You are on page 1of 42

Laporan Kasus

PERDARAHAN PASCA SALIN ET CAUSA PERDARAHAN


PLACENTAL BED

Oleh:
Adif Syarifalim 04054821719127
Qonita Farah Faadhilah 04054821719162
Ayub 04054821719165
Revana Pramudita Khairunisa 04084821719167
M. Rizki Alkautsar 04084821719237
M. Auzan Ridho 04084821719238
Riska Mareta 04054821820071

Pembimbing:
dr. H. Rusli Muchtar, SpOG
dr. H. Ivan Susanto, SpOG
dr. Tomas Ediba, SpOG
dr. Roza Maulindra, SpOG

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAYUAGUNG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus:
PERDARAHAN PASCA SALIN ET CAUSA PERDARAHAN
PLACENTAL BED

Oleh:
Adif Syarifalim 04054821719127
Qonita Farah Faadhilah 04054821719162
Ayub 04054821719165
Revana Pramudita Khairunisa 04084821719167
M. Rizki Alkautsar 04084821719237
M. Auzan Ridho 04084821719238
Riska Mareta 04054821820071

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Kayuagung Periode 22 Oktober – 16
November 2018.

Kayuagung, November 2018


Pembimbing Pembimbing

dr. H. Rusli Muchtar, SpOG dr. H. Ivan Susanto, SpOG

Pembimbing Pembimbing

dr. Tomas Ediba, SpOG dr. Roza Maulindra, SpOG

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tentang “Perdarahan Pasca
Persalinan Et Causa Atonia Uteri”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat kepaniteraan klinik di
Bagian/Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD Kayuagung/Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Rusli Muchtar, SpOG,
dr. H. Ivan Susanto, SpOG, dr. Tomas Ediba, SpOG, dan dr. Roza
Maulindra, SpOG selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan
pengayaan selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Kayuagung, November 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II STATUS PASIEN ................................................................................ 2
Identifikasi ............................................................................................. 2
Anamnesis ............................................................................................. 2
Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 4
Diagnosis ............................................................................................... 7
Prognosis ............................................................................................... 7
Tatalaksana ............................................................................................ 7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 9
BAB IV ANALISIS KASUS .............................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak.


Semua wanita yang sedang hamil >20 minggu memiliki risiko perdarahan
postpartum dan sekuelernya. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara
darastis di negara-negara berkembang, perdarahan postpartum tetap merupakan
penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.1 Perdarahan postpartum
adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau
lebih dari 1.000 ml setelah prsalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan
menyebabkan kesulitan untuk menetukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka
batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal
yang telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah,
limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90
mmHg, denyut nadi >100/menit, kadar Hb >8 g /dL.1
Data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan postpartum dan diperkirakan 100.000 kematian maternal tiap
tahunnya. Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu
disebabkan oleh perdarahan, proporsinya berkisar antara kurang dari 10-60 %.
Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca
persalinan, namun selanjutnya akan mengalami kekurangan darah yang berat
(anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan.1
Frekuensi perdarahan post partum berdasarkan laporan-laporan baik dinegara
maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.
Dari amgka tersebut yang di, diperoleh gambaran etiologi antara lain: antonia
uteri(50-60%) sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta(16-17%), laselerasi jalan
lahir (4-5%), kelainan darah (0,5- 0,8%).1
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui lebih jauh mengenai
perdarahan postpartum agar dapat menurunkan AKI, cekatan dalam menangani
perdarahan postpartum sehingga dapat mencegah kematian ibu, serta meningkatkan
keselamatan dan keberhasilan ibu bersalin.

5
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi
Nama : Ny. M
Usia : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat :Menang Raya, Kayu Agung
Tanggal MRS : 04 November 2018
Nomor RM : 03.57.36

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan suami pasien
a. Keluhan Utama: keluar darah dari kemaluan

b. Keluhan Tambahan : nyeri perut hebat

c. Riwayat Perjalanan Penyakit:

Ny. M, 48 tahun, dengan G10P9A0 datang ke bidan dengan keluhan


keluar darah dari kemaluan, lendir(+) sejak 20 jam SMRS. Rasa ingin
mengejan ada, demam tidak ada, kejang tidak ada. Pasien kemudian berobat
ke bidan dan dikatakan sudah mengalami pembukaan. Setelah di pantau,
pasien dikatakan mengalami kala 1 memanjang. Pasien kemudian dirujuk ke
RSUD Kayuagung. Di RSUD Kayuagung pasien direncanakan operasi
caesar.

Riwayat Kehamilan
1. 1995 (Anak 1)  Aterm, Spontan, Laki-laki, BB 3 kg, sehat, Bidan
2. 1998 (Anak 2)  Aterm, Spontan, Laki-laki, BB 3 kg, sehat, Bidan
3. 2000 (Anak 3)  Aterm, Spontan, Laki-laki, BB 4 kg, sehat, Bidan
4. 2005 (Anak 4)  Aterm, Spontan, Laki-laki, BB 3,5 kg, sehat, Bidan
5. 2007 (Anak 5)  Aterm, Spontan, Laki-laki, BB 3 kg, sehat, Bidan

6
6. 2009 (Anak 6)  Aterm, Spontan, Perempuan, BB 2,5 kg, sehat,
Bidan
7. 2012 (Anak 7)  Aterm, Spontan, Laki-laki, BB 3 kg, sehat, Bidan
8. 2014 (Anak 8)  Aterm, Spontan, Perempuan, BB 3,2 kg, sehat,
Bidan
9. 2016 (Anak 9)  Aterm, Spontan, Perempuan, BB 2,3 kg, sehat,
Bidan

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Perdarahan pada kehamilan sebelumnya disangkal
 Riwayat Hipertensi disangkal
 Riwayat Diabetes Melitus disangkal
 Riwayat Asma disangkal
 Riwayat Trauma disangkal
 Riwayat Operasi sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

2.3 Pemeriksaan Fisik (24-10-2018 Pre Operasi)


Survey primer
Airway
Jalan nafas paten, snoring (-), gurgling (-)
Kesan: airway clear

Breathing
Napas spontan, Laju pernafasan: 22x/m, WOB tidak meningkat, retraksi
dinding dada (-), SpO2 99% (udara bebas)
Kesan: normal
Tindakan: O2 nasal 2-4 lpm

7
Circulation
Warna kulit merah, nadi 90x/m isi dan tegangan cukup, TD 110/70 mmHg,
CRT >3”
Kesan: normal
Tindakan:
1. Diberikan cairan RL 500 mL gtt XX/menit
2. Persiapan darah untuk transfusi

Disability
Kesadaran: GCS: 15
Pupil isokor, diameter 3 mm/3mm
Refleks cahaya (+)
Kesan: disability clear

Exposure/environment
Temperatur: 36,7oC
Mencegah hipotermi  selimut

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit, reguler, isi dan tegangan kurang.
Pernafasan : 22 x/menit, reguler
Suhu : 36,7ºC
SpO2 : 99%

Tinggi Badan : 155 cm


Berat Badan : 50 kg

8
Status Lokalis
Kepala : Normosefali, ekspresi wajar, rambut bergelombang,
tidak mudah dicabut, alopesia (-), deformitas (-).
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-), pupil bulat, isokor, reflex cahaya (+/+).
Hidung : Deformasi (-), sekret (-), epistaksis (-).
Telinga : Deformasi (-), MAE lapang, sekret (-).
Mulut : Bibir kering(-), bibir pucat (-), sianosis (-), atropi
papil(-) ,faring hiperemis (-), tonsil T1-T1, snoring
(-), gigi palsu (-), telihat palatum molle dan durum,
terlihat uvula, trismus (-).
Leher : JVP (5-2) cmH2O,pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar tiroid (-)
Thoraks : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-), spider
nevi (-),retraksi (-)
Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis kiri=kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-) stem fremitus normal kanan = kiri,
sela iga melebar (-)
Perkusi : Sonor di semua lapang paru, batas paru hati ICS VI,
peranjakan 1 sela iga.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-) di kedua lapang
paru, wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas: ICS II linea parasternalis sinistra, Batas
kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra Batas
kanan: Linea sternalis dekstra
Auskultasi : HR 90 kali/menit, reguler, BJ I-II (+) normal,
murmur (-), gallop (-)

9
Abdomen : Lihat status obstetri
Ekstremitas : Palmar pucat (+/+), edema pretibial (-), akral hangat,
CRT < 3’’

Status Obstretri
Pemeriksaan Luar
Inspeksi : Tampak cembung, striae gravidarum (+), linea nigra
(+).
Palpasi : his (+), TFU 28 cm, nyeri tekan seluruh abdomen (+)
Auskultasi : DJJ (+) 140x/ menit

Pemeriksaan Dalam (Vaginal Toucher)


Tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium (04-11- 2018)
Hemoglobin : 9,5 g/dL
Hematokrit : 29%
Leukosit : 13800/mm3
Trombosit : 299000/mm3
Eritrosit : 3,8 106/mm3
GDS : 81
HbsAg : Nonreaktif

2.5 Diagnosis Kerja


Syok Hemoragik Grade IV ec Perdarahan Postpartum e.c Suspek Atonia
Uteri

2.6 Tatalaksana
Nonfarmakologis
- Nasal kanul 2L/menit

10
- Monitor dan evaluasi pasien selama 24 jam (tanda vital, intake dan
output)
- Seksio cesaria

Farmakologis
- Resusitasi cairan ringer laktat 1000 cc habis dalam 1 jam pertama
- Transfusi PRC 1x300 cc
- Inj. Ketorolac 3x30 mg IV
- Inj. Asam Traneksamat 3x500mg IV
- Drip Oksitosin 1x30 iu dalam Wida-Hes 500 cc IV

2.7 Rencana Pemeriksaan


 Darah rutin post transfusi, kimia darah, elektrolit

2.8 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

2.9. Kartu Anestesi


a. Rencana Anestesi
Premedikasi : Tidak diberikan
Jenis anestesi : Regional
Persiapan darah : PRC 2x300 cc
Monitoring : SpO2, NIBP, urine output, lead ECG
Manajemen Postoperatif
Analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg IV
Transfusi darah : PRC 2x300 cc

b. Evaluasi Pre induksi


Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4M6V5)

11
Respirasi : spontan, RR: 22x/menit, nasal kanul 2L/m
SpO2 : 98
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 101 x/ menit, reguler, adekuat
Support : tidak ada
Status Fisik : ASA II Emergency
c. Premedikasi
Tidak diberikan

d. Teknik Anestesi
Perubahan teknik : tidak ada
Blokade regional
- Teknik : spinal
- Lokasi tusukan : L3-L4
- Analgesi setinggi segmen : T6
- Anestesi lokal : bupivacaine HCL konsentrasi 0,5
- Jumlah : 2,5 ml
Monitoring : SpO2, NIBP, urine output, lead ECG

e. Monitoring Anestesi Intraoperatif

JAM TD NADI RR SpO2 Keterangan


(WIB) (MmHg) (x/mnt) (x/mnt) (%)
19.00 110/70 90 22 99  Diberikan RL
mmHg maintanance
 Dilakukan anestesi
spinal pada L3-L4
 Tindakan dimulai
19.15 110/60 98 24 99  Monitor tanda-tanda
mmHg vital, pemberian asam
tranexamat 1 gr (2 amp).

21.45 90/60 135 36 99 Bayi dan plasenta telah

12
lahir, terdapat perdarahan
aktif, susp. Atonia uteri,
dilakukan:
 NRM 10L/m
 Kompresi bimanual dan
masase uteri
 Drip oksitosin 20 IU
dalam RL 500cc
 Resusitasi cairan RL 1
liter dalam 1 jam
 Transfusi 2 pack PRC
600cc
 Oksitosin 30 IU dalam 1
kolf Wida-Hes 500cc
 Asam tranexamat 1gr
IV
22.00 90/60 135 36 99  Terapi sebelumnya
dilanjutkan
 Diberikan tampon
Sayeba, kemudian
perdarahan aktif
pervaginam (-).
22.15 100/60 98 26 99  Tanda vital dan klinis
membaik
 Diberikan ketorolac30
mg, IV. Operasi selesai

f. Keadaan Selama Operasi


Posisi : Supinasi
Ventilasi : Nasal kanul 2L/m

13
g. Cairan
Total Asupan Cairan
1. Kristaloid : 1000 cc
2. Darah : 600 cc PRC

Total keluar cairan


1. Perdarahan (EBL) : 1000cc
2. Urin Output : 0 cc

2.10 Pasca Bedah


Terdapat perdarahan saat intraoperatif, pasien diberikan tampon sayeba untuk
menghentikan perdarahan. Perdarahan berhenti, pasien dipantau di Recovery
Room sekitar 2 jam, kemudian setelah pasien stabil pasien dirawat di bangsal.

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perdarahan Postpartum


2.1.1 Pengertian
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml
atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah
seksio sesaria dalam 24 jam dan sebelum 6 minggu setelah persalinan.

2.1.2 Jenis Perdarahan


Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2008) :

1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi


dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan
lahir dan inversio uteri.

2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang terjadi


setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder
disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang
tertinggal.

2.1.3 Patofisiologi Perdarahan Postpartum


Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam uterus
masih terbuka.Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternitas di tempat insersinya plasenta
terbuka. Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka
tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan
darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan
kontraksi otot uterus, akan menghambat penutup pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor
utama penyebab perdarahan pasca persalinan. Perlukaan yang luas akan
menambah perdarahan seperti robekan serviks, vagina dan perineum.

15
2.1.4 Diagnosis Perdarahan Postpartum
Menurut Sari dan Rimandini (2014). Diagnosis yang dapat ditegakkan
terhadap perdarahan postpartum ditandai dengan :
a. Perdarahan banyak yang terus menerus setelah bayi lahir
b. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi dan nafas yang cepat, pucat, ekstremitas dingin,
sampai terjadi syok.
c. Perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta
atau laserasi jalan lahir.
d. Perdarahan setelah plasenta lahir. Perlu dibedakan sebabnya antara antonia
uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir.
e. Riwayat partus lama, partus presipitatus, perdaraha postpartum atau
penyebab lain.

2.2 Atonia Uteri


2.2.1 Definisi

Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta
lahir, dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan atau rangsangan taktil fundus
uteri. Perangsangan taktil fundus uteri dilakukan dengan cara menggerakkan tangan
memutar pada fundus uteri sehingga diharapkan uterus berkontraksi dan terjadi
kompresi pada pembuluh darah di tempat bekas perlekatan plasenta (yang
sebelumnya menyuplai darah ke dalam plasenta) sehingga perdarahan berhenti.
Selain itu, kontraksi uterus tersebut dapat merangsang pengeluaran sisa plasenta
secara alami.

2.2.2 Etiologi

Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam


waktu kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan
pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi.
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh atonia uteri adalah:

16
a. Overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia, polihidramnion.
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan
mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
b. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
c. Multiparitas tinggi. Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus
juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan
berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.
d. Kala I atau II yang memanjang. Pada partus lama uterus dalam kondisi yang
sangat lelah, sehingga otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi
segera setelah plasenta lahir. Kehamilan dengan mioma uterus
e. Kehamilan dengan mioma uteri. Mioma yang paling sering menjadi penyebab
perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di
dalam miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
f. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi). Persalinan buatan
mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan
dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk
berkontraksi.
g. Persalinan lewat waktu. Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena
besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di
dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
h. Infeksi intrapartum. Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat
intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi
infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
i. Persalinan cepat (partus presipitatus). Persalinan cepat mengakibatkan otot
uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera
sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
j. Kelainan plasenta. Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing
menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
k. Anastesi atau analgesik yang kuat. Obat anastesi atau analgesi dapat
menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi relaksasi yang berlebih,
sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu.

17
Demikian juga dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan
kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau
penenang.
l. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi).
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi
saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah. Penyakit
sekunder maternal

Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere


diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang
mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam penanganan kala III
persalinan, dengan cara memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

2.2.3 Patofisiologi

Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat


berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Atonia uteri merupakan penyebab
terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering
untuk melakukan histerektomi postpartum. Pada kehamilan cukup bulan aliran
darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan
segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar
350- 500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya plasenta.

Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-


serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi
daerah implantasi plasenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan
menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot tadi.
Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak
berkontraksi. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini.

18
2.2.4 Manifestasi klinis
1. Perdarahan pervaginam.
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa
sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan
disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2. Konsistensi rahim lunak. Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia
dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3. Fundus uteri naik
4. Terdapat tanda-tanda syok
a) nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)

b) tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg

c) pucat

d) keringat/ kulit terasa dingin dan lembap

e) pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih

f) gelisah, bingung atau kehilangan kesadaran

g) urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)

2.3 Fisiologi Cairan Tubuh


Cairan tubuh manusia didistrubusikan ke dalam 2 kompartemen, yaitu cairan
intraseluler dan ekstraseluler.Cairan ekstraseluler sendiri dibagi menjadi dua
kelompok yaitu cairan intravaskuler dan juga cairan interstitial. Cairan-cairan ini
akan berpindah dengan bebas untuk mencapai keseimbangan dimana zat terlarut
dalam nilai osmolaritas.1
Jumlah cairan/air tubuh total atau Total Body Water (TBW) adalah 60% x
berat badan, terdiri dari cairan intrasel (ICF) 40% dan cairan ekstrasel (ECF)
20%.Cairan ekstrasel terdiri dari cairan interstitial (ICF) 15% dan cairan
intravaskular (IVF) 5% x berat badan.Cairan intravaskular (5%BB) adalah plasma sel
darah merah 3%. Jadi terdapat darah 8% BB atau kira-kira sama dengan 65-70 ml/kg
berat badan pada laki-laki dan 55-65 ml/kg pada wanita. Total cairan tubuh
bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin. Air tubuh total maksimal

19
pada saat lahir, kemudian berkurang secara progresif dengan bertambahnya umur.
Air tubuh total pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan pada orang kurus
(650 ml/kg BB) lebih banyak daripada yang gemuk (300-400 ml/kg BB). Distribusi
cairan di dalam kompartemen diatur oleh osmolaritas, distribusi Natrium dan
distribusi koloid terutama albumin.Osmolaritas dikontrol oleh intake cairan dan
regulasi ekskresi air oleh ginjal.Ada2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh,
yaitu: 1
a. Elektrolit
Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu
kation dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan.Tiap kompartemen
mempunyai komposisi elektrolit tersendiri. Komposisi elektrolit plasma dan
interstisial hampir sama, kecuali didalam interstisial tidak mengandung protein.
b. Non elektrolit
Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-
partikel, terdiri dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.

Mekanisme Regulasi Tubuh


Ada dua mekanisme utama yang mengatur air tubuh yaitu pengaturan osmoler
dan pengaturan volume non osmoler. 1
a. Pengaturan osmoler
Sistem osmoreseptor ADH
Pada saat volume CES berkurang, osmolaritas meningkat, mengakibatkan
pelepasan impuls dari osmoreseptor di hipotalamus anterior yang merangsang
pituitari posterior untuk melepas ADH.Penurunan volume CES juga
merangsang pusat haus yang juga menstimulasi pelepasan ADH.ADH
mengakibatkan reabsorbsi Na dan air pada tubulus distal dan tubulus
kolektivus, sehingga menaikkan volume CES. Peningkatan volumen CES akan
memberikan umpan balik ke hipotalamus dan pusat haus sehingga volume CES
dipertahankan tetap

Sistem renin aldosteron


Saat volume CES berkurang, makula densa akan melepaskan renin yang
berperan dalam pembentukan angiotensin I. Dengan converting enzim

20
angiotensi I diubah menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor
kuat, menstimulasi kortek adrenal untuk mengeluarkan aldosteron, yang
mengakibatkan reabsorbsi air dan Na sehingga sirkulasi meningkat.
b. Pengaturan non osmoler
Semua respon hemodinamik akan mempengaruhi reflek kardiovaskuler, yang
juga akan mengatur volume cairan dan pengeluaran urin. Jika terjadi
hipovolemia, reflek intratorak, reflekreseptor presor ekstratorak dan respon
iskemik pusat akan mengaktifkan mekanisme hipotalamik dan sistem nervus
simpatis.

2.4 Terapi Cairan


2.4.1 Terapi Cairan Preoperatif
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan,
kehilangan cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk
kehilangan darah. Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan
elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang
terus berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari
kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel
berikut ini.2
Tabel 1. Estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan.2

Berat Kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam

Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg?


Jawab: 40+20+5=65 ml/jam
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan
akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini
dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya
puasa.Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam
atau 880 ml. ( Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari
konservasi ginjal). Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan

21
defisit preoperative. Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan diare
sering dihubungkan.

2.4.2 Penggantian Cairan Intraoperatif


Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan
penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan
intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan
jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan
kehilangan darah.Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya
pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua
prosedur yang lain Ringer Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan.
Idealnya, kehilangan darah harus digantikan dengan cairan kristaloid atau
koloid untuk memelihara volume cairan intravascular ( normovolemia) sampai
bahaya anemia berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan
darah dapat diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat
diberikan pada Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21-24%).2
Hb <7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport
Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan
penyakit yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi
mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus
menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira
3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan
perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.3

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Volume Darah


Usia Volume Darah
NEONATES
PREMATURE 95 ML/KG
FULL-TERM 85 ML/KG
INFANTS 80 ML/KG

ADULTS
MEN 75ML/KG
WOMAN 65 ML/KG

22
Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red
blood cell. Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif
dan dengan perkiraan volume darah ( Tabel 2). Pasien dengan hematocrit
normal biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari
volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien dan
prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk
penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai berikut2 :
- Estimasi volume darah dari Tabel 2.
- Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative
(RBCVpreop).
- Estimasi RBCV pada hematocrit 30% (RBCV30%), untuk menjaga
volume darah normal .
- Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika .hematocrit
30%; RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.
- Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

CONTOH
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif
35%.Berapa banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan
hematocritnya sampai 30%?
Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.
RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.
RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien
kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai
terjadi penurunan hematocrit hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini
diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,contoh pada
penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.

23
Tabel 3. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan
DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN PENAMBAHAN CAIRAN
MINIMAL (contoh hernioraphy) 0 – 2 ML/KG
SEDANG ( contoh cholecystectomy) 2 – 4 ML/KG
BERAT (contohreseksi usus) 4 – 8 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: ( 1) satu unit sel
darah merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3%
(pada orang dewasa); dan ( 2) 10mL/kg transfusi sel darah merah akan
meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%.
Menggantikan hilangnya cairan redistribusi dan evaporasi
kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat
manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma
jaringan.Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut Tabel 3,
berdasarkan pada apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat.2

2.4.3 Terapi Cairan Postoperasi


1. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap
kenaikan 1°Csuhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau
muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi
danhumidifikasi.
2. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10
gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut
oksigen.
3. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran,
diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

24
2. 5. Syok Hemoragik
2.5.1 Definisi
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang
biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif.5

2.5.2 Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik:7
 Terapi antitrombosis
 Koagulopati
 Perdarahan saluran pencernaan
o Varises esofagus
o Ulkus peptikum dan duodenum
o Ca gaster dan esofagus
 Obstetrik/ginekologi
o Plasenta previa
o Abruptio plasenta
o Ruptur kehamilan ektopik
o Ruptur kista ovarium
 Paru
o Emboli pulmonal
o Ca paru
o Penyakit paru yang berkavitas: TB, aspergillosis
 Ruptur aneurisma
 Perdarahan retroperitoneal
 Trauma
o Laserasi
o Luka tembus pada abdomen dan toraks
o Ruptur pembuluh darah besar

25
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai
akibatnya akan menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah
jantung menurun di bawah normal dan timbul syok.

2.5.3 Klasifikasi
Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of
Surgeon Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna
untuk memastikan tanda-tanda dini syok hemoragik.8
Tabel 2.1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi
Penderita Semula
Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan 750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml


darah (ml)
Kehilangan <15% 15-30 % 30-40 % >40%
darah (%)

Nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140

Tekanan darah >110 >100 >90 <90

Frekuensi 16 16-20 21-26 >26


pernapasan
(x/menit)

Produksi urin >30 11 – 30 5–7 Tidak berarti


(ml/jam)

Gejala pada Anxious Agiated Confused Lethargic


saraf pusat /
status mental
Penggantian Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
cairan (hukum darah darah
3:1)

26
2.5.4 Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan
nadi. Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium.
Dengan berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan
rangsang simpatis. Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi,
vasokonstriksi, dan penurunan distribusi aliran darah pada organ nonvital
seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal.7
Pada perdarahan, terjadi respon hormonal Corticotropin-releasing
hormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan
glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas
vasopressin, menyebabkan retensi air pada tubulus distal. Renin dilepaskan
oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon dari penurunan MAP (Mean
Arerial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung resoprsi
natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut
karena glukagon dan growth hormone meningkat pada gluconeogenesis dan
glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas
insulin secara relative sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.9
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi
peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis
metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi.Secara keseluruhan bagian
tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti kondisi
tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan
aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP. Ginjal juga
mentoleransi penuruunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan
pasokan aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme
vasokonstriksi dari splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian
resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu
akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.

2.5.5 Gejala klinis


Gejala klinis tunggal jarang ditemukan saat diagnosis syok ditegakkan.
Pasien bisa mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang

27
(gejala pecahnya aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci
tentang tipe, jumlah, dan lama perdarahan, karena pengambilan keputusan
untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah yang
hilang dan lamanya perdarahan. Untuk perdarahan pada saluran cerna sangatlah
penting dicari asal darah dari rectum atau dari mulut. Karena cukup sulit
menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna bagian bawah. Semua
darah segar yang keluar dari rectum harus diduga adanya perdarahan hebat
sampai dibuktikan sebaliknya.
Syok umumnya memberi gejala klinis seperti turunnya tanda vital tubuh:
hipotensi, takikardi, penurunan urin output, dan penurunan kesadaran.
Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh. Gejala
umum lainnya yang bisa timbul adalah kulit kering, pucat, dan dengan
diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi, dan tidak sadar. Pada fase awal
nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya, tekanan darah sistolik bisa saja
masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang
terdapat pada anemia kronik. Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk
melihat kemungkinan adanya darah. Auskultasi dan perkusi dada juga
dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala hemotoraks, suara nafas
akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan.7

2.5.6 Penatalaksanaan Syok Hemoragik


Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan perdarahan
dan menggantikan kehilangan volume darah.
1. Pemeriksaan jasmani
Hal penting yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin,
dan tingkat kesadaran.
 Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan
oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
 Circulation – kontrol perdarahan

28
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang
jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai
perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal)
biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat
perdarahan.
 Disability – pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan
tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motoric dan
sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti
perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.
 Exposure – pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwanya,
penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari
kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Pemakaian penghangat cairan,
maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal sangat
bermanfaat dalam mencegah hipotermia.
 Dilatasi lambung – dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya
pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia
jantung yang tak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardia dari
stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi lambung menyebabkan
terapi syok menjadi sulit. Pada pasien tidak sadar, distensi lambung
membesarkan risiko aspirasi isi lambung dan dapat menjadi suatu
komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan
dengan memasukkan NGT.
 Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau
produksi urin. Darah pada uretra atau prostat dengan letak tinggi, mudah
bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi
mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada konfirmasi
radiografis tentang uretra yang utuh.3

29
 Pengobatan dengan posisi kepala di bawah.
Dengan menempatkan penderita dengan kepala 5 inci lebih rendah
daripada kaki akan sangat membantu dalam meningkatkan alir balik vena
dan dengan demikian menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah
ini adalah tindakan pertama pengobatan berbagai macam syok.

Akses pembuluh darah


Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik
dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar sebelum
dipertimbangkan jalur vena sentral.Tempat yang terbaik untuk jalur intravena
bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembuluh darah lengan bawah.
Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer,
maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis, atau
subklavia dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik seldinger atau
melakukan vena seksi pada vena safena di kaki.3

Terapi awal cairan


Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan
patokan berat badan.Volume darah rata-rata pada orang dewasa kira-kira 7%
dari berat badan.Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan
berdasarkan berat badan ideal. Volume darah anak-anak dihitung 8% - 9%
dari berat badan (80-90 ml/kg).8
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume)
penderita.Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan
baik.Kehilangan 10%-30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih
cepat.Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk
sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan
yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-4 x
volume yang hilang.9
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang

30
interstitial dan intraseluler. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan
pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua karena berpotensi
menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik.
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai
bolus. Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada anak,
diberikan dalam 30-60 menit pertama. Jumlah cairan yang diperlukan untuk
resusitasi sukar diramalkan pada awal evaluasi penderita. Perhitungan kasar
untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut diperlukan adalah
mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid,
sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (“3 for 1
rule”). Namun lebih penting untuk menilai respon penderia kepada resusitasi
cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya
keluar urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.2,3
Tabel 2.2 Respon terhadap pemberian cairan awal
Respon cepat Respon sementara Tanpa respon

Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan Tetap abnormal


sementara, tekanan
darah dan nadi
kembali turun
Dugaan kehilangan Minimal (10% - Sedang, masih ada Berat (>40%)
darah 11%) (11% - 40%)
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera

Persiapan darah Tipe spesifik dan Tipe spesifik Emergensi


crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti

Kehadiran dini ahli Perlu Perlu Perlu


bedah

31
Jumlah produksi urin merupakan indicator yang cukup sensitive untuk
perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran
darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat
diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu pemantau utama
resusitasi dan respon penderita.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran
urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anakm dan 2
ml/kg/jam pada bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang atau makin
turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan
resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambah penggantian
volume dan usaha diagnostik.Bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik
(tekanan sistolik ≥100, nadi ≤100, perfusi hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus
harus dilambatkan dan biasanya transfuse tidak diperlukan. Bahaya infus
yang cepat adalah oedem paru, terutama pasien geriatri.Perhatian harus
ditunjukkan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.Namun jika
hemodinamik memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated blood loss), jika
membaik tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan koloid. Bila
hemodinamik tetap buruk, segera diberikan transfusi.10

Transfusi darah
Indikasi transfusi darah antara lain:
- Perdarahan akut sampai Hb <8 gr/dL atau Ht <30% pada orang tua,
kelainan paru, kelainan jantung, Hb <10 gr/dL.
- Bedah mayor kehilangan darah >11% volume darah.10
Pemberian darah tergantung respon penderita terhadap cairan. Tujuan
utama transfuse darah adalah memperbaiki oxygen-carrying capacity.
Perbaikan volume dapat dicapai dengan pemberian larutan kristaloid, yang
sekaligus akan memperbaiki volume interstitial dan intraseluler.
Darah yang baik digunakan adalah yang sepenuhnya crossmatched.
Namun proses crossmatching lengkap memerlukan sekitar 1 jam. Pengobatan
mencakup transfusi darah lengkap, apabila darah lengkap tidak tersedia,

32
plasma biasanya dapat menggantikan darah lengkap. Plasma tidak dapat
memulihkan hematokrit normal, tetapi manusia biasanya dapat bertahan pada
penurunan hematokrit sampai kira-kira sepertiga normal sebelum
menimbulkan akibat serius jika curah jantung mencukupi. Karena itu pada
keadaan akut cukup beralasan untuk menggunakan plasma dalam
menggantikan darah lengkap guna mengobati syok hemoragik.

Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ


a. Umum
Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan
untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon
penderita.Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi, dan denyut
nadi merupakan tanda positif yang menandakan perfusi sedang kembali
ke normal.Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi
informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada sistem saraf pusat dan
peredarah darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi,
tetapi kuantitas sukar ditentukan.8
b. Khusus
- Capillary refill time <2 detik
- MAP 65-70 mmHg
- Saturasi O2 >95%
- Urine output ?0,5 ml/kg/jam (dewasa); >1 ml/kg/jam (anak)
- Syok indeks = HR/SBP (normal 0,5-0,7)

Jenis cairan intravena


a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang
cocok.Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi,
tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara
darah donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi deficit
cairan ekstraseluler (ECF). Bila darah golongan yang sesuai tidak

33
tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer
anti A rendah (Rh negatif) atau packed red cell-O.
b. Plasma Expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran,
gelatin, HES) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal
elbih lama di intravaskular.Namun deficit ECF tidak dapat dikoreksi oleh
pasma expander.Dari segi harga juga jauh lebih mahal dibandingkan
dengan Ringer Laktat.Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pemberian
dextran atau gelatin.
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif
yang baik dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal
dibandingkan dengan Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect
yang sama.
d. Ringer Laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini mirip komposisinya dengan ECF.Meskipun pemberian
infus diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga
setelah cairan interstitial penuh. Cairan lain seperti dextrose dan NaCl
0,45% tidak dapat digunakan.
Cairan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau
dextrose, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu
singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume
yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang
hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 11-30 menit.
Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstitial berlangsung
selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam
sebagai urin. Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan
volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok
hipovolemik.Keuntungannya yaitu mudah tersedia, murah, mudah
dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek

34
samping.Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut
dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia, atau alkalosis
metabolik.Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan
cairan eksraseluler.RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besasr
kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombusio, dan sindrom syok.NaCl 0,45% dalam larutan
Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensible.

Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantung, pada
proses metabolisme, atau pada paru.
a. Dekompensasi jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary
Wedge Pressure).Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil,
kecuali pada jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian
koloid dapat mengalami kenaikan PCWP 50% yang potensial akan
mengalami dekompensasi jantung.10
b. Edema paru
Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia.Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan
onkotik. Batasan aman kadar albumin terendah yang masih aman adalah
2,5 mg%. apabila albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 11-
25% dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan
menaikkan kadar 0,25-0,5 mg%.10
Jika terjadi edema paru, berika furosemide 1-2 mg/kgBB. Gejala
sesak napas akan berkurang setelah urin keluar 1-2 L. Lakukan
digitalisasi atau berikan dopamine drip 5-10 µg/kgBB/menit. Sebagai
terapi simptomatik berikan oksigen.10
c. Asidosis asam laktat

35
Pemberian Ringer Laktat tidak dapat menambah buruk asidosis
asam laktat karena syok.Asam laktat diubah hepar menjadi bikarbonat
yang menetralisir asidosis metabolik pada syok.Perbaikan sirkulasi akibat
pemberian volume justru menurunkan laktat darah karena perbaikan
transport oksigen ke jaringan, metabolism aerobic bertambah.
d. Gangguan hemostasis
Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi
sudah mencapai 1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah
trombosit, pemberian Fresh Frozen Plasma tidak berguna karena tidak
mengandung trombosit, sedangkat faktor V dan VIII dibutuhkan dalam
jumlah sedikit.Trombosit dapat diberikan sebagai fresh blood, platelet
rich plasma, atau thrombocyte concentrate dengan masa simpan kurang
dari 6 jam pada suhu 4oC. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan
jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.10

36
BAB IV
ANALISIS MASALAH

Dari anamnesis didapatkan Ny. M, 48 tahun, dengan G10P9A0 datang


ke bidan dengan keluhan keluar darah dari kemaluan, lendir(+) sejak 20 jam SMRS.
Rasa ingin mengejan ada, demam tidak ada, kejang tidak ada. Pasien kemudian
berobat ke bidan dan dikatakan sudah mengalami pembukaan. Setelah di pantau,
pasien dikatakan mengalami kala 1 memanjang. Pasien kemudian dirujuk ke RSUD
Kayuagung. Di RSUD Kayuagung pasien direncanakan operasi caesar.
Pasien datang dalam keadaan compos mentis.Dari pemeriksaan didapatkan
keadaan umum tampak sakit sedang, GCS 15(E4M6V5), BB= 50 Kg dan tinggi badan
155 cm. Vital sign, Nadi=90x/m isi dan tegangan cukup, RR 22 x/m, TD 110/70
mmHg dan temperature 36,70C. Pada pemeriksaan spesifik tidak didapatkan
kelainan. Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan, tampak cembung, striae
gravidarum (+), linea nigra (+).
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb: 9,5 g/dl, Ht: 29%, Eritrosit: 3,8
juta/mm3,Trombosit: 299.000 mm3, Leukosit: 13.800.
Pada saat intraoperatif, pasien mengalami perdarahan sekitar 1000cc (30-40%
dari total volume darah) diduga suspek atonia uteri. Berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik diambil kesimpulan bahwa pasien mengalami syok hemoragik
derajat III ec suspek atonia uteri.

Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan 750 ml 750-1500 ml 1500-2000 ml >2000 ml


darah (ml)
Kehilangan <15% 15-30 % 30-40 % >40%
darah (%)

Nadi (x/menit) <100 >100 >120 >140

Tekanan darah >110 >100 >90 <90

37
Frekuensi 16 16-20 21-26 >26
pernapasan
(x/menit)

Produksi urin >30 11 – 30 5–7 Tidak berarti


(ml/jam)

Gejala pada Anxious Agitated Confused Lethargic


saraf pusat /
status mental
Penggantian Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid, Kristaloid,
cairan (hukum koloid koloid, dan koloid, dan
3:1) darah darah

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam tabel, perkiraan kehilangan cairan dan


darah berdasarkan presentasi penderita adalah perdarahan kelas III dengan estimasi
kehilangan sebesar 30-40% dari total volume darah. Sementara untuk perubahan
konsumsi oksigen yang dibutuhkan oleh pasien dapat dilihat dari diagram sebagai
berikut,

38
Dapat dilihat dari diagram bahwa terjadi peningkatan konsumsi oksigen pada
perdarahan tingkat III dan terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai
ATP dimana kebutuhan lebih tinggi dari produksi ATP tubuh pasien.
Perdarahan akut yang terjadi pada pasien disebabkan oleh atonia uteri yang
menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan nadi. Perubahan ini
dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan berkurangnya
volume darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis. Reaksi ini
menimbulkan peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan distribusi
aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal.
Langkah awal yang dilakukan adalah melakukan survey primer terhadap
pasien (C-A-B).Dimulai dengan C (circulation) dimana syok yang terjadi pada
pasien merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh perdarahan akibat atonia uteri.
Pemasangan 2 jalur intravena ukuran besar.Tempat yang terbaik untuk jalur
intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembuluh darah lengan
bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer,
maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis, atau
subklavia dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik seldinger atau
melakukan vena seksi pada vena safena di kaki. Untuk mengetahui jumlah volume
darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan.Volume darah rata-rata
pada orang dewasa kira-kira 60% dari berat badan.Bila penderita gemuk maka
volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan ideal.
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini
mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular
dengan cara menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial dan
intraseluler. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. Pada saat awal,
cairan diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1-2 liter pada
dewasa, diberikan dalam 30-60 menit pertama.
Untuk mencegah komplikasi akibat pemberian cairan kristaloid yang
berlebihan dapat juga diberikan cairan koloid dan darah dengan jumlah pemberian
sama dengan jumlah darah yang hilang. Dalam hal ini, pasien mengalami syok
hemoragik derajat IV dengan estimasi jumlah kehilangan darah adalah 2200 cc. Pada

39
pasien diberikan kristaloid 1 liter selama 1 jam dilanjutkan dengan pemberian
transfusi PRC 2x 300 cc.
Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ yaitu:
Umum
Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon
penderita.Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi, dan denyut nadi
merupakan tanda positif yang menandakan perfusi sedang kembali ke
normal.Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi informasi
tentang perfusi organ.Perbaikan pada sistem saraf pusat dan peredarah darah
kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kuantitas
sukar ditentukan.
Khusus
- Capillary refill time <2 detik
- MAP 65-70 mmHg
- Saturasi O2 >95%
- Urine output 0,5 ml/kg/jam (dewasa); >1 ml/kg/jam (anak)
- Syok indeks = HR/SBP (normal 0,5-0,7)

Respon cepat Respon sementara Tanpa respon


Tanda vital Kembali ke normal Perbaikan Tetap abnormal
sementara, tekanan
darah dan nadi
kembali turun
Dugaan Minimal (10 -11%) Sedang, masih ada Berat (>40%)
kehilangan darah (11%-40%)
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Tipe spesifik dan Tipe spesifik Emergensi
crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini Perlu Perlu Perlu
ahli bedah

40
Penilaian dilanjutkan dengan A (airway) dan B (breathing). Pada pasien tidak
didapatkan gangguan pada pernafasan. Terapi yang diberikan kepada pasien berupa
pemberian oksigen nasal kanul 2L/m.
Penilaian dilanjutkan dengan D (dissability) yaitu dilakukan pemeriksaan
neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi
otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.
Penilaian dilanjutkan dengan E (exposure), pada tahap ini dilakukan
pemeriksaan secara menyeluruh dan cepat untuk melihat sumber perdarahan lain atau
jejas yang terdapat pada penderita, setelah itu dilakukan tindakan pencegahan
hipotermi pada penderita dengan cara mengatur suhu ruangan, menyingkirkan kain-
kain yang basah dan menyelimuti pasien. Langkah selanjutnya adalah perencanaan
untuk mengeluarkan janin dan memperbaiki rupture.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 2008.

2. Morgan GE. 2013. Clinical Anesthesiology: 5th Edition. McGrawHill


Education.

3. Snell RS. 2010. Clinical neuroanatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters


Kluwer Health.

4. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. 2007. Texbook of anaesthesia. 5th


edition. United Kingdom: Churchill livingstone Elsevier.

5. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M. Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: 1106

6. Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

7. Gutierrez G, Reines HD, Wulf-Gutierrez ME. Clinical review: Hemorrhagic


shock. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1065003/. Accessed on 05
November 2018.

8. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma


Life Supports for Doctors. United States of America; 1104.

9. Udeani J. Hemorrhagic shock. Available from


http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview#a0104. Accessed 05
November 2018.

10. Wirjoatmodjo, Karjadi. Anestesiologi dan reanimasi modul dasar untuk


pendidikan S1 kedokteran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional; 1100.

11. Wiknjosastro, Hanifa, Abdul Bari Saifudin, Triatmojo Rachimhadhi. 2002.


Ilmu Kebidanan.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiharjo. Jakarta.

42

You might also like