You are on page 1of 15

TOPIC LIST

ILEUS OBSTRUKTIF

Pembimbing:
dr. Hj. Yanti Daryanti, Sp.B-KBD

Disusun oleh:
Ibnu Fajar Sidik 2013730148

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERISITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RSUD R. SYAMSUDIN, S.H., SUKABUMI
2018
ILEUS OBSTRUKTIF

I. Anatomi dan Fisiologi


Usus halus memiliki panjang 270-290 cm, memanjang dari pylorus sampai caecum. Dari
susunan tersebut, panjang terpanjang adalah ileum yaitu 150-160 cm, kemudian jejunum 100-
110 cm, dan duodenum 20 cm. Jejunum dan duodenum dibatasi oleh sudut duodenojejunum,
ditandai oleh adanya ligamentum Treitz. Batas antara ileum dan jejunum tidak jelas, namun
jejunum didefinisikan sebagai 2/5 bagian dari usus halus dan ileum menyusun 3/5 sisanya.
Jejunum memiliki keliling lingkaran lebih panjang serta dinding lebih tebal dibandingkan
dengan ileum. Karakteristik lain dari jejunum adalah vasa recta yang lebih panjang dan
vaskularisasi tidak terlalu bercabang-cabang. Pada ileum, vasa recta lebih pendek dan vaskular
bercabang-cabang.

Gambar 1. Perbedaan jejunum dan ileum.

Mukosa usus halus terdiri dari lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis. Plika
sirkularis membantu untuk membedakan usus halus dengan usus besar pada radiografi. Pada
permukaan mukosa usus halus juga dapat ditemukan folikel-folikel limfoid yang disebut
dengan plak Peyeri.
Usus halus diperdarahi oleh arteri dari cabang arteri celiaca dan mesenterika superior.
Duodenum diperdarahi oleh cabang arteria celiaca dan mesenterika superior, sedangkan
duodenum distal, jejunum, dan ileum berasal dari arteri mesenterika superior. Drainase vena
dari perdarahan tersebut menuju ke vena mesenterika superior.
Usus besar memiliki panjang 150 cm. Terdapat katup yang memisahkan ileum dengan
kolon yang disebut dengan katup ileocecal. Caecum, bagian proksimal usus besar, berbentuk
seperti kantung dengan diameter 7,5 cm dan panjang 10 cm. Caecum dapat terdistensi namun
dilatasi akut hingga mencapai diameter lebih dari 12 cm dapat menyebabkan nekrosis dan
perforasi dinding usus. Kolon asendens memiliki panjang 15 cm, lalu dilanjutkan oleh kolon
transversum dengan panjang 45 cm. Pada kolon transversum terdapat omantum majus yang
menggantung pada bagian superior kolon. Omentum ini berguna untuk mencegah perlengketan
luka dari dinding abdomen dengan usus setelah operasi. Kolon desendens memiliki panjang 25
cm dan memiliki diameter lebih kecil dari kolon asendens.
Usus besar diperdarahi oleh arteri ileocolic, yaitu memperdarahi caecum dan apendiks.
Arteri kolik kanan, cabang dari arteri mesenterika superior, memperdarahi kolon asendes
sampai fleksura hepatik dan membentuk kolateral dengan arteri marginal. Cabang kiri dari
arteri kolik media akan memperdarahi kolon transversum dan bergabung dengan arteri kolik
kiri. Arteri kolik kiri merupakan cabang dari arteri mesenterika inferior. Cabang lain dari arteri
mesenterika inferior adalah arteri sigmoid dan arteri rektal superior, yang memperdarahi kolon
sigmoid dan rektal berturut-turut.

Gambar 2. Arteri usus besar.

Drainase vena kolon asendens dan transversum proksimal adalah melalui vena
mesenterika superior. Vena ini akan bergabung dengan vena splenikum menjadi vena portal.
Drainase pembuluh darah pada bagian distal dari kolon transversum, kolon desendens,
sigmoid, dan rektum dilakukan oleh vena mesenterika inferior, yang kemudian menuju vena
splenikum.
Pada usus halus, terjadi proses pencernaan dan absorpsi nutrisi, terutama karbohidrat,
protein, dan lemak, air, elektrolit, dan mineral. Proses pencernaan dimulai dari gaster dengan
penghancuran materi padat menjadi partikel berukuran setidaknya 1 mm. Makanan kemudian
dibawa ke duodenum dan dicerna oleh enzim pankreas, empedu, serta enzim lainnya. Proses
absorpsi sudah dimulai pada tahap ini melalui dinding usus halus. Gambar 3 menunjukkan
absorpsi nutrien di usus halus.

Gambar 3. Absorpsi nutrien di usus halus.

Makanan dapat berpindah di sepanjang usus karena adanya motilitas usus oleh kontraksi
otot-otot polos di sepanjang usus. Kontraksi tersebut menyebabkan makanan dapat berpindah
dengan kecepatan 1-2 cm/detik. Pola motilitas usus ini bervariasi tergantung dari keadaan usus,
yaitu dalam keadaan terisi atau puasa. Potensial motilitas dimulai dari duodenum yang
kemudian memicu kontraksi di sepanjang usus halus untuk mobilisasi makanan. Pada keadaan
puasa, usus dibersihkan oleh kontraksi silial yang bergerak dengan arah menuju rektum setiap
75-90 menit. Kontraksi ini diatur oleh sistem neural dan humoral. Sistem neural diatur oleh
nervus vagal, saraf simpatetik, dan parasimpatetik. Hormonal yang berperan terhadap
pergerakan usus halus adalah motilin.
Usus besar memiliki fungsi untuk menyerap kembali cairan, elektrolit, dan energi yang
masih terdapat dari sisa cerna usus halus. Usus besar menyerap cairan dari sisa makanan yang
dicerna di usus halus. Usus besar menyerap sekitar 10x lipat dari jumlah cairan yang ada dan
sisanya akan dibuang bersama dengan feses. Usus besar juga menyerap kembali elektrolit
terutama natrium. Usus juga memiliki motilitas yang berfungsi untuk menggerakkan feses ke
rektum.
Di usus besar, terdapat flora normal dalam jumlah banyak, yaitu sekitar 400 spesies
dengan jumlah 1011 sampai 1012 sel per gram. Jumlah tersebut terdapat pada 50% massa feses.
Bakteri tersebut mencerna protein yang terdapat di dalam usus dan karbohidrat kompleks. Flora
normal tersebut juga menjadi barrier fungsiongal dan membantu menjaga integritas epitel serta
berperan sebagai salah satu imunitas di usus besar. Escherichia, Klebsiella, Proteus,
Lactobacillus, dan enterokokus merupakan jenis bakteri terbanyak sebagai flora normal usus
besar.

II. Definisi
Obstruksi usus terjadi ketika pergerakan atau pasase isi usus tidak dapat terjadi karena
alasan apapun. Obstruksi ini dapat terjadi di usus halus, usus besar, karena gangguan
metabolisme, gangguan elektrolit, atau gangguan saraf berkaitan usus halus dan usus besar.
Obstruksi saluran pencernaan dibagi menjadi ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus
obstruktif terjadi ketika adanya materi obstruktif yang menyumbat usus, baik dari luar usus
maupun dari dalam usus. Ileus paralitik, atau disebut juga sebagai ileus fungsional atau pseudo-
obstruksi, terjadi karena motilitas yang tidak efektif dari usus tanpa adanya materi obstruktif
yang mengganggu pasase isi usus.
Ileus obstruktif didefinisikan sebagai adanya blokade fisik pada lumen usus. Pada ileus
obstruktif parsial, terjadi penyempitan lumen usus namun pasase isi usus masih terjadi.
Sedangkan pada ileus obstruktif komplit, lumen usus menutup sempurna sehingga tidak ada
lagi isi usus yang dapat lewat.
Berdasarkan tipe obstruksinya, dibedakan menjadi simple, closed-loop, dan strangulasi.
Biasanya hal tersebut terjadi pada ileus obstruktif komplit. Simple berarti obstruksi yang terjadi
tidak disertai kegagalan vaskular dan usus dapat didekompresi sebagai penanganannya. Pada
obstruksi closed-loop, kedua ujung bagian segmen usus yang terlibat mengalami obstruksi
sehingga menyebabkan akumulasi sekresi usus dan cairan dari segmen tersebut. Hal ini
kemudian menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dari segmen tersebut. Obstruksi
closed-loop biasanya terjadi karena adanya puntiran dari usus. Contoh obstruksi closed-loop
adalah pada volvulus. Obstruksi strangulasi terjadi ketika vaskular tidak lagi adekuat
memperdarahi segmen usus yang terlibat sehingga terjadi nekrosis transmural fokal atau
segmental. Jika belum terjadi nekrosis dan fungsi usus dapat kembali ke semula, strangulasi
yang terjadi disebut reversible. Jika sudah terjadi iskemik lalu kemudian nekrosis transmural
meskipun strangulasi sudah dilepaskan, disebut sebagai irreversible.

III. Epidemiologi
Sekitar 80-90% ileus obstruktif terjadi di usus halus, dan 10-20% terjadi di usus besar.
Pada usus besar, penyebab ileus obstruktif terbanyak adalah kanker kolorektal, yaitu 60-70%
kasus. Divertikulitis dan volvulus menjadi penyebab terbanyak kedua pada ileus obstruktif
pada usus besar. Pada usus halus, penyebab tersering adalah perlengketan usus, hernia pada
dinding abdomen, dan neoplasma.
Dengan berkembangnya teknik operasi, insidensi ileus obstruktif karena hernia dan
prosedur operasi berkurang. Hernia inkarserata dulu menjadi penyebab ileus obstruktif
tersering namun karena adanya teknik herniorafi menyebabkan keadaan tersebut menjadi
berkurang. Berkembangnya prosedur operasi abdomen dengan invasi minimal menyebabkan
ileus obstruktif karena adhesi usus setelah operasi menjadi berkurang.

IV. Etiologi
Penyebab ileus obstruktif secara umum dibagi menjadi tiga berdasarkan hubungan lesi
obstruktif dengan lokasi anatominya, antara lain
1. Intraluminal. Pada obstruksi intraluminal, penyebab obstruktif berada di dalam dalam
lumen usus, misalnya adanya batu empedu, enterolith, atau benda asing.
2. Intramural. Penyebab obstruktif berasal dari dinding lumen usus, misalnya berupa tumor
atau striktur karena Crohn’s disease. Pada Crohn’s disease, obstruksi terjadi karena
adanya inflamasi akut dan edema yang kemudian menyebabkan striktur lumen usus.
3. Ekstrinsik, yang berarti penyebab obstruktif berasal dari luar usus, misalnya karena
adanya perlengketan / adhesi, hernia, atau abses. Adhesi dapat disebabkan karena proses
inflamasi dan post-operatif. Post-operatif merupakan penyebab utama dari adhesi. Hernia
internal lebih sering menyebabkan ileus obstruktif namun hernia inguinalis terutama
pada kasus strangulata juga merupakan penyebab ileus obstruktif yang sering terjadi.
Abses dapat berasal dari perforasi apendisitis atau diverticulum. Pada abses, usus halus
dapat membentuk sebagian dari dinding abses tersebut dan obstruksi terjadi ketika bagian
usus tersebut melengkung.

V. Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi dari ileus obstruktif masih belum diketahui dengan jelas.
Salah satu mekanisme yang saat ini digunakan adalah berkurangnya aliran darah ke daerah
segmen usus tertentu merupakan permulaan dari perubahan patofisiologis yang terjadi. Namun
teori lain menyatakan bahwa pada tahap awal, terjadi peningkatan aliran darah ke daerah usus
tersebut karena adanya reaksi inflamasi intramural. Reaksi inflamasi tersebut kemudian
dianggap memiliki peranan penting terhadap perubahan patofisiologi usus.
Pada tahap awal obstruksi, terjadi peningkatan kontraktilitas motilitas usus sebagai usaha
untuk pasase isi usus halus melewati titik obstruktif. Peningkatan peristaltik ini dapat terjadi
sebelum atau sesudah titik obstruktif, sehingga muncul gejala nyeri kolik dan diare. Pada tahap
lanjut dari obstruksi, usus halus menjadi lelah dan terdilatasi sehingga frekuensi dan intensitas
kontraksi menjadi berkurang. Berkurangnya frekuensi dan intensitas kontraksi usus dikatakan
disebabkan karena efek inflamasi di dinding usus yang kemudian menyebabkan hipoksia.
Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa keadaan ini diperparah dengan gangguan respon
parasimpatetik autonomy dan inervasi splanik simpatetik di usus.
Pada tahap dilatasi usus, terjadi akumulasi gas, cairan, dan elektrolit intraluminal dan
pada dinding usus. Awalnya terjadi akumulasi gas terlebih dahulu, yang berasal dari udara yang
tertelan dan gas nitrogen di dalam usus. Gas juga terbentuk dari fermentasi gula, CO2 dari asam
lambung dan bikarbonat dari sekresi pancreas dan empedu, serta difusi oksigen dan karbon
dioksida dari darah. Dilatasi serta adanya respon inflamasi di usus menyebabkan akumulasi
mediator inflamasi di intramural. Akumulasi ini menyebabkan gangguan sekretorik usus untuk
menghasilkan enzim proteolitik dan sitokin. Gas nitrik oksida juga dihasilkan sebagai bentuk
respon inflamasi. Gas tersebut merupakan inhibitor terhadap tonus dan kontraktilitas otot polos
sehingga keadaan dilatasi dan inhibisi kontraktilitas semakin parah.
Akumulasi cairan terjadi di intralumen pada 12 jam pertama dari terjadinya obstruksi.
Dalam 24 jam, terjadi akumulasi cairan dan elektrolit secara cepat karena berkurangnya
kemampuan absorpsi usus. Perubahan ini terjadi karena adanya peningkatan permebalitias
karena kerusakan mukosa di intraluminal. Kerusakan mukosa tersebut menyebabkan
kebocoran plasma, elektrolit, dan cairan ekstraseluler.
Pada keadaan ini terjadi kehilangan cairan di third space sehingga muncul gejala
dehidrasi dan hipovolemia. Gejala gangguan metabolik yang terjadi sesuai dengan lokasi
obstruksi, karena masing-masing bagian usus memiliki peranan absorpsi mineral dan elektrolit
sesuai lokasinya, seperti yang tampak pada Gambar 3. Jika lokasi obstruksi terletak di
proksimal, dehidrasi yang terjadi dapat disertai dengan gangguan elektrolit seperti
hipokloremia dan hipokalemia. Alkalosis metabolik juga terjadi karena muntah terus-menerus.
Pada obstruksi distal, terjadi gangguan penyerapan cairan namun gangguan serum elektrolit
tidak terlalu bermakna. Dehidrasi yang terjadi dapat disertai dengan oliguria, azotemia, dan
hematokonsentrasi. Jika keadaan ini terjadi terus-menerus, dapat terjadi hipotensi dan syok.
Peningkatan tekanan intraluminal diikuti dengan penurunan aliran darah ke mukosa
namun terjadi peningkatan tekanan pembuluh kapiler transmural di dinding usus. Keadaan ini
terutama tampak pada pasien dengan obstruksi tipe closed-loop karena tingginya tekanan
intraluminal. Hal ini kemudian dapat menyebabkan oklusi arteri dan iskemik jika tidak segera
ditangani. Iskemik kemudian dapat menyebabkan perforasi usus lalu peritonitis. Usus besar
lebih rentan untuk mengalami kegagalan vaskular, terutama pada bagian katup ileocecal.
Adanya katup ileocecal dan obstruksi di bagian distal menyebabkan timbulnya obstruksi
closed-loop. Pada obstruksi selain tipe closed-loop, usus dapat dekompresi secara sendirinya
ke arah proksimal dari letak obstruksi. Pada obstruksi tersebut, terjadi penurunan perfusi
pembuluh darah ke dinding sehingga dekompresi dapat terjadi. Obstruksi usus menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen, berkurangnya aliran vena balik ke jantung, serta elevasi
dari diafragma. Hal tersebut menyebabkan gangguan ventilasi.
Pada obstruksi usus halus, terjadi perubahan keadaan flora normal di usus. Jejunum dan
ileum proksimal pada keadaan normal tidak terkolonisasi oleh bakteri. Pada obstruksi, jenis
dan jumlah bakteri berubah. Secara normal, flora bakteri di usus halus terdiri dari bakteri Gram
positif anaerobik fakultatif dengan konsentrasi kurang dari 106 sampai 108 koloni/mL. Pada
obstruksi, terjadi proliferasi bakteri secara cepat mulai dari proksimal obstruksi. Di bagian
distal obstruksi, ileum berusaha mempertahankan kolonisasi flora normal sehingga
menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri di distal obstruksi. Jenis bakteri yang sering
ditemukan adalah Eschericia coli, Streptococcus faecalis, dan Klebsiella spp. Jumlah
konsentrasi flora dapat mencapai 109 sampai 1010 koloni/mL setelah 12-48 jam obstruksi. Pada
keadaan ini terjadi translokasi bakteri ke nodus limfe mesenterika dan organ lainnya. Hal ini
meningkatkan respon inflamasi lokal pada usus. Jika hal ini tidak segera ditangani, sepsis dan
kegagalan multiorgan dapat terjadi. Perubahan komposisi bakteri pada ileus obstruktif perlu
diperhatikan dalam tata laksana ileus obstruktif. Pada penanganan dengan reseksi intestinal
atau enterotomi, perlu diperhatikan kemungkinan bocornya cairan usus berserta bakteri ke
rongga abdomen.
VI. Diagnosis
Evaluasi diagnostik dalam ileus obstruktif bertujuan untuk membedakan ileus obstruktif
dengan paralitik, menentukan etiologi obstruksi, menentukan ileus parsial atau komplit, serta
menentukan jenis obstruksi strangulata atau tidak. Hal tersebut dapat ditentukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, serta pemeriksaan radiologi.

1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Gejala kardinal dari ileus obstruktif adalah nyeri kolik, mual, muntah, distensi abdomen,
dan obstipasi. Nyeri perut dan distensi biasanya mendahului beberapa jam sebelum gejala mual
dan muntah. Nyeri kolik biasanya berupa kram pada perut dengan interval 4-5 menit,
terlokalisasi di midabdomen. Pada letak obstruksi lebih distal, interval dan frekuensi nyeri akan
lebih sedikit, gejala mual dan muntah lebih jarang, dan gejala distensi lebih parah dan
dikeluhkan. Semakin proksimal letak obstruksinya, semakin dini dan bermakna gejala mual
dan muntah, namun gejala distensi semakin jarang terjadi. Gejala muntah jarang muncul pada
obstruksi di usus besar kecuali jika sudah lanjut. Onset gejala yang mendadak biasanya
menunjukkan adanya obstruksi tipe closed-loop.
Pada ileus obstruktif letak tinggi, nyeri bisanya visceral, sulit dilokalisasi, dan kram perut
dengan durasi singkat (10-30 detik). Kram perut dirasakan bertambah sakit dalam satu episode
dan dirasakan mereda ketika durasi episode selesai. Berbeda dengan ileus obstruktif letak
rendah, gejala nyeri perut memiliki durasi episode lebih lama (1-2 menit) dengan interval lebih
panjang. Nyeri yang dirasakan terus-menerus dan terlokalisasi biasanya menandakan adanya
strangulasi.
Dalam penegakkan diagnosis ileus obstruktif, selain penting untuk meneggakan
diagnosis itu sendiri, diperlukan pencarian lebih lanjut mengenai penyebab dari obstruksi. Pada
anamnesis, diperlukan penggalian mengenai riwayat penyakit dahulu untuk menentukan
penyebab dari obstruksi, seperti adanya riwayat obstruksi sebelumnya, riwayat operasi
abdomen sebelumnya, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat konstipasi kronis, perubahan
kebiasaan defekasi, riwayat keganasan, atau riwayat ulserasi atau Crohn’s disease.
Pada pemeriksaan fisik, penting untuk menilai tanda-tanda vital dan status dehidrasi
pasien tersebut. Dehidrasi berat ditandai dengan takikardia, hipotensi, dan oliguria, oleh sebab
itu pada pasien dengan gejala tersebut perlu dilakukan resusitasi secepatnya. Demam biasanya
disebabkan karena strangulasi. Setelah itu, lakukan pemeriksaan fisik abdomen, meliputi
inspeksi, aukultasi, palpasi, dan perkusi. Perhatikan adanya kemungkinan defek hernia pada
dinding abdomen superfisial serta adanya luka bekas operasi.
Pada palpasi, perhatikan adanya rebound tenderness, localized tenderness, dan defans
muscular karena hal tersebut dapat menunjukkan adanya kegagalan vaskular atau perforasi.
Perhatikan juga adanya massa yang teraba. Perlu dilakukan juga pemeriksaan rektal untuk
menyingkirkan adanya impaksi fekal. Dilakukan juga occult blood test untuk mencari
kemungkinan penyebab ileus obstruktif.
Auskultasi dilakukan untuk menilai bising usus. Yang dinilai adalah ada atau tidaknya
bising usus serta frekuensi dan kualitas bising usus. Pada ileus obstruktif, terdapat peningkatan
frekuensi bising usus. Tanda khas dari ileus obstruktif adalah frekuensi suara yang tinggi
disertai metallic sound. Metallic sound ditandai dengan suara seperti tetesan air pada wadah
berlubang yang besar. Hal tersebut menandakan adanya dilatasi usus disertai hubungan gas dan
cairan di dalamnya. Fenomena tersebut dapat dibedakan dengan ileus paralitik. Pada ileus
paralitik, bising usus berkurang atau tidak ada sama sekali dan hanya terdengar metallic sound.
Fenomena yang tampak pada ileus obstruktif melalui pemeriksaan fisik adalah adanya
succusion splash, yaitu terdengarnya suara air pada auskultasi ketika abdomen digoyangkan.
Hal ini menunjukkan adanya dilatasi usus dengan cairan dan gas di dalamnya. Adanya
succusion splash tidak lazim ditemukan pada pasien yang tidak mengkonsumsi cairan 1-2 jam
sebelumnya dan merupakan salah satu tanda ileus obstruktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan
ini, perhatikan adanya muntah pada pasien karena dapat memberikan hasil negatif palsu.

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada kasus ileus obstruktif ditujukan untuk melihat adanya
gangguan elektrolit, sepsis, atau kemungkinan adanya strangulasi atau nekrosis. Berikut adalah
pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa.
a. Profil darah lengkap.
b. Elektrolit.
c. Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin).
d. Urinalisis.
e. Analisa gas darah.
f. Amilase dan laktat dehydrogenase.
g. I-FABP (intestinal fatty acid-binding protein) dikatakan sensitif terhadap infark
mesenterika namun kurang sensitif dalam menentukan iskemik usus halus pada kasus
strangulasi.
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan dalam diagnosis ileus obstruktif antara lain
foto polos abdomen, Barium enema, CT scan, dan MRE.
Pada foto polos abdomen, yang diambil adalah foto polos abdomen posisi supinasi, posisi
tegak, serta foto polos toraks dengan posisi tegak. Pada ileus obstruktif letak tinggi, akan
ditemukan adanya dilatasi loop usus, yaitu lebih dari 3 cm, adanya air-fluid levels pada foto
tegak, dan sedikitnya udara pada kolon atau distal usus. Air-fluid levels dapat ditemukan pada
foto posisi tegak atau posisi lateral dekubitus. Sensitivitas foto polos abdomen dalam
menentukan ileus obstruktif letak tinggi adalah 70-80%. Air-fluid levels dapat tidak tampak
pada letak obstruksi proksimal atau pada obstruksi closed-loop. Pada obstruksi closed-loop,
lumen usus dapat terisi oleh cairan saja dan tidak ada gas. Foto polos toraks digunakan untuk
menyingkirkan adanya keadaan ekstra-abdominal yang menyebabkan munculnya gejala ileus.

Gambar 4. Gambaran dilatasi usus dan air-fluid levels


pada ileus obstruktif letak tinggi.

Pada ileus obstruktif letak rendah, kolon mengalami dilatasi sampai titik obstruksi,
terutama caecum. Terkadang lokasi obstruktif dapat ditemukan karena bentuk anatomis kolon.
Gambaran air-fluid levels biasanya tidak ditemui pada obstruksi kolon karena fungsi kolon
yang menyerap air. Pada obstruksi kolon, biasanya usus halus tidak mengalami dilatasi karena
katup ileocaecal mencegah regurgitasi gas ke usus halus. Namun jika obstruksi berlangsung
lama dan tekanan di kolon cukup untuk membuka katup ileocaecal, gas dapat kembali ke usus
halus sehingga usus mengalami dilatasi. Pada keadaan ini, perlu perhatikan kembali adanya
dilatasi caecum, karena dilatasi caecum lebih menggambarkan sumber obstruksi berada di usus
besar.
Gambar 5. Gambaran dilatasi caecum pada ileus obstruktif letak rendah.
Foto polos abdomen juga dapat membedakan antara ileus obstruktif dengan ileus
paralitik. Pada ileus paralitik, ditemukan adanya dilatasi dari usus besar sampai usus halus,
termasuk pada bagian kolon sigmoid dan rektum. Selain itu, dilatasi usus pada ileus paralitik
tidak sebesar ileus obstruktif.
Barium enema atau radiografi dengan kontras ideal untuk digunakan untuk memperoleh
gambaran lebih baik dari foto polos karena dapat diketahui lokasi obstruktif serta untuk follow-
up terapi pada pasien dengan Crohn’s disease. Radiografi dengan kontras juga dapat digunakan
sebagai modalitas terapeutik yaitu dengan menghilangkan obstruksi sesaat. Penggunaan
radiografi kontras biasanya tidak diberikan pada pasien dengan obstruktif komplit dan
obstruksi dengan strangulasi atau perforasi.
CT scan saat ini merupakan modalitas utama untuk mengidentifikasi lokasi obstruksi,
adanya proses ekstraluminal, inflamasi, kumpulan cairan, massa, hernia, dan lainnya. Kumplan
hal tersebut dapat menjadi tambahan untuk menentukan risiko atau penyebab strangulasi.
Pemeriksaan ini juga dinyatakan baik dalam eksklusi kemungkinan adanya iskemia. Adapun
tanda-tanda yang dapat menandakan adanya iskemia antara lain cairan bebas di peritoneal,
penebalan usus, edema mesenterium, disertai gejala muntah.
MRE (magnetif resonance enterography) merupakan modalitas yang juga dapat
digunakan untuk diagnosis ileus obstruktif. Karena ketersediaannya yang terbatas, modalitas
ini belum digunakan sesering CT scan. Selain itu, pemeriksaan dengan alat ini membutuhkan
waktu yang lebih lama. MRE dapat membantu untuk membedakan striktur jinak dan ganas
pada pasien dengan curiga obstruksi karena keganasan.
VII. Tata Laksana
1. Terapi Konservatif
Tindakan pertama pada penanganan ileus obstruktif adalah resusitasi cairan dan
pemberian antibiotik. Resusitasi cairan yang diberikan adalah cairan isotonik yang
mengandung elektrolit karena pasien dapat mengalami kekurangan elektrolit. Cairan yang
biasanya digunakan adalah Ringer laktat. Pada resusitasi cairan, perlu diperhatikan monitor
cairan melalui kateter urin. Antibiotik broad-spectrum juga perlu diberikan sebagai profilaksis
karena adanya kemungkinan translokasi bakteri dari obstruksi. Dekompresi lambung juga perlu
dilakukan selain resusitasi cairan. Dekompresi berguna untuk mencegah pneumonia aspirasi
dari muntah pasien dan mengurangi distensi usus karena tertelannya udara.
Terapi ini dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan intestinal obstruksi sederhana
atau tanpa komplikasi, tidak adanya peritonitis, tanpa leukositosis progresif, atau gangguan
perfusi dinding usus. Terapi ini tidak boleh dilakukan pada pasien dengan suspek iskemia,
obstruksi komplit, obstruksi kolon, obstruksi tipe closed-loop, hernia inkarserata atau
strangulata, dan perforasi.

2. Tindakan Operatif
Tindakan operatif diperlukan pada pasien dengan gejala dan tanda obstruksi strangulasi,
seperti demam, takikardia, leukositosis, localized tenderness, nyeri abdomen terus-menerus,
dan peritonitis. Tindakan operasi juga dilakukan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan
dengan terapi konservatif. Sebaiknya tindakan dilakukan jika tidak ada perbaikan dalam waktu
48 jam dari terapi konservatif. Perlu diperhatikan juga bahwa salah satu risiko dari terapi
konservatif adalah terlewatnya gejala obstruksi strangulasi, sehingga tindakan operasi yang
dilakukan dalam waktu yang tepat dapat mengurangi morbiditas pasien.
Tindakan operatif bertujuan untuk mencari letak obstruktif dan kemudian membebaskan
obstruksi tersebut. Insisi dapat dilakukan pada bekas insisi sebelumnya jika pasien memiliki
riwayat operasi abdomen sebelumnya. Jika tidak, insisi midline dianjurkan karena dapat lebih
mudah dalam eksplorasi isi abdomen nanti. Mencari letak obstruktif dapat dilakukan dengan
dekompresi usus pada bagian distal obstruksi dapat dilakukan lalu ditelusuri ke proksimal
sampai ditemukan titik obstruksi. Perhatikan adanya kemungkinan iskemik dan perforasi
karena tipisnya dinding usus yang mengalami dilatasi. Setelah obstruksi sudah diperbaiki,
eksplorasi seluruh bagian abdomen diperlukan supaya tidak ada kerusakan usus yang
terlewatkan. Reseksi usus seringkali dilakukan untuk membuang bagian usus yang tidak
berfungsi lagi. Viabilitas usus dapat dinilai dengan memberikan spons dengan saline selama
15-20 menit. Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya peristaltik, berarti
segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan.

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi
ileus.
a. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana
untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia inkarserata non-strangulasi,
adhesi, atau pada volvulus ringan.
b. By-pass, yaitu membuat saluran usus baru yang dapat melampaui bagian usus yang
tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
c. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proksimal dari tempat obstruksi, misalnya
pada keganasan dengan stadium lanjut.
d. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus
untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada karsinoma kolon atau
invaginasi strangulata.

VIII. Prognosis
Prognosis ileus obstruktif bergantung dari etiologinya. Risiko mortalitas meningkat pada
keadaan obstruksi dengan strangulasi, yaitu dengan rasio 8-25%. Jika tidak ada nekrosis, fungsi
usus dapat kembali seperti semula. Namun jika nekrosis sudah terjadi, bagian usus tersebut
harus dibuang. Secara umum, pasien dengan ileus obstruktif parsial memiliki persentasi rendah
untuk terjadinya rekurensi. Persentase rekurensi berkisar dari 4-34% untuk pasien mengalami
ileus obstruktif kembali. Jenis terapi ileus obstruktif sebelumnya tidak mempengaruhi nilai
rekurensinya. Rekurensi biasanya terjadi pada pasien dengan adhesi multipel, matted
adhesions, riwayat dirawat di rumah sakit karena ileus obstruktif, riwayat operasi pelvis, colon,
atau rektal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harris JW, Evers BM. Small intestine. Dalam: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL, penyunting. Sabiston Textbook of Surgery. Edisi kedua puluh.
Philadelphia: Elsevier; 2017. h. 1237-95.
2. Tavakkoli A, Ashley SW, Zinner MJ. Small intestine. Dalam: Brunicardi FC, Andersen
DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, dkk, penyunting. Schwartz’s
Principles of Surgery. Edisi kesepuluh. New York: McGraw-Hill; 2015. h. 1137-74.
3. Sclabas GM, Sarosi GA, Khan S, Saar MG, Behrns KE. Small bowel obstruction. Dalam:
Zinner MJ, Ashley SW, penyunting. Maingot’s Abdominal Operations. Edisi kedua
belas. New YorkL McGraw-Hill; 2013. h. 585-610.
4. Recognizing bowel obstruction and ileus. Dalam: Herring W. Learning Radiologi:
Recognizing the Basics. Edisi ketiga. Philadelphia: Elsevier; 2016. h. 147-57.

You might also like