You are on page 1of 43

Case Report Session (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A217102/ November 2018


**Pembimbing/ dr. H. Jupri Makmur, Sp.PD, FINASIM

DENGUE FEVER
Shanna Alysia Aziz* dr. H. Jupri Makmur, Sp.PD, FINASIM**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
JAMBI
TAHUN 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
CASE REPORT SESSIONS (CRS)

DENGUE FEVER

Disusun Oleh :
Shanna Alysia Aziz (G1A217102)

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Penyakit Dalam RSUD Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Tahun 2018

Jambi, Oktober 2018


Pembimbing

Dr. H. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab Karena
rahmatnya, laporam kasus yang berjudul “Dengue Fever” ini dapat terselesaikan. Laporan
kasus ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami
tentang gejala klinis yang sering muncul. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM
selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini. Penulis menyadari bahwa laporan
ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik
kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, November 2018

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai
leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD
terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai renjatan/shock.1
Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang banyak ditemukan di
sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika tengah,
Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agent-nya adalah virus dengue
yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus. Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe
yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia.1,2
Dalam 50 tahun terakhir, kejadian penyakit ini meningkat 30 kali lipat seiring
dengan meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru, bahkan dalam
dasawarsa ini, dari daerah perkotaan mulai merambah ke pedesaan. Diperkirakan 50 juta
infeksi dengue terjadi setiap tahun, dan sekitar 2,5 miliar orang tinggal di negara-negara
endemik dengue.3 Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan
di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka
perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD. Berbagai faktor kependudukan
berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, seperti pertumbuhan
penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak
efektifnya kontrol vektor nyamuk di daerah endemis, dan peningkatan sarana
transportasi.4,5
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol
vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada
penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit
ini.5 Prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif. Pada dasarnya terapi DBD
adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti
kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen

4
darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran
plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6
sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravascular, lalu terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Dengan memahami patogenesis, perjalanan
penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan
dapat dilakukan secara efektif dan efisien.5

5
BAB II

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M. Syukron Mukmin
Umur : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : RT 003 Jl. KH A Somad
Pekerjaan : Karyawan Swasta
MRS : 2 November 2018 ruangan B1 Bangsal Interne

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Demam sejak ± 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam tinggi yang dirasakan ± 3 hari SMRS.
Demam timbul mendadak, terus-menerus sepanjang hari lebih tinggi pada malam hari.
Demam disertai menggigil (+), nyeri ulu hati (+), nyeri tenggorokan (+). Pasien tidak
masuk bekerja dan beristirahat di rumah, sudah mengkonsumsi obat penurun panas
namun pasien lupa nama obatnya. Setelah minum obat, demam dirasakan berkurang
namun tinggi kembali. Badan pegal-pegal (+), nyeri kepala (+) nyeri seperti ditusuk-
tusuk yang hilang timbul, dan nafsu makan menurun (+), badan lemas (+).
± 1 hari SMRS keluhan dirasakan semakin memberat, demam dirasakan tidak turun.
Muntah (+) 1x dalam sehari, sebanyak ¼ gelas belimbing berisi cairan. Pasien mengeluh
terdapat bintik-bintik kemerahan pada tangan dan badannya. Gusi berdarah (-), mimisan
(-), BAB hitam (-), BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien belum pernah mengeluhkan hal yang serupa sebelumnya.
 Demam Tifoid (-)
 Malaria (-)
 Chikungunya (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat keluhan yang sama di keluarga (-)
 Riwayat Hipertensi (+) ayah pasien.

6
Riwayat Sosial Ekonomi :
 Os belum menikah.
 Os seorang karyawan yang bekerja disalah satu mall di Jambi.
 Merokok (+), minum alkohol (-).
 Pergi ke daerah endemis (-).
 Dilingkungan os juga tidak ada tetangga maupun teman yang mengeluhkan hal yang
sama.
 Os tinggal didaerah yang dekat dengan tempat pembuangan sampah umum.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalisata
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15 E4V5M6)
- Vital sign :
o Tekanan darah : 130/70 mmHg
o Frekuensi nadi : 115x/ menit, reguler
o Frekuensi nafas : 20x/ menit, tipe thorakoabdominal
o Suhu axilla : 39,10C
o SpO2 : 99 %

Status Gizi
BB : 60 Kg TB : 160 cm IMT : 23,44 (normal)

Kulit
 Warna : sawo matang
 Efloresensi : (-)
 Jaringan Parut : (-)
 Pertumbuhan Rambut : normal
 Pertumbuhan Darah : (-)
 Suhu : 39,10C
 Turgor : normal, < 2 detik
 Lainnya : (-)

Kelenjar Getah Bening


 Pembesaran KGB : (-)

7
Kepala
 Bentuk Kepala : Normocephal
 Rambut : Hitam, merata
 Ekspresi : Tampak sakit sedang
 Simetris Muka : Simetris

Mata
 Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-), Injeksi konjungtiva (-)
 Sklera : Sklera Ikterik (-)
 Pupil : isokor
 Lensa : normal
 Gerakan : normal
 Lapangan Pandang : normal

Hidung
 Bentuk : Simetris
 Sekret : (-)
 Septum : deviasi (-)
 Selaput Lendir : (-)
 Sumbatan : (-)
 Pendarahan : (-)

Mulut
 Bibir : Kering (-), Sianosis (-), pucat (-)
 Lidah : atrofi papila lidah (-), typhoid tongue (-)
 Gusi : hiperemis (-)

Telinga
 Bentuk : Normotia, simetris
 Sekret : (+/+)
 Pendengaran : Normal

Leher
 JVP : 5+1 cmH2O
 Kelenjar Tiroid : tidak teraba

8
 Kelenjar Limfonodi : tidak teraba

Dada
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Pulmo
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, spider naevi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri. Batas paru hepar pada ICS VI.
Peranjakan paru hepar selebar 2 jari.
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rhonki (-), Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea parasternal sinistra
Batas Kiri : ICS V Linea midclavicula sinistra
Batas Kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris, striae (-), Asites (-), ptekie (+)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+) epigastrium.
Hepar : Hepar tidak teraba
Lien : Lien tidak teraba
Ginjal : Ginjal tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran perut
Auskultasi : Bising Usus (+), Normal

Ekstremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 Detik, pucat, edema (-/-), ptekie (+/+)
Inferior : akral hangat, CRT <2 Detik, pucat, edema (-/-), ptekie (+/+)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (2/11/2018)
WBC : 3,54 x109/L MCV : 78,4 fL
RBC : 5,6 x1012/L MCH : 27,7 pg
HGB : 15,5 g/dL MCHC : 353 g/L

9
PLT : 95 x109/L HCT : 43,9 %
GDS : 102 mg/dL
Kesan : Leukopenia, Trombositopenia

Pemeriksaan Elektrolit (2/11/18)


Natrium (Na) : 139,41
Kalium (K) : 3,83
Chlorida (Cl) : 91,00
Calcium (Ca) : 1,43

Urine Rutin(2/11/2018)
Warna : kuning muda
BJ : 1005
pH : 6,5
Protein :-
Glukosa :-
Keton :-
Sel : Leukosit : 2 – 3/LPB
Eritrosit : 1 – 2/LPB
Epithel : 3 – 4/LPK

Feses Rutin (2/11/2018)


Warna : Cokelat
Konsistensi : Padat
Parasit : (-)
Lendir : (-)
Telur cacing : (-)

Pemeriksaan Serologi (2/11/2018)


Malaria : (-)

2.5 Daftar Masalah


1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Nafsu makan menurun

10
4. Muntah
5. Ptekie
6. Leukopeni
7. Trombositopenia
8. Hipoklorida
9. Hiperkalemi
10. Rumple led test (+)
2.6 Diagnosa Kerja
Diagnosa Primer : Demam Dengue

Diagnosis Sekunder : Dyspepsia Dismotility

2.7 Diagnosa Banding


1. Chikungunya
2. Demam Tifoid
2.8 Anjuran Pemeriksaan
- Serologi IgM dan IgG
- Tes Widal
2.9 Tatalaksana
Non Farmakologis:
 Tirah Baring
 Diet lunak dan perbanyak asupan cairan
 Edukasi tentang penyakit kepada pasien dan keuarganya
 Pantau KU, TTV
 Cek darah rutin /24 jam
 Rencana pemeriksaan Antigen NS1
 Rencana pemeriksaan serologi IgM dan IgG

Farmakologis:
 IVFD NaCL 30 tpm (volume cairan kristaloid rumatan)
o 1500 + 20 (60 – 20) = 2300 cc

• Inj. Omeprazol 2 x 40 mg
• PO Paracetamol tab 500 mg 3 x 1
• PO Domperidone tab 10 mg 3 x 1

11
• PO Sukralfat syr 4 x 2C
• Paracetamol infus 1 fls jika suhu > 39o C
2.10 Prognosis
 Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

2.11 Follow Up
Tabel 2.1 Follow Up Pasien
Tgl SOA P
2/11/2 S: Demam (+), Lemas (+), Nyeri ulu hati (+), Mual (+) IVFD NaCl 0,9% 30
018 muntah (-), nafsu makan menurun. tpm
O: TD: 130/80 N : 111x/menit RR: 21x/menit T : 39oC PCT infus
Pemeriksaan generalisata: Inj. Omeprazole 2x1
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+) vial
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) PO Paracetamol 3 x 500
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g (–) mg
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh –/-- PO sukralfat syr 4x2C
Abd : datar, NT Epigastrium (+), BU (+) Normal, Hepar PO Domperidon 3x10
tidak teraba, lien tidak teraba, ptekie (+) mg
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-), ptekie (+) Rencana Pemeriksaan:
Pemeriksaan Darah Rutin : - - Pemeriksaan Darah
A: Demam Dengue Rutin (terutama Hb,
Leukosit, Hematoktrit
dan Trombosit) per 24
jam.
- Antigen NS1
- Tes Serologi IgM dan
IgG
3/11/2 S : Demam (+), Lemas (+), Nyeri ulu hati (+) IVFD RL 30 tpm
018 O: TD: 130/80 N : 80x/menit RR: 20x/menit T : 37oC Inj. OMZ
Pemeriksaan generalisata: Inj. Ondan
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+) Po PCT
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) Rencana Pemeriksaan:
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g (–) -Pemeriksaan Darah
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh –/-- Rutin (terutama Hb,

12
Abd : datar, NT Epigastrium (+), BU (+) Normal, Hepar Leukosit, Hematoktrit
tidak teraba, lien tidak teraba, ptekie (+) dan Trombosit) per 24
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-) jam.
Pemeriksaan Darah Rutin : -Rontgen Thoraks
WBC : 2.28
RBC : 5.47
HGB : 14.8
HCT : 43
PLT : 102
A: Demam Dengue
4/11/2 S: Demam (+), Nyeri ulu hati (+) Perdarahan Gusi (-). IVFD RL 30 tpm
o
018 O: TD: 110/70 N : 76x/menit RR: 20x/menit T : 36,5 C Paracetamol 4 x 500 mg
Pemeriksaan generalisata: Rencana Pemeriksaan:
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+) -Pemeriksaan Darah
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) Rutin (terutama Hb,
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g (–) Leukosit, Hematoktrit
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh –/-- dan Trombosit) per 24
Abd : datar, NT Epigastrium (+), BU (+) Normal, Hepar jam.
tidak teraba, lien tidak teraba, ptekie (-)
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-). Ptekie (-).
Rumple leed test (-)
Pemeriksaan Darah Rutin :
WBC : 3.31
RBC : 5.17
HGB : 14.3
HCT : 40.9
PLT : 120
A: Demam Dengue
5/11/2 S: Keluhan (-). Nafsu makan baik. IVFD RL 30 tpm
018 O: TD: 120/70 N : 80x/menit RR: 22x/menit T : 36,8oC Rencana Pemeriksaan:
Pemeriksaan generalisata: Pemeriksaan Darah
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+) Rutin (terutama Hb,
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-) Leukosit, Hematoktrit
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g (–) dan Trombosit) per 24
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh –/-- jam.
Abd : datar, Nyeri tekan (-), BU (+) Normal, Hepar tidak Pemeriksaan Elektrolit

13
teraba, lien tidak teraba.
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-)

Pemeriksaan Darah Rutin :


WBC : 3.92
RBC : 4.9
HGB : 13.9
HCT : 38.2
PLT : 132

A: Demam Dengue
6/11/2 S: Keluhan (-). Nafsu makan baik. - Aff Infus
018 O: TD: 110/60 N : 102/menit RR: 21x/menit T : 36,3oC - Terapi dihentikan
Pemeriksaan generalisata: Pasien pulang
Mata : CA(-/-), SI(-/-), Isokor (3mm/3mm), RC(+/+)
THT : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Thorax : Jtg: BJ I-II reguler, m (-), g (–)
Paru : Paru : SN vesikuler +/+, rh -/-, wh –/--
Abd : datar, Nyeri tekan (-), BU (+) Normal, Hepar tidak
teraba, lien tidak teraba.
Ekst : akral hangat, udem (-), sianosis (-)
Pemeriksaan Darah Rutin :
WBC : 6.8
RBC : 5
HGB : 13.8
HCT : 39
PLT : 145

Na: 146,86
K: 4,19
Cl : 103,90
Ca : 1,27

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifetasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang diserai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.

3.1 Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus bengan
diameter 30 nm terdiri terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di
Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yeloow fever, Japanese encephalitis dan West
Nile virus.

Dalam laboratorum virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kalelawar dan primata. Survei epidemiologi pada hewan ternak didapatkan
antibody terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan
Toxorhynchites.

3.2 Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebarn di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

15
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutma
A.aegpti dan A. Albopticus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih (air mandi, kaleng bekas dan tempat penampung air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatn transmisi virus dengue yaitu: 1)
Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) Pejamu : terdapatnya penderita di
lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3)
Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

3.3 Patogenesis

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue. 1
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a). Respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap
virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T-helper (CD4)
dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin,
sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL6 dan IL-10; c). Monosit dan makrofag berperan
dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selain itu
terjadi juga aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.1
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe
yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi. 1

16
Gambar 1. Hipotesis secondary heterologous infection1

Kurane dan Ennis (1994) merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain; menyatakan
bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis kompleks
virus-antibodi non netralisasi sehingga virus bereplikasi di dalam makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga
disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF alfa, IL-1, PAF, IL-6 dan histamin yang
mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a
dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma.1
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) Suoresi sumsum
tulang, dan 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terjadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit.

17
3.4 Faktor Risiko
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang
cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan
terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB.7
Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai
kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan
pembuangan sampah yang benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk
yang lebih makmur terutama yang biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi
Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan
pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan
tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan
keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.8

3.5 Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis1,6


Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 3.1 Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue(WHO 1997)1


Definisi Kasus untuk Demam Dengue6
Probable – demam akut selama 2-7 hari disertai dua atau lebih gejala berikut:

18
 Sakit kepala
 Nyeri retro-orbital
 Myalgia
 Artralgia
 Ruam
 Manifestasi perdarahan
 Leukopenia; dan
 Hasil pemeriksaan serologi (+) atau adanya demam dengue di lokasi dan waktu yang
sama
Confirmed – kasus dikonfirmasi dengan kriteria laboratorium
 Isolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi
 Kenaikan ≥ 4 kali titer antobodi IgG atau IgM pada sampel plasma
 Terdapatnya antigen virus dengue pada sampel otopsi jaringan, plasma, atau LCS
dengan teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA
 Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR
Reportable – setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan.

Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 1997 6


 Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
 Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif
- Ptekie, ekimosis, atau purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ml)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :
- Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin
- Peningkatan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya

19
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, hipoproteineia, atau
hiponatremia

Dengue Shock Syndrome (DSS) 6


 Semua gejala kriteria DBD ditambah bukti adanya kegagalan sirkulasi seperti :
- Nadi lemah dan cepat
- Tekanan Nadi Sempit (<20 mmHg)
 Atau adanya manifestasi :
- Hipotensi
- Akral dingin, lembab, dan gelisah

3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa
demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue, atau sindrom syok
dengue.1
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase
kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai
risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat.1

Gambar 2. Perjalanan penyakit Demam Berdarah Dengue9

20
1. Fase Febris (Febrile Phase)
Penderita biasanya mengalami demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini
biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan facial flushing, eritema kulit, sakit
badan umum, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa pasien mungkin mengalami sakit
tenggorokan, pharynx dan konjungtiva. Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi. Sulit
membedakan dengue secara klinis dari penyakit demam berdarah non-demam pada fase
demam dini. Uji tourniquet positif pada fase ini meningkatkan probabilitas demam berdarah.
Selain itu, fitur klinis ini tidak dapat dibedakan antara kasus demam berdarah parah dan tidak
parah. Oleh karena itu pemantauan tanda peringatan dan parameter klinis lainnya sangat
penting untuk mengenali kemajuan pada fase kritis.9
Manifestasi hemoragik ringan seperti perdarahan petechiae dan mukosa membran
(misalnya hidung dan gusi) dapat dilihat. Perdarahan masif vagina (pada wanita usia subur)
dan pendarahan gastrointestinal dapat terjadi selama fase ini namun tidak umum. Hati sering
membesar dan lembut setelah beberapa hari demam. Kelainan paling awal dalam jumlah
darah keseluruhan adalah penurunan progresif jumlah total sel darah putih, yang harus
mengingatkan dokter terhadap probabilitas tinggi demam berdarah.9
2. Fase Kritis (Critical Phase)
Merupakan kisaran waktu defervescence, ketika suhu turun menjadi 37,5-38oC atau
kurang dan tetap di bawah tingkat ini, biasanya pada hari 3-7 dari penyakit, peningkatan
permeabilitas kapiler secara paralel dengan peningkatan kadar hematokrit dapat terjadi. Ini
menandai dimulainya fase kritis. Periode kebocoran plasma secara klinis signifikan biasanya
berlangsung 24-48 jam.9,10
Leukopenia progresif diikuti oleh penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya
mendahului kebocoran plasma. Pada titik ini, pasien tanpa peningkatan permeabilitas kapiler
akan membaik, sementara yang memiliki permeabilitas kapiler meningkat menjadi lebih
buruk akibat kehilangan volume plasma. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura
dan asites dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan
volume terapi cairan. Oleh karena itu x-ray dada dan ultrasonografi perut bisa menjadi alat
yang berguna untuk diagnosis. Tingkat kenaikan di atas hematokrit dasar sering
mencerminkan keparahan kebocoran plasma.9,10
Syok terjadi saat volume kritis plasma hilang melalui kebocoran. Hal ini sering didahului
dengan tanda peringatan. Suhu tubuh mungkin subnormal saat terjadi syok. Dengan kejutan
yang berkepanjangan, efek hipoperfusi organ akibat gangguan organ progresif, asidosis
metabolik dan koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini pada gilirannya menyebabkan

21
perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun pada syok yang parah. Alih-alih
leukopenia biasanya terlihat selama fase demam berdarah ini, jumlah total sel darah putih
dapat meningkat pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu, kerusakan organ berat
seperti hepatitis, ensefalitis berat atau miokarditis berat dan / atau perdarahan hebat juga
dapat terjadi tanpa adanya kebocoran atau kejutan plasma yang jelas.9
Mereka yang membaik setelah tahap defervescence dikatakan memiliki demam non-
severe dengue. Beberapa pasien mengalami fase kritis dari kebocoran plasma tanpa
defervescence dan, pada pasien ini, perubahan perbaikan volume darah penuh harus
dilakukan untuk memandu awitan fase kritis dan kebocoran plasma.9
Mereka yang memburuk akan bermanifestasi dengan tanda peringatan. Ini disebut
demam berdarah dengan tanda peringatan. Kasus demam berdarah dengan tanda peringatan
mungkin akan pulih dengan rehidrasi intravena awal. Beberapa kasus akan memburuk pada
demam berdarah parah / severe dengue (lihat di bawah).9
3. Fase Perbaikan (Recovery Phase)
Jika pasien bertahan pada fase kritis 24-48 jam, reabsorpsi cairan kompartemen
ekstravaskular secara bertahap terjadi dalam 48-72 jam berikut. Kenaikan kesehatan umum,
kembalinya nafsu makan, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan
diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien mungkin mengalami ruam. Beberapa mungkin
mengalami pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi umum terjadi pada
tahap ini.9,11
Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusional dari reabsorpsi
cairan. Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat segera setelah defervescence namun
pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih tinggi daripada jumlah sel darah putih. Gangguan
pernapasan akibat efusi pleura dan asites yang besar akan terjadi kapan saja jika cairan
intravena berlebihan telah diberikan. Selama fase kritis dan / atau pemulihan, terapi cairan
berlebihan dikaitkan dengan edema paru atau gagal jantung kongestif.9
4. Severe dengue
Severe Dengue / Dengue berat didefinisikan oleh satu atau beberapa hal berikut: (i)
kebocoran plasma yang dapat menyebabkan syok dan/atau akumulasi cairan, dengan atau
tanpa gangguan pernapasan, dan / atau; (ii) pendarahan hebat, dan / atau; (iii) gangguan organ
berat. Seiring berkembangnya permeabilitas vena dengue, hipovolemia memburuk dan
mengakibatkan syok. Biasanya terjadi di sekitar defervescence, biasanya pada hari ke 4 atau 5
(rentang hari 3-7) penyakit, didahului dengan tanda peringatan. Selama tahap awal syok,
mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan darah sistolik normal juga

22
menghasilkan takikardia dan vasokonstriksi perifer dengan perfusi kulit berkurang,
mengakibatkan ekstremitas dingin dan waktu pengisian kapiler yang tertunda. Uniknya,
tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan nadi menyempit saat
resistansi vaskular perifer meningkat. Penderita syok demam sering tetap sadar dan jernih.
Dokter yang tidak berpengalaman dapat mengukur tekanan sistolik normal dan salah menilai
keadaan kritis pasien. Akhirnya, ada dekompensasi dan kedua tekanan itu tiba-tiba hilang.
Syok hipotensi dan hipoksia berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan multi organ dan
keadaan klinis yang sangat sulit.9
Pasien dianggap syok jika tekanan nadi yaitu perbedaan antara tekanan sistolik dan
diastolik) adalah ≤ 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda perfusi kapiler yang buruk
(ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, atau denyut nadi cepat menilai). Pada
orang dewasa, tekanan nadi ≤ 20 mmHg mungkin mengindikasikan syok yang lebih parah.
Hipotensi biasanya dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan yang seringkali dipersulit
oleh perdarahan hebat.9
Pasien dengan demam berdarah parah mungkin memiliki kelainan koagulasi, namun
biasanya tidak cukup untuk menyebabkan perdarahan hebat. Ketika perdarahan hebat terjadi,
hampir selalu dikaitkan dengan syok yang mendalam, yang mana dalam kombinasi dengan
trombositopenia, hipoksia dan asidosis, dapat menyebabkan kegagalan organ multipel dan
koagulasi intravaskular diseminata. Pendarahan massal dapat terjadi tanpa syok
berkepanjangan saat digunakan asam asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen atau kortikosteroid.9
Secara keseluruhan, demam berat harus dipertimbangkan jika pasien berasal dari daerah
berisiko demam berdarah dengue (endemik), dengan demam 2-7 hari ditambah dengan
beberapa hal berikut :9
 Ada bukti kebocoran plasma, seperti:
- Hematokrit tinggi atau progresif;
- Efusi pleura atau asites;
- Circulatory compromised atau syok peredaran darah (takikardia, ekstremitas dingin dan
berkabut, waktu pengisian kapiler lebih besar dari tiga detik, denyut nadi lemah atau tidak
terdeteksi, tekanan nadi yang sempit atau, pada kejutan akhir, tekanan darah yang tidak dapat
diukur).
 Ada pendarahan yang signifikan.
 Ada tingkat kesadaran yang berubah (lesu, gelisah, koma, kejang).

23
 Ada keterlibatan gastrointestinal yang parah (muntah terus-menerus, sakit perut
meningkat atau intens, sakit kuning).
 Ada gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati atau
ensefalitis, atau manifestasi tidak biasa lainnya, kardiomiopati) atau manifestasi tidak biasa
lainnya.
Manifestasi yang tidak biasa, termasuk gagal hati akut dan ensefalopati, mungkin ada,
bahkan jika tidak ada kebocoran atau renjatan plasma yang parah. Kardiomiopati dan
ensefalitis juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus demam berdarah. Namun, kebanyakan
kematian akibat demam berdarah terjadi pada pasien dengan syok yang mendalam.9

3.7 Pemeriksaan Diagnosik


1. Anamnesis
Demam mendadak tinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan
perdarahan (perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena,
hematuria), sakit kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri dibelakang mata, mual-
muntah, pemanjangan siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat
tinggal, sekolah, atau di tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga
datang disertai dengan keluhan sesak, lemah hingga penurunan kesadaran.6
2. Pemeriksaan Fisik
 Demam
 Gejala infeksi viral seperti : Infeksi Konjungtiva, mialgia, arthralgia
 Tanda perdarahan : ptekiae, purpura, ekimosis
 Hepatomegali
 Tanda – tanda kebocoran plasma : efusi pleura, asites, edema, kandung
empedu.6
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit,
dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran
limfosit plasma biru.1
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase

24
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes
serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody
total, IgM maupun IgG. Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :1
• Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma
biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan
meningkat.
• Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
• Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3
demam.
• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
• SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
• Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
• Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
• Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM:
terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah
60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada
infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
• Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
• NS 1 : antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
ke delapan. Sensitivitas antigen NS 1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas
100% sama tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil
negatif antigen NS 1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.
2. Gambaran Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus

25
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.1

Gambar 3. Gambaran Foto Rontgen Efusi Pleura Yang Sering Terkena Pada Pasien

Demam Berdarah Dengue


Gambar 4. Gambaran USG Efusi Pleura Yang Sering Terkena Pada Pasien Demam
Berdarah Dengue

26
Gambar 5. Gambaran Cairan Ascites di Peri Vesica Urinaria Pada Pasien Demam
Berdarah Dengue

3.9 Diagnosa Banding


Demam akut lain yang disertai trombsitopenia seperti demam tifoid, malaria,
chikungunya.
a. Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit sestemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. S. paratyphi dapat mengakibatkan gejala
peyakit yang lebih ringan daripada S.typhi, dengan predominan dgejala
gastrointestinal. Sifat demam adalah meningkat perlahan – lahan dan terutama pada
sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala – gejala menjadi jelas berupa
demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis. Pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering diteui leucopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Pemeriksaan lain yang rutin adalah uji Widal dan Kultur mikroorganisme.
Dapat menimbulkan komplikasi intestinal ataupun ekstraintestinal.6
b. Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium
(P.falsiparum, P.Vivax, P Ovale, P.Malariae, P. Knowlesi) yang hidup dan
berkembang biak dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium
ekstra eritrositik). Penyakit ini alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles

27
betina. Pendekatan diagnsosis melalui : gejala klinis yaitu demam, menggigil,
berkeringat, sakit kepala, mual, muntahm diarem nyeri otot, penurunan kesadaran,
lalu pemeriksaan parasitologi : Sediaan Apusan Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis
dijumpai parasit malaria. Tanda dan gejala malaria tidak spesifik. Secaraklinis
memiliki spesifisitas yag sangat rendah dan dapat berakibat pada tatalaksana yag
berlebihan.6
c. Chikungunya
Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akut yang disebabkan oleh alfavirus
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk A.aegypti dan A.albopictus. Penyakit ini dapat
bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung 3 – 10 hari, ditandai
dengan demam tinggi mendadak (39-40oC) dan nyeri sendi berat. Pada pasien
chikungunya, pemeriksaan laboratorium melalui pemeriksaan isolasi virus
chikungunya (CHIKV). Isolasi CHIKV dapat diambil dari nyamuk yang didapat dari
lapangan atau specimen serum akut yang diambil dari darah pasien pada minggu
pertama demam. Selain itu, untuk mengkonfirmasi recent infection dapat dengan
deteksi RNA CHIKV dengan RT-PCR real time, identifikasi hasil IgM positif pada
pasien gejala akut, diikuti dengan antibodi spesifik CHIKV yang ditentukan oleh
PRNT dengan virus lain yang ada didalam serogroup Semliki Forest Virus (SFV),
serta adanya serokonversi atau kenaikan titer 4x lipat pada PRNT, HI, atau ELISA
(sekali lagi, dengan menggunakan virus lain yang ada didalam serogroup SFV) antara
specimen fase akut dan convalescent.6

3.10 Penatalaksanaan Pada Pasien Demam Berdarah Dengue


a. Nonfarmakologis
 Istirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral
 Pantau tanda – tanda syok, terutama transisi fase febris (hari 4-6)
- Klinis : tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah
- Laboratorium : Hb, Ht, Trombosit, Leukosit.6
b. Farmakologis
Simtomatis : antipiretik parasetamol bila demam
Tatalaksana terinci dapat dilihat pada gambar protokol tatalaksana DBD .

28
1. Cairan intravena : Ringer laktat atau ringer asetat 4 -6 jam / kolf. Evaluasi
jumlah cairan, kondisi klinis, perbaikan / perburukan
hemokonsentrasi. Koloid / plasma ekspander pada DBD stadium III dan IV
bila diperlukan.
2. Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi
3. Pertimbangan heparinisasi pada DBD stadium III dan IV dengan Koagulasi
Intravaskular Diseminata ( KID )

Protokol 1 : Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa syok 1

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita DBD di
Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan trombosit,
bila :
 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.1

Protokol 2 : Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat 1

29
*volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut :
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
**pemantauan disesuaikan dengan fase/hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis.

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam: 1


 Bila Hb, Ht meningkat 10 -20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus diatas tapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
protokol penatalaksanaan DBD dengan penigkatan Ht > 20%.
Protokol 3 : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20% 1

30
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.
Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi
nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-
48 jam kemudian.1
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun
<20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi
10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.1

31
1
Protokol 4 : Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan
tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan
dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis
serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya
diulang setiap 4-6 jam.1
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratorium didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1

32
Protokol 5 : Tatalaksana Sindroma Syok Dengue Pada Dewasa6

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian
cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok

33
dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan
renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan
pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya
kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak
adekuat.1
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin. 1
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekana darah sistolik 100
mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per
menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis
0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu
60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam
waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit
tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena
jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan
turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru
atau gagal jantung dapat terjadi). 1
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah satu jam saat pemberian). Oleh karena untuk
mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital
yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas,
pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah
diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit,
dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. 1
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai

34
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih
berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit
menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka penderita diberikan tranfusi
darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. 1
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-
20 ml/kgBBdan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka
untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentrall dan
pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5
µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum
teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa,
elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral
penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat
diberikan obat inotropik/vasopresor.1

Kriteria Merujuk Pasien ke RS/ ICU : 6


a) Takikardi
b) Capillary Refil Time (<2 detik)
c) Kulit dingin, lembab dan pucat
d) Nadi perifer lemah atau hilang
e) Perubahan status mental
f) Oliguria
g) Peningkatan mendadak Ht atau peningkatan kontinyu Ht setelah terapi cairan
diberikan
h) Tekanan nadi sempit (<20 mmHg)
i) Hipotensi

3.11 Komplikasi
Infeksi primer pada demam dengue dan penyakit mirip dengue biasanya ringan dan dapat
sembuh sendirinya. Kehilangan cairan dan elektrolit, hiperpireksia, dan kejang demam adalah
komplikasi paling sering pada bayi dan anak-anak. Epistaksis, petekie, dan lesi purpura tidak
umum tetapi dapat terjadi pada derajat manapun. Keluarnya darah dari epistaksis, muntah atau
keluar dari rektum, dapat memberi kesan keliru perdarahan gastrointestinal. Pada dewasa dan
mungkin pada anak-anak, keadaan yang mendasari dapat berakibat pada perdarahan signifikan.

35
Kejang dapat terjadi saat temperatur tinggi, khususnya pada demam chikungunya. Lebih jarang
lagi, setelah fase febril, astenia berkepanjangan, depresi mental, bradikardia, dan ekstrasistol
ventrikular dapat terjadi. 12
Komplikasi akibat pelayanan yang tidak baik selama rawatan inap juga dapat terjadi berupa
kelebihan cairan (fluid overload), hiperglikemia dan hipoglikemia, ketidak seimbangan elektrolit
dan asam-basa, infeksi nosokomial, serta praktik klinis yang buruk.12
Di daerah endemis, demam berdarah dengue harus dicurigai terjadi pada orang yang
mengalami demam, atau memiliki tampilan klinis hemokonsentrasi dan trombositopenia. 12

3.12 Prognosis
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang didapat
secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50% pasien
dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus.
Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus
yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan
intrakranial.12

36
BAB IV

ANALISIS KASUS

Demam dengue/DF dan Demam berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic


fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
DSS (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan
(syok).
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan
Karibia. lndonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air.
Di Provinsi Jambi, kejadian Demam Berdarah Dengue telah menyebar ke seluruh kabupaten /
kota. Kota Jambi masih mencatat kasus tertinggi sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2015.
Pada tahun 2011 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kota Jambi sehingga total jumlah
kasus mencapai 1.879 kasus DBD di Provinsi Jambi.15
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, pasien mengeluhkan demam tinggi
sejak + 3 hari SMRS. Demam dirasakan terus-menerus disertai dengan menggigil dan nyeri
pada ulu hati. Pasien juga mengeluhkan mual muntah dan nyeri kepala yang dirasakan ± 1
hari SMRS.
Dengan adanya keluhan ini, dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding penyakit
pasien yang mungkin dapat menyebabkan demam tinggi yang terjadi akut, diantaranya
yaitu infeksi bakteri, virus maupun parasit. Infeksi bakteri yang mungkin dapat terjadi pada
umumnya yaitu Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) dan demam typhoid. Infeksi virus yang
mungkin dapat terjadi antara lain Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD),
atau Demam Chikungunya. Sedangkan infeksi parasit yang mungkin dapat menyebabkan
demam adalah Malaria.
Dari hasil anamnesis riwayat perjalanan penyakit didapatkan keluhan yang sesuai
dengan manifestasi klinis infeksi virus dengue yaitu adanya keluhan demam akut selama 2-
7 hari, disertai nyeri kepala. Diagnosis banding lain yang mungkin dapat menyerupai
infeksi dengue, misalnya diagnosis Malaria dapat disiingkirkan dari tidak adanya riwayat
berpergian ke daerah endemis. Tifoid juga dapat disingkirkan karena riwayat perjalanan
demam tidak memenuhi kriteria demam tifoid serta keluhan gastrointestinal tidak dominan
pada kasus.

37
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu (39,1°C), nyeri tekan
epigastrium, ptekie pada abdomen dan ekstremitas superior dan inferior, dan rumple leed
test positif, sesuai dengan manifestasi klinis yang terdapat pada DBD. Tidak didapatkan
adanya Tifoid tongue pada kasus, juga dapat membantu menyingkirkan diagnosis Demam
Tifoid.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien, dapat ditegakkan diagnosis
Suspek Demam Dengue (manifestasi klinis infeksi dengue dan perdarahan spontan tanpa
syok). Oleh karena kriteria diagnosis belum terpenuhi seluruhnya, dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, khususnya melihat kadar
hemoglobin, hematokrit, trombosit, dan leukosit. Selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan antigen NS 1 untuk deteksi awal demam hari pertama sampai kedelapan serta
uji serologis IgM dan IgG Dengue untuk menilai antibodi yang terbentuk akibat infeksi
virus Dengue. IgM terdeteksi pada hari 3-5, meningkat sampai minggu ketiga menghilang
setelah 60-90 hari. IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14 pada infeksi primer, pada infeksi
sekunder terdeteksi pada hari ke-2.
Pemeriksaan darah rutin laboratorium biasanya didapatkan trombositopenia pada
demam hari 3-8, yang disebabkan oleh supresi sum-sum tulang dan destruksi serta
pemendekan masa hidup trombosit. Kemudian pemeriksaan Hb dan Ht yang menunjukkan
peningkatan menandakan terjadinya plasma leakage, akibat dari peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular.
Hal ini didapatkan pada pasien dimana pada pemeriksaan laboratorium hari
pertama didapatkan nilai WBC 3,54x109/L Hb 15,5 g/dl, Ht 43,9% dan Trombosit
95.000/mm3. Monitoring penilaian laboratorium per 12 jam selanjutnya dibutuhkan untuk
melihat respon terapi yang diberikan pada pasien.
Pemeriksaan radiologis berupa foto thoraks juga perlu dilakukan untuk pasien. Hal
ini untuk melihat apakah terdapat efusi pleura, terutama pada hemithoraks kanan. Tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat efusi dapat dijumpai pada kedua hemithoraks.
Pemeriksaan rontgen sebaiknya pada posisi lateral dekubitus.1
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 3.1 dibawah ini.

38
Tabel 3.1 Derajat dan Klasifikasi DD/DBD.
DD/ Derajat Gejala Laboratorium
DBD
DD Demam disertai 2 atau leukopenia, Serologi
lebih tanda: sakit kepala, trombositopenia, Dengue
nyeri retro-orbital, mialgia, tidak ada bukti (+)
artralgia kebocoran plasma
DBD I gejala di atas ditambah uji Trombositopenia <
bendung positif 100.000, HT
meningkat ≥ 20 %
(bukti ada
kebocoran plasma)
DBD II gejala di atas ditambah Trombositopenia <
perdarahan spontan 100.000, HT
meningkat ≥ 20 %
(bukti ada
kebocoran plasma)
DBD III Gejala di atas ditambah Trombositopenia <
kegagalan sirkulasi (kulit 100.000, HT
dingin dan lembab serta meningkat ≥ 20 %
gelisah) (bukti ada
kebocoran plasma)
DBD IV Syok berat disertai dengan Trombositopenia <
tekanan darah dan nadi 100.000, HT
tidak terukur meningkat ≥ 20 %
(bukti ada
kebocoran plasma)

Maka dapat disimpulkan, pasien termasuk dalam kategori Demam Berdarah


Dengue Stage I. Pasien akan diberikan terapi tatalaksana berdasarkan penanganan Demam
Dengue Protokol 2 yang akan dibahas pada gambar 3.1 dibawah ini.

Gambar 3.1 Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DD dewasa diruang


rawat.1

39
Volume cairan kristaloid yang Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan :
1500 + 20 X ( BB dalam kg – 20 ). Pan American Health Organization: Dengue and
Dengue Hemorrhagic Fever: Guidelines for Prevention and Control. PAHO:
Washington,D.C,1994:67)
Tatalaksana pasien ini meliputi tirah baring, lalu edukasi mengenai penyakitnya,
memantau tanda-tanda bahaya dan syok pada pasien, untuk makanan konsumsi makanan
lunak dan memperbanyak asupan oral air putih. Tatalaksana farmakologi diberikan untuk
mengganti cairan yang hilang. Pada pasien dengan BB 60 kg : 1500 + 20 X ( 60 – 20) =
2300 ml. Maka pasien diberikan infus RL 30 tetes makro per menit. Lalu sebagai terapi
simptomatik pada pasien diberikan parasetamol oral 500mg/6jam (jika suhu >37,5°C).
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue. Penanganan suportif merupakan
yang terpenting, seperti pemeliharaan cairan sirkulasi terutama cairan oral. Bila asupan
cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.
Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya antibodi yang
didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-
50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat
ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung berhubungan dengan penatalaksanaan
awal dan intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan otak. yang disebabkan syok
berkepanjangan atau perdarahan intrakranial. Prognosis pasien ini bonam karena respon
terhadap terapi baik.
Kemudian Edukasi yang diberikan kepada pasien dan orang tua adalah penderita
harus istirahat, cukup minum, selain air putih dapat diberikan susu, jus buah, dapat
diberikan sedikit demi sedikit namun sering, menghindari dari gigitan nyamuk
(menggunakan lotion anti nyamuk atau memakai baju dan celana panjang), melakukan 3M
plus (menguras, menutup, mengubur tempat penampungan air, menaburkan bubuk abate,
memelihara ikan pemankan jentik nyamuk, membersihkan lingkungan, fogging, mencegah
gigitan nyamuk dan memantau).

40
BAB IV
KESIMPULAN

1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa
dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk pada hari
kedua.
2. Virus dengue tergolong dalam grup Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN – 3,
merupakan serotie yang paling banyak di Indonesia.
3. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.
4. Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit
kepala berat, sakit pada sendi dan ptekie. Karena seringnya terjadi perdarahan dan
syok maka pada penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh karena itu setiap
penderita yang diduga menderita Penyakit Demam Berdarah dalam tingkat yang
manapun harus segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit, mengingat sewaktu-waktu
dapat mengalami syok / kematian.
5. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis
ditambah trombosipenia dan peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan
diagnosis demam berdarah dengue.
6. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatik yaitu mengobati gejala
penyerta dan suportif yaitu mengganti cairan yang hilang.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan IlmuPenyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia; 2009. p.2773-2779.
2. Candra A. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator Vol 2, Journal of Vector-borne Disease. Diakses pada tanggal 2
Februari 2018. URL : http://ejournal.litbang.depkes.go.id
3. WHO. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Factsheet No 117, revised May 2008.
Geneva, World Health Organization, 2008. Diakses pada tanggal 3 Februari 2018. URL :
http://www.who.int/mediacentre
4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta, 2007.
5. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue. Medicinus. 2009;22(1):3-8
6. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL (Editor). Penatalaksanaan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia. Interna Publishing. 2015.
7. Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of
International Travel. Med Clin NAm. Vol. 92. 2008; p.1377-1390.
8. Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Medan. Universitas
Sumatera Utara; 2008.
9. World Health Organization. Dengue – Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention,
and Control. New Edition 2009.
10. Balmaseda A et al. Assessment of the World Health Organization scheme for
classification of dengue severity in Nicaragua. American Journal of Tropical Medicine
and Hygiene, 2007: p.1059–1062.
11. Nimmannitya S. Clinical spectrum and management of dengue haemorrhagic fever.
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 2008: p.392–397.
12. Halstead, S B. Dengue fever/dengue hemorrhagic fever. In: Behrman, R E.,Kliegman, R
M., Arvin A M (Ed) : Nelson textbook of pediatric. WB Saunders, Philadelphia. 2007.

42
13. Badan Litbangkes Kemenkes RI. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011,
Jakarta.2011.

43

You might also like