Professional Documents
Culture Documents
OLEH
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena
berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat penulis selesaikan. Dalam makalah ini
penulismembahas mengenai “TES PENYAKIT PADA INFEKSI TRANSFUSI
DARAH”
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan
pengalaman kami. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan.
ii
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
C. Tujuan ................................................................................................................. 2
BAB II .................................................................................................................... 3
PENUTUP .................................................................................................................... 17
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................................. 17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transfusi darah secara universal dibutuhkan untuk menangani pasien
anemia berat, pasien dengan kelainan darah bawaan, pasien yang mengalami
cedera parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah operatif dan pasien
yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang mengakibatkan
tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah atau komponen darah sebagaimana
mestinya.
Pada negara berkembang, transfusi darah juga diperlukan untuk
menangani kegawatdaruratan melahirkan dan anak-anak malnutrisi yang berujung
pada anemia berat (WHO, 2007). Tanpa darah yang cukup, seseorang dapat
mengalami gangguan kesehatan bahkan kematian. Oleh karena itu, tranfusi darah
yang diberikan kepada pasien yang membutuhkannya sangat diperlukan untuk
menyelamatkan jiwa. Angka kematian akibat dari tidak tersedianya cadangan
tranfusi darah pada negara berkembang relatif tinggi. Hal tersebut dikarenakan
ketidakseimbangan perbandingan ketersediaan darah dengan kebutuhan rasional.
Di negara berkembang seperti Indonesia, persentase donasi darah lebih
minim dibandingkan dengan negara maju padahal tingkat kebutuhan darah setiap
negara secara relatif adalah sama. Indonesia memiliki tingkat penyumbang enam
hingga sepuluh orang per 1.000 penduduk. Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan
dengan sejumlah negara maju di Asia, misalnya di Singapura tercatat sebanyak 24
orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk, berikut juga di Jepang
tercatat sebanyak 68 orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk
(Daradjatun, 2008).
Indonesia membutuhkan sedikitnya satu juta pendonor darah guna
memenuhi kebutuhan 4,5 juta kantong darah per tahunnya. Sedangkan unit
transfusi darah Palang Merah Indonesia (UTD PMI) menyatakan bahwa pada
tahun 2008 darah yang terkumpul sejumlah 1.283.582 kantong. Hal tersebut
menggambarkan bahwa kebutuhan akan darah di Indonesia yang tinggi tetapi
1
darah yang terkumpul dari donor darah masih rendah dikarenakan tingkat
kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjadi pendonor darah sukarela masih
rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala misalnya karena masih
kurangnya pemahaman masyarakat tentang masalah transfusi darah, persepsi akan
bahaya bila seseorang memberikan darah secara rutin. Selain itu, kegiatan donor
darah juga terhambat oleh keterbatasan jumlah UTD PMI di berbagai daerah, PMI
hanya mempunyai 188 unit tranfusi darah (UTD). Mengingat jumlah
kota/kabupaten di Indonesia mencapai sekitar 440.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan transfusi darah?
2. Bagaiamana resiko transfusi darah terhadap penerima?
3. Bagaiamana cara mencegah dan reaksi dari transfusi darah?
4. Infeksi menular apa saja yang terjadi akibat transfusi darah?
5. Tes apa saja yang di lakukan untuk uji infeksi menular?
6. Komplikasi apa yang berhubungan dengan transfusi darah masif
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan transfusi darah
2. Dapat mengetahui resiko transfusi darah terhadap penerima
3. Dapat mengetahu cara mencegah dan reaksi dari transfuse darah
4. Dapat menegtahui infeksi menular yang terjadi akibat transfuse darah
5. Dapat mengetahui tes yang dilakukan untuk uji infeksi menular
6. Dapat mengetahui komplikasi yang berhubungan dengan transfusi
darah masif
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Peredaran Darah Terkait atau taco. Acetaminophen dan / atau antihistamin seperti
diphenhydramine kadang-kadang diberikan sebelum transfusi untuk mencegah
jenis lain reaksi transfusi. Darah ini paling sering disumbangkan sebagai seluruh
darah dengan memasukkan kateter ke dalam vena dan mengumpulkan dalam
kantong plastik (dicampur dengan antikoagulan) melalui gravitasi. Darah yang
dikumpulkan ini kemudian dipisahkan menjadi komponen-komponen untuk
membuat penggunaan terbaik dari itu. Selain dari sel darah merah, plasma, dan
trombosit, produk darah yang dihasilkan komponen juga termasuk protein
albumin, faktor pembekuan konsentrat, kriopresipitat, berkonsentrasi fibrinogen,
dan imunoglobulin (antibodi). Sel darah merah, plasma dan trombosit juga dapat
disumbangkan individu melalui proses yang lebih kompleks yang disebut
apheresis.
Di negara maju, sumbangan biasanya anonim kepada penerima, namun
produk dalam bank darah selalu individual dapat dilacak melalui siklus seluruh
donasi, pengujian, pemisahan menjadi komponen-komponen, penyimpanan, dan
administrasi kepada penerima. Hal ini memungkinkan pengelolaan dan
penyelidikan atas penularan penyakit transfusi diduga terkait atau reaksi transfusi.
Di negara berkembang donor kadang-kadang khusus direkrut oleh atau untuk
penerima, biasanya anggota keluarga, dan pemberian segera sebelum transfusi.
4
Ada resiko bahwa transfusi darah diberikan akan mengirimkan infeksi
virus ke penerima. Seperti tahun 2006, risiko tertular hepatitis B melalui transfusi
darah di Amerika Serikat adalah sekitar 1 dalam 250.000 unit transfusi, dan risiko
tertular HIV atau hepatitis C di Amerika Serikat melalui transfusi darah
diperkirakan pada 1 per 2 juta unit transfusi . Risiko ini jauh lebih tinggi di masa
lalu sebelum munculnya tes generasi kedua dan ketiga untuk transfusi penyakit
menular. Pelaksanaan Pengujian Asam Nukleat atau “NAT” di 00-an telah lebih
jauh mengurangi risiko, dan dikonfirmasi infeksi virus melalui transfusi darah
sangat langka di negara maju.
Transfusi paru terkait cedera akut (TRALI) adalah suatu peristiwa yang
merugikan semakin diakui berhubungan dengan transfusi darah. TRALI adalah
sindrom gangguan pernapasan akut, sering dikaitkan dengan demam, non-
kardiogenik edema paru, dan hipotensi, yang mungkin terjadi sesering 1 tahun
2000 transfusi. Gejala dapat berkisar dari ringan sampai mengancam nyawa, tetapi
kebanyakan pasien sembuh sepenuhnya dalam waktu 96 jam, dan tingkat
kematian dari kondisi ini adalah kurang dari 10% .. Meskipun penyebab TRALI
tidak jelas, telah konsisten dikaitkan dengan antibodi anti HLA. Karena anti HLA
sangat berkorelasi dengan kehamilan, beberapa organisasi transfusi (darah dan
Bank Jaringan Cantabria, Spanyol, National Health Service di Inggris) telah
memutuskan untuk hanya menggunakan plasma dari laki-laki untuk transfusi.
Risiko lain yang terkait dengan menerima transfusi darah termasuk
kelebihan volume, kelebihan zat besi (dengan beberapa transfusi sel darah merah),
transfusion-associated graft-versus-host penyakit, reaksi anafilaksis (pada orang
dengan kekurangan IgA), dan reaksi hemolitik akut (yang paling umumnya karena
administrasi jenis darah tidak cocok).
5
ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, maka pada awal prosedur,
resipien harus diawasi secara ketat.
Setelah itu, petugas dapat memeriksa setiap 30- 45 menit dan jika terjadi
reaksi ketidakcocokan, maka transfusi harus dihentikan. Sebagian besar transfusi
adalah aman dan berhasil; tetapi reaksi ringan kadang bisa terjadi, sedangkan
reaksi yang berat dan fatal jarang terjadi. Reaksi yang paling sering terjadi adalah
demam dan reaksi alergi (hipersensitivitas), yang terjadi sekitar 1-2% pada setiap
transfusi. Gejalanya berupa:
gatal-gatal
kemerahan
pembengkakan
pusing
demam
sakit kepala.
Gejala yang jarang terjadi adalah kesulitan pernafasan, bunyi mengi dan
kejang otot. Yang lebih jarang lagi adalah reaksi alergi yang cukup berat.
Walaupun dilakukan penggolongan dan cross-matching secara teliti, tetapi
kesalahan masih mungkin terjadi sehingga sel darah merah yang didonorkan
segera dihancurkan setelah ditransfusikan (reaksi hemolitik). Biasanya reaksi ini
dimulai sebagai rasa tidak nyaman atau kecemasan selama atau segera setelah
dilakukannya transfusi.
Kadang terjadi kesulitan bernafas, dada terasa sesak, kemerahan di wajah
dan nyeri punggung yang hebat. Meskipun sangat jarang terjadi, reaksi ini bisa
menjadi lebih hebat dan bahkan bisa berakibat fatal. Untuk memperkuat dugaan
terjadinya reaksi hemolitik ini, dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah
terdapat hemoglogin dalam darah dan air kemih penderita. Resipien bisa
mengalami kelebihan cairan. Yang paling peka akan hal ini adalah resipien
penderita penyakit jantung, sehingga transfusi dilakukan lebih lambat dan
dipantau secara ketat.
6
D. Infeksi Menular Melalui Transfusi Darah
a) Virus hepatitis.
Virus yang menyerang hati menyebabkan berbagai bentuk hepatitis.
Hepatitis merupakan penyakit yang paling umum ditularkan melalui transfusi
darah. Hasil dari sebuah penelitian 2009 terhadap hepatitis B dalam darah yang
disumbangkan mengemukakan bahwa risiko penularan virus ini sekitar 1 dalam
setiap 350.000 unit, atau sekitar 1 dibanding 1,6 juta transfusi darah dapat
menularkan hepatitis C.
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi
tersebut. Dalam kebanyakan kasus tidak ada gejala, tetapi hepatitis kadang-kadang
dapat menyebabkan kegagalan hati dan masalah lainnya.
Beberapa langkah secara rutin telah dilakukan untuk mengurangi risiko
hepatitis dari transfusi darah. Para calon donor darah diajukan pertanyaan
sehubungan dengan faktor risiko hepatitis dan gejala hepatitis. Darah yang
disumbangkan juga diuji untuk menemukan virus hepatitis B, virus hepatitis C,
dan masalah hati yang mungkin menjadi tanda jenis hepatitis lainnya.
b) SIFILIS
Sifilis atau raja singa adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri bernama
Treponema pallidum. Sifilis adalah salah satu infeksi menular seksual (IMS).
Umumnya, infeksi ini menyebar melalui hubungan seksual dengan orang yang
terinfeksi. Selain melalui hubungan intim, bakteri penyebab sifilis juga bisa
menyebar melalui pajanan cairan tubuh penderitanya, misalnya melalui darah.
7
c) HIV AIDS.
Salah satu rute utama penularan HIV adalah melalui kontak langsung
antara darah dengan darah yang terinfeksi HIV. Meskipun sebagian besar infeksi
HIV melalui darah terjadi melalui penggunaan suntikan narkoba, namun di
seluruh dunia sejumlah kasus penularan HIV terjadi melalui transfusi darah,
suntikan medis, limbah medis dan paparan kerja.
Pengujian HIV atas setiap unit darah yang disumbangkan mulai dilakukan
pada tahun 1985, dan semua darah yang disumbangkan hingga saat ini dites HIV.
Dengan pengujian yang semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu, maka jumlah
kasus AIDS yang terkait dengna transfusi terus menurun.
8
Prosedur kerja
a. Pengambilan sampel
1). Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2). Dilakukan pengambilan sampel
3). Dimasukan darah kedalam tabung reaksi, diamkan
beberapa saat kemudian di sentrifus selama 15 menit dengan
kecepatan 3000 rpm.
4). Serum/plasma yg tterpisah oleh endapan dipindahkan ke
tabung kosong lainnya
5). Celupkan reagen strip kedalam tabung yg telah di isi
sampel tadi sampai tanda batas pada strip,biarkan selama 15
menit.
6). Liat hasil nya, hasil tidak boleh dibaca lebih dari 20 menit
.
Intrepretasi hasil
- Positive (+)
Selain timbul garis merah pada daerah control (C), akan
muncul 1 (1) garis merah yang nyata di daerah test (T), hasil
positif menyatakan adanya HBsAg.
- Negative (-)
Timbul 1 (1) garis merah pada bagisn control (C), dan tidak
ada garis merah di daerah test (T).
- Invalid
Sama sekali tidak muncul warna merah baik pada daerah test
(T), maupun control (C), merupakan adanya indikasi adanya
kesalahan proseduratau reagen test yang rusak.
b) Sifilis
Untuk uji sifilis biasa digunakan pemeriksaan laboratorium dengan
VDRL.
9
Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) / Serum atau
Cerebrospinal Fluid (RPR) merupakan satu-satunya pemeriksaan
laboratorium untuk neunurosipilis yang disetujui oleh Centers for Disease
Control. Pemeriksaan VDRL serum bisa memberikan hasil negatif palsu pada
tahap late sipilis dan kurang sensitif dari RPR. Penyakit Pemeriksaan VDRL
merupakan pemeriksaan penyaring atau Skrining Test, dimana apabila VDRL
positif maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA
(Trophonema Phalidum Heamaglutinasi). Hasil uji serologi tergantung pada
stadium penyakit misalnya pada infeksi primer hasil pemeriksaan serologi
biasanya menunnjukkan hasil non reaktif. Troponema palidum dapan
ditemukan pada chancre. Hasil serologi akan menunjukan positif 1-4 minggu
setelah timbulnya chancre. Dan pada infeksi sekunder hasil serelogi akan
selalu pisitif dengan titer yang terus meningkat. Pasien yang terinfeksi bakteri
treponema akan membentuk antibody yang terjadi sebagai reaksi bahan-
bahan yang dilepaskan karena kerusakan sel-sel. Andibody tersebut disebut
regain.
Tujuan
Metode
Slide
Prinsip
Sempel
10
Serum atau cairan otak
Cara Kerja
Kualitatif
Kuantitatif
11
5. Amati ada tidaknya flokulasi setiap pengenceran dan
tentukan titer pemeriksaannya ( yaitu pengenceran trerakhir
yang masih menunjukkan flokulasi )
Interpretasi
Laporan hasil cukup dengan menyebutkan non-reaktif,
reaktif lemah atau reaktif
Reaktif : Bila tampak gumpalan sedang atau besar
Reaktif Lemah : Bila tampak gumpalan kecil-kecil
Non reaktif : Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan
c) HIV AIDS
Untuk uji HIV AIDS biasa digunakan pemeriksaan laboratorium
digunakan metode Immunokromatografi / rapid test.
Tujuan
Prinsip
mendeteksi antibody pada serum/plasma atau whole blood
yang berikatan pada antigen pada strip
Metode
Immunokromatografi / rapid test
12
Alat dan bahan
sampel
Strip HIV
Prosedur kerja
Interpretasi Hasil
13
c. Invalid : Bila tidak terbentuk garis merah pada strip atau test (T),
atau bila ada tanda garis merah pada garis (T), tapi pada garis tidak
a) Dilutional Coagulapathy
Darah simpan yang diberikan secara masif sering kekurangan faktor V dan
VIII. Mutu atau derajat faktor V pada darah simpan sampai 21 hari sekitar 30%
atau lebih, sedangkan derajat yang dibutuhkan untuk hemostasis antara 15-50%.
Derajat faktor VIII pada darah simpan 21 hari berkisar antara 15-50%.
Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya untuk menyamakan penggunaan
FFP pada transfusi masif. Kenyataannya darah simpan kurang dari 10 hari masih
bisa memberikan faktor koagulasi yang cukup pada penderita.
Satu yang harus diingat ialah bahwa penggunaan FFP yang berlebihan
menambah transmisi penyakit pada penderita, misalnya hepatitis dan AIDS.
Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya sesudah penderita mendapat
transfusi banyak dan cepat dengan menggunakan campuran ACD. Ini terjadi bila
kita memberikan darah 20-30 unit, dan untuk penderita debil dan anak kecil lebih
berkurang lagi. Manifestasi kliniknya yaitu terdapatnya “oozing” pada daerah
operasi, perdarahan pada gusi, “petechiae” dan “echymosis”. Untuk mengatasi ini
biasanya penderita mendapat darah ACD lagi. Selama pemberian darah masif
tetap dengan bahan-bahan yang kekurangan faktor-faktor pembeku, maka selama
itu pula perdarahan akan timbul, dan demikian selanjutnya hingga merupakan
lingkaran setan.
Etiologi kecenderungan perdarahan ini kemungkinan adalah terjadinya
“dilutional thrombocytopenia”, kekurangan faktor-faktor labil, dan DIC.
Tujuan terapi disini ialah untuk mempertahankan faktor-faktor V dan VIII
mendekati 30%, sebab 20% faktor V dan 30% faktor VIII diperlukan untuk
hemostasis penderita yang dioperasi. Untuk mempertahankan faktor V dan VIII
14
pada derajat 30% maka kepada penderita diberikan 2-3 unit FFP (Fresh Frozen
Plasma) untuk tiap 10 unit “packed cells” dan transfusi “plasma protein fracyion”
. Setiap pemberian 5 unit darah perlu diperiksa jumlah platelet . Trombositopenia
Pada penderita yang mendapat transfusi darah 10 unit atau lebih sering terjadi
trombositopenia dan penderita perlu mendapat platelet.
a. Perdarahan selama operasi sering terjadi pada penderita dengan kadar
platelet kurang dari 100.000/ cumm (4,6,8). Untuk mempertahankan
jumlah platelet antara 50.000-100.000/cumm, maka penderita diberikan
platelet konsentrat sebanyak 6-8 unit tiap pemberian 20 unit darah, kalau
tidak bisa, penderita dapat diberi darah segar yang umurnya kurang dari 6
jam.
b. Tiap unit platelet konsentrat menambah jumlah platelet sebanyak 10-12
ribu/cumm pada penderita muda dengan berat badan 70 kg.
c. Darah segar dapat mempertahankan kadar platelet pasca operasi di atas 90
ribu/cumm.
Perdarahan yang hebat akibat trombositopenia pada transfusi masif mulai
terjadi sesudah transfusi 10 unit darah atau lebih. Jadi tidak rasional bila kita
memberi darah lama pada penderita yang mendapat transfusi sebanyak 10-15 unit.
15
hiperkoagulasi, maka sistem fibrinolitik diaktifkan sehingga melarutkan fibrin
yang berlebihan. Keadaan ini disebut fibrinolisis sekunder. Fibrinolisis primer
dapat juga terjadi pada waktu transfusi masif dengan tujuan untuk mengaktifkan
sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada fibrinolisis primer sejumlah besar
plasmin atau aktivator fibrinolitik dilepaskan, yang menyebabkan larutnya
penjendalan dan fibrin
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis
produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi
darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah
besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang
selama operasi.
Beberapa macam reaksi transfusi, antara lain:
Reaksi Alergi
Reaksi Demam
Reaksi Hemolitik Kekebalan Akut
Reaksi Hemolitik Tertunda
Kesalahan dalam transfusi darah dari pendonor ke resipien juga dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit seperti HIV, Hepatitis, dll.
B. Saran
Berdasarkan makalah ini kami berharap, jika kita akan melakukan
transfusi darah maka, sebaiknya dalam melakukan transfusi darah kita harus lebih
berhati-hati, karena jika terjadi kesalahan maka akan dapat menyebabkan keadaan
yang berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.
17
DAFTAR PUSTAKA
http://www.alodokter.com/selain-bermanfaat-transfusi-darah-juga-berisiko
http://ksrpmi-its.blogspot.co.id/2013/06/transfusi-darah-dan-beberapa-risiko.html
http://www.academia.edu/9045609/KOMPLIKASI_TRANSFUSI_DARAH
http://www.blogdokter.net/2010/10/18/sekelumit-tentang-transfusi-darah/
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=r
ja&uact=8&ved=0CC0QFjADahUKEwjn7eGQz-
fIAhXJnpQKHbtuBcw&url=http%3A%2F%2Fmedlinux.blogspot.com%2F2009
%2F02%2Fkomplikasi-transfusi-darah-
dan.html&usg=AFQjCNHVFEi65JI2wvoCjrCQZ90ALgbniQ&bvm=bv.1061308
39,d.dGo
http://www.slideshare.net/riski_albughari/3-komplikasi-transfusi-darah
https://novidyawahyuningtyas.wordpress.com/2015/03/05/komplikasi-transfusi-
darah-imunohematologi/
http://buletinkeperawatan.blogspot.co.id/2014/03/komplikasi-transfusi.html
18