You are on page 1of 26

PRESENTASI KASUS KECIL

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

Pembimbing:
dr. Yunanto Dwi Nugroho Sp.PD

Disusun oleh:
Ahmad Albera Praditama G4A015011
Ning Maunah G4A015012

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2015
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti ujian pada Program Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.

Disusun oleh:
Ahmad Albera Praditama G4A015011
Ning Maunah G4A015012

Pada tanggal, November 2015


Mengetahui,
Pembimbing,

dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp.PD


I. STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. D. L.
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Wiraswasta
Tanggal masuk RS : 9 Oktober 2015
Tanggal periksa : 10 Oktober 2015

B. Anamnesis
1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan utama : demam
b. Onset : lima hari sebelum masuk rumah sakit
c. Kualitas : demam tidak menggigil dan mengganggu aktivitas
d. Kuantitas : sepanjang hari
e. Faktor memperberat :-
f. Faktor memperingan :-
g. Keluhan penyerta : BAB hitam, lemas, sakit kepala, dan pegal pada
kedua tangan
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
3. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di daerah padat penduduk. Hubungan pasien dengan
tetangga baik. Pasien tinggal jauh dengan keluarganya. Di lingkungan
pasien ada beberapa tetangga yang mengeluh sakit serupa.
b. Personal
Pasien merupakan pegawai wiraswasta. Saat ini pasien tinggal sendiri
di rumah kontrakan.
c. Diet
Pasien makan 3 kali sehari dengan makanan seadanya di rumah, sering
membeli lauk dari luar rumah karena tidak sempat memasak sendiri.
Tidak ada program diet khusus yang pasien ikuti selama ini.
d. Drugs
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan rutin kecuali yang didapatkan
selama mendapatkan perawatan dari dokter spesialis penyakit dalam.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 80/60 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Laju pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37 oC
4. Status Generalis
Kepala : VT -/-
Mata : CA -/- SI -/- Eksoftalmus -/- Retraksi -/-
Hidung : NCH -/- discharge -/-
Mulut : bibir sianosis (-) lidah sianosis (-)
Leher : deviasi trakea (-) JVP 5+2 cmH20
5. Status Lokalis
Pulmo/ Inspeksi : hemithorax dextra=sinistra, ketinggalan
gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus simetris pada apex dan basal
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
batas paru hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler pada seluruh lapang
paru, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor/ Inspeksi : terlihat ictus cordis di SIC V LMCS
pulsasi parasternal (-), pulsasi epigastrik(-)
Palpasi : teraba ictus cordis di SIC V LMCS, kuat
angkat
Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II LPSD
kiri atas SIC II LPSS
kanan bawah SIC IV LPSD
kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen/ Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) Normal
Perkusi : timpani pada hampir seluruh lapang perut,
pekak sisi (-) pekak alih (-)
Palpasi : supel, undulasi (-), nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba besar
Lien : tidak teraba besar
Ekstremitas/ tidak ada edema maupun sianosis pada keempat ekstremitas
akral hangat, telapak tangan lembab dan basah. Ptekie +
pada regio humerus dextra, rumple leed +
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Tanggal 9 Oktober 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hb 15,7 gr/dL 14-18
Leukosit 5520 /ul 4800-10800
Hematokrit 44 % 42-52
Eritrosit 5,4 106/ul 4,7-6,1
Trombosit 85000 /ul 150rb-450rb
MCV 82,2 fL 79-99
MCH 29,1 Pg 27-31
MCHC 35,4 % 33-37
RDW 13,0 % 11,5-14,5
MPV 12,0 fL 7,2-11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,7 % 0-1
Eosinofil 0,5 % 2-4
Batang 1,3 % 2-5
Segmen 29,0 % 40-70
Limfosit 56,7 % 25-40
Monosit 11,8 % 2-8
Seroimunologi
IgG antiDHF - negatif
IgM antiDHF + positif
E. Diagnosa
Demam Dengue dengan Trombositopenia
F. Tatalaksana
Medika mentosa : IVFD RL 5000 cc 30 tpm
Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
PO. PCT 3 x 500 mg tab
Non Medika mentosa : Observasi tanda-tanda perdarahan
Motivasi pasien untuk banyak minum
Monitoring : Keadaan umum dan vital sign
Pemeriksaan darah lengkap serial
G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.
DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
Infeksi virus dengue ini menimbulkan berbagai manifestasi klinis yang
berbeda-beda sehingga infeksi virus dengue dibagi dalam beberapa jenis
seperti di bawah ini (WHO, 2011) :
1. Sindrom Infeksi Virus
2. Demam Berdarah
3. Demam Berdarah Dengue
4. Expanded Dengue Syndrome
B. Etiologi
Infeksi virus dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe
akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe
virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan
dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe
yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat.
Gambar 1. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

C. Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi
virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang
lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang
kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue
pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada
manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina
dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun
perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk
dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat
menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk
hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.
D. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18,
seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan
Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal
sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang
disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian
karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan
nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus
dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak
pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus
dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara
lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968
penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah
kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu :
1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis
4) Peningkatan sarana transportasi.
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai
faktor antara lain :
1) Status imunitas pejamu
2) Kepadatan vektor nyamuk
3) Transmisi virus dengue
4) Keganasan (virulensi) virus dengue
5) Kondisi geografis setempat
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di
Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD
telah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia dan 200 kota telah
melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari
0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27
per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi
oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan
kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak
sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda
untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi
mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat
pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.
E. Patomekanisme
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam
sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing
dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi
kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya
tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan
timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit
menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary
heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/DSS.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain
yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai Antibody Dependent
Enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary
heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 2 yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik
yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG
anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks
antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke
ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48
jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir
fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah
kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus
dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan
virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah
yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis
dan laboratoris.
Gambar 2. Patogenesis terjadinya syok

Gambar 3. Patogenesis terjadinya perdarahan

F. Penegakan Diagnosis
a. Undifferentiated Fever (Sindrom Infeksi Virus)
Pada undifferentiated fever, gejala yang bisa ditemukan adalah sebagai
berikut :
1) Demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan penyebab
virus lain.
2) Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul saat
demam reda.
3) Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.
b. Demam Dengue (DD)
1) Anamnesis
a) Demam mendadak tinggi
b) Nyeri kepala
c) Nyeri otot & sendi/tulang
d) Nyeri retroorbital
e) Photophobia
f) Nyeri pada punggung
g) Facial flushed
h) Lesu
i) Tidak mau makan
j) Konstipasi
k) Nyeri perut
l) Nyeri tenggorok
2) Pemeriksaan fisik
a) Demam: 39-40°C berakhir 5-7 hari
b) Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka
kemerahan), leher, dan dada
c) Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit
makulopapular/rubeolliform
d) Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki
bagian dorsal, lengan atas, dan tangan
e) Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang
pucat pada kulit yg normal dapat disertai rasa gatal
f) Manifestasi perdarahan
- Uji bendung positif dan/atau petekie
- Mimisan hebat
- Menstruasi yang lebih banyak
- Perdarahan saluran cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada
DD dengan trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase
demam, kritis, dan masa penyembuhan.
1) Fase demam
Anamnesis
a) Demam tinggi 2-7 hari dapat mencapai 40°C
b) Facial flush
c) Muntah
d) Nyeri kepala
e) Nyeri otot dan sendi
f) Nyeri tenggorok dengan faring hiperemis
g) Nyeri di bawah lengkung iga kanan
h) Nyeri perut
Pemeriksaan fisik
a) Manifestasi perdarahan
- Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan
manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase
demam awal
- Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur
vena
- Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak
- Epistaksis
- Perdarahan gusi
- Perdarahan saluran cerna
- Hematuria (jarang)
- Menorrhagia
b) Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan
kelainan fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan
pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang
tidak normal, perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan
rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan
ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal
terjadi selama 24-48 jam.
2) Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal
pada masa transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase
time of fever defervescence) ditandai dengan :
a) Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar
b) Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema
pada dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right
lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi
perembesan plasma tersebut
c) Terjadi penurunan kadar albumin >0.5 g/dL dari nilai dasar/3
detik).
d) Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
e) Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia,
ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel organ, dan
perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.
3) Fase penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan
nafsu makan kembali yang merupakan indikasi untuk
menghentikan cairan pengganti. Gejala umum yang dapat
ditemukan adalah sinus bradikardia/aritmia dan karakteristik
confluent petechial rash seperti pada DD.
d. Expanded dengue syndrome
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ
seperti hati, ginjal, otak, dan jantung. Kelainan organ tersebut
berkaitan dengan infeksi penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari
syok yang berkepanjangan.
Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium (WHO, 2011).
a. Kriteria klinis
1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari
2) Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif,
petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, dan/melena
3) Pembesaran hati
4) Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan
dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah
b. Kriteria laboratorium
1) Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
2) Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20%
dari nilai dasar/menurut standar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan dengan :
a. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi/peningkatan hematokrit ≥20%
b. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
c. Dijumpai tanda perembesan plasma
1) Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
2) Hipoalbuminemia
d. Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia
yang jelas, mendukung diagnosis DSS.
e. Nilai LED rendah (< 10 mm/jam) saat syok membedakan DSS
dengan syok sepsis.
Derajat infeksi dengue dijelaskan pada Tabel I.
Tabel I. Derajat Infeksi Dengue

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah perifer
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu hemoglobin, leukosit,
hitung jenis, hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat
dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun
sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen
virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya
infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit
DD/DBD.
b. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14 dan akan menurun
atau menghilang pada akhir minggu keempat sakit. Antibodi IgG
anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-
14 dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan
pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari
sakit ke-2. Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi
primer dari infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2
menunjukkan infeksi primer namun apabila rasio IgM:IgG < 1,2
maka infeksi yang terjadi adalah infeksi sekunder.
Tabel 2. Interpretasi Uji Serologi DHF

2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus
dilakukan atas indikasi sebagai berikut :
a. Distres pernafasan (sesak) atau
b. Keadaan klinis ragu-ragu, akan tetapi kelainan radiologis terjadi
apabila perembesan plasma telah mencapai 20%-40%
c. Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan
Kelainan radiologi yang dapat terjadi diantaranya adalah :
a. Dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan,
b. Hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri
c. Kubah diafragma kiri lebih tinggi daripada kanan
d. Efusi pleura
Sementara itu, pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai
a. Efusi pleura
b. Kelainan dinding vesika felea dan dinding buli-buli

H. Penatalaksanaan
Berdasarkan pedoman WHO tahun 2011, penatalaksanaan yang
diberikan harus disesuaikan dengan triase kasus tersangka infeksi dengue
seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Triase Kasus Tersangka Infeksi Dengue
1. Tanda Kegawatan
Beberapa tanda kegawatan yang dimaksudkan pada gambar
adalah sebagai berikut :
a. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama
masa transisi ke fase bebas demam/sejalan dengan proses penyakit
b. Muntah yang menetap, tidak mau minum
c. Nyeri perut hebat
d. Letargi dan atau gelisah
e. Perubahan tingkah laku mendadak
f. Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis,
menstruasi yang hebat, warna urin gelap
(hemoglobinuria)/hematuria
g. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
h. Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
i. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
2. Monitoring
a. Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda serta
gejala lain
b. Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal
tanda syok, serta mudah dan cepat untuk dilakukan
c. Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa
minimal setiap 2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien
syok.
d. Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan
lebih sering pada pasien tidak stabil/tersangka perdarahan.
e. Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada
pasien dengan syok berkepanjangan/cairan yg berlebihan.
f. Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam (berdasarkan berat
badan ideal)
3. Terapi Cairan
a. Indikasi Pemberian Cairan Intra Vena
1) Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral
atau muntah
2) Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi
oral
3) Ancaman syok atau dalam keadaan syok
b. Prinsip Terapi Cairan
1) Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis
2) Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan
plasma hebat dan tidak ada respon pada minimal volume cairan
kristaloid yang diberikan
3) Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk
menjaga volume dan cairan intravaskular yang adekuat
4) Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal
sebagai acuan untuk menghitung volume cairan
5) Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan
klinis.
6) Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk
profilaksis tidak dianjurkan
7) Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non
syok saat tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian
volume sudah cukup, dengan memperhatikan ABCS yang terdiri
dari, A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C –
Calsium: elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah
(dekstrostik)
Tabel 3. Jumlah Kebutuhan Cairan

Tabel 4. Kecepatan Pemberian Cairan

4. Tatalaksana Infeksi Dengue Berdasarkan Perjalanan Penyakit


a. Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan /
atau cairan oral dan dilakukan pemantauan dilakukan setiap 12-24
jam.
1) Medikamentosa
a) Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian
parasetamol bukan aspirin.
b) Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misalnya antasid, anti emetik) untuk mengurangi
beban detoksifikasi obat dalam hati.
c) Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila
terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak
diberikan.
d) Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
2) Supportif
a) Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari +
5% defisit
b) Diberikan untuk 48 jam atau lebih
c) Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan
kehilangan plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital,
diuresis, dan hematokrit
b. Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan
rumatan + defisit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium
setiap 4-6 jam. Apabila terjadi syok, maka tatalaksana yang harus
diberikan adalah sebagai berikut :

Gambar 4. Bagan Tatalaksana DBD Derajat III

c. Fase Pemulihan
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral,
serta monitor tiap 12-24 jam
5. Indikasi Pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis
sebagai berikut:
a. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
b. Nafsu makan telah kembali
c. Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan
nadi teratur
d. Diuresis baik
e. Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
f. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
g. Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada
umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam
3-5 hari.
I. Komplikasi
1. Demam Dengue : perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus
peptik, trombositopenia hebat, dan trauma
2. Demam Berdarah Dengue
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa
syok
b. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan
gagal ginjal akut
c. Edema paru dan/atau gagal jantung seringkali terjadi akibat
overloading pemberian cairan pada masa perembesan plasma
d. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik &
perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multipel)
e. Hipoglikemia/hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat
syok berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai
BAB V. KESIMPULAN

1. Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang


disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.
2. Infeksi virus dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4.Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
3. Penegakkan diagnosis infeksi dengue dibuat berdasarkan hasil penemuan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
4. Terapi pada pasien DBD diberikan sesuai dengan derajat infeksi DBD
yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,


dan Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.

Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter


Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana
Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.

Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di


Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3.
Jakarta. 2004.

Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.

Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan


Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta, Agustus 2002.

World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive


Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue
Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.

You might also like