Professional Documents
Culture Documents
Definisi tersebut membuat khalayak lupa bahwa sebuah berita sebenarnya dibuat untuk
“…… News should not be merely concerned with reporting such and such
for a fact or event, it must pursue a definite purpose …. It should not simply
report all fact and just any events …” (Kusumaningrat & Kusumaningrat,
2012, h. 32).
Dengan adanya tujuan dari pembuatan berita maka berita tersebut tidak lagi murni
pelaporan apa yang ada di lapangan. Tujuan dari pembuatan berita tersebut secara
umum dapat dilihat dari siapa pemilik media massa dan apa visi-misi pada media massa
Tidak semua berita dapat menarik perhatian khalayak. Zaman dahulu berita
dianggap sebagai sesuatu yang baru. Dengan demikian, semua berita akan menarik
perhatian bila informasi yang dijadikan berita tersebut merupakan sesuatu yang baru
(Mondry, 2008, h. 134). Tetapi kini kemenarikan berita dinilai dari beberapa hal yang
disebut dengan nilai berita (news value). Secara umum berita dianggap bernilai jika
sesuatu yang berdiri sendiri. Ada agen-agen yang membentuk nilai berita. Nilai berita
disebut sebagai prosedur standar peristiwa apa yang layak disebarkan kepada khalayak
(Eriyanto, 2011, h. 123). Dengan kata lain, nilai berita merupakan konstruksi dari
Pendefinisian berita sebagai sebuah laporan dari suatu peristiwa membuat berita-
berita yang muncul di media massa manapun biasa dianggap oleh khalayak sebagai
cerminan dari realitas yang ada (mirror of reality). Namun, pandangan konstruksionis
justru melihat bahwa “The importance of this early work on routines, in sum, rests
mirror of that reality” (Becker & Vlad, 2009, h. 59). Pendapat tersebut dikarinakan
menurut pandangan konstruksionis, berita adalah hasil konstruksi sosial yang selalu
melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media (Eriyanto,
2011, h. 29). Dengan demikian tidak mungkin suatu berita mencerminkan keadaan yang
ada secara utuh. Seperti pada pemberitaan tentang Korea Utara yang pada penelitian
kali ini, wartawan tidak hanya akan memberitakan tentang apa yang dilakukan oleh
Korea Utara secara utuh saja, tetapi akan meminta pendapat beberapa pakar dan juga
beradu “kekuatan” pihak-pihak yang terkait pada suatu peristiwa. Berita bukan
menggambarkan realitas, melainkan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak
yang berkaitan dengan peristiwa tersebut (Eriyanto, 2011, h. 28). Hal serupa juga terjadi
pada berita-berita yang diteliti pada penelitian kali ini. Perang argumen dan pendapat
yang dilakukan Korea Utara, baik dalam hal uji coba nuklir hingga pernyataan perang
Berita yang dianggap ideal adalah berita yang bebas dari opini wartawan yang
pembuat berita. Pandangan konstruksionis menilai bahwa berita tidak lepas dari opini
karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif
(Eriyanto, 2011, h. 31). Wartawan dalam melihat sebuah fakta akan menafsirkan fakta
“ideologies control more specific group attitudes and how personal mental
models of journalists about news events control activities of news making,
such as assignments, news gathering, interviews, news writing, editing and
final make up” (Dijk, 2009, h. 195).
Sehingga Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan berita suatu peristiwa yang sama.
Fenomena ini merupakan hal yang wajar karena adanya perbedaan nilai-nilai yang
massa. Pembuatan konstruksi berita tidak hanya dipengaruhi oleh faktor psikologi
wartawan tetapi juga organisasi, dan politik media massa (Entman, Matthes, &
Pellicano, 2009, h. 175). Shoemaker dan Reese (1996) menjelaskan tentang hal-hal
yang mempengaruhi isi dari media massa. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor
individu pekerja media, faktor rutinitas media, faktor organisasi media, faktor eksternal
yang membentuk isi dari media massa. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi isi
propaganda. Hal ini dikarenakan dalam sebuah pemberitaan konflik pemerintah akan
mengatur arus informasi yang beredar ke media massa (Tumber, 2004). Hallin (1986)
menyebutkan bahwa apa yang dikatakan oleh media massa Amerika mengenai perang
Vietnam mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh para elit politik
saat itu. Pembatasan informasi ini membuat media massa lokal harus mengambil berita
dari agensi-agensi berita ataupun kantor berita milik pemerintah dari negara yang
berkonflik.
dipatuhi, maka berita-berita konflik internasional tidak langsung disajikan apa adanya
perspektif nasional atau yang biasa disebut dengan domestication of news diperlukan
karena target pasar setiap media massa berbeda karakteristik di setiap negara
dilakukan dengan tiga cara yaitu ; menggunakan sudut pandang aktor yang berbeda,
menggunakan sudut pandang tema yang berbeda, dan juga menggunakan strategi
komunikasi yang berbeda. Oleh karena itu pemberitaan tentang sebuah kejadian
pada format standar berita yang diakui dunia internasional seperti kelengkapan unsur
5W+1H, dan cover both side. Standardisasi ini yang akan membuat karakteristik
pemberitaan dapat dikatakan layak untuk dibaca oleh khalayak internasional.
Sedangkan konsep diferensiasi mengacu pada sudut pandang (point of view) berita.
pandang menjadi sudut pandang lokal, sehingga membuat bingkai berita menjadi
Pendapat diatas dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Dimitrova, Kaid,
Williams, dan Trammell (2005), yang menemukan adanya perbedaan ekstrim antara
berita media nasional Amerika dengan media massa Internasional lainnya terkait
dengan perang Iraq. Media massa Amerika lebih banyak memberitakan tentang
menekankan pada isu perang dan tanggung jawab yang harus Amerika berikan akibat
perang tersebut.
harus merupakan ide-ide besar, cara pandang mengenai suatu fakta juga termasuk
dalam ideologi. Peran pemberitaan media massa dalam ideologi adalah sebagai
mekanisme integrasi sosial untuk menjaga nilai-nilai kelompok (Eriyanto, 2011, h. 145).
Dengan demikian ideologi yang dianut oleh media massa akan sejalan dengan ideologi
Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini justru media massa sering
panduan pelaksanaan PSO (Public Service Obligation) bidang Pers LKBN Antara 2013,
1
Freddy H. Tulung adalah Direktur Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia.
berdasarkan kepentingannya. Kepentingan media massa dapat dilihar dari tujuan media
massa tersebut didirikan. Shoemaker & Resse (1996, h. 139) mengatakan bahwa ketika
media massa dimiliki oleh swasta, maka pemilik akan berorientasi kepada keuntungan
secara ekonomi. Sehingga, idologi kapitalis akan menjadi cara pandang kebanyakan
media massa (Wazis, 2012, h. 5). Fenomena kapitalisasi media massa di Indonesia
terlihat dari adanya beberapa media massa yang dimiliki oleh kelompok-kelompok
tertentu. Sebagai contoh, MNC Grup yang membawahi RCTI, Global TV, Koran Sindo,
dan portal berita koran-sindo.com. Contoh lain adalah Media Indonesia Grup yang
pemberitaan dibagi kedalam tiga peta ideologi yakni sphare of consensus, Sphere of
Legitimate Controversy, dan Sphere of Deviance. Peta ideologi ini akan membantu
Sphare of Consensus
Sphare of Legitimate
Controversy
Sphare of Deviance
Menurut Jhon Hartley (Eriyanto, 2011, h. 154), berita hampir mirip seperti novel
atau fiksi yang menampilkan tokoh dua sisi untuk dipertentangkan. Disinilah pengaruh
ideologi akan tampak dalam pemberitaan. Seperti yang telah diketahui secara umum
bahwa dalam sebuah peliputan berita yang baik akan dicari dua pendapat yang bertolak
belakang dari sebuah fenomena agar berimbang. Narasi sebuah berita yang dibuat oleh
wartawan dan media massa akan menampilkan kedua sisi tersebut bukan untuk
menunjukan kedua pendapat tersebut sama benarnya, namun untuk menekankan liputan
pada dua sisi tersebut (Eriyanto, 2011, h. 155). Sisi mana yang akan lebih ditekankan
pada sebuah berita tergantung ideologi yang ada pada media massa tersebut.
Untuk lingkup yang lebih mikro, konstruksi pemberitaan dapat dilakukan pada
ranah struktur dan kelengkapan berita. Sebuah berita memiliki struktur dan
kelengkapan berita yang harus dipenuhi sehingga berita tersebut layak disebar luaskan
berita dapat dilihat dari kelengkapan 5W + 1H atau what, where, when, who, why, dan
how. Abdul Chaer (2010) menyebudkan bahwa struktur berita terutama pada staight
news terdiri dari headline, lead, isi, dan penutup. Namun yang perlu diingat adalah
bahwa struktur dari sebuah berita sangatlah dipengaruhi oleh ideologi (Dijk, 2009, h.
199). Sehingga kelengkapan informasi dan struktur berita menjadi alat dalam
Konstruksi pada berita tidak hanya terjadi pada tulisan, tetapi juga pada foto. Foto
merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah berita. Foto dalam sebuah
melainkan hasil konstruksi realitas. Hal ini menurut Goldstain (2007, h. 65)
dikarenakan lensa kamera tidak akan pernah menyamai mata manusia. Sehingga,
walaupun foto yang dihasilkan adalah potret realitas tetaplah representasi berbentuk
dua dimensi.
Foto dalam dunia jurnalistik hadir untuk memenuhi unsur objektifitas sebuah
berita. Namun sampai saat ini, objektivitas sebuah foto masih belum mampu
mengungkapkan peristiwa secara utuh. Hal ini terjadi ketika sebuah peristiwa diambil
dengan angle dan pengeditan yang berbeda oleh wartawan. Perbedaan dalam
pengambilan angle akan menyebabkan perbedaan makna dari sebuah foto bahkan dapat
untuk membentuk persepsi masyarakat mengenai suatu foto. Goldstein (2011, h. 72),
menyebutkan bahwa ada dua jenis pengeditan foto jurnalistik yaitu pengeditan temporal
dan pengeditan spasial. Pengeditan dalam fotojurnalistik merupakan hal yang wajar dan
diperbolehkan selama tidak berlibihan dan membelokan makna dari foto tersebut
(Wijaya, 2011). Selama pengeditan hanya ditujukan untuk menonjolkan sisi tertentu,
masyarakat.
Hubungan foto jurnalistik dengan penelitian ini adalah karena foto dan berita
merupakan satu kesatuan teks. Sehingga, jika ingin meneliti mengenai konstruksi
pemberitaan, maka foto pada berita merupakan bagian yang juga harus diteliti. Selain
itu, foto dalam berita bukan hanya sebagai penghias atau tambahan dari sebuah berita,
tetapi juga sebagai alat untuk menekankan arti tertentu kepada pembaca (Eriyanto,
2011).
3. Agenda Setting
Media massa dalam membuat pemberitaan akan membingkai berita tersebut
dalam suatu narasi. Namun pembikaian berita sebenarnya sudah dimulai pada tahap
sebelum terjadinya liputan atau bisa disebut dengan agenda setting. McQuail (2000, h.
kebenaran (Tamburaka, 2012, h.22). Hal ini karena media massa memiliki kemampuan
dalam mengatur arus informasi kepada khalayak, sehingga apa yang menjadi agenda
dua level dalam agenda setting. Level pertama menjelaskan tentang penyampaian
tentang objek yang dianggap penting kepada khalayak. Sedangkan level kedua
menjelaskan tentang menonjolkan (salience) hal yang dianggap penting dari atribut-
atribut yang ada dalam objek tersebut. Level kedua ini menurut Griffin selaras dengan
konsep framing. Dengan kata lain, Coleman, McCombs, Shaw, dan Weaver (2009, h.
150) mengatakan bahwa, pada level pertama agenda setting mengkaji apa yang
disajikan media menjadi sentral atensi publik. Sedangkan pada level kedua mengkaji
dilakukan oleh Sung-Yeon Park, Kyle J. Holody and Xiaoqun Zhang pada tahun 2012
yang meneliti tentang pemberitaan penembakan di kampus Virginia Tech (VT) yang
terjadi pada tahun 2007. Penelitian tersebut memakai teori framing dan atribut agenda
setting untuk membahas pemberitaan pada tiga media massa yang berbeda.. Selain pada
penelitian tersebut, keterkaitan antara agenda setting dengan framing digambarkan oleh
Griffin (2004, h. 398) menyatakan bahwa “ the media may not only tell us what to think
about, they also may tell us how and what to think about it”.
Pemahaman tentang Agenda setting menjadi penting dalam penelitian ini karena
media massa dalam pemberitaan dilakukan proses agenda setting terlebih dahulu
sebelum membentuk frame pada pemberitaan. Namun, penelitian kali ini tidak akan
4. Konsep Framing
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai konsep framing peneliti akan
menjelaskan perbedaan antara fame dan framing. Frame dipahami sebagai pengulangan
dengan menggunakan kata-kata dan simbol-simbol yang serupa dan identik mengenai
suatu objek (Entman, Matthes, & Pelicano, 2009, h. 177). Frame dilakukan dengan
dimunculkan oleh media massa) dan “frame-setting” (frame yang cenderung muncul di
sebuah realitas. Pada tahap frame building, pembentukan realitas akan dipengaruhi oleh
faktor-faktor pekerja media, rutinitas media, organisasi media, eksternal media, dan
ideologi (Shoemaker & Resse, 1996). Frame-Building akan sampai pada menghasilkan
produk media massa. Dalam hal penelitian ini, produk media massa yang dimaksud
Saat cara pandang media massa mengenai suatu realitas telah dituangkan dalam
bentuk produk media massa, maka produk tersebut akan terbagi menjadi dua frame
yaitu, issues specific frame dan generic frame (de Veerse, 2004, h. 54). Issues specific
frame hanya dilakukan dengan mengerucutkan berita hanya pada topik atau isu tertentu
(Entman, Matthes, & Pelicano, 2009, h. 176). Dengan kata lain, isu yang berbeda akan
memiliki frame yang berbeda pula. Penelitian mengenai frame jenis ini pernah
dilakukan oleh Kostadinova & Dimitrova (2012) yang menjelaskan framing pada berita
ekonomi pada negara pos-komunis Bulgaria. Serta penelitan yang dilakukan oleh
Elmasry, M.H., Shamy A.El., Manning, P., Mills, A., & Auter, P.J. (2013) yang
Generic frame merupakan cara pemberitaan media yang tidak terbatas pada topik
atau isu yang spesifik. Generic frame dibagi menjadi episodik dan tematik (Entman,
Matthes, & Pelicano, 2009, h. 176). Episodik digunakan ketika isu-isu terkait pada satu
objek. Penelitian mengenai jenis ini pernah dilakukan oleh Marland (2012) yang
menjelaskan tentang framing pada foto politik dan visual management yang dilakukan
oleh Perdana Mentri Kanada. Sedangkan tematik digunakan ketika penelitian memiliki
tema yang terdiri dari beberapa isu dan tidak terbatas pada pembatas-pembatas tertentu.
Penelitian untuk jenis ini tematik pernah dilakukan oleh Dimitrova, D.V., Kaid, L.L.,
Williams, A.P., & Trammell, K.D. (2005) yang meneliti tentang pemberitaan konflik
di Iraq oleh 246 portal berita internasional di internet. Untuk melijelaskan lebih lanjut
Frame-Building Frame-Setting
Sumber: de Verse (2005, h. 51), News framing: Theory and typology dalam Information Design
realitas tertentu, penonjolan aspek tertentu, penyajian sisi tertentu, dan pemilihan fakta
tertentu. Dengan melakukan framing seperti ini, maka hasil konstruksi realitas yang
dilakukan oleh media massa akan menimbulkan efek. Efek dari framing adalah
menciptakan opini dalam diri khalayak. James Druckman (Entman, Matthes, &
Pellicano, 2009, h. 181) menjelaskan bahwa efek dari framing adalah gabungan atas
akan menjadi hal yang lebih dominan. Hal ini karena konstruksi dari media massa yang
framing. Hal ini karena analisis framing berangkat dari paradigma kualitatif yang
dideskripsikan secara mendalam dengan sedikit atau tanpa kuantifikasi (Entman,
Matthes, & Pellicano, 2009, h. 180). Oleh karena itu, yang dianalisis pada analisis
framing adalah murni teks dari suatu produk media massa, dalam hal penelitian ini
adalah berita. Sehingga menurut Entman (1993), setiap peneliti yang menggunakan
penelitian dengan analisis framing harus membuat matriks untuk setiap teks berita, dan
Untuk menganalisis sebuah teks dengan analisis framing bisa digunakan dengan
banyak pendekatan seperti visual framing, valence framing, generic framing, issue-
Indonesia biasa dipakai empat model framing. Eriyanto (2011) menyebutkan keempat
model tersebut adalah model dari Murray Edleman yang menekankan tentang
kategosrisasi. Model Robert M. Entman yang menekankan kepada seleksi isu dan
penonjolan aspek. Model William A Gamson yang menekankan kepada kemasan berita.
Serta model Pan dan Kosicki yang menekankan kepada konsepsi psikologis dan
Artikel Online :
Burhandi, R. (2013). Korea Utara konfirmasi lakukan uji coba nuklir. Antaranews.com. dikases
dari http://www.antaranews.com/berita/358009/korea-utara-konfirmasi-lakukan-
uji-coba-nuklir
D’Angelo, P. (2002). News framing as a mulitiparadigmatic research program: A response to
Entman. Journal of Communication 52(4), 870-888. Diakses pada Maret 2014, dari
http://mmc.twitbookclub.org/MMC910/Readings/Week%2007/News%20framing.p
df
Saputra, D. (2012). Korea Utara luncurkan roket jarak jauh. Antaranews.com. Diakses dari
http://www.antaranews.com/berita/348147/korea-utara-luncurkan-roket-jarak-jauh
Sujoko, A. (2013). Diversity of Media=Diversity of Content?. Diakses pada April 2014, dari
http://goliveindonesia.wordpress.com/2013/04/22/diversity-of-mediadiversity-of-
content/