You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik


glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio
protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (serum
albumin < 3,0 g per dL), hiperlipidemia (total kolesterol > 10mmol/L), dan
manifestasi klinis edema perifer.1,2 Sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua usia,
dengan perbandingan pria dan wanita 1:1 pada orang dewasa. Sindrom nefrotik dapat
dibagi menjadi sindrom nefrotik primer (idiopatik) yang berhubungan dengan
kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan sindrom nefrotik
sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu seperti infeksi, penyakit sistemik,
penyakit metabolik, obat-obatan dan lain-lain.2,3
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri atas pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretika disertai diet rendah garam
dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan
dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan/atau asetazolamid.
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg BB/hari dapat
mengurangi proteinuria.1,4,11 Dislipidemia merupakan salahsatu komplikasi pada
sindrom nefrotik yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Obat penurun
lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat
menurunkan kolesterol, low dencity lipoprotein (LDL), trigliserida, dan
meningkatkan kolesterol high dencity lipoprotein (HDL).5,11

1
2. Tujuan

Sindrom nefrotik yang terjadi berpotensi mengakibatkan terjadinya kerusakan


secara progresif pada ginjal, hal ini berdampak pada tingginya biaya yang harus
dikeluarkan penderita maupun negara dalam pembiayaan. Penyakit sindrom nefrotik
merupakan masalah penting yang memerlukan perhatian khusus. Mengetahui
penyakit sindrom nefrotik secara dini merupakan hal yang dapat mencegah
perburukannya. Oleh karena itu, edukasi dan pencegahan dini penting untuk
dilakukan.

Referat ini bertujuan untuk menambah wawasan sekaligus menjadi rujukan


edukasi mengenai penyakit sindrom nefrotik. Selain itu, referat ini juga merupakan
salah satu syarat dalam menyelesaikan stase ilmu penyakit dalam.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang terletak pada regio retroperitoneal di kanan dan
kiri columna vertebralis setinggi Th12 hingga L3. Ginjal kanan lebih rendah dari
ginjal kiri karena terdapat hepar di superiornya. Pembungkus ginjal adalah fascia
renalis, jaringan adiposa dan capsula renalis. Ginjal terdiri atas 3 lapisan yaitu korteks
renalis, medulla renalis dan pelvis renalis6,7

Korteks mengandung jutaan filter yang disebut nefron. Setiap nefron terdiri
dari glomerulus dan tubulus. Medulla ginjal berbentuk triangular, seperti piramida
terbalik. Piramida ginjal berfungsi mengalirkan hasil ekskresi ke pelvis ginjal. Ginjal
diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis. Kedua pembuluh darah ini berperan
dalam menyalurkan darah masuk dan keluar dari ginjal6,7

3
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah
dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan cairan
dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat tetap stabil,
serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam mengendalikan
tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap kuat6,7

Setiap hari, kedua ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah dan
menghasilkan sekitar 1-2 liter urin. Tiap ginjal tersusun dari sekitar sejuta unit
penyaring yang disebun nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus menyaring cairan dan limbah untuk dikeluarkan serta mencegah
keluarnya sel darah dan molekul besar yang sebagian besar berupa protein.
Selanjutnya melewati tubulus yang mengambil kembali mineral yang dibutuhkan
tubuh dan membuang limbahnya. Ginjal juga menghasilkan enzim renin yang
menjaga tekanan darah dan kadar garam, hormon erythropoietin yang merangsang
sumsum tulang memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif
vitamin D yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang6,7.

2. Penyakit Sindrom Nefrotik

A. Definisi

Sindrom nefrotik didefinisikan sebagai kumpulan gejala dari


glomerulonefritis yang terdiri dari proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio
protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (serum
albumin < 2.5 g per dL), hiperlipidemia (total kolesterol > 10 mmol/L), dan
manifestasi klinis edema perifer.1,2

Menurut National Institute of Diabetes and Digestives and Kidney Disease /


NIDDK, sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala kerusakan ginjal yang terdiri atas

4
albuminuria, hiperlipidemia, dan edema atau dengan kata lain merupakan kombinasi
proteinuria nefrotik dengan tingkat albumin serum rendah dan terjadinya edema.8

Gambar 2. Sindrom nefrotik

B. Epidemiologi

Sindrom nefrotik dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria
dan wanita 1:1 pada orang dewasa. Kejadian sindrom nefrotik pada orang dewasa
mencapai 3:100.000 orang per tahun. Pada umumnya sindrom nefrotik yang terjadi
pada orang dewasa bersifat idiopatik. Sindrom nefrotik tipe nefropati membranosa
merupakan penyebab tersering pada masyarakat kulit putih, sedangkan tipe focal
segmental glomerulosclerosis sering terjadi pada masyarakat kulit hitam. 1,3,9

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Working Group for the Renal Biopsy
Jepang, penyebab terbanyak dari sindrom nefrotik primer ialah kerusakan dari
glomerulus ginjal, sedangkan penyebab terbanyak dari sindrom nefrotik sekunder

5
ialah diabetic nefropati dan nefropati amiloid terutama pada pasien-pasien yang
berusia 65 tahun.2,8

Gambar 3. Epidemiologi sindrom nefrotik

C. Klasifikasi dan Etiologi

1. Sindroma nefrotik primer/idiopatik


Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling
sering. Beberapa jenis glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari sindrom
nefrotik pada orang dewasa pada anak-anak. Pada orang dewasa keadaan ini
disebabkan oleh gangguan sistemik (terutama diabetes, amiloidosis dan thrombosis
vena renalis) dimana ginjal terlibat secara sekunder atau karena mengalami respon
abnormal terhadap obat atau allergen lain.2,3,9
Sindroma nefrotik primer atau idiopatik merupakan sindroma nefrotik yang
berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab yang tidak diketahui
dan merupakan penyebab sindroma nefrotik yang paling sering terjadi, dimana pada
setiap tipe tersebut dapat ditemukan deposit immunoglobulin. Berdasarkan
histopatologi yang tampak pada biopsy ginjal, maka sindrom nefrotik primer dapat
diklasifikasikan menjadi : 2,3,9

6
a. Glomerulonefritis lesi minimal (SNLM)
Merupakan penyebab utama sindroma nefrotik pada anak-anak, jarang terjadi pada
dewasa. Dengan mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus
sedangkan pada mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus yang
membengkak dan bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak
ada hipertensi. Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan
pemberian steroid. Sering mengalami remisi spontan. 1,2,3,9
b. Glomerulonefritis fokal segmental (GSFS)
c. Glomerulonefritis proliferative mesangial
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit
progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Ciri khasnya adalah
kadar komplemen serum yang rendah. 2,3,9
e. Glomerulonefritis membranosa (GNM)
Merupakan tipe sindrom nefrotik yang sering terjadi pada pada orang dewasa. Pada
mikroskop biasa terlihat gambaran penebalan dinding kapiler, pada mikroskop
electron terlihat kelainan membrane basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon
terhadap steroid dan prognosis mortalitas mencapai 50%.2,3,9

2. Sindroma nefrotik sekunder :

a. Infeksi
HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma , tuberkulosis, dan
lepra
b. Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodkin,
myeloma multiple dan karsinoma ginjal
c. Penyakit jaringan penghubung

7
Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid, MCTD (Mixed connective
tissue disease)
d. Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non steroid (OAINS), preparat emas, penisilamin,
captopril. 2,3,9

D. Patofisiologi

1. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaaan normal membran basal glomerulus
memunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul
protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-selektif apabila protein
yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria
ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus. Pada sindrom nefrotik
yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif . Pemeriksaan
mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus
dan terlepasnya sel dari struktur membran basal glomerulus. Berkurangnya
kandungan heparin sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif
membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada
GSFS, peningkatan permeabilitas membran basal glomerulus disebabkan oleh suatu
faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral

8
glomerulus terlepas dari membran basal glomerulus sehingga permeabilitasnya
meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur membran basal glomerulus terjadi akibat
endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN
akan meningkatkan permeabilitas membran basal glomerulus, walaupun mekanisme
yang pasti belum diketahui.1,2,10,11

2. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik hipoalbuminemia disebabkan
oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk
mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis
albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi
dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminema dapat
pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proksimal. 1,2,10,11

3. Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci
terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan
bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal

9
menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien sindrom
nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi steroid, derajat
gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit
jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. 1,2,10,11

4. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai sindrom nefrotik.
Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar Low
dencity lipoprotein (LDL) pada sindrom nefrotik disebabkan peningkatan sintesis hati
tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi Very
low dencity lipoprotein (VLDL) dan Intermediet dencity lipoprotein (IDL) menjadi
low dencity lipoprotein (LDL) menyebabkan kadar Very low dencity lipoprotein
(VLDL) tinggi pada sindrom nefrotik. Menurunnya aktivitas enzim lipoprotein lipase
diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme Very low dencity lipoprotein
(VLDL) pada sindrom nefrotik. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat
tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar high dencity
lipoprotein (HDL) turun diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim lecithin
cholesterol acyltransferase yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan high
dencity lipoprotein (HDL). Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari
sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas lecithin cholesterol
acyltransferase diduga terkait dengan hipoalbuminemia yangterjadi pada sindrom
nefrotik. 1,2,10,11

10
E. Manifestasi Klinis

Edema merupakan gejala utama dan tidak jarang merupakan keluhan satu-
satunya dari sindrom nefrotik. Timbul terutama pagi hari dan hilang pada siang hari.
Edema menetap setelah beberapa minggu atau bulan. Lokasi edema biasanya
mengenai kelopak mata, tungkai, perut, thorak dan genitalia. Pada sindrom nefrotik
dengan hipoalbuminemia berat edema akan mengenai seluruh tubuh yang biasa
dinamakan edema anasarka. 1,2,9,11
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan
ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema
dimukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan dipemeriksaan fisik, hal ini
dimungkinkan terjadi dikarenakan sintesis albumin yang meningkat atau edema. 1,2,9,11

F. Diagnosis

Diagnosis Sindroma Nefrotik di tegakkan berdasarkan :

a. Anamnesis
1) Keluhan utama berupa bengkak yang tampak di sekitar mata dan
ekstremitas bawah dengan jenis pitting edema. Seiring berjalannya waktu
edema menjadi umum dan terjadi peningkatan berat badan 1,2
b. Pemeriksaan fisis
1) Tanda vital dalam batas normal. Hipertensi jarang ditemukan.
2) Inspeksi : terdapat edema pada periorbita maupun ekstremitas
3) Palpasi : pitting edema
4) Perkusi : dapat timbul asites pada abdomen (shifting dullness), efusi pleura 1,2
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah
2) Kadar kolesterol dan trigliserida serum meningkat

11
3) Kadar albumin serum < 2g/dL
4) Pemeriksaan faal ginjal, ureum meningkat jika terjadi keseimbangan nitrogen
negatif
5) Pemeriksaan urin
6) Proteinuria +3 atau +4, atau >2g/24 jam
7) Hematuria mikroskopis (hematuria makroskopis jarang terjadi)
8) Fungsi ginjal dapat normal atau menurun 1,2

G. Penatalaksanaan

Non Farmakologis
1. Diet
a) Pembatasan protein dan rendah garam sekitar 2gram / hari (pada stadium
edema dan selama pemberian kortikosteroid . Pembatasan asupan protein
0,8-1,0 g/kg BB/hari.1,4
b) Cairan dibatasi < 1.500mL / hari. 9
c) Pemberian kalsium dan vitamin D . 4
d) Diet rendah total kalori <30% kkal4

2. Tirah baring/rawat inap

Farmakologis
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri atas pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretika disertai diet rendah garam
dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan
dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan/atau asetazolamid.
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg BB/hari dapat

12
mengurangi proteinuria.1,4,11 Dislipidemia merupakan salahsatu komplikasi pada
sindrom nefrotik yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Obat penurun
lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat
menurunkan kolesterol, low dencity lipoprotein (LDL), trigliserida, dan
meningkatkan kolesterol high dencity lipoprotein (HDL).11

a) Sindrom Nefrotik Primer Lesi Minimal


Pada tipe ini, terapi yang diberikan ialah prednisolon dosis tunggal, dengan dosis
awal 0,8-1,0 mg/kg/hari (maksimal 60mg/hari), dan dilanjutkan selama 1-2 minggu
setelah terjadi resmisi. Pada pasien dengan kasus sindrom nefrotik berulang akibat
resisten steroid dapat diberikan golongan imunosupresan yakni siklosporin 1,5-3,0
mg/kg/hari, siklosfosfamid 50-100mg/kg/hari atau dengan mizoribine 150mg/hari.1,2

Gambar 4. Algoritma terapi pada sindrom nefrotik primer, tipe lesi minimal

13
b) Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS)
Pada tipe ini, terapi yang diberikan ialah prednisolon dosis tunggal, dengan dosis
awal 0,8-1,0 mg/kg/hari (maksimal 60mg/hari), dan dilanjutkan selama 1-2 minggu
dan dilanjutkan dosis tapering setelah remisi. Pada pasien dengan kasus sindrom
nefrotik berulang akibat resisten steroid dapat diberikan kombinasi steroid dan
imunosupresan siklosporin 2,0-3,0 mg/kg/hari.1,2

Gambar 5. Algoritma terapi sindrom nefrotik tipe focal segmental glomerulosclerosis

c) Nefropati Membranosa

Pada tipe ini, terapi yang diberikan ialah prednisolon dosis tunggal, dengan dosis
awal 0,8-1,0 mg/kg/hari (maksimal 60mg/hari), dan dilanjutkan selama 4 minggu dan
dilanjutkan dosis tapering setelah remisi. Pada pasien dengan kasus sindrom nefrotik
berulang akibat resisten steroid dapat diberikan imunosupresan siklosporin 2,0-3,0
mg/kg/hari, siklosfosfamid 50-100mg/kg/hari atau dengan mizoribine 150mg/hari.1,2

14
Gambar 6. Algoritma terapi sindrom nefrotik tipe nefropati membranosa

d) Terapi tambahan lainnya


1) Penghambat sistem Renin-angiotensin
Obat yang dapat digunakan adalah ACE inhibitor dan ARB. Pemberian terapi
ini dapat mengurangi proteinuria yang terjadi dengan menguranngi tekanan
hemodinamik pada glomerulus, selain itu terapi ini juga efektif pada pasien
dengan dan tanpa hipertensi.1,2
2) Diuretik
Pasien sindrom nefrotik dengan manifestasi klinik edema, direkomendasikan
untuk menggunakan diuretic oral golongan loop diuretic untuk mengurangi
edema yang terjadi, contoh diuretic oral yang diberikan ialah furosemid. 1,2
3) Albumin
Pemberian albumin direkomendasikan pada pasien dengan syok berat dan
terjadinya edema pulmonal.2

15
4) Statin
Pasien sindrom nefrotik direkomendasikan pemberian statin untuk memperbaiki
gangguan metabolism lipid sehingga dapat mengurangi hiperkolesterolemia.
Obat golongan statin yang digunakan seperti simvastatin, pravastatin, dan
lovastatin.1,2,11

H. Komplikasi

1. Keseimbangan nitrogen

Proteinuria masif pada sindrom nefrotik akan menyebabkan keseimbangan nitrogen


menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup
oleh gejala edema anasarka dan tampak setelah edema menghilang. Kehilangan
massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada sindrom nefrotik.1,8,11

2. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada sindrom nefrotik akibat
peningkatan koagulasi intravascular. Pada sindrom nefrotik akibat GNMN
kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan sindrom
nefrotik pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis
vena dalam (deep vein thrombosis=DVT) sering dijumpai pada sindrom nefrotik.
Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor
koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada sindrom nefrotik
cukup kompleks meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan
penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan
sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin. 1,8,11

3. Metabolisme kalsium dan tulang


Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin

16
sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D
plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami
gangguan. Karena fungsi ginjal pada sindrom nefrotik umumnya normal maka
osteomalasia atau hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang dijumpai. Pada
sindrom nefrotik juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein melalui
urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang
menstimulasi tiroksin (TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan
gangguan. 1,8,11

4. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada
sindrom nefrotik terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms).
Infeksi pada sindrom nefrotik terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan
ganggauan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering
ditemukan pada pasien sindrom nefrotik oleh karena sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin.
Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas
selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh
sel T agar dapat berfungsi dengan normal. 1,8,11

5. Gangguan Fungsi Ginjal


Pasien sindrom nefrotik memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering
menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan
menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang
menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan
berkembang menjadi gagal ginjal kronik. Proteinuria merupakan faktor risiko penentu
terhadap progresivitas sindrom nefrotik. Progresivitas kerusakan glomerulus,

17
perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium dikaitkan
dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada sindrom nefrotik, walaupun
peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui secara pasti. 1,8,11

18
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas
 Nama : Ny. M
 Jenis kelamin : Perempuan
 Umur : 38 Tahun
 Alamat : Palupi
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Tanggal Masuk RS : 13 Agustus 2018
 Tanggal pemeriksaan : 14 Agustus 2018 dan tanggal 26 Oktober 2018
 Ruangan : Walet Bawah dan Cendrawasih Bawah

B. Anamnesis
 Keluhan utama: Bengkak seluruh badan
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien perempuan usia 38 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak seluruh
badan yang dialami kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
timbul pada pagi hari diawali pada wajah, pada kedua kelopak mata kemudian pada
tungkai dan kemudian diseluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan sesak yang dialami
sejak kurang lebih 1 minggu yang berlangsung secara terus-menerus, sesak memberat
bila tidur posisi terlentang sehingga membutuhkan 2 bantal ketika tidur. Pasien tidak
mengeluh sesak saat beraktivitas maupun terbangun malam karena sesak. Pasien
tidak batuk, tidak nyeri dada, tidak flu. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri
pada uluhati yang dialami sejak kurang lebih 1 minggu bersifat hilang timbul. Pasien
tidak mengalami mual dan muntah. Pasien tidak demam, tidak sakit kepala. Buang air
kecil dan buang air besar biasa.

19
 Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat hipertensi
- Riwayat DM tipe 2
- Riwayat pemeriksaan kolesterol > 300
 Kebiasaan (Lifestyle)
- Tidak ada riwayat merokok dan konsumsi alkohol.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama
 Riwayat Pengobatan: -
C. Pemeriksaan Fisis
 Keadaan Umum:
Sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6(Composmentis)
 Tanda Vital
TD : 160/100 mmHg
Nadi : 77 x/menit
Pernafasan : 28x/menit
Suhu : 37.1oC
Kepala
 Bentuk : Normocephal
 Rambut : Hitam lurus
 Mata :Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-).
 Telinga : Pendengaran normal
 Mulut : bibir Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
Leher
 KGB : Pembesaran (-)
 Tiroid : pembesaran (-)
 Massa lain : tidak ada

20
Thoraks
Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk dada simetris bilateral
 Palpasi : Vokal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
 Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tampak pada ICS VI linea axillaris anterior
 Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS VI linea axillaris anterior
 Perkusi : Batas jantung melebar pada apex cordis
 Auskultasi : S1 dan S2 murni reguler.
Abdomen

 Inspeksi : perut cembung, lembab


 Auskultasi : Peristaltik sulit dinilai
 Palpasi : Hepar dan lien sulit dinilai
 Perkusi : Shifting dullness (+)
Ektremitas

 Superior : akral hangat (+/+) edema (+/+)


 Inferior : akral hangat (+/+) edema (+/+)

D. Hasil PemeriksaanLaboratorium
DARAH LENGKAP (13/08/2018) NILAI RUJUKAN
WBC 8.2 x 103/mm3 4,8 – 10.8
RBC 3.75 x 106/uL 4.0 – 6,1
HGB 10.9 g/dL 14-18
HCT 32.3 % 40 – 54
MCV 86 fL 80-100

21
MCH 29.2 pg 27 – 32
MCHC 33.8 g/Dl 32 – 36
PLT 411 x 103/uL 150 -450

PEMERIKSAAN KIMIA DARAH DAN


NILAI RUJUKAN
FUNGSI GINJAL (15/08/2018)
CHOLESTEROL 389 0 – 200
LDL 275 0 – 130
HDL 38 35-55
TRIGLISERIDA 489 0 – 200
ASAM URAT 10.2 3.4-7.00
UREUM 64 15 – 48
CREATININ 3.70 0.50 – 0.90

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


ELEKTROLIT DAN
ALBUMIN (15/08/2018)
K+ 4.08 3.48-5.50 mmol/L
Na+ 138.02 135.37-145.00 mmol/L
Cl- 108.13 96.00-106.00 mmol/L
Albumin 2.5 3.5 – 5.4 g/dL

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN


URINALISIS
(15/08/2018)
PH 6.0 4.8-8.0
BJ 1.020 1.003-1.022
PROTEIN +3 Negatif

22
REDUKSI Negatif Negatif
UROBILINOGEN Negatif Negatif
BILIRUBIN Negatif Negatif
KETON Negatif Negatif
NITRIT Negatif Negatif
BLOOD +3 Negatif
LEKOSIT Negatif Negatif
VITAMIN C Negatif Negatif
SEDIMEN
LEKOSIT 1-3 0-5
ERITROSIT 17-19 0-3
KRISTAL Negatif Negatif
GRANULA Negatif Negatif
EPITEL SEL + Negatif
HIFA Negatif Negatif
AMOEBA Negatif Negatif

PEMERIKSAAN Pyelonephritis
RADIOLOGI

USG ABDOMEN

23
E. Resume
Pasien perempuan usia 38 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan edema

anasarca yang dialami kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Edema

timbul pada pagi hari diawali pada wajah, pada kedua kelopak mata kemudian

pada tungkai dan kemudian diseluruh tubuh. Pasien juga mengeluhkan dyspnea

yang dialami sejak kurang lebih 1 minggu yang berlangsung secara terus-

menerus, dyspnea memberat bila tidur posisi terlentang sehingga membutuhkan 2

bantal ketika tidur. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada uluhati yang dialami

sejak kurang lebih 1 minggu bersifat hilang timbul. Riwayat hipertensi,

hiperkolesterolemia dan DM tipe 2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda –

tanda vital: TD 160/100 mmHg, Nadi: 77x/menit, Suhu 37.1°C, dan Pernafasan:

28x/menit. Ada konjungtiva anemis, edema kedua palpebra, shifting dullness (+),

pitting edema keempat extremitas . Hasil laboratorium: RBC 3.75 x 106/uL,

HGB: 10.9 mg/dL, HCT: 32,3%, Cl- :108.13mmol/L, ureum 64 mg/dl, creatinin

3.70 mg/dl, albumin 2.5 gr/dL, Cholesterol: 389mg/dL, LDL: 275mg/dL,

Trigliserida: 489mg/dL, Asam urat : 10.2mg/dL. Pemeriksaan urinalisis

didapatkan protein : +3, darah: +3, sedimen eritrosit: 17-19, epitel sel : (+).

Pemeriksan ultrasonografi (USG) didapatkan pyelonephritis bilateral.

F. Diagnosis

- Sindrom nefrotik

- CHF NYHA III

- HHD

24
G. Penatalaksanaan

Non medika mentosa:

- Tirah baring

- Diet tinggi protein

- Diet rendah cairan dan rendah garam

Medikamentosa:

 IVFD NaCl 0,9%10 tpm

 Inj. Furosemid 1 ampul /12jam

 Omeprazole 1 vial / 24 jam

 Amlodipin 1x10 mg (malam)

 Candesartan 1x16mg (pagi)

 Recolfar 3x0.5mg

 Simvastatin 1x20mg

 Ciprofloksasin 2x500mg

 Albapur 20% 1 bks/hari

25
H. FOLLOW UP

Follow Up hari 1

R. Walet Bawah ( 14 Agustus 2018)

S O A P
- Sesak - KU:sakit sedang SN dd GNA - IVFD RL 20 tpm
- Lemas - Kesadaran: composmentis CHF NYHA - Injeksi furosemid
- Nyeri ulu hati - Tanda Vital: III 1a/12j
- Mual TD:200/120 mmHg HHD - Omeprazole
N:88x/menit 1vial/24j
R:32x/menit - Amlodipin 10mg
S:36,4 C 0-0-1
- PemeriksaanFisik: - Candesartan
 Mata:konjungtiva anemis 16mg 1-0-0
+/+, sclera ikterus-/-, pupil - Recolfar 3x0,5mg
isokor (+/+) - Simvastatin 20mg
 Thoraks: 0-0-1
Paru-paru: - Ciprofloxacin
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/- 2x500mg
Jantung: normal - Allbapur 20%
 Abdomen:nyeri tekan regio
epigsastrium, organomegali
(-), shifting dullness (+)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

26
Follow Up Hari ke 3

R. Walet Bawah ( 16 Agustus


2018)

S O A P
- Sesak - KU:sakit sedang SN dd - I IVFD RL 20 tpm
- Lemas - Kesadaran: composmentis GNA - Injeksi furosemid
- Nyeri ulu hati - Tanda Vital: CHF 1a/12j
- Mual TD:190/100 mmHg NYHA III - Omeprazole
N:85x/menit HHD 1vial/24j
R:30x/menit - Amlodipin 10mg
S:36,7 C 0-0-1
- PemeriksaanFisik: - Candesartan 16mg
 Mata:konjungtiva anemis 1-0-0
+/+, sclera ikterus-/-, pupil - Recolfar 3x0,5mg
isokor (+/+) - Simvastatin 20mg
 Thoraks: 0-0-1
Paru-paru: - Ciprofloxacin
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/- 2x500mg
Jantung: normal - Allbapur 20%
 Abdomen:nyeri tekan regio
epigsastrium, organomegali
(-), shifting dullness (+)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

27
Follow Up Hari ke 4

R. Walet Bawah ( 17 Agustus


2018)

S O A P
- Sesak berkurang - KU:sakit sedang SN dd GNA - I IVFD RL 20
- Batuk kadang- - Kesadaran: composmentis CHF NYHA tpm
kadang - Tanda Vital: III - Injeksi furosemid
- Nyeri ulu hati TD:190/100 mmHg HHD 1a/12j
berkurang N:85x/menit - Omeprazole
R:30x/menit 1vial/24j
S:36,7 C - Amlodipin 10mg
- PemeriksaanFisik: 0-0-1
 Mata:konjungtiva anemis - Candesartan
+/+, sclera ikterus-/-, pupil 16mg 1-0-0
isokor (+/+) - Recolfar 3x0,5mg
 Thoraks: - Simvastatin 20mg
Paru-paru: 0-0-1
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/- - Ciprofloxacin
Jantung: normal 2x500mg
 Abdomen:nyeri tekan regio - Allbapur 20%
epigsastrium, organomegali
(-), shifting dullness (+)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

Follow Up Hari ke 5 pasien pulang

28
Follow Up Lanjutan :
Pasien masuk kembali ke rumah sakit dengan keluhan kejang 20 menit sebelum
dibawa ke rumah sakit dengan durasi 5 menit terjadi sebanyak 2x
R. Cendrwasih Bawah ( 26 Oktober
2018)

S O A P
- Sesak - KU:sakit sedang Sindrom - Conecta
- Kejang (-) - Kesadaran: composmentis nefrotik - Vip Albumin 25%
- Nyeri uluhati - Tanda vital: DM tipe 2 1a/24 j
- Mual TD:160/110 mmHg non obes - Novorapid 3x8u
N:80 x/menit Susp. CAP - Ezelyn 0-0-10 u
R:28x/menit
S:36,5 C
- PemeriksaanFisik:
Hasil Laboratorium
 Mata:konjungtiva anemis
+/+, sclera ikterus-/-, pupil
GDS : 207
isokor (+/+)
 Thoraks:
Paru-paru:
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/-
Jantung: normal
 Abdomen:nyeri tekan regio
epigsastrium, organomegali
(-), ascites (+)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

29
Follow Up

R. Cendrawasih Bawah ( 29
Oktober 2018)

S O A P
- Sesak berkurang - KU:sakitsedang Sindrom - Conecta
- Nyeri dada kiri - Kesadaran: composmentis nefrotik - Meropenem
- Lemas - Tanda vital: DM Tipe 2 1gr/8jam
- Nyeri ulu hati TD:160/110 mmHg non obese - Candesartan
N:100 x/menit Susp. CAP 1x8mg
R:20x/menit - Novorapid 3x8u
S:36 C - Ezelyn 0-0-10 u
- PemeriksaanFisik:
 Mata:konjungtiva anemis
+/+, sclera ikterus-/-, pupil
isokor (+/+)
 Thoraks:
Paru-paru:
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/-
Jantung: normal
 Abdomen:nyeri tekan regio
epigsastrium, organomegali (-)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

30
Follow Up

R. Cendrawasih Bawah ( 30
Oktober 2018)

S O A P
- Nyeri dada kiri - KU:sakitsedang Sindrom - Conecta
- Nyeri perut kiri - Kesadaran: composmentis nefrotik - Meropenem
atas - Tanda vital: DM Tipe 2 1gr/8jam
TD:140/100 mmHg non obese - Candesartan
N:82 x/menit Susp. CAP 1x8mg
R:20x/menit Susp. SLE - Novorapid 3x8u
S:38C dengan - Ezelyn 0-0-10 u
- PemeriksaanFisik: keterlibata
 Mata:konjungtiva anemis +/+, n ginjal,
sclera ikterus-/-, pupil isokor hematologi
(+/+) ,
 Thoraks: neuropsikia
Paru-paru: tri
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/-
Jantung: normal
 Abdomen:nyeri tekan regio
epigsastrium, organomegali (-)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

31
Follow Up

R. Cendrawasih Bawah ( 2
November 2018)

S O A P
- Nyeri dada kiri - KU:sakit sedang Sindrom - Conecta
berkurang - Kesadaran: composmentis nefrotik - Levemir 0-0-10u
- Demam - Tanda vital: DM Tipe 2 - Candesartan
TD:140/100 mmHg non obese 1x8mg
N:82 x/menit Susp. CAP - Novorapid 3x8u
R:20x/menit Susp. SLE - Furosemid
S:37,8 C dengan 1x40mg
- PemeriksaanFisik: keterlibatan - Inbumin 3x1
 Mata:konjungtiva anemis ginjal, - Ketocid 3x1
+/+, sclera ikterus-/-, pupil hematologi, - Amlodipin 1x5mg
isokor (+/+) neuropsikiat
 Thoraks: ri
Paru-paru: Hipoalbumi
Auskultasi:Rh+/+,Wh-/- nemia
Jantung: normal Anemia ec
 Abdomen:nyeri tekan regio penyakit
epigsastrium, organomegali kronis
(-)
 Ekstremitas: akral hangat
ekstremitas superior &
inferior (+/+), edema(+/+)

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis


yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5 g/hari atau rasio protein kreatinin
pada urin sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia Serum albumin < 2.5 g
per dL), hiperlipidemia (total kolesterol > 350 mg/dL), dan manifestasi klinis edema
peripheral.

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh. Bengkak
awalnya pada wajah kemudian ke seluruh badan, pluhkan sesak dan gangguan sistem
gastro intestinal berupa nyeri pada uluhati, dari pemeriksaan fisik ditemukan piting
edema pada pasien, dari pemeriksaan pnunjang ditemukan proteinuria massif,
hiperkolesterolemia dan hipoalbuminemia. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka pasien ini didiagnosis dengan
sindroma nefrotik dengan penyebab utamanya karena glomerulonefritis sekunder.
Pasien didiagnosa dengan sindrom nefrotik sekunder didasari bahwa pasien memiliki
riwayat diabetes melitus tipe 2 yang menjadi salahsatu faktor resiko terjadinya
sindrom nefrotik.
Patofisiologi terjadinya edema pada sindroma nefrotik adalah diawali dengan
terjadinya reaksi antigen-antibodi pada glomerulus yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membrane basalis glomerulus sehingga terjadinya proteinuria massif
dan hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik biasanya dapat terjadi keluaran protein
hingga 5 – 15 gram protein tiap 24 jam. Hipoalbuminemia ini merupakan kondisi
yang cenderung dapat menimbulkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke
ruang intersisial dikarenakan penurunan tekanan onkotik plasma. Hal inilah dapat
dimanifestasikan sebagai edema anasarka. Penurunan aliran plasma ginjal dan GFR
yang terjadi dapat mengaktifkan mekanisme rennin-angiotensin-aldosteron, akibatnya
terjadi peningkatan produksi anti diuretic hormon. Garam dan air diretensi oleh

33
ginjal sehingga dapat memperberat edema yang telah terjadi. Jika rangkaian proses
ini terjadi terus berulang kali, inilah yang menyebabkan terjadinya edema massif.
Selain itu gejala lain yang menunjukan kearah sindroma nefrotik adalah proteinuria.
Pada hasil pemeriksan urinalisis pasien, ditemukan protein +3. Proteinuria yang
terjadi pada pasien diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaaan normal membran basal
glomerulus memunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Pada pasien ini, juga dilakukan pemeriksaan kimia darah dan nilai kadar kolesterol
pada pasien mengalami peningkatan yakni 389 gr/dL. Peningkatan kolesterol yang
terjadi diakibatkan oleh peningkatan sintesis lipoprotein di hepar.
Terapi yang diberikan kepada pasien berupa diuretic yakni furosemid untuk
mengurangi edema yang terjadi pada pasien, antibiotic untuk mengurangi infeksi,
anti hipertensi dan golongan statin untuk mengurangi hiperkolesterolemia serta
pemberian protein untuk mengatasi hipoalbuminemia.
Anjuran pemeriksaan pada pasien berupa rontgen thorax untuk melihat
apakah telah terjadi adanya efusi pleura karena dipikirkan dari awal pasien telah
mengeluhkan adanya sesak, dan anjuran dilakukan biopsi ginjal dapat dilakukan
untuk lebih mengetahui gambaran kerusakan ginjal, resistensi kortikosteroid dan
prognosisnya, sehingga dapat ditentukan terapi yang tepat sesuai dengan kondisi
kerusakan ginjalnya.

34
Daftar Pustaka

1. Clocskey Mc, AP Maxwell. Diagnosis and management of nephrotic syndrome.


2016. p.11-14.
2. Nishi S, Yoshifumi U, Yasunori U, Koichi O, Yoko O, Hiroyasu K, Hideyasu K,
Shin G, Tsuuneo K, Yoshie S. Evidence-based clinical practice guidelines for
nephrotic syndrome. 2014. Clin Exp Nephrol (2016) 20:342–370
3. Cohen E, Batumen E. Nephrotic Syndrome. 2018. p.1-2

4. Tracey K. Nutrition - Symptom control in nephrotic syndrome. 2018. p.1-4

5. Medscape Education. Cardiovascular Implications of Proteinuria: An Indicator of

Chronic Kidney Disease. 2018. p.5-7

6. Anatomi

7. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari ke Sistem. 2015. EGC. Hal 538.

8. National Institute of Diabetes, and Digestive and Kidney Disease. Nephrotic

Syndrome in Adults. 2018. p. 1-5

9. Richard P, David J. Nephrotic Syndrome in Adults. 2008. p.1-12

10. Camille N, Sumant S, Chugh. Nephrotic Syndrome: Components, Connections,


and Angiopoietin-Like 4–Related Therapeutics. 2014. JASN, 25 (11) 2393-2398.
11. Sudoyo A, Bambang S, Idrus A, Marcellus S, Siti S. Buku Ajar Penyakit Dalam :

Sindrom Nefrotik. 2009. Jild.I Ed.V. p.547

35

You might also like