You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Umum

1. Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari

bagian tanaman obat, hewan atau biota laut. Zat-zat aktif tersebut terdapat

didalam sel. Namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula

ketebalannya. Sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pemilihan pelarut

tertentu dalam mengekstraksinya (Rusdi : 2014).

Umunya zat aktif yang terkandung dalam tanaman maupun hewan lebih

larut dalam pelarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dalam tanaman

yaitu dengan cara pelarut organik menembus dinding sel dan masuk kedalam

rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut sehingga terjadi

perbedaan konsentrasi antara larutan dengan konsentrasi tinggi akan berdifusi

keluar sel, dan proses ini berulang terus sampai terjadi kesetimbangan antara

konsentrasi zat aktif didalam dan diluar sel (Rusdi : 2014).

Pemeliharaan ekstraksi merupakan proses yang sangat penting untuk

mencapai hasil maksimum yang diinginkan. Zat aktif dalam simplisia

mempunyai karakteristik masing-masing yakni zat yang tahan pada pemanasan

sehingga metode ekstraksi digolongkan dalam 2 golongan yaitu :

(Kristianti,dkk : 2008).

a. Metode ekstraksi secara dingin


Metode ekstraksi secara dingin adalah metode ekstraksi yang

didalam proses kerjanya tidak memerlukan pemanasan.

b. Metode ekstraksi secara panas

Metode ekstraksi secara panas adalah metode ekstraksi yang

didalam prosesnya dibantu dengan pemanasan. Pemanasan dapat

mempercepat terjadinya proses ekstraksi karena cairan penyari akan lebih

mudah menembus rongga-rongga sel simplisia dan melarutkan zat aktif

yang ada dalam sel simplisia tersebut.

Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik,

antara lain : (Kristianti,dkk : 2008).

a. Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia

yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-

potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan

pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung

cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis cahaya atau perubahan

cahaya) dan dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali sehari). Waktu

lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope

mencantumkan 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak

memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar

perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin

banyak hasil yang diperoleh.


b. Perkolasi

Perkolasi dilakukan dalam wadah berbentuk slindris atau kerucut

(perkulator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan

pengekstraksi yang dialirkan secara kontinyu dari atas, akan mengalir

turun secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk

kasar. Melalui penyegaran bahan pelarut secara kontinyu, akan terjadi

proses maserasi bertahap. Jika pada maserasi sederhana tidak terjadi

ekstraksi sempurna dari simplisia oleh karena akan terjadi keseimbangan

konsentrasi antara larutan dalam sel dengan cairan disekelilingnya, maka

pada perkolasi melalui simplisia bahan pelarut segar perbedaan

konsentrasi selalu dipertahankan. Denga demikian ekstraksi total secara

teoritis dimungkinkan (praaktis jumlah bahan yang dapat diekstraksi

mencapai 95%).

c. Sokhletasi

Sokhletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi

diletakkan dalam kantung ekstraksi (kertas, karton dan sebagainya)

dibagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinyu

(perkulator). Wadah gelas yang mengandung kantung diletakkan

diantara labu penyulingan dengan pendingin aliran balik dan

dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi bahan

pelarutan yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik

melalui pipa yang berkondensasi didalamnya, menetes keatas bahan


yang diekstraksi dan menarik keluar zat yang diekstraksi. Larutan

berkumpul didalam wadah gelas dan mencapai tinggi maksimalnya

secara otomatis dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang

terekstraksi terakumulasi melalui penguapan bahan pelarut murni

berikutnya.

d. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada

titik didih pelarut tersebut. Selama waktu tertentu dan sejumlah pelarut

tertentudengan adanya pendinginan balik (kondensor). Umumnya

dilakukan tiga kali sampai lima kali pengulangan proses pada residu

pertama agar proses ekstraksinya sempurna.

e. Digesti

Digesti adalah proses ekstraksi dengan pengadukan kontinu pada

temperatur tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan

pada temperatur 40-50°c.

f. Infudasi

Infudasi adalah ekstraksi dengan cara perebusan, dimana

pelarutnya adalah air pada temperatur 86-98°c selama 14-20 menit.

Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan yang

mengandung mucilage dan bersifat mengembang kuat hanya boleh dengan cara maserasi,

sedangkan kulit dan akar sebaiknya diperkolasi. Untuk bahan yang tahan panas sebaiknya
diekstraksi dengan cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karena pemanasan

dapat diekstraksi dengan cara sokhlet (Brink,M : 2003).

Hal yang perlu diperhatikan dalam ekstraksi yaitu pada umumnya untuk

menghindari reaksi enzimatik dan hidrolisis, maka dilakukan perendaman simplisia dalam

alkohol yang mendidih untuk mematikan jaringan simplisia. Alkohol secara umum sangat

baik untuk proses ekstraksi awal simplisia. Proses ekstraksi paa simplisia berdasarkan prinsip

kesetimbangan konsentrasi, apabila konsentrasi antara pelarut dan simplisia telah seimbang

maka pelarut akan jenuh dan tidak dapat menarik kandungan kimia dan simplisia oleh

karena itu dilakukan penambahan pelarut baru dalam metode ekstraksi jenis tertentu

(Brink,M : 2003).

Ekstraksi pada simplisia jaringan hijau (berklorofil) bola diekstraksi ulang warna

hijau hilang sempurna, maka diasumsikan seluruh klorofil dan senyawa yang berbobot

rendahlainnya sudah terekstraksi seluruhnya (Brink,M : 2003).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesetimbangan konsentrasi dalam

ekstraksi : (Brink,M : 2003)

- Perbandingan jumlah simplisia dan pelarut

- Proses difusi sel yang utuh

- Lama perendaman dan pengembangan simplisia

- Kecepatan proses disolusi simplisia yang terintegrasi

- Keceparan terjadinya kesetimbangan

- Suhu dan pH interaksi senyawa terlarut dan tidak larut

- Tingkat lipopilitas (kepolaran)


2. Kromatografi

Kromatografi merupakan teknik pemisahan senyawa campuran berdasarkan

perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedan koefisien distribusi masing-masing

senyawa diantara dua fase yang saling bersinggungan dan tidak saling campur, yang disebut

sebagai fase gerak (mobile phase) yang berupa zat cair atau zat gas, dan fase diam

(stationary phase) yang berupa zat cair atau zat padat. Apabila pemilihan kedua fase

dilakukan secara tepat, maka lambat laun komponen sampel akan memisah. Aplikasi

kromatografi berkembang dengan cepat sehingga memungkinkan diperoleh suatu

pemisahan isolasi, dan identifikasi komponen-komponen dengan struktur yang hampir sama

satu dengan yang lain yang terdapat dalam suatu sampel. Hal tersebut tidak mungkin

diperoleh dengan cara pemisahan yang lain. Teknik kromatografi digunakan pada hampir

setiap metode analisis sampel kompleks karena kemampuan pemisahannya, kecepatannya,

dan penggunaan jumlah sampel yang sedikit (Welveni : 2010).

a. Klasifikasi Kromatografi

Metode kromatografi secara umum dapat dibedakan berdasarkan fase

gerak dan fase diam yang digunakan. Berdasarkan fase gerak, kromatografi

dibedakan menjadi kromatografi gas (GC = gas chromatoggraphy) dan kromatografi

cair (LC = liquid chromatography). Berdasarkan fase diam dapat digunakan sebagai

dasar klasifikasi selanjutnya. Padatan yang bersifat sebagai absorben, dapat

digunakan sebagai fase diam dengan mekanisme pemisahan berdasarkan kekuatan

interaksi fisik permukaan (adsorpsi) diantara kedua fase. Bila fase geraknya gas

disebut kromatografi gas padat (GSC = gas solid chromatography), dan bia fase
geraknya cair disebut kromatografi cair padat (LSC = liquid soid chromatography).

Fase diam cair yang disalutkan pada penyangga padatan, dapat digunakan sebagai

fase diam degan mekanisme pemisahan berdasarkan partisi komponen sampel

diantara dua cairan yang tidak saling tercampur. Bila fase geraknya gas disebut

kromatografi gas cair (GLC = gas liquid chromatography), dan bila fase geraknya cair

disebut kromatografi cair cair (LLC = liquid liquid chromatography). Dengan

demikian, kromatografi cair-cair disebut juga sebagai sebagai kromatografi partisi

dan kromatografi cair padat disebut juga sebagai kromatografi penyerapan atau

adsorpsi. Dalam kromatografi cair dikenal dua metode yang lain, yaitu kromatografi

penukar ion (IEC = ion exchange chromatography) dan kromatografi eksklusi (EC =

exclusion chromatography). Pada kromatografi penukar ion, komponen ionik

sampel dipisahkan berdasarkan pertukaran selektif dengan ion counter pada fase

diam. Pada kromatografi eksklusi pemisahan terjadi berdasarkan ukuran dan

geometri molekul (Welveni : 2010).

Bersadarkan kepolaran relatif fase diam terhadap fase gerak, maka

kromatografi dibedakan menjadi kromatografi fase normal (normal phase) dan fase

terbalik (reversed phase). Pada kromatografi fase normal digunakan fase diam polar

dan fase gerak non polar, sedangkan pada kromatografi fase terbalik fase diam

relatif non polar dibanding fase gerak (Welveni : 2010).

Berdasarkan instrumen yang digunakan, kromatografi dibedakan menjadi

kromatografi kolom dan kromatografi planar. Apabila fase diam didapatkan di

dalam pipa gelas atau pipa logam, kemudian fase gerak gas atau cair dialirkan
melalui fase diam tersebut berdasarkan gravitasi ataupun dengan tekanan, maka

cara ini disebut sebagai kromatografi kolom. Apabila fase diam berupa kertas

berpori (kromatigrafi kertas) ataupun padatan halus yang diratakan pada plat gelas

atau plat aluminium (kromatografi lapis tipis), kemudian fase gerak cair akan

bergerak karena pengaruh daya kapilaritas (metode ascendens) atau gravitasi

(metode descendens), maka cara ini disebut sebagai kromatografi planar

(Welveni : 2010).

Kromatografi Lapis Tipis

Kromatograf Lapis Tipis (KLT), dapat digunakan dengan 2 tujuan yaitu sebagai

metode untu mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, preparatif dan untuk menjajaki sistem

fase gerak dan sistem fase diam yang akan digunakan pada kromatografi kolom ataupun

kromatografi cair kinerja tinggi. Teknik operasional pada KLT hampir hampir sama dengan

KK, namun sebagai pengganti ketas adalah lapsan tipis dari partikel halus adsorben pada

permukaan lempeng gelas, logam, atau plastik. Fase diam pada KLT sering disebut adsoren,

walaupun pada kondisi tertentu dapat berfungsi sebagai penyangga zat cair pada sistem

partisi. Dengan demikian penggunaan istilah adsorben bukan berarti bahwa mekanisme

pemisahan selalu berdasarkan adsorpsi atau partisi, tergantung kondisi percobaan dan

metode pembuatan lempeng (Welveni : 2010).

Fase diam

Sifat fase diam yang satu dengan fase diam yang lain berbeda karena strukturnya,

ukurannya, kemurniannya, zat tambahan sebagai pengikat dll. Fase diam yang digunakan

TLC tidak sama dengan yang digunakan untuk kromatografi kolom, terutama karena ukuran
dan zat yang ditambahkan. Fase diam dijual dengan spesifikasi tertentu, lalu ukuran

(diameter) dalam mesh atau jam dan untuk kegunaannya (mis: untuk TLC atau kromatografi

kolom) (Ad-dauzi : 2008).

Silika gel

Silika gel merupakan fase diam yang sering diguakan pada TLC. Dalam perdagangan dijual

dengan variasi ukuran (diameter) 10-40 𝜇m. Semakin kecil diameter akan semakin lambat

kecepatan air fase geraknya dengan demikian mempengaruhi kualitas pemisahan. Luas

permukaan silika gel bervariasi daro 300-1000 m2/g. Bersifat higroskopis, pada kelembapan

relatif 45-75% dapat mengikat air 7-20%. Macam-macam silika gel yang dijual dipasaran:

silika gel dengan pengikat. Pada umumnya digunakan pengikat gypsum, (CaSO4 5-15%). Jenis

ini diberi nama silika gel G. Ada juga menggunakan pengikat pati ( strach) dan dikenal silika

gel S, penggunaan pati sebagai pengikat mengganggu penggunaan asam sulfat sebagai

pereaksi penentuan bercak (Ad-dauzi : 2008).

3. Identifikasi Senyawa Kimia

Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia

yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang

terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan

dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi wana. Hal

penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan

metode ekstraksi (Kristianti,dkk : 2008).

Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif Senyawa-senyawa metabolit

sekunder, suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam metabolit sekunder
yang berperan dalam aktivitas biologisnya. Senyawa-senyawa tersebut dapat

didefenisikan dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap

golongan dari metabolit sekunder (Kristianti,dkk : 2008).

Penapisan kimia adalah pemeriksaan kandungan kimia secara kualitatif untuk

mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu tumbuhan. Pemeriksaan

dilakukan pada senyawa metabolit sekunder yang memiliki khasiat bagi kesehatan

seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid, tanin, dan saponin (Harborne,J.B : 1987).

Pendekatan foitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia dalam tumbuhan

atau bagian tumbuhan akar,batang, daun, bunga, buah dan biji, terutama kandunga

metabolit sekunder yang bioaktif yaitu alkaloida, antarkuinon, flavonoida, glikosida

jantung, saponin steroid dan, tanin, minyak atsiri terpenoid, iridoid, dan sebagainya.

Dengan tujuan pendekatan skrining fitokimia adalah untuk mensurvei tumbuhan untuk

mendapatkan kandungan bioaktif atau kandungan yang bergunauntuk pengobatan

(Harborne,J.B : 1987).

Adapun metode yang digunakan atau dipilih untuk melakukan skrining fitokimia

harus memenuhibeberapa persyarata antara lain : (Robinson : 1995)

a. Sederhana

b. Cepat

c. Dapat dilakukan dengan peralatan minimal

d. Selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari

e. Bersifat semi kuantitatif yaitu memiliki batas kepekan untuk senyawa yang

dipelajari
f. Dapat memberikan keterangan tambahan ada tidaknya senyawa dari golongan

yang dipelajari.

Bentuk identifikasi metabolit sekunder yang terdapat pada suatu ekstrak digunakan

berbagai metde berikut : (Robinson : 195)

1. Senyawa fenolik

Identifikasi adanya senyawa fenolik dalam suatu cuplikan dapat dilakukan dengan

pereaksi besi klorida 2% dalam etanol. Adanya senyawa fenolik ditujukan dengan

timbulnya warna hijau, merah, ungu, biru, atau hitam yang kuat.

2. Senyawa golongan saponin (steroid dan terpenoid)

Saponin adalah suatu glikosida yang larut dalam air dan mempunyai karakteristik

dapat membentuk busaapabila dikocok, serta mempunyai kemampuan menghemolisisi

sel darah merah. Saponin mempunyai toksisitas yang tinggi. Berdasarkan strukturnya

saponin dapat dibedakan atas dua macam yaitu saponin yag mempunyai rangka steroid

dan saponin yang mempunyai rangka terpenoid. Berdasarkan pda strukturnya saponin

memberikan reaksi warna yang karakteristik denga pereaksi liberman-buchard

3. Senyawa golongan alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa nitrogen yang terdapat dalam tumbuhan. Ataom

nitrogen yang terdapat pada molekul alkaloid pada umumnya merupakan atom nitrogen

sekunder atau tersier dan kadang-kadang terapat atom nitrogen kuartener. Salah satu

pereaksi untuk mengidentifkasi adanya alkaloid menggunakan pereaksi dragendorff dan

pereaksi mayer.

4. Senyawa Glikosida
Glikosida merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang termasuk dalam

kelompok metabolik sekunder. Didalam tanaman gikosida tidak lagi menjadi senyawa

lain, kecuali bila memang mengalami peruraian akbat pengaruh lingkungan luar

(misalnya terkena panas dan teroksidasi udara).

Glikosida adalah senywa yang terdiri atas gabungan dua bagian senyawa, yaitu gula

dan bukan gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu ikatan berupa jembatan oksigen (O-

glikosida, dioscin), jembatan nitrogen (N-gliosida, adenosine), jembatan sulfur (S-

glikosida, sinirgin), maupun jembatan karbon (C-glikosida, barbaloin). Bagian gula biasa

juga disebut glikon sedangkan bagian bukan gula disebut dengan aglikon atau genin.

Apabila glikon dan aglikon saling terikat maka senyawa ini disebut sebagai glikosida.

5. Senyawa Tanin

Tanin merupakan golongan umum senyawa golongan polimer fenolik (Cowan,

1999).tanin merupakan bahan yang dapat merubah kulit merah menjadi kulit siap pakai

karena kemampuannya menyambung silangkan protein dan mengendapkan gelatin

dalam larutan. Untuk mengetahiu senyawa tanin, digunakan larutan gelatin dan FeCl3.

Perubahan warna yang terjadi karena penambahan FeCl3, karena terbentuknya Fe3+-

tanin dan Fe3+- polifenol. Atom oksigen pada tanin dan polifenol mempunyai pasangan

elektron yang mampu mendonorkan elektronnya pada tanin dan polifenol mempunyai

pasangan elektron yang mampu mendonorkan elektronnya pada Fe3+- yang mempunyai

orbital d kosong membentuk ikatan kovalen koordinat sehingga menjadi suatu kompleks

(Syarifuddin, 1994).

6. Senyawa Flavonoid
Salah satu kelas yang banyak tersebar dari senyawa fonolat adalah flavonoid.

Golongan ini memberikan warna pada buah dan bunga. Flavonoid telah banyak

dikarakterisasi dan digolongkan berdasarkan struktur kimianya. Flavonoid adalah

senyawa fenolat yang terhidrolisasi dan merupaan senyawa C6-C3-C6 dimana C6 diganti

dengan cincin benzena dan Cc3 adalah rantai alifatik yang terdiri dari cincin piran. Ada 7

tipe flavonoid yaitu flavon, flavonol, khalkon, xanton, isoflavon, dan biflavon.

Uji flavonoid dengan HCl untuk mendeeksi senyawa yangmengandung inti

benzopiranon. Warnamerah ungu yang terbentuk merupakan garam benzopirilium, yang

disebut juga garam flavilium (Achmad, 1986).

You might also like