dan mempersiapkan saluran pencerrnaan bayi

untuk mkanan yang akan datang (Depkes RI, 2008; Roesli,

2011)

b. Komposisi ASI

ASI mudah dicerna karena selain mengandung zat-

zat gizi yang sesuai juga mengandung enzim-enzim untuk

mencerna zat-zat gizi. ASI mengandung zat-zat gizi

berkualitas tinggi yang berguna untuk pertumbuhan dan

perkembangan kecerdaan bayi/anak. ASI mengandung 2


25

macam protein utama, yaitu whey san kasein. Whey adalah

protein yang halus, lembut dan mudah dicerna. Kasein

adalah protein yang bentuknya kasar, bergumpal dan sukar

dicerna oleh usus bayi. Selain mengandung protein yang

tinggi, ASI memiliki perbandingan antara Whey dan Kasein

yang sesuai untuk bayi. Rasio Whey dan Kasei merupakan

salah satu keunggulan ASI dibandingkan dengan susu sapi.

ASI mengandung Whey lebih banyak dibandingan dengan

Kasein yaitu 65:35. Komposisi ini menyebabkan protein

ASI lebih mudah diserap, sedangkan pada susu sapi

mempunyai perbandingan Whey: Kasein adalah 20:80,

sehingga tidak mudah untuk diserap (Depkes RI, 2008;

Roesli, 2011).

ASI juga mengandung Taurin, DHA dan AA. Taurin

adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam

ASI yang berfungsi sebagai neuro-transmiter dan berperan

penting untuk proses maturasi sel otak. Sedangkan DHA

(Decosahexanoic Acid) dan AA (Arachidonic Acid) adalah

asam lemak tak jenuh rantai panjang yang diperlukan untuk

pembentukan sel-sel otak (Depkes RI, 2008).

c. Aspek imunologik

Ig A dalam kolostrum dapat melumpuhkan bakteri

pathogen E. coli dan berbagai virus dalam saluran

pencernaan. ASI juga mengandung laktoferin yaitu sejenis


26

protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang

mengikat zat besi di saluran pencernaan. Di dalam ASI juga

terdapat Lysosim, enzim yang meindungi bayi terhadap

bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus. Jumlah Lysosim

dalam ASI 300 kali lebih banyak dari pada susu sapi

(Noviantini, 2009; Suryoprajogo, 2009).

d. Aspek psikologik

Pemberian ASI pada bayi memberikan rasa percaya

diri pada ibu untuk menyusui yaitu bahwa ibu mampu

menyusui dengan produksi ASI yang mencukupi bayi.

Menyusui juga dipengaruhi oleh emosi ibu dan kasih

sayang terhadap bayi sehingga meningkatkan produksu

hormone terutama oksitosin yang pada akhirnya akan

meningkatkan produksi ASI.

e. Aspek kecerdasan

Interaksi ibu dan bayi, yang kandungan nilai gizi

dalam ASI sangat dibutuhkan untuk perkembangan sistem

saraf otak yang dapat meningkatkan kecerdasan bayi.

Dengan memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia

enam bulan akan menjamin tercapainya pengembangan

potensi kecerdasan anak secara optimal ( Roesli, 2011).


27

f. Aspek neurologis

Dengan menghisap payudara, koordinasi saraf menelan,

menghisap, dan bernafas yang terjadi pada bayi baru lahir

dapat lebih sempurna.

g. Aspek ekonomis

Ibu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makanan

bayi sampai bayi berumur enak bulan jika ibu meyusui

secara eksklusif. Ibu bisa menghemat pengeluaran rumah

tangga karena tidak perlu membeli susu formula dan

peralatannya.

h. Aspek penundaan kehamilan

Menyusui secara eksklusif dapat menunda

menstruasi dan kehamilan sehingga dapat digunakan

sebagai alat kontrasepsi alamiah yang dikenal sebagai

Metode Amenorea Laktasi (MAL) (Depkes RI, 2008).

2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Produksi ASI

Menurut Biancuzzo (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi ASI terdiri dari faktor tidak langsung dan langsung:

1. Faktor tidak langsung terdiri dari:

a. Pembatasan waktu ibu

1) Jadwal waktu menyusui

Menyusui yang dijadwalkan akan berakibat

kurang baik, karena isapan bayi sangat berpengaruh

pada rangsangan produksi ASI selanjutnya. Jadwal


28

menyusui yang ketat akan membuat bayi frustasi

(Suradi & Tobing, 2004).

2) Ibu bekerja

Ibu yang bekerja merupakan salah satu kendala

yang menghambat pemberian ASI ekslusif. Produksi

ASI ibu bekerja memang akan berkurang, hal ini antara

lain karena tanpa disadari ibu mengalami setres akibat

berada jauh dari sang buah hati (Poedianto, 2002).

b. Faktor sosial budaya

Adanya budaya yang terdapat di masyarakat tentang

menysui serta mitos-mitos yang salah tentang menyusui

juga dapat mempengaruhi ibu untuk berhenti menyusui.

Budaya yang ada di masyarakat misalnya bayi diberikan

makanan selain ASI sejak lahir kemudian adanya mitos

yang berkembang di masyarakat bahwa bayi yang rewel tau

menangis karena lapar sehingga harus di berikan makanan

dan minuman selain ASI sehingga ibu memilih untuk

memberikan makanan dan minuman selain ASI. Hal ini

akan menyebabkan bayi jarang menyusu karena sudah

kenyang sehingga rangsangan isapan bayi berkurang

(Novianti, 2009).

Pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan dan

upaya orang tua dalam melakukan perawatan dan

memelihara kesehatan anak dan beradaptasi terhadap peran


29

sebagai orang tua sehingga dapat lebih mudah mencapai

sesuatu (Friedman, 1998). Worthington-Roberts (2000)

menyatakan bahwa ibu yang memeiliki pendidikan yang

rendah kurang dalam memberikan ASI eksklusif. Dukungan

keluarga, teman dan petugas kesehatan juga mempengaruhi

keberhasilan menyusui. Bila suami atau keluarga dapat

mengambil alih sebagian tugas ibu di rumah, ibu tentu tidak

akan kelelahan. Kelelahan merupakan salah satu penyebab

berkurangnya produksi ASI (Poedianto, 2002; Bobak,

Lowdermilk & Jensen, 2005).

c. Umur

Umur ibu berpengaruh terhadap produksi ASI. Ibu

yang umurnya lebih muda lebih banyak memproduksi ASI

dibandingkan dengan ibu yang sudah tua (Soetjiningsih,

2005). Menurut Biancuzzo (2003) bahwa ibu-ibu yang lebih

muda atau umurnya kurang dari 35 tahun lebih banyak

memproduksi ASI daripada ibu-ibu yang lebih tua. Pudjiadi

(2005) menjelaskan bahwa ibu yang berumur 19-23 tahun

pada umumnya dapat menghasilkan cukup ASI

dibandingkan dengan yang berumur tiga puluhan.

d. Paritas

Ibu yang melahirkan anak kedua dan seterusnya

mempunyai produksi ASI lebih banyak dibandingkan

dengan kelahiran anak pertama (Soetjiningsih, 2005;


30

Nichol, 2005). Sedangkan Lovelady (2005) menyatakan

bahwa ibu multipara menunjukkan produksi ASI yang lebih

banyak dibandingkan dengan primipara pada hari keempat

post partum.

e. Faktor kenyamanan ibu

Faktor kenyamanan ibu yang secara tidak langsung

mempengaruhi produksi ASI meliputi puting lecet,

pembengkakan dan nyeri akibat insisi. Faktor

ketidaknyamanan yang ibu rasakan sering menyebbkan ibu

berhenti untuk menyusui. Dengan berhenti menyusui maka

rangsang isapan bayi akan berkurang sehingga produksi

ASI akan menurun (Suradi & Tobing, 2004).

f. Faktor bayi

1) Berat badan

Bayi kecil, premature atau dengan berat lahir

rendah (BBLR) mempunyai masalah dengan proses

menyusui kerena reflex menghisapnya masih relative

lemah (Suradi & Tobing, 2004).

2) Status kesehatan

Bayi yang sakit dan memerlukan perawatan

akan mempengaruhi produksi ASI, hal ini disebabkan

karena tidak adanya rangsangan terhadap reflek let

down (Suradi & Tobing, 2004).


31

2. Faktor langsung

a. Perilaku menyusui

1) Waktu inisiasi

Inisiasi dapat dilakukan segera pada jam-jam

pertama kelahiran, dengan melakukan inisiasi menyusu

dini (IDM) akan dapat meningkatkan produksi ASI

(Roesli, 2005). Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dilakukan

berdasarkan pada reflek atau kemampuan bayi dalam

mempertahankan diri. Bayi yang baru berusia 20 menit

dengan sendirinya akan dapat langsung mencari puting

susu ibu. Selain membanu bayi belajar menyusu kepada

ibunya dan memperlancar pengeluaran ASI, proses

inisiasi diharapkan dapat mempererat ikatan perasaan

antara ibu dan bayinya, serta berpengaruh terhadap

lamanya pemberian ASI kepada bayinya (Suryoprajogo,

2009; Poedianto, 2002).

2) Frekuensi dan lamanya menyusui

Bayi sebaiknya disusui secara on demand karena

bayi akan menentukan sendri kebutuhannya. Bayi yang

sehat dapat mengosongkan satu payudara sekitar 5-7

menit dan ASI dalam lambung bayi akan kosong dalam

waktu 2 jam (Suradi & Tobing, 2004; Poedianto, 2002).


32

b. Menyusui malam hari

Menyusui pada malam hari dianjurkan untuk lebih

sering dilakukan karena akan memacu produksi ASI, hal ini

karena prolaktin lebih banyak disekresi pada malam hari

(Suradi & Tobing, 2004; Depkes, 2007).

c. Faktor psikologis

Faktor pikologis ibu yang mempengaruhi kurangnya

produksi ASI antara lain adalah ibu yang berada dalam

keadaan setress, kacau, marah dan sedih, kurang percaya

diri, terlalu lelah, ibu tidak suka menysui, serta kurangnya

dukungan dan perhatian keluarga dan pasangan kepada ibu

(Lawrence, 2004; Noviantini, 2009).

d. Faktor fisiologis

Faktor fisiologis ibu meliputi status kesehatan ibu,

nutrisi, intake cairan, pengobatan, dan merokok. Selama

menyusui, seorang ibu membutuhkan kalori, protein,

miniral dan vitamin yang tinggi. Ibu yang menyusui

membutuhkan tambahan 800 kalori per hari selama

menyusui (Suryoprajogo, 2009). Selain kebutuhan

makanan, ibu menyusui juga memerlukan minuman yang

cukup kerena kebutuhan tubuh akan cairan pada ibu

menyusui meningkat. Asupan cairan yang cukup 2000 cc

perhari dapat menjaga produksi ASI ibu (Pillitteri, 2003;

Suryoprajogo, 2009).
33

2.3 Konsep Seksio Sesarea

2.3.1 Definisi

Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan

latincaedereyang artinyamemotong.Pengertian ini semula dijumpai

dalam Roman Law (Lex Regia) dan Emperor’s Law (Lex Caesarea),

yaitu undang-undang yang menghendaki supayajanin dalam

kandungan ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari

dalamrahim.

Seksio sesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan

membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut,

seksio sesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu histerotomia

untuk melahirkan janin dari dalam rahim

2.3.2 Prognosis

Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin

tinggi. Pada masa sekarang, karena kemajuan yang pesat dalam

teknik operasi, anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi, dan

antibiotik, angka ini sangat menurun.

Angka kematian ibu pada rumah sakit yang memiliki faslitas

operasi yang baik dan tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang

dari 2 per 1000.

Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea sangat

bergantung pada keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut

data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan


34

fasilitas neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4-

7%.

2.3.3 Istilah

1. Seksio Sesarea Primer (Efektif)

Sejak semula telah direncanakan bahwa janin akan

dilahirkan secara seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran

biasa, misalnya, pada panggul sempit (CV kurang dari 8 cm).

2. Seksio Sesarea Sekunder

Kita mencoba menunggu kelahiran biasa (partus

percobaan). Jika tidak ada kemajuan persalinan atau partus

percobaan gagal, baru dilakukan seksio sesarea.

3. Seksio Sesarea Ulang

Ibu pada kehamilan yang lalu menjalani seksio sesarea

dan pada kehamilan selanjutnya juga dilakukan seksio sesarea;

ulang.

4. Seksio Sesarea Histerektomi

Suatu operasi yang meliputipelahiran janin dengan

seksio sesarea yang secara langsung diikuti histerektomi karena

suatu indikasi.

5. Operasi Porro

Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri

(tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan

histerektomi, misalnya, pada keadaan infeksi rahim yang berat.


35

Seksio sesarea oleh ahli kebidanan disebutobstetric panacea,

yaitu obat atau terapi ampuh bagi semua masalah obstetri.

2.3.4 Indikasi

1. Plasenta previa sentralis dan leteralis (posterior).

2. Panggul sempit.

Holmer mengambil batas terendah untuk melahirkan

janin vias naturalisialah CV = 8 cm. Panggul dengan CV

(conjugata vera) < 8 cm dapat dipastikan tidak dapat melahirkan

secara normal, harus diselesaikan dengan seksio sesarea.

Conjugata vera antara 8 dan 10 cm boleh dilakukan partus

percobaan; baru setelah gagal, dilakukan seksio sesarea

sekunder.

3. Disproporsi sefalopelvik: yaitu ketidakseimbangan antara

ukuran kepala dan ukuran panggul.

4. Ruptura uteri mengancam

5. Partus lama (prolonged labor).

6. Partus takmaju (Obstructed labor).

7. Distosia serviks.

8. Pre-eklamsi dan hipertensi.

9. Malpresentasi janin:

a. Letak lintang:

Greenhill dan Eastman spendapat bahwa :

1) Jika panggul terlalu sempit, seksio sesarea adalah cara

terbaik dalam semua kasus letak lintang dengan janin

hidup dan ukuran normal;


36

2) Semua primigravida dengan janin letak lintang harus

ditolong dengan seksio sesarea, walaupun tidakada

perkiraan panggul sempit;

3) Multipara dengan janin letak lintang dapat lebih dulu

dicoba ditolong dengan cara-cara lain.

b. Letak bokong

Seksio sesarea dianjurkan pada letak bokong pada kasus

1) Panggul sempit

2) Primigravida

3) Janin besar dan berharga

c. Presentasi dahi dan muka (letak defleksi) jika reposisi dan

cara-cara lain tidak berhasil.

d. Presentasi rangkap jika reposisi tidak berhasil.

e. Gameli; menurut Eastman, seksio sesarea dianjurkan

1) Jika janin pertama letak lintang atau presentasi bahu.

2) Jika terjadi interlok (locking of the twins).

3) Pada kasus distosia karena tumor.

4) Pada gawat janin, dan sebagainya.

Dahulu, seksio sesarea dilakukan atas indikasi yang terbatas

pada panggul sempit dan plasenta previa. Seperti telah diterangkan

sebelumnya, meningkatnya angka kejadian seksio sesarea pada

zaman sekarang ini antara lain disebabkan oleh berkembangnya

indikasi dan makin kecilnya risiko dan mortalitas pada seksio

sesarea. Kedua hal tersebut tercapai berkat kemajuan teknik operasi

dan anestesi, serta ampunya antibiotik dan kemoterapi.


37

Seksio sesarea postmortem adalah seksio sesarea segera pada

ibu hamil cukup bulan yang meninggal tiba-tiba, sedangkan janin

masih hidup.

2.3.5 Jenis-jenis Operasi seksio Sesarea

1. Abdomen (Seksio Sesarea Abdominalis)

a. Seksio sesarea transperitonealis:

1) Seksio sesarea klasik atau korporal dengan insisi

memanjang pada korpus uteri.

2) Seksio sesarea ismika atau profunda atau low servical

dengan insisi pada segmen bawah rahim.

3) Seksio sesarea ekstraperitonealis, yaitu seksio sesarea

tanpa membuka peritonium parietale; dengan demikian,

tidak membuka kavum abdominalis.

2. Vagina (Seksio Seasrea Vaginais)

Menurut arah sayatan pada rahim, seksio sesarea dapat

dilakukan sebagai berikut:

a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig.

b. Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr.

c. Sayatan huruf T (T-Incision).

3. Seksio Sesarea Klasik (Korporal)

Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada

korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm.

Kelebihan:

a. Pengeluaran janin lebih cepat.


38

b. Tidak mengakibatkan komplikasi tertariknya kandung

kemih.

c. Sayatan dapat diperpanjang ke proksimal atau distal.

Kekurangan:

a. Infeksi mudah menyebar secara intra-abdominal karena

tidak ada reperitonealisasi yang baik.

b. Pada persalinan berikutnya, lebih mudah terjadi ruptur uteri

spontan.

Saat ini, teknik tersebut sudah jarang dipergunakan karena

banyak kekurangannya. Namun pada kasus-kasus tertentu,

seperti pada kasus operasi berulang, yang memiliki banyak

perlengketan organ, seksio sesarea klasik ini dapat

dipertimbangkan.

4. Seksio Sesarea Ismika (Profunda)

Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf

pada segmen bawah rahim (low servical transversal) kira-kira

sepanjang 10 cm.

Kelebihan:

a. Penjahitan luka lebih mudah.

b. Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik.

c. Tumpang tindih peritoneal flap sangat baik untuk menahan

penyebaran isi uterus ke rongga periotoneum.

d. Perdarahan kurang.

e. Dibandingkan dengan cara klasik, kemungkinan ruptur uteri

spontan lebih kecil.


39

Kekurangan:

a. Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah sehingga

dapat menyebabkan putusnya uterina yang mengakibatkan

perdarahan dalam jumlah banyak.

b. Tingginya keluhan pada kandung kemih setelah

pembedahan.

2.3.6 Komplikasi

1. Infeksi Peurperal (Nifas)

a. Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.

b. Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai

dehidrasi dan perut sedikit kembung.

c. Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Infeksi

berat sering kita jumpai pada partus terlantar; sebelum

timbul infeksi nifas, telah terjadi infeksi intra partum karena

ketuban yang telah pecah terlalu lama.

Penanganannya adalah dengan pemberian cairan, elektrolit dan

antibiotik yang adekuat dan tepat.

2. Perdarahan karena:

a. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka.

b. Atonia uteri.

c. Perdarahan pada placental bed.

3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih

bila reperitonialisasi terlalu tinggi.

4. Kemungkinan ruptur uteri spontan pada kehamilan mendatang.


40

Adapun komplikasi pada persalinan seksio sesarea, antara

lain diuraikan di bawah ini:

1. Rasjidi (2009) menguraikan bahwa komplikasi utama persalinan

seksio sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti vesika

urinaria dan uterus saat dilakukan operasi dan komplikasi yang

berhubungan dengan anestesi, perdarahan, infeksi, dan

tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada persalinan seksio

sesarea dibandingkan persalinan pervaginam.

2. Sementara itu, Aksu, Kucuk, Duzgun, (2011) menyatakan

bahwa risiko komplikasi akibat tindakan operasi sesarea adalah

vena thrombosis, karena berbagai faktor seperti trombophilia,

American college of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)

membuat kategori pasien pasca operasi seksio sesarea menjadi

dua yaitu risiko rendah sampai risiko tinggi.

3. Bonney &m Jenny (2010) menjelaskan bahwa komplikasi pasca

operasi seksio sesarea pada insisi segmen bawah rahim dapat

terjadi:

a. Berkurangnya vaskuler bagian atas uterus sehingga berisiko

mengalami ruptur membrane.

b. Ileus dan peritonitis.

c. Pasca operasi obstruksi.

d. Masalah infeksi karena masuknya mikroorganisme selama

pasca operasi.
41

4. Sedangkan Leifer (2012) menyatakan bahwa komplikasi pada

ibu yang dilakukan seksio sesarea yaitu:

a. Terjadi aspirasi.

b. Emboli pulmonal.

c. Perdarahan.

d. Infesi urinaria.

e. Injuri pada bladder.

f. Thrombophelibitis.

g. Infeksi pada luka operasi.

h. Komplikasi yang berhubungan dengan efek anestesi serta

terjadinya injury.

i. Masalah respirasi pada fetal.

2.3.7 Anestesi Pada Operasi Seksio Sesarea

Beberapa studi tentang anestesi pada operasi seksio sesarea

diuraikan berikut ini:

1. Penelitian oleh Henke, Elser, Gorlinger (2010) teknik operasi

seksio sesarea terdiri dari spinal anestesi dan umum.

a. Operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi umunya

sering digunakan karena lebih baik 62% dibandingkan

anestesi umum.

b. Royal college of Anesthesia di UK menggunakan standar

anestesi spinal dan hasilnya sebanyak 85% menurunkan

angka kematian ibu dan bayi, serta biaya murah dan klien

selamat.
42

2. Henke, Elser, Gorlinger (2010) menyatakan bahwa pada operasi

sesarea ibu dianjurkan untuk menggunakan spinal anestesi.

a. Anestesi spinal membuat pertengahan ke bawah tubuh ibu

mati rasa, tetapi ibu akan tetap terjaga dan menyadari apa

yang sedang terjadi.

b. Ibu merasakan kelahiran bayi tanpa merasakan kesakitan

dan dilakukan di lumbal tiga atau lumbal empat

menggunakan injeksi 2.2 ml dengan hyperbaric bupivacaine

0,5% dan sufentanil 6 g.

3. Nielsen et al, menjelaskan bahwa efek anestesi terhadap pasca

seksio sesarea adalah ibu merasakan adanya nyeri akut yang

berisiko terhadap perkembangan pasca pembedahan.


43

2.4 Kerangka Teori

Persalinan SC Ketidaklancaran produksi ASI


(Sectio Caesaria)

Metode pengeluaran ASI : Onset laktasi


1. Tehnik marmet
Fisiologis dan 2. Breast care (perawatan
patologis pada saat payudara)
kehamilan 3. Kompres hangat
4. Tehnik massase rolling
(punggung)

5. Pijat oksitosin
Produksi ASI meningkat

Manfaat pijat oksitosin :

1. Mempercepat penyembuhan luka bekas implantasi


plasenta
2. Mencegah terjadinya perdarahan post partum
3. Dapat mempercepat terjadinya proses involusi uterus
4. Meningkatkan produksi ASI Peningkatan hormon
5. Meningkatkan rasa nyaman pada ibu menyusui oksitosin
6. Meningkatkan hubungan psikologis antar ibu dan anak

Langkah – langkah pijat oksitosin: Efek fisiologis :


merangsang otot polos
1. Melepaskan baju ibu bagian atas uterus dan mempercepat
2. Ibu miring ke kanan maupun ke kiri, lalu memeluk bantal proses involusi uterus
3. Memasang handuk
4. Melumuri kedua telapak tangan dengn minyak atau baby
oil
5. Memijat sepanjangledua sisi tulang belakang ibu
menggunakan kepalan tangan, dengan ibu jari menunjuk
ke depan
6. Menekan kuat-kuat kedua sisi tulang belakang
membentuk gerakan-gerakan melingkar kecil-kecil
dengan kedua ibu jarinya
7. Pada saat bersamaan, memijat kedua sisi tulang belakang
kearah bawah dari leher kearah tulang belikat selama 2-3
menit
8. Mengulangi pemijatan hingga 3 kali
9. Membersihkan punggung ibu dengan washlap air hangat
dan dingin secara bergantian.

Gambar 2.2 Kerangka Teori


Sumber : Modifikasi Depkes RI (2007), Suherni (2008), Suradi (2006),
Hamrani (2010)
44

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah konsep yang dipakai sebagai landasan

berpikir dalam kegiatan ilmu (Nursalam, 2016). Berdasarkan teori yang telah

diuraikan, maka peneliti membuat kerangka konsep yang digambarkan dalam

skema, sebagai berikut:

Variabel Independent Variabel Dependent

Tehnik – Tehnik Meningkatkan Dan


Memperlancar Pengeluaran Asi:

1. Tehnik marmet
2. Perawatan payudara (breast care)
3. Kompres hangat
4. Massase rolling

5. Pijat oksitosin Onset Laktasi

Keterangan
: diteliti

: tidak diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


Sumber: Mas’adah, 2014, Hruschka et al., 2003

3.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai

beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (soeparto, putra &

Haryanto, 2000; Nursalam, 2016).

43
45

3.1.1 Variabel Independen

Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen, variabel ini dikenal

dengan nama variabel bebas dalam mempengaruhi variabel lainnya

(Nursalam, 2016). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel

independen adalah Pijat oksitosin.

3.1.2 Variabel Dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dinilainya dipengaruhi

oleh variabel lain (Nursalam, 2016). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah onset laktasi.

3.3 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian (Nursalam, 2016)

H0 : tidak ada pengaruh pijat oksitosin terhadap onset laktasi pada ibu post

SC (sectio caesarea) di RSUD Kota Mataram.

Ha : ada pengaruh pijat oksitosin terhadap onset laktasi pada ibu post SC

(sectio caesarea) di RSUD Kota Mataram.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan batasan variabel. Uraian tentang batasan variabel yang dimaksud

atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo,

2011).
46

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Definisi Skala Hasil
Variable Parameter Alat Ukur
Operasional Ukur Ukur
Variabel
Indenpenden :
1. Pijat oksitosin 1. Tindakan 1. Pijat oksitosin Lembar - -
pemijatan dilakukan Obsevasi
yang selama 2-3
dilakukan di menit
tulang
belakang
untuk
mempercepat
pengeluaran
ASI
Variabel
Dependen :
1. Onset Laktasi - Persepsi 1. Onset laktasi Lembar - -
ibu yang lambat terjadi Observasi
mengataka 3-4 hari atau
n asi lebih
mereka 2. Onset laktasi
sudah cepat terjadi
keluar. setelah
beberapa saat
kelahiran
47

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain quasi-experiment dengan

pendekatan desain pretest-posttest with control group. Peneliti

membandingkan efek terapi pijat oksitosin terhadap onset laktasi antar dua

kelompok independen, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada

kelompok intervensi, responden di beri terapi pijat oksitosin sedangkan pada

kelompok kontrol responden tidak diberikan terapi pijat oksitosin.

Tabel 4.1 Rancangan penelitian quasy-eksperiment


Pretest Perlakuan Posttest
Kel. Eksperimen X1 Y X2
Kel. Kontrol X3 X4

Keterangan:

X1 = Onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria) sebelum dilakukan pijat

oksitosin pada kelompok intervensi

X2 = Onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria) sesudah dilakukan pijat

oksitosin pada kelompok intervensi

X3 = Onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria) sebelum dilakukan pijat

oksitosin pada kelompok kontrol

X4 = Onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria) sebelum dilakukan pijat

oksitosin pada kelompok kontrol

Y = Pijat oksitosin

46
48

4.2 Tampat dan Waktu Penelitian

Penelian ini dilakukan di ruang nifas RSUD Kota Mataram dan waktu

penelitian bulan April 20017.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas

(obyek/subyek) yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang diterapkan oleh penelitian untuk dipelari dan ditarik kesimpilan

(Sugiyono, 2013). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi

penelitian adalah seluruh pasien dengan post SC (Sectio Caesaria) di

Ruang Nifas RSUD Kota Mataram.

4.3.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau

sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat

2007). Pada penelitian ini mengambil sampel ibu post SC (Sectio

Caesaria) di Ruang Nifas RSUD Kota Mataram. Penelitian ini dimulai

pada bulan April sampai jumlah sampel minimal yang diperlukan

sekitar 30 orang ibu post SC (Sectio Caesaria) terpenuhi. 15 responden

untuk kelompok intervensi dan 15 responden untuk kelompok control.

(Gay & Diehl, 1992).

4.3.3 Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik

nonprobability sampling yakni purposive sampling adalah suatu tehnik

penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi


49

sesuai dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut

dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya

(Nursalam, 2013). Pengambilan sampel didasarkan pada kriteria

inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria atau cirri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat dimbil sebagai

sampel (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah:

a. Ibu post SC (sectio caesarea) di RSUD Kota Mataram.

b. Ibu dengan kesadaran penuh dan bisa diajak berkomunikasi.

c. Ibu yang mengalami gangguan onset laktasi.

d. Ibu yang besedia menerima pemberian pijat oksitosin.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah cirri-ciri anggota populasi yang

tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Adapun

kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Ibu yang menolak diberikan pijat oksitosin pada saat penelitian.

b. Ibu yang tidak bersedia menjadi responden.

c. Ibu yang kesadarannya lemah.

d. Ibu yang mengundurkan diri saat penelitian berlangsung.

e. Ibu yang tidak bisa membaca dan menulis.


50

4.4 Instrument Penelitian

Instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur

fenomena alam maupun sosial yang dapat diamati (Sugiyono, 2012).

Instrument data penelitian ini meliputi:

1. Lembar data penelitian

Data penelitian yang dikumpulkan pada responden terdiri dari dua

bagian, yang pertama data responden yang meliputi usia, pendidikan,

pekerjaan, tanggal operasi. Sedangkan pada bagian kedua data penelitian

akan mencatat perkembangan onset laktasi. Pijat Oksitosin dilakukan 3

kali yaitu selama 1 kali perlakuan dilakukan 2-3 menit.

4.5 Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka dari segi etika penelitian harus diperhatiakan.

1. Informed consent (surat persetujuan)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dan responden, dengan bentuk lembarpersetujuan. Lembar persetujuan

diberikan sebelum penelitian, kepada responden yang akan diteliti.

Lembar ini dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila

subjek menolak, makan peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap

menghormati hak-hak subjek.

2. Anonymity (tanpa nama)

Anonymity digunkan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak

akan mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut

diberikan kode pengganti nama responden.


51

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin

kerahasiannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu saja yang akan

disajikan atau dilaporkan pada hasil penelitian dan hany akan digunakan

untuk pengambilan ilmu.

4.6 Prosedur Pengambilan Data dan Pengumpulan Data

4.6.1 Cara Pengambilan Data

1. Tahap persiapan

a. Mempersiapkan materi yang mendukung penelitian yang akan

dilakukan.

b. Menyusun proposal penelitian kemudian dikonsulkan ke

pembimbing.

c. Mendapatkan izin dari pihak Stikes Yarsi Mataram untuk

melakukan studi pendahuluan. Peneliti juga meminta izin

kepada pihak RSUD Kota Mataram untuk melakukan studi

pendahuluan.

d. Melakukan studi pendahuluan di RSUD Kota Mataram.

e. Melakukan ujian proposal.

f. Mengurus perijinan dari pihak Stikes Yarsi Mataram dan Badan

Pembangunan Daerah (BAPEDA) guna mendapatkan ijin

melaksanakan penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Mengumpulkan data primer dan sekunder ibu post SC (Sectio

Caesaria) di Ruang Nifas RSUD Kota Mataram.


52

b. Memperkenalkan diri dan mengadakan wawancara dengan ibu

post SC (Sectio Caesaria) yang memiliki kriteria menjadi

responden penelitian.

c. Memberikan penjelasan kepada responden mengenai maksud

dan tujuan diadakan penelitian ini serta meminta responden

untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden

penelitian.

d. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan, peneliti

bertanya apakah ASI pada responden tersebut sudah keluar atau

belum sebelum dilakukan terapi pijat oksitosin.

e. Peneliti memberikan terapi pijat oksitosin pada tulang belakang

selama 2-3 menit dan mengulanginya hingga 3 kali, dengan

rincian sebagai berikut :

1) Melepaskan baju ibu bagian atas

2) Ibu miring ke kanan maupun ke kiri, lalu memeluk bantal

3) Memasang handuk

4) Melumuri kedua telapak tangan dengan minyak atau baby

oil

5) Memijat sepanjang kedua sisi tulang belakang ibu dengan

menggunakan kepalan tangan, dengan ibu jari menunjuk ke

depan

6) Menekan kuat-kuat kedua sisi tulang belakang membentuk

gerakan-gerakan melingkar kecil-kecil dengan kedua ibu

jarinya
53

7) Pada saat bersamaan, memijat kedua sisi tulang belakang

kearah bawah dari leher kearah tulang belikat selama 2-3

menit

8) Mengulangi pemijatan hingga 3 kali

9) Membersihkan punggung ibu dengan washlap air hangat

dan dingin secara bergantian.

f. Setelah diberikan perlakuan pemijatan pada tulang belakang,

peneliti kembali melihat onset laktasi pada responden pada

lembar observasi

g. Peneliti menganalisi pengaruh terapi pijat oksitosin terhadap

onset laktasi ibu post SC (Sectio Caesaria).

4.6.2 Jenis Data

Dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

data primer dan sekunder:

1. Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh atau

dikumpulkan secara langsung oleh peneliti. Kelebihan data primer

akurasinya lebih tinggi (Saryono, 2011). Data primer dalam

penelitian ini diperoleh secara langsung melalui hasil lembar

observasi dan lembar onset laktasi sbelum dan sesudah dilakukan

terapi pijat oksitosin.

2. Data sekunder

Data sekunder biasanya berupa data dokumentasi atau data

laporan yang telah tersedia (Saryono, 2011). Data sekunder yang


54

digunakan untuk melengkapi dan mendukung data primer

diperoleh dari data yang berada di RSUD Kota Mataram. Data

sekunder dalam penelitian ini adalah karakteristik umum responden

meliputi : usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas merupakan indeks korelasi alat ukur setiap pertanyaan

(apakah signifikan atau tidak). Suatu skala pengukuran dikenal valid apabila

skala tersebut digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

Sedangkan uji reliabilitas mencerminkan sejauh mana alat ukur dapat

dipercaya. Reliabilitas menunjukan pada adanyan konsistensi dan stabilitas

nilai hasil skala pengukuran tertentu. Reliabilitas berkonsentrasi pada masalah

akurasi pengukuran dan hasilnya. Dalam penelitian ini yang akan digunakan

adalah alat ukur

4.8 Pengolahan Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, kemudian data diolah dengan

cara sebagai berikut:

1. Pengecekan data (editing)

Pada tahap ini peneliti melakukan pemeriksaan kelengkapan,

kejelasan dan kesesuaian data yang iperoleh atau dikumpulkan. Editing

dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul

mulai dari karakteristik responden, penilaian pretest dan posttest yang

dilakukan.

2. Pemberian kode data (coding)

Peneliti melakukan penyusunan secara sistematis data mentah ke

dalam bentuk yang sudah dibaca untuk pengolahan data. Peneliti membuat
55

kode untuk hasil penelitian yang di dapat. Coding yakni mengubah data

berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

3. Pemrosesan data (entry)

Pada tahap ini dilakukan data yang telah di ubah menjadi kode ke

dalam mesim pengolahan data. Pemerosesan data dilakukan dengan

memasukkan data keprogram kerja computer yang sesuai dengan variabel

masing-masing.

4. Pembersihan data (clining)

Peneliti memastika bahwa seluruh data yang telah dimasukkan

kedalam mesin pengolahan data sudah sesuai dengan yang sebelumnya.

Proses akhir dari pengolahan data adalah dengan melakukan pemeriksaan

kembali kode yang sudah di entry data untuk melihat ada tidaknya

kesalahan dalam entry. Untuk melihat ada tidaknya kesalahan dalam entry

data. Selanjutnya melakukan tabulasi data yaitu mengelompokkan data

kedalam tabel menurut kategorinya.

5. Cleaning (pembersihan)

Memastikan bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke dalam

mesin pengolahan data sudah sesuai dengan yang sebenarnya.

4.9 Analisa Data

4.9.1 Analisa Univariat

Analisa univariat merupakan analisa data yang disajikan dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral, atau grafik

(Suryono, 2011). Pada penelitian ini tujuan digunakan analisa

univariat untuk mengetahui karakteristik responden.


56

4.9.2 Analisa Bivariat

Analisa Bivariat dilakukan untuk mengetahui interaksi antar

variabel, baik bersifat komparatif, asosiatif ataupun korelatif pada dua

variabel (Saryono, 2011). Analisa bivariat dalam penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui Pengaruh terapi pijat oksitosin terhadap

onset laktasi pada ibu post SC (Sectio caesaria digunakan uji statistik

yaitu uji paired sample t-test, yang bertujuan untuk menguji ada

tidaknya perbedaan mean untuk dua sampel bebas (independen) yang

berpasangan. Uji paired sample t-test dengan taraf signifikan 0,05

(5%), dengan bantuan program SPSS, jika pada hasil uji t nilai

signifikan (p) lebih kecil dari α (0,05) maka hipotesis alternatif yang

diajukan dapat diterima yang artinya ada Pengaruh terapi pijat

oksitosin terhadap onset laktasi pada ibu post SC (Sectio caesaria) di

RSUD Kota Mataram.

You might also like