You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS )ialah kumpulan


gejala `atau penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga
apabila seseorang didiagnosa menderita AIDS maka sistem kekebalan
tubuh mereka terlalu lemah untuk melawan infeksi sehingga mereka akan
mudah terkena berbagai penyakit menular. 1,3,9AIDS dapat didiagnosis
ketika jumlah sel sistem kekebalan (sel CD4) dalam darah orang HIV
positif di bawah tingkat tertentu.5,8Seseorang yang tidak terinfeksi HIV
biasanya memiliki sel CD4 antara 950 dan 1700 sel/mm3.19
AIDS merupakan penyakit yang di dapat yaitu ditularkan dari satu
orang ke orang lain dan bukan penyakit bawaan.HIV ini sangat lemah dan
mudah mati di luar tubuh manusia. Virus ini merusak salah satu jenis sel
darah putih yang dikenal sebagai sel T helper (khususnya CD4 sel T),
dimana sel T helper merupakan titik pusat sistem pertahanan tubuh,
sehingga infeksi HIV akan menyebabkan daya tahan tubuh penderita
menjadi rusak dan tubuh menjadi rentan terhadap infeksi. 1
Proporsi orang yang terinfeksi HIV tetapi tidak mendapat
pengobatan anti-HIV dan akhirnya akan berkembang menjadi AIDS
diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Karena tidak adanya pengobatan
anti-HIV yang efektif, “case fatality rate” dari AIDS menjadi sangat tinggi,
kebanyakan penderita di negara berkembang (80 - 90%) mati dalam 3 – 5
tahun sesudah didiagnosa terkena AIDS.23
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam
banyak negara diseluruh dunia .Pada tahun 2007 UNAIDS (United
Nations Program on HIV / AIDS)memperkirakan bahwa lebih dari 33 juta
orang di seluruh dunia yanghidup dengan infeksi HIV, Kasus baru
terinfeksi HIV sebanyak 2,5 juta orang dan kematian AIDS sebanyak 2,1
juta orang. 2,5 juta orang baruterinfeksi selama tahun itu dan 2,1 juta
meninggal. Pada setiap hariseluruh dunia ada sebanyak 6800 orang
memperoleh HIV dan 5700 meninggal karena AIDS. 10

1
Di Indonesia sendiri, jumlah penderita HIV/AIDS terus
meningkat.Jumlah kasus AIDS selama tahun 2011 (1 April s.d. 30 Juni
2011) sebanyak 2352 kasus.Secara kumulatif kasus AIDS 1 April 1987 s.d.
30 Juni 2011, adalah: 26483 orang, dengan jumlah kematian 5056 orang. 6
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2010 merekomendasikan
pedoman perawatan awal untuk semua pasien dengan jumlah CD4 ≤ 350
sel/mm3, dimana sebelumnya pedoman WHO (2006)merekomendasikan
dimulainya pengobatan dengan jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3.10,11
Meskipun tidak ada obat untuk AIDS, infeksi HIV dapat dicegahdan
mereka yang hidup dengan HIV dapat menggunakan obat antiretroviral
untuk menunda awal terjadinya AIDS.Obat antiretroviral menjaga tingkat
HIV dalam tubuh pada tingkat yang rendah, sehingga sistem kekebalan
tubuh dapat pulih dan bekerja secara efektif.Sehingga Obat antiretroviral
memungkinkan banyak orang dengan HIV-positif untuk dapat hidup
panjang dan sehat.10
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretroviral yang
sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART).Terapi
ini sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV.Regimen obat
yang dipakai untuk terapi awal harus disesuaikan dengan kondisi
pasien.Di Indonesia secara nasional telah memulai terapi antiretroviral
(ARV) pada tahun 2004.
Sel CD4 (Cluster of differentiation 4) adalah semacam sel darah
putih atau limfosit.Sel tersebut adalah bagian terpenting dari sistem
kekebalan tubuh,Sel ini juga disebut sel T helper.Jika virus HIV
membunuh sel T-CD4 sampai terdapat kurang dari 200 sel T-CD4 per
mikroliter darah, maka kekebalan seluler akan hilang.Infeksi ini awalnya
asimtomatik, tanpa diimbangi upayaintervensi maka dari waktu ke waktu
maka jumlah sel T-CD4 akan semakin rendah sehingga membuka peluang
infeksi sekunder dan muncul manifestasi klinis AIDS hingga sepsis. 8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 HIV / AIDS
2.1.1 DEFINISI HIV / AIDS
HIV (human immunodeficiency virus) termasuk dalam family
Retroviridaemerupakan virus yang menyebabkan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrom)dimana AIDS merupakan stadium akhir pada
serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang yang dikenal
sebagai spektrum infeksi HIV. HIV (human immunodeficiency virus) secara
langsung akan merusak sel T-CD4 sehingga mengakibatkan semakin
berkurangnya jumlah sel T-CD4dimana sel T-CD4 merupakan bagian yang
penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Jika virus HIV membunuh
sel T-CD4 sampai terdapat kurang dari 200 sel permikro liter darah maka
kekebalan seluler akan hilang sehingga akan sulit bagi sistem kekebalan
tubuh untuk melawan infeksi.
HIV ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui cairan tubuh
tertentu (darah, airmani, cairan kelamin, dan air susu ibu). Berhubungan
seks tanpa kondom atau berbagi jarum suntik dengan orang yang
terinfeksi oleh HIV adalah cara yang paling umum untuk menularkan
HIV.Kita tidak bisa tertular HIV dengan berjabat tangan, memeluk atau
berciuman mulut dengan seseorang yang memiliki HIV.Dan HIV tidak
menyebar melalui benda seperti kursi toilet, pegangan pintu, piring atau
gelas minum yang digunakan oleh orang dengan HIV.Seseorang terinfeksi
HIV dapat menyebarkan penyakit pada setiap tahap infeksi
HIV.Mendeteksi HIV selama tahap awal infeksi dan memulai pengobatan
baik sebelum gejala HIV berkembang dapat membantu orang dengan HIV
tetap sehat.Pengobatan juga dapat mengurangi risiko penularan HIV.
HIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer dari Institud
Pasteur Prancis tahun 1983 dan diberi namalymphadenopathy associated
virus (LAV). Pada tahun 1984 Robert Gallo dari National Cancer Institude
Amerika Serikat mengidentifikasi retrovirus dari penderita AIDS dan diberi
nama human T-lymphotropic virus tipe 3 ( HTLV-3). Pada tahun 1985
Cherman dan Barre yang juga meneliti retrovirus penyebab AIDS,
memberi nama lymphadenopathy-AIDS virus(LAV/HTLV-3) dan pada
tahun 1986 International Committee on Taxonomy of Virusesmemberi
nama retrovirus penyebab AIDS dengan Human Immunodeficiency Virus
(HIV).1,8,9,19

3
2.1.2 ETIOLOGI HIV
Virus HIV termasuk Retrovirus anggota sub family Lentifirinae
dengan diameter 80–120 nm.Infeksi dari Lentivirus secara khas ditandai
dari sifat latennya dan masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang
persisten dan keterlibatan dari susunan saraf pusat. Sedangkan ciri khas
untuk suatu jenis retrovirus yaitu dikelilingi oleh membrane lipid,
mempunyai kemampuan variasi genetik yang tinggi dan mempunyai cara
yang unik untuk replikasi.42
Virus ini sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk
menemukan obat yang dapat membunuh virus tersebut.Daya penularan
pengidap HIV tergantung pada jumlah virus yang ada di dalam darahnya.
Semakin banyak virus dalam darah nya semakin tinggi daya penularannya
sehingga penyakitnya juga semakin parah.19,20
Virus Human Immunodefisiensi (HIV) ada 2 tipe yaitu : tipe 1 (HIV-
1) dan tipe 2 (HIV-2). Virus-virus ini secara serologis dan geografis relatif
berbeda tetapi mempunyai ciri epidemiologis yang sama. Patogenisitas
dari HIV-2 lebih rendah dibanding HIV-1. 23,42.
2.1.3 STRUKTUR HIV
HIV terdiri dari 3 bagian utama yaitu envelope yang merupakan
bagian terluar, capsidpolimerisasi (pol) yang meliputi isi virus dan core
(gag) untuk grup antigen protein, merupakan isi virus.
 Lapisan envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari
membrane sel pejamu serta protein dari sel pejamu. Pada lapisan
ini tertanam glikoprotein (gp) 41. Pada bagian luar glikoprotein ini
terikat molekul gp120. Pada elektroforesis kompleks antara gp120
dan gp41 membentuk pita gp160.
 Capsid merupakan lapisan protein yang dikenal sebagai p17.
 Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai tunggal, enzyme-
enzym yang berperan dalam replikasi seperti reserve transcriptase
(p61), endonuklease (p31), dan protease (p51) serta protein lainnya
terutama p24.42

4
Gambar 1.Struktur dari HIV.10

Antigen p24 adalah core atigen virus HIV yang merupakan petanda
terdini adanya infeksi HIV-1, ditemukan beberapa hari sampai dengan
minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibodi terhadap HIV-
1.Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV-1 yang mengikat
reseptor CD4+ pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4 + ini
telah digunakan untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+..2
Gen envelop sering bermutasi. Hal tersebut menyebabkan
perubahan sebagai berikut: jumlah CD4 perifer menurun, fungsi sel T yang
terganggu terlihat invivo (gagal memberikan respons terhadap antigen
recall) dan uji invitro, aktifasi poliklonal sel B menimbulkan
hipergamaglobulinemia, antibodi yang dapat menetralkan antigen gp120
dan gp41 diproduksi tetapi tidak mencegah progres penyakit oleh karena
kecepatan mutasi virus yang tinggi, sel T dapat mencegah infeksi atau
memperlambat progress. Protein envelop adalah produk yang menyandi
gp120, digunakan dalam usaha memproduksi antibodi yang efektif dan
produktif oleh pejamu.2
2.1.4 SIKLUS HIDUP HIV
Virus memasuki tubuh terutama menginfeksi sel yang mempunyai
molekul protein CD4.Kelompok sel terbesar yang mempunyai molekul
CD4 adalah limfosit T. Sel target lain adalah monosit, makrofag, sel
dendrite, sel langerhans dan sel microglia.
Ketika HIV masuk tubuh, glycoprotein (gp120) terluar pada virus
melekatkan diri pada reseptor CD4 (cluster of differentiation 4), protein
pada limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel dendritik dan mikroglia
otak.Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan gp41.Sub unit gp120

5
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 dan bertanggung jawab
untuk ikatan awal virus pada sel. Perlekatan ini menginduksi perubahan
konformasi yang memicu perlekatan kedua pada koreseptor. Dua reseptor
kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4.
Ikatan dengan kemoreseptor ini menginduksi perubahan konformasi pada
sub unit glikoprotein 41 (gp41) yang mendorong masuknya sekuens
peptida gp41 ke dalam membran target yang memfasilitasi fusi virus.
Setelah terjadinya fusi, virus tidak berselubung mempersiapkan
untuk mengadakan replikasi. Material genetik virus adalah RNA single
stand-sensepositif (ssRNA), virus harus mentranskripsi RNA ini dalam
DNA secara optimal pada replikasi sel manusia (transkripsi normal terjadi
dari DNA ke RNA, HIV bekerja mundur sehingga diberi nama retrovirus).
Untuk melakukannya HIV dilengkapi dengan enzim unik RNA-
dependent DNA polymerase (reverse transcriptase).Reverse transcriptase
pertama membentuk rantai DNA komplementer, menggunakan RNA virus
sebagai templet. Hasil sintesa lengkap molekul double-strand DNA
(dsDNA) dipindahkan ke dalam inti dan berintegrasi ke dalam kromoson
sel tuan rumah oleh enzim integrase.
Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah, pertama HIV dapat
menyebabkan infeksi kronik dan persisten, umumnya dalam sel sistem
imun yang berumur panjang seperti Tlimfosit memori.Kedua,
pengintegrasian acak menyebabkan kesulitan target.Selanjutnya integrasi
acak pada HIV ini menyebabkan kelainan seluler dan mempengaruhi
apoptosis.Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan mengalami
replikasi, transkripsi dan translasi.

Gambar 2.HIV entry and replication in CD4 T lymphocytes.10


DNA polimerase mencatat dan mengintegrasi provirus DNA ke
mRNA dan mentranslasikan pada mRNA sehingga terjadi pembentukan
protein virus.Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan dalam tingkat
rendah menghasilkan berbagai protein virus seperti Tat, Nef dan Rev.
Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV mengikat pada
bagian DNA spesifik yangmemulai dan menstabilkan perpanjangan
transkripsi.Belum ada fungsi yang jelas dari protein Nef.Protein Rev
mengatur aktivitas post transkripsional dan sangat dibutuhkan untuk

6
reflikasi HIV.Perakitan partikel virion baru dimulai dengan penyatuan
protein HIV dalam sel inang.
Nukleokapsid yang sudah terbentuk oleh ssRNA virus disusun
dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus
dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui
proses ”budding” dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat
sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel inang. 1,2,4
2.1.5 PATOGENESA HIV
HIV dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara.
HIV bisa ditularkan melalui cairan tubuh tertentu sepertidarah, air mani,
cairan kelamin, air susu ibu dan juga dapat ditularkan melalui hubungan
seks tanpa kondom atau berbagi jarum obat dengan orang yang terinfeksi
oleh HIV.HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh
darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa.Setelah
berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV
dapat dideteksi di dalam darah. Masa inkubasi HIV berkisar antara 6
minggu sampai 6 tahun atau lebih.1,8,9
Virus biasanya masuk tubuh dengan menginfeksi sel langerhans di
mukosa rectum ataupun vagina, kemudian bergerak dan bereplikasi di
KGB setempat.Kemudian virus disebarkan melalui viremia yang disertai
sindrom dini akut berupa panas, mialgia dan arthralgia.Virus menginfeksi
sel CD4, makrofag dan sel dendritik dalam darah dan organ
limfoid.Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah
selama fase ini. Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8 + dan antibodi
dalam sirkulasi terhadap p24 dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi
sel Tc dalam mengontrol virus terlihat dari menurunnya kadar virus.
Respon imun tersebut menghancurkan HIV dalam KGB yang merupakan
reservoir utama HIV selama fase selanjutnya dan fase laten.
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks
imun yang diikat. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam
fase laten , destruksi sel CD4 berjalan terus dalam kelenjar limfoid.
Akhirnya jumlah CD4 dalam sirkulasi menurun.Hal ini dapat memerlukan
waktu beberapa tahun.Kemudian menyusul fase progressif kronis dan

7
penderita menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh kuman non
patogenik.
Setelah HIV masuk ke dalam sel dan terbentuk dsDNA, integrasi
DNA viral ke dalam genom sel pejamu membentuk provirus. Provirus tetap
laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan aktifasinya yang
mengakibatkan terbentuk pengelepasan partikel virus. Walau CD4
berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1 diperlukan reseptor kedua
supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropic sel T HIV-1
menggunakan koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropic makrofag
menggunakan CCR5.Kedua reseptor ini merupakan resptor kemokin dan
ligan normalnya dapat menghambat infeksi HIV ke dalam sel. Subjek yang
baru terinfeksi HIV dapat disertai gejala atau tidak. 2

2.1.6 GEJALA KLINIS


Gejala klinis dari HIV dapat di bagi menjadi 4 tahap yaitu :
Pertama merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul
gejala tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah
paparan HIV dapat berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri
telan dan pembesaran KGB. Dapat juga disertai meningitis aseptik yang
ditandai demam, nyeri kepala hebat, kejeng-kejang dan kelumpuhan saraf
otak.
Kedua merupakan tahap asimtomatis, dimana gejala dan keluhan
hilang.Berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan tahun
setelah infeksi.Pada tahap ini aktifitas penderita masih normal.
Ketiga merupakan tahap simtomatis, dengan gejala dan keluhan
lebih spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun
tapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang,
peradangan pada sudut mulut dan dapat terjadi infeksi saluran nafas
atas.
Keempat merupakan tahapan yang lebih lanjut atau tahap AIDS,
dimana terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare lebih dari 1
bulan, panas yang tidak diketahui sebabnya lebih dari 1 bulan, kandidiasis
oral, oral hairy leukoplakia, TB paru dan pneumonia bakteri. Penderita
berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir

8
dan penderita diserang oleh berbagai macam infeksi sekunder dan
beberapa jenis malignansi.8
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS, seperti terlihat pada Tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Stadium Klinik penderita HIV

2.1.7 DIAGNOSA INFEKSI HIV


Untuk mendiagnosa HIV dapat kita tegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang
dimulai dengan uji penapisan/penyaringan dengan menentukan adanya
antibodi anti HIV kemudian dilanjutkan dengan uji pemastian dengan
pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western blot assaykarena mampu

9
mendeteksi komponen- komponen yang terkandung pada HIV.
Pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi. 8
Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus dan
sistem stadium klinik untuk infeksi HIV.WHO telah mengeluarkan batasan
kasus infeksi HIV untuk tujuan pengawasan dan merubah klasifikasi
stadium klinik yang berhubungan dengan infeksi HIV pada dewasa dan
anak.Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa klinik yang patut diduga pada
penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan memulai terapi antiretroviral
lebih cepat.
2.1.8 GEJALA DAN TANDA KLINIS INFEKSI HIV
Tabel 2. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV 7

2.1.9 DIAGNOSIS LABORATORIUM


Untuk menegakkan diagnosis infeksi HIV dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium,kita bagi dalam dua kelompok yaitu uji
imunologi dan uji virology.
1. Uji Imunologi
Tujuan dari uji imunologi adalah untuk menemukan adanya respon
antibody terhadap HIV-1 dan juga digunakan sebagai test skrining.

10
1.a. ELISA
ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), merupakan uji
penapisan infeksi HIV yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibodi
yang dibentuk oleh tubuh terhadap virus HIV. Antibodi biasanya
diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah
tubuh terpapar virus HIV sehingga kita menganjurkan agar pemeriksaan
ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 setelah seseorang dicurigai
terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine. ELISA
21
memiliki sensitifitas yang tinggi, yaitu > 99,5%. . Contoh pemeriksaan
yang menggunakan prinsip ELISA misalnya Rapid HIV Test.
Rapid HIV test merupakan uji penapisan infeksi HIV. Pemeriksaan
menggunakan prinsip ELISA, dengan hasil lebih cepat diperoleh, yaitu
setelah 20 menit. Bahan uji yang diperlukan untuk rapid HIV test adalah
darah atau serum pasien. Pada alat uji dipasang antigen dan jika bahan
uji mengandung antibodi,maka antibodi tersebut berikatan dengan
antigen. Ikatan antigen-antibodi menyebabkan reaksi pada reagen warna
sehingga terjadi perubahan warna yang dapat dilihat dengan mata
telanjang. Perubahan warna tersebut tampak sebagai garis berwarna
tertentu pada alat penguji. Hasil uji dinyatakan positif, negatif atau tidak
valid. Apabila tampak dua garis maka hasil positif. Apabila tampak satu
garis maka hasil negatif dan apabila tidak terlihat garis maka hasil test
tidak valid. Test yang digunakan sebagai test awal untuk mendeteksi anti
bodi HIV-1 atau HIV-2 pada serum, plasma atau darah dari orang yang di
anggap mempunyai resiko terpapar dengan virus HIV, namun apabila hasil
tidak reaktif belum dapat dikatakan bahwa belum pernah terpapar dengan
virus HIV.21
Rapid oral test sama dengan rapid HIV test. Perbedaan terletak
pada bahan uji, yaitu cairan oral yaitu campuran saliva, ginggival
crevicular fluid, serta produksi cairan dari mukosa mulut. Pengambilan
bahan dengan melakukan swab pada gusi bagian luar. Swab dilakukan
sekali dalam satu arah dengan menggunakan alat yang sudah disediakan,
yang selanjutnya alat tersebut dimasukkan ke dalam alat penguji. Hasil
dibaca setelah 20 menit dan tidak boleh lebih dari 40 menit. 21

11
1.b Western Blot
Pemeriksaan Western Blotmerupakan uji konfirmasi dari hasil
reaktif ELISA atau hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar
positif.karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik . Western
Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,9% apabila dikombinasi
dengan pemeriksaan ELISA. Namun pemeriksaan cukup sulit, mahal
membutuhkan waktu sekitar 24 jam .
1.c IFA
IFA (Indirect Fluorescent Antibody) juga meurupakan pemeriksaan
konfirmasi ELISA positif.Seperti halnya pemeriksaan diatas, IFA juga
mendeteksi antibodi terhadap HIV.Uji ini sederhanauntuk dilakukan dan
waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji
Western blot.
1.d Flowcytometri
Flow cytometri adalah suatu metode yang dapat digunakan
untukmengidentifikasi karakteristik permukaan setiap sel dengan
kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui suatu celah,
yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Setiap sel yang melewati berkas
sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen
sebagai karakteristik sel bersangkutan. Setiap karakteristik molekul pada
permukaan sel manapun yang terdapat di dalam sel dapat diidentifikasi
dengan menggunakan satu atau lebih probe yang sesuai. Dengan
demikian, alat itu dapat mengidentifikasi setiap jenis dan aktivitas sel dan
menghitung jumlah masing-masing dalam suatu populasi campuran.
Metode flow cytometry terus berkembang sejalan dengan
perkembangan elektrik komputer dan reagen, termasuk digunakannya
monoklonal antibodi. Sampai saat ini, pengukuran dengan flow cytometry
menggunakan label flouresensi, selain mengukur jumlah, ukuran sel, juga
dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraseluler, struktur intra
sitoplasmik, dan inti sel.43,44
Penggunaan Flow Cytometry dapat memberikan informasi yang
penting pada klinisi untuk membantu untuk menegakkan diagnosa suatu
penyakit ataupun untuk memonitor keadaan dari suatu penyakit, misalnya
penderita dengan infeksi virus HIV. Pada infeksi HIV yang progressif, sel

12
CD4 jumlahnya menurun. Jumlah absolut sel CD4 merupakan
pengukuran yang penting untuk memprediksi, menentukan derajat dan
memonitoring progresifitas serta respon terhadap pengobatan pada
infeksi HIV. Jumlah CD4 normal adalah 950 sel/mm 3 – 1700 sel/mm3, bila
jumlah CD4 dibawah 350/mm3, atau dibawah 14%, kita dianggap AIDS.
Jumlah CD4 dipakai bersama untuk meramalkan berapa lama kita akan
tetap sehat. Dengan melakukan tes CD4 maka kita akan dapat menilai
prognosis berlanjut ke AIDS atau kematian, untuk membentuk diagnosis
diferensial pada pasien bergejala, dan untuk mengambil keputusan
terapeutik mengenai terapi antiretroviral (ART) dan profilaksis untuk
patogen oportunistik. Jumlah CD4 adalah indikator yang paling diandalkan
untuk prognosis .19Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan dengan melakukan
imunophenotyping yaitu flowcytometer (FCM) ataufluorescence activated
cell sorter (FACS).5
Tes CD4 sebaiknya diulang setiap tiga sampai enam bulan untuk
pasien yang belum diobati dengan ART dan jangka waktu dua sampai
empat bulan pada pasien yang memakai ART.Tes tersebut sebaiknya
diulangi bila hasil tidak konsisten dengan kecenderungan sebelumnya.
Frekuensi akan berbeda-beda tergantung keadaan individu. Kalau tidak
diobati, jumlah CD4 akan menurun rata-rata 4 persen per tahun. Dengan
terapi awal atau perubahan terapi, usulan adalah dilakukan tes CD4 pada
4, 8 sampai 12, dan 16 sampai 24 minggu.7

13
Gambar 3. Flowcytometri
2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test
untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA HIV-1 dan
test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen
p24)).19,42
2.a Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi
dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus
terdeteksi dengan menguji cairan supernatan biakan setelah 7-14 hari
untuk aktivitas reverse transcriptase virus atau untuk antigen spesifik
virus19,42
2.b PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa
langsung keberadaan virus HIV pada plasma,darah,cairan cerebral,cairan
cervical, sel-sel, dan cairan semen. Metode RT PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction) ini yang paling sensitive.
Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah
terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang
canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas
tidak memberikan hasil yang pasti.

2.1.10 PENATALAKSANAAN
2.1.10.1 Penatalaksanaan Umum
Istirahat, dukungan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien
dan mikronutrien untuk penderita HIV & AIDS, konseling termasuk
pendekatan psikologis dan psikososial, dan membiasakan gaya hidup
sehat.8
2.1.10.2 Penatalaksanaan Khusus
HIV sangat cepat bermutasi sehingga resisten terhadap obat.
Untuk mengurangi kemungkinan tersebut , umumnya obat anti HIV
diberikan dalam bentuk kombinasi. Pengobatan infeksi HIV perlu
dilakukan dalam jangka panjang karena bila dihentikan maka virus akan
menjadi aktif kembali.

14
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan infeksi HIV dengan
antiretroviral digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh
mendekati keadaan normal, mencegah perkembangan penyakit,
memperpanjang harapan hidup dan memelihara kualitas hidup dengan
cara menghambat replikasi virus HIV. Karena replikasi aktif HIV
menyebabkan kerusakan progresif sistem imun, menyebabkan
berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan (malignasi), penyakit
neurologi, penurunan berat badan yang akhirnya mendorong ke arah
kematian.1,8
Adapun pedoman pemberian ARV menurut KEMENKES Tahun
2011,yaitu :
- Pemberian Kotrimoksasol
Diberikan pada semua pasien dengan stadium klinis 2, 3 dan 4 atau
jumlah CD4< 200 sel/mm3 Berikan dua minggu sebelum mulai terapi
ARV untuk memastikan tidak adaefek samping yang tumpang tindih
antara Kotrimoksasol dan obat ARV.
- Saat Memulai terapi ARV
ODHA dengan CD4 < 350 sel/mm3, terlepas ada tidaknya gejala klinis.
ODHAdengan gejala klinis yang berat (Stadium klinis 3 atau 4) berapapun
jumlah CD4nya

- Jenis obat ARV Lini Pertama


Terapi Lini Pertama harus berisi 2 NRTI + 1NNRTI , dengan pilihan:
- AZT + 3TC + NVP
- AZT + 3TC + EFV
- TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
- TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Pemerintah akan mengurangi penggunaan (phasing out) Stavudin (d4T)
sebagai paduan lini pertama karena pertimbangan toksisitasnya
- Jenis obat ARV Lini Kedua
Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat
olehRitonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI, dengan pemilihan
Zidovudine(AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung dari apa yang

15
digunakan pada lini pertama dan 3TC. PI yang ada di Indonesia dan
dianjurkan digunakan adalah Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
- Koinfeksi HIV/TB
Berapapun jumlah CD4nya, pasien dengan koinfeksi HIV dan TB harus
memulai terapi ARV sesegera setelah terapi OAT dapat ditoleransi dan
keadaan stabil (2 –8 minggu setelah mulai OAT)
- Koinfeksi HIV/HBV
Berapapun jumlah CD4nya atau stadium klinisnya, ODHA yang
memerlukan terapi untuk infeksi HBV perlu memulai terapi ARV.
Paduan ARV untuk keadaan ini menggunakan Tenofovir (TDF) dan
Lamivudine (3TC) atau Emtricitabine (FTC)
- Ibu Hamil
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil terinfeksi HIV, apapun stadium
klinisnya atau berapapun jumlah CD4. Hindari penggunaan Efavirenz
(EFV) selama trimester I kehamilan.49
Terdapat lebih dari 20 obat antiretroviral yang digolongkan dalam 6
golongan berdasarkan mekanisme kerjanya, terdiri dari :
a.Nucleoside/ nucleotide reverse transcriptase inhibitors (NRTI)
NRTIs bekerja dengan cara menghambat kompetitif reverse
transcriptase HIV-1 dan dapat bergabung dengan rantai DNA virus yang
sedang aktif dan menyebabkan terminasi. Obat golongan ini memerlukan
aktivasi intrasitoplasma, difosforilasi oleh enzim menjadi bentuk trifosfat.
Golongan ini terdiri dari : Analog deoksitimidin (Zidovudin), analog timidin
(Stavudin), analog deoksiadenosin (Didanosin), analog adenosisn
(Tenovir disoproxil fumarat/TDF), analog sitosin (Lamivudin dan
Zalcitabin) dan analog guanosin (Abacavir) .
b. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs)
NNRTIs bekerja dengan cara membentuk ikatan langsung pada
situs aktif enzim reverse transcriptase yang menyebabkan aktivitas
polimerase DNA terhambat. Golongan ini tidak bersaing dengan trifosfat
nukleosida dan tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif. Golongan
ini terdiri dari: Nevirapin, Efavirenz, Delavirdine .

c. Protease inhibitors (PIs)


Selama tahap akhir siklus pertumbuhan HIV, produk-produk gen
Gag-Pol dan Gag ditranslasikan menjadi poliprotein dan kemudian

16
menjadi partikel yang belum matang .Protease bertanggung jawab pada
pembelahan molekul sebelumnya untuk menghasilkan protein bentuk
akhir dari inti virion matang dan protease penting untuk produksi virion
infeksius matang selama replikasi.Obat golongan ini menghambat kerja
enzim protease sehingga mencegah pembentukan virion baru yang
infeksius. Golongan ini terdiri dari :Saquinavir, Ritonavir, Nelfinavir,
Amprenavir

d. Fusion inhibitors (FIs)


FIs menghambat masuknya virus ke dalam sel, dengan cara
berikatan dengan subunit gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi
virus ke sel target dihambat. Obat golongan ini terdiri dari :Enfuvirtide (T-
20 atau Pentafuside).
e. Antagonists CCR5
Bekerja dengan cara mengikat CCR5 (reseptor kemokin 5) di
permukaan sel CD4 dan mencegah perlekatan virus HIV dengan sel
pejamu. Golongan ini terdiri dari :Maraviroc, Aplaviroc, Vicrivirox .

f.Integrase strand transfer inhibitors (INSTI)


Bekerja dengan cara menghambat penggabungan sirkular DNA
(cDNA) virus dengan DNA sel inang (hospes). Golongan ini terdiri
dari :Raltegravir dan elvitegravir
Terapi tunggal ARV menyebabkan kemunculan cepat mutan HIV
yang resisten terhadap obat.Kombinasi obat antiretroviral merupakan
strategi yang menjanjikan secara klinik, ditunjuk sebagai terapi
antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi ini mempunyai target
multi langkah pada reflikasi virus sehingga memperlambat seleksi mutan
HIV. Tetapi HAART tidak dapat menyembuhkan infeksi HIV, karena virus
menetap pada reservoir yang berumur panjang pada sel-sel yang
terinfeksi, termasuk sel T CD4 memori, sehingga ketika HAART dihentikan
atau terdapat kegagalan terapi , produksi virus kembali meningkat .

2.1.9.3 Tujuan pengobatan Antiretroviral


Berdasarkan pedoman nasional tahun 2004, tujuan pengobatan dengan
Antiretroviral adalah :
- Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
- Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan

17
dengan HIV
- Memperbaiki kualitas hidup ODHA
- Memulihkan dan / atau memelihara fungsi kekebalan tubuh
- Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus 1

2.1.9.4 Kepatuhan terapi antiretroviral


Alasan utama terjadinya kegagalan terapi ARV adalah
ketidakpatuhan atau adherence (kepatuhan) yang buruk.Kepatuhan harus
selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur serta didorong pada setiap
kunjungan pasien.Kepatuhan pada pengobatan antiretroviral sangat kuat
hubungannya dengan supresi virus HIV, menurunkan resistensi,
meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Karena
pengobatan HIV merupakan pengobatan seumur hidup, dan karena
banyak pasien yang memulai terapi dalam kondisi kesehatan yang baik
dan tidak meunjukkan tanda penyakit HIV, maka kepatuhan menjadi
tantangan khusus dan membutuhkan komitmen dari pasien dan tim yang
merawatnya.
Kepatuhan berhubungan dengan karakteristik pasien, aturan dan
dukungan kuat dari keluarga pasien.Informasi harus diberikan dan pasien
mengerti mengenai penyakit HIV dan aturan khusus untuk menggunakan
obatadalah sangat penting. Beberapa faktor yang berhubungan dengan
kurangnya kepatuhan, meliputi :
• Tingkat pendidikan yang rendah
• Umur (seperti : kurang penglihatan, lupa)
• Kondisi psikis (seperti : depresi, kurang dukungan sosial, dimensia,
psikosis)
• Ketergantungan obat aktif
• Kesulitan menerima pengobatan (seperti : sulit menelan obat, jadwal
minum obat harian)
• Aturan pakai yang rumit (seperti : frekwensi pemberian obat,
persyaratan
makanan)
• Efek obat yang tidak diinginkan
• Pengobatanyang melelahkan.11
2.1.9.5 Evaluasi terapi Antiretroviral

18
Setelah pengobatan dengan ARV dimulai, diperlukan pemantauan
klinis dan laboratorium, meliputi :
A. Pemantauan klinis
Frekuensi Pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV.
Sebagai batasan minimal, Pemantauan klinis perlu dilakukan pada minggu
2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap
6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil. Pada setiap kunjungan
perlu dilakukan penilaian klinis termasuk tanda dan gejala efek samping
obat atau gagal terapi dan frekuensi infeksi (infeksi bakterial, kandidiasis
dan atau infeksi oportunirtik lainnya) ditambah konseling untuk membantu
pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan. 49
B. Pemantauan laboratoris
Direkomendasikan untuk melakukan pemantauan CD4 secara rutin
setiap 6 bulan atau lebih sering bila ada indikasi klinis.Untuk pasien yang
akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar
Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pada minggu ke 4, 8 dan
12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia.
Pengukuran ALT (SGPT) dan kimia darah lainnya perlu dilakukan
bila ada tanda dan gejala dan bukan berdasarkan sesuatu yang rutin.
Akan tetapi bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 antara
250 – 350 sel/mm3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase
pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila
memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala
klinis.
Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang
mendapatkan TDF.Keadaan hiperlaktatemia dan asidosis laktat dapat
terjadi pada beberapa pasien yang mendapatkan NRTI, terutama d4T atau
ddI. Tidak direkomendasi untuk pemeriksaan kadar asam laktat secara
rutin, kecuali bila pasien menunjukkan tanda dan gejala yang mengarah
pada asidosis laktat.
Penggunaan Protease Inhibitor (PI) dapat mempengaruhi
metabolisme glukosa dan lipid. Beberapa ahli menganjurkan pemeriksaan
gula darah dan profil lipid secara reguler tetapi lebih diutamakan untuk
dilakukan atas dasar tanda dan gejala

19
Pengukuran Viral Load (VL) sampai sekarang tidak dianjurkan
untuk memantau pasien dalam terapi ARV dalam keadaan terbatas
fasilitas dan kemampuan pasien.49
2.1.9.6 Indikasi kegagalan terapi Antiretroviral
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai
perkembangan penyakit, secara imunologis dengan penghitungan CD4
dan atau secara virologis dengan mengukur viral load.
A. Kegagalan klinis:
Munculnya IO pada stadium 4 setelah setidaknya 6 bulan dalam
terapi ARV, kecualiTB, kandidosis esofageal dan infeksi bakterial berat
yang tidak selalu diakibatkan oleh kegagalan terapi. Telaah respon dari
terapi terlebih dahulu, bila responnya baikmaka jangan diubah dulu. 7
B. Kegagalan Imunologis
Setelah satu tahun terapi CD4 kembali atau lebih rendah dari pada
awal terapi ARV.Penurunan CD4 sebesar 50% dari nilai tertinggi yang
pernah dicapai selama terapi ART (bila diketahui). 7

C. Kegagalan Virologis:
Viral load > 10 000 / ml setelah 6 bulan menjalani terapi ARV.
Kegagalan terapai ARV tidak dapat didiagnosis berdasarkan kriteria klinis
semata dalam 6 bulan pertama pengobatan. Viral load masih merupakan
indikator yang paling sensitif dalammenentukan adanya kegagalan terapi.
Gejala klinis yang muncul dalam waktu 6bulan terapi sering kali
menunjukkan adanya IRIS (Immune reconstitution inflammatory
syndrome) dan bukan kegagalan terapi ARV. 7
2.2 Bakteri Aeromonas Hydrofilia
2.2.1 Definisi
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram negatif
berbentuk batang yang tersebar luas di lingkungan, terutama di air tawar
dan memiliki sifat pathogen pada manusia serta dapat menyebabkan
penyakit pada hewan.50
2.2.2 Morfologi
Ada tiga spesies utama bakteri Aeromonas, antara lain A.
punctata, A. liquiefacieus, dan A. hydrophila. Bakteri A. hydrophila
memiliki ciri utama yaitu berbentuk seperti batang yang berukuran 1 – 4 x
0,4 – 1 mikron, bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup

20
dengan atau tanpa oksigen), tidak mempunyai spora, dan bersifat
motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel yang keluar dari
salah satu kutubnya, serta hidup pada suhu 15 – 30 oC. 51
Bakteri ini juga mampu memfermentasikan beberapa gula
seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan trehalosa. Hasil fermentasi
dapat berupa senyawa asam atau senyawa asam dengan gas.
Pada nutrient agar, setelah 24 jam dapat diamati koloni bakteri dengan
diameter 1-3 mm yang berbentuk cembung, halus dan terang
Bakteri ini juga resisten terhadap chlorine serta suhu yang
dingin (faktanya A.hydrophila dapat bertahan hidup dalam temperatur
rendah ± 4 ºC), tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan. Sebagian
besar bakteri A. hydrophila mampu tumbuh dan berkembang biak
pada suhu 37oC dan tetap motil pada suhu tersebut. Disamping itu, pada
kisaran pH 4,7-11 bakteri ini masih dapat tumbuh. Perkembang biakan
bakteri ini dapat dilakuakan secara aseksual yaitu dengan
memanjangkan sel diikuti dengan pembelahan inti atau pembelahan
biner. Waktu yang diperlukan untuk pembelahan satu sel menjadi dua
sel bakteri ±10 menit.52

Gambar 4 Aeromonas Hydrophila52

2.2.3 Habitat
Bakteri A. hydrophila dapat hidup di air tawar, air laut maupun air
payau. Pada umumnya bakteri ini hidup pada air tawar yang mengandung
bahan organik tinggi. Bakteri ini juga diakui sebagai pathogen dari hewan
akuatik yang berdarah dingin. Didaerah tropic dan subtropik perdarahan
pada organ dalam ikan yang disebabkan oleh bakteri A.hydrophila pada
umumnya muncul pada musim panas, karena pada saat itu konsentrasi
bahan organic tinggi dalam kolam air. Pada ikan bakteri ini banyak
53
ditemukan di insang, kulit, hati dan ginjal.

21
2.2.4 Epidemiologi
Bakteri Aeromonas hydrophila adalah jenis bakteri yang
bersifat pathogen dan dapat menyebabkan penyakit sistemik serta
mengakibatkan kematian secara masal. Bakteri Aeromonas
hydrophila ini seringkali mewabah di Asia Tenggara sampai
sekarang. Salah satu penyakit yang dapat menyerang ikan air tawar
baik ikan hias atau pun ikan konsumsi dan dapat mematikan
sampai 100% ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Aeromonas hydrophila, dengan gejala klinis berupa luka
dibagian tubuh ikan dan bakteri ini menyerang semua umur dan
hampir semua komuditas perikanan yang ada di Indonesia, khususnya di
Jawa Barat bahkan menjadi wabah mematikan pada ikan air tawar dan
menyebabkan kerugian yang sangat besar. 54.55
2.2.5 Patogenitas
Bakteri A. Hydrophila diduga memproduksi factor-faktor eksotoksin
dan endotoksin yang sangat berpengaruh patogenitas bakteri ini.
Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh
bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini
biasanya spesifik. Pada beberapa spesies bakteri tertentu baik gram
positif atau gram negative, yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait
toksin tersebut. Endotoksin merupakan toksin bagian integral dari dinding
sel bakteri bakteri gram negative. Aktifitas biologis dari endoktoksin
56
dihubungan dengan keberadaan lipolisakarida (LPS).
Eksotoksin yang diproduksi A.Hydrophila meliputi hemolisin,
protease, elastase, lipase, sitotoksin, enterotoksin, glatinase, keseinase.
Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel darah merah
dan membebaskan hemoglobinnya. Protease adalah enzim proteolitik
yang berfungsi untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk
berkembangnya penyakit dan mengambil nutrient inang untuk
berkembang biak. Aeromonas Hydrophila dapat memanfaatkan albumin,
kasein, gelatin dan fibrinogen sebagai substrat protein. Dengan demikian
57
dapat disimpulkan bakteri ini bersifat proteolitik.
2.2.6 Gejala Klinis
indikasi klinis infeksi Aeromonas biasanya tergantung pada lokasi
dan keparahan infeksi. Infeksi luka sering mengakibatkan selulitis dan

22
jarang necrotizing fasciitis. Septicemia dapat menyertai infeksi luka atau
mungkin sekunder untuk penyakit sistemik seperti sirosis, kanker, penyakit
bilier, diabetes, atau penyakit yang mengakibatkan gastrointestinal
perforasi dan dapat menimbulkan meningitis atau endokarditis.
Pneumonia jarang terjadi dan itu biasanya berhubungan dengan aspirasi,
seperti hampir tenggelam . Gejala Gastroenteritis bervariasi dari self-
limiting ringan untuk disentri atau penyakit seperti kolera. Keduanya
gastrointestinal dan infeksi ekstraintestinal sekarang diketahui terjadi pada
host yang sebelumnya sehat serta immunocompromised atau, jika tidak,
individu yang rentan.58
2.2.7 Diagnosis
A. Kultur
Aeromonads tumbuh pada media isolasi, dan sejumlah besar
media selektif dan media isolasi diferensial telah dikembangkan untuk
pertumbuhan spesies Aeromonas dari lingkungan, makanan dan
specimen secara klinis. Studi komparatif menyarankan bahwa tidak ada
satu pun medium yang menghasilkan pertumbuhan optimal aeromonas,
dan kombinasi media isolasi yang berbeda dan metode sering digunakan
dengan penanaman langsung, filtrasi membran, atau beberapa tes tabung
untuk menentukan sebagian besar angka kemungkinan. 59
Metode penyaringan membran, Metode EPA 1605, telah
diotentikasi untuk isolasi A. hydrophila dari sampel air minum. Beberapa
teknik kultur dan media kultur telah dievaluasi untuk pertumbuhan
aeromonas dari makanan. Agar ampicillin pati (Starch Ampicillin Agar )
dan inositol garam empedu agar hijau cemerlang (Bile Inositol Brilliant
Green Agar ) dengan penanaman awal di air peptone alkalin (APW) atau
kaldu tryptose mengandung ampisilin (TSB-30, ampisilin 30 mg / L)
direkomendasikan bersamaan dengan media yang tersedia secara
komersial seperti Aeromonas Medium (Medium Ryan). Starch glutamate
ampicillin penicillin (SGAP-10) medium digunakan dalam isolasi
aeromonads dari lumpur limbah. Media ini sangat selektif, dan telah
digunakan untuk mendeteksi aeromonads dari makanan dan matriks
sampel lainnya. Spesies Aeromonas tumbuh dengan mudah di media
kultur darah dan pada 5% darah domba agar digunakan di laboratorium

23
klinis untuk deteksi dan isolasi patogen manusia dari lokasi tubuh yang
biasanya steril.60
B Pemeriksaan Molekular
Polimerase Chain Reaction (PCR) telah dikembangkan untuk
mendeteksi keberadaan spesies Aeromonas dalam rentang sample yang
luas. Ozbas dkk. mengembangkan metode PCR untuk deteksi A.
hydrophila dalam susu mentah. Deteksi Batas adalah 2log10 cfu / g dan
tingkat deteksi adalah 23% untuk Metode PCR dan 14% untuk metode
kultur. Stine dkk. menciptakan microarray probe DNA untuk mempelajari
dinamika populasi komunitas mikroba dan menggunakan microarray untuk
mempelajari dinamika dan interaksi populasi bakteri laut di perairan pesisir
di mana aeromonas berada ditemukan untuk membuat sebagian besar
flora mikroba. Galindo, dkk juga menggunakan microarray untuk
mendeteksi gen-gen yang menginduksi enterotoksik cytotoksik hidrofobik
di makrofag, sehingga mengungkap potensi microarray dalam
menjelaskan mekanisme intraseluler pathogenesis Aeromonas. Galindo
dkk. menggunakan microarray dan proteomik untuk memeriksa efek
enterotoxin sitotoksik pada sel epitel manusia. 60

2.2.8 Pengobatan Dan Pencegahan


Seperti yang dibicarakan sebelumnya, aeromonas ada di mana-
mana banyak perairan dan lingkungan. Akibatnya, mereka hadir di
kebanyakan sumber air yang digunakan untuk produksi air minum. Teknik
yang digunakan untuk pengobatan dan disinfeksi adalah efektif dalam
meminimalkan tingkat aeromonas di sumber/ wadah air minum. Telah
dilaporkan bahwa A. hydrophila biasanya lebih rentan terhadap klorin dan
monokloramin dari coliform. Pendekatan yang paling efisien untuk
mengendalikan Pertumbuhan aeromonas adalah untuk membatasi
spesies Aeromonas memasuki sistem distribusi pertumbuhan melalui
pengobatan yang efektif dan pemeliharaan, untuk mempertahankan suhu
di bawah 14◦C, hingga memberikan residu klorin di atas 0,1-0,2 mg / L,
dan untuk batasi kadar senyawa karbon organik di dalam air .Namun, sulit
untuk mengelola pertumbuhannya dalam biofilm
Terapi rehidrasi adalah intervensi yang cukup di sebagian besar
kasus anak-anak gastroenteritis dan diare berair yang disebabkan oleh
spesies Aeromonas Terapi antibiotik efektif dalam manajemen infeksi

24
pada pasien dengan kolangitis supuratif akut. Intervensi bedah mungkin
diperlukan pada kasus-kasus fasiitis nekrosis. Selain itu, selutis mungkin
membutuhkan debridemen, dan abses mungkin memerlukan drainase. 61
Infeksi gastrointestinal yang disebabkan oleh aeromonas
umumnya sembuh sendiri dan terapi antibiotik diperlukan hanya pada
kasus yang berkepanjangan pada host yang mengalami gangguan sistem
imun. Antimikroba digunakan hanya untuk yang berat dan tidak responsive
pada kasus gastroenteritis Aeromonas atau ekstraintestinal infeksi. 62

BAB III
KESIMPULAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome ( AIDS )ialah kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency
Virus ( HIV ) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia. HIV
membunuh sel T-CD4 sampai terdapat kurang dari 200 sel permikro liter
darah maka kekebalan seluler akan hilang sehingga akan sulit bagi sistem
kekebalan tubuh untuk melawan infeksi.
Meskipun tidak ada obat untuk AIDS, infeksi HIV dapat dicegahdan
mereka yang hidup dengan HIV dapat menggunakan obat antiretroviral
untuk menunda awal terjadinya AIDS.Obat antiretroviral menjaga tingkat
HIV dalam tubuh pada tingkat yang rendah, sehingga sistem kekebalan
tubuh dapat pulih dan bekerja secara efektif.Sehingga Obat antiretroviral
memungkinkan banyak orang dengan HIV-positif untuk dapat hidup
panjang dan sehat.
Mendeteksi HIV selama tahap awal infeksi dan memulai
pengobatan baik sebelum gejala HIV berkembang dapat membantu orang

25
dengan HIV tetap sehat.Pengobatan juga dapat mengurangi risiko
penularan HIV.
Untuk mendiagnosa HIV dapat kita tegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan dengan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang
dimulai dengan uji penapisan/penyaringan dengan menentukan adanya
antibodi anti HIV kemudian dilanjutkan dengan uji pemastian dengan
pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western blot assaykarena mampu
mendeteksi komponen- komponen yang terkandung pada HIV. Adapun
pemeriksaan laboratorium meliputi uji imunologi dan uji virologi.
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram negatif
berbentuk batang yang tersebar luas di lingkungan, terutama di air tawar
dan memiliki sifat pathogen pada manusia serta dapat menyebabkan
penyakit pada hewan.
Ada tiga spesies utama bakteri Aeromonas, antara lain A.
punctata, A. liquiefacieus, dan A. hydrophila. Bakteri A. hydrophila
memiliki ciri utama yaitu berbentuk seperti batang yang berukuran 1 – 4 x
0,4 – 1 mikron, bersifat Gram negatif, fakultatif aerobik (dapat hidup
dengan atau tanpa oksigen), tidak mempunyai spora, dan bersifat
motil (bergerak aktif) karena mempunyai satu flagel yang keluar dari
salah satu kutubnya, serta hidup pada suhu 15 – 30 oC.
Bakteri Aeromonas hydrophila adalah jenis bakteri yang
bersifat pathogen dan dapat menyebabkan penyakit sistemik serta
mengakibatkan kematian secara masal. Bakteri Aeromonas
hydrophila ini seringkali mewabah di Asia Tenggara sampai
sekarang. Salah satu penyakit yang dapat menyerang ikan air tawar
baik ikan hias atau pun ikan konsumsi dan dapat mematikan
sampai 100% ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Aeromonas hydrophila, dengan gejala klinis berupa luka
dibagian tubuh ikan dan bakteri ini menyerang semua umur dan
hampir semua komuditas perikanan yang ada di Indonesia, khususnya di
Jawa Barat bahkan menjadi wabah mematikan pada ikan air tawar dan
menyebabkan kerugian yang sangat besar
Bakteri A. Hydrophila diduga memproduksi factor-faktor eksotoksin
dan endotoksin yang sangat berpengaruh patogenitas bakteri ini.

26
Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh
bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini
biasanya spesifik.
indikasi klinis infeksi Aeromonas biasanya tergantung pada lokasi
dan keparahan infeksi. Infeksi luka sering mengakibatkan selulitis dan
jarang necrotizing fasciitis. Septicemia dapat menyertai infeksi luka atau
mungkin sekunder untuk penyakit sistemik seperti sirosis, kanker, penyakit
bilier, diabetes, atau penyakit yang mengakibatkan gastrointestinal
perforasi dan dapat menimbulkan meningitis atau endokarditis
Aeromonads tumbuh pada media isolasi, dan sejumlah besar
media selektif dan media isolasi diferensial telah dikembangkan untuk
pertumbuhan spesies Aeromonas dari lingkungan, makanan.
Polimerase Chain Reaction (PCR) telah dikembangkan untuk
mendeteksi keberadaan spesies Aeromonas dalam rentang sample yang
luas

DAFTAR PUSTAKA
1. Murtiastutik D, 2008; Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya:
Airlangga University Press. 211-231
2. Baratawidjaja K.G & Rengganis I, 2009; Defisiensi Imun. Imunologi
Dasar Eds.8. Jakarta: FK UI. 477-513
3. AbbasA.K ,2006-2007; Congenital and Acquired
Immunodeficiencies.Basic Immunology: Function and Disorders of
the Immune System. Eds.2. Saunders Elsevier. 209 – 223
4. Roitt &Ivan M, 2002. Imunodefisiensi. Imunologi Eds.8 . Jakarta :
Widya Medika 280 – 295
5. Kresno, S. B., 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium Eds. 4. Prosedur Laboratorium. Jakarta: FK UI. 205-
426.
6. Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia, Dilapor 1 April s.d 30 30 juni 2011. Availabel from :
ttp://spirita.or.id/StatsCur,pdf. [ Accesed 15 Agustus 2011]
7. Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2007. Panduan Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja. Pedoman Nasional
Terapi Antiretroviral Eds.2

27
8. Nasroudin, 2007; HIV & AIDS Pendekatan Biologi dan Molekuler,
Klinis, Dan Sosial, Edisi pertama, Airlangga University Press,
Surabaya.
9. Radji, M. 2010 ; Human Immunodeficiency Virus, Imunologi dan
Virologi, Cetakan Pertama, Jakarta: PT.ISFI 268 – 279
10. Kumar. P, Clark. M. 2009 ; HIV and AIDS in Clinical Medicine 7th
Edt. London, Elsevier. 184 – 206
11. WHO, 2010, Antiretroviral Therapy for Infection in Adults and
adolescents, WHO Library Cataloging in Publication Data, Austria.
12. Princeton,D C. 2003 ; Manual of HIV/AIDS Therapy, Current
Clinical Strategies, California: Current Clinical Strategies
Publishing. 5 -66
13. Lubis Imran,1992, Pemeriksaan Laboratorium Untuk HIV, In:
Cermin Dunia Kedokteran No 75, 1992, Jakarta: Group PT Kalbe
Farma, 13 - 16
14. Song Rinn, Jelagat. J, Dzombo.D. et all, 2007; Efficacy of HAART
in HIV-1-Infected Children in Kenya in : Pediatrics Official Journal of
the American Academy of Pediatrics, Kenya : American Academy of
Pediatrics
15. Ananworanich.J.MD,et all, 2005, HAART Retreatment in Patient on
CD4-Guided Therapy Achieved Similar Virologic Supression
Compared With Patients on Continuous HAART, Thailand :
Lippincott Williams & Willkins, , in: J.Acquir Immune defic Syndr.
2005; 39 : 523-529
16. Rieg, Gunter. 2006 ;HIV Infection and AIDS in Sexually Transmited
Disease, New Jersey : Humana Press. 99 – 125
17. Mak, Tak W. Saunders, M E 2006; HIV and AIDS in The Immune
Response, Basic and Clinical Principles, Elsevier. 785 – 823
18. Shetty Nandini, 2005, Immunology Introductory Text Book, 2nd Ed,
London : New Age International (P) Limited Publisher, 197 – 199
19. Kartikeyan. S, Bharmal.R.N, Tiwari.R.P, etall, 2007, HIV and AIDS
Basic Elements and Priorities, Netherlands : Springer. 67 – 83 , 129
– 142 , 211 – 249
20. Carter, J B. Saunders, V A. 2007 ; Human Immunodeficiency
Viruses in Virology Principles and Applications, UK, Jhon Wiley &
Sons Ltd. 197 – 211
21. Yoveline Anastasia, Wahyuningsih.R, Kumalawati.Y,etall, 2008.
Peran Rapid Oral HIV Test dalam Diagnosa Infeksi HIVin : Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume ; 58, No : 12, Desember 2008. 525
– 530

28
22. Jason F. Okulicz,Greg A. Grandits, Amy C. Weintrob , et all, 2009,
CD4 T Cell Count Reconstitution in HIV Controlles after HAART , in:
Clinical Infectious Disease 2010, Georgia, Inf. Disease Socciaty of
America
23. Chin James, 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Eds
17, DEPKES, 1-8
24. Beck-Saguē. C M, Beck Caridad. C , 2004, Deadly Disease and
Epidemics HIV/AIDS, Philadelphia, Chelsea House Publishers
25. Kudesia. Gl, Wreghitt.T, 2009, HIV and AIDS in Clinical and
Diagnostic Virology, New York, Cambridge University Press, 54 - 61
26. Keogan.M T, Wallace.E M, O’ Leary. P, 2009 , Concise Clinical
Immunology for Healthcare Propfesionals, London and New York :
Routledge Taylor & Francis Group . 173, 262 – 271, 316 – 321
27. Vella Stefano, 2002, New perspectives in Antiretroviral Therapy of
HIV infection in : Cellular Aspects of HIV Infection, Ohio : Willey-
Liss, 423 -432
28. Eramova. I, Matic.S, Munz. M, 2007, Patient Evaluation and
Antiretroviral Treatment for Adults and Adolescents in HIV/AIDS
TREATMENT AND CARE Clinical Protocols for the WHO Europen
Region, Europe: WHO. 5 – 47
29. Kane. Brigid M, 2008, HIV ? AIDS Treatment Drugs, New York :
Chelsea House Publishers
30. Cruse. J M, Lewis. R E, Wong. H, 2004, Immunodeficiencies :
Congenital and Acquired in : Immunology guide book, USA :
Elsevier. 465 – 474
31. Altfeld. M and Walker.B.D, 2007, Acute HIV-1 Infection in : HIV
Medicine 2007, 15th Edition, Paris: Flying Publisher, 33 – 39.
32. Preiser Wolfgang and Korsman Stephen, HIV Testing , Infection in :
HIV Medicine 2007, 15th Edition, Paris: Flying Publisher, 41 – 47.
33. Rubbert Andrea, Behrens. G , Ostrowski. M, Pathogenesis of HIV-1
Infection in : HIV Medicine 2007, 15 th Edition, Paris: Flying
Publisher, 59 - 86
34. O’Gorman. M R G, 2008, Guidelines for the Use of Flow Cytometry
in the Management of Patients Infected with the HIV Virus Type-1
and the AIDS in : Hand Book of Human Immunology, 2 nd edt. New
York: CRC Press. 257 - 265
35. Lydyard. P, Whelan. A, Fanger. M W, 2004, Secondary ( Acquired )
Immunodeficiency in : Immunology Instant Notes, 2 nd Ed, London
And New York : Bios Scientific Publishers, 189 – 195

29
36. Shaunak Sunil, 2003, HIV and it’s Manipulation of Chemokine
Receptors in : Infection and Immunity, London : Martin Dunitz, 177
– 190
37. Nathanson. N, Overbaugh. J, 2007, HIV, SIV and the Pathogenesis
of AIDS, in : Nathanson Neal, Viral Pathogenesis and Immunity, 2 nd
Ed. Philadelphia, USA : Elsevier, 185 – 200
38. Nathanson. N, Richman. D D, 2007, Antiviral Theraphy in :
Nathanson Neal, Viral Pathogenesis and Immunity, 2nd Ed.
Philadelphia, USA : Elsevier, 221 - 233

39. WHO, 2009, Guidelines for Using HIV Testing Technologies


inSurveillance:Selection, Evaluation and Implementation
40. Merati Tuti.P, Djauzi.S, 2007, Respon Imun Infeksi HIV. In: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .
Edisi 4, Jakarta: Pusat Penerbit Dept, Ilmu Penyakit Dalam FK. UI,
272 - 276
41. Djoerban Z, Djauzi S, 2007, HIV AIDS di Indonesia, In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi 4,
Jakarta: Pusat Penerbit Dept, Ilmu Penyakit Dalam FK. UI, 1803 -
1808
42. Ratu Gustinawati, Pakasi. RDN, Hardjoeno, 2007, AIDS, In:
Hardjoeno.H, Esa Tenri, Nurhayana. Et al, Kumpulan Penyakit
Infeksi & Tes Kultur Sensitifitas Kuman Serta Upaya
Pengendaliannya, Makassar: Patologi Klinik FK UNHAS, 79 – 106
43. Becton Dickinson, Introduction to Flow Cytometri: A learning guide
2004, p9-26
44. Marion G.Macey.Ph.D, Princples of Flow Cytometri 2007,p1-16
45. David Barnet and Jhon T.Reilly, Quality Control in Flow
Cytometri,2007,p113-128
46. Yoann Madec, Didier Laureillard, Loretxu Pinoges et all,2007;
Response to highly active antiretroviral therapy among severely
immuno-compromised HIV-infected patients in Cambodia.AIDS
2007, 21:351–359
47. Christophe Piketty, Philippe Castiel, Laurent Belec et all, 1998;
Discrepant responses to triple combination antiretroviral therapy in
advanced HIV disease; .AIDS 1998, 12:745–750
48. Stephen D Lawn, Landon Myer, Linda-Gail Bekker and Robin
Wood, 2006 ; CD4 cell count recovery among HIV-infected patients

30
with very advanced immunodeficiency commencing antiretroviral
treatment in sub-Saharan Africa; BMC Infectious Diseases 2006
49. Ditjen PPM dan PL KEMENKES RI, 2011. Pedoman Nasional
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang
Dewasa .

50. Abeyta, C. J. R., Weagant, S. D., Kaysner, Ch. A., Wekell, M. M.,
Stott, R. F., Krane, M. H., et al. (2009). Aeromonas hydrophila in
shellfish growing waters: incidence and media evaluation. Journal
of Food Protection, 52(1), 7–12.

51. Ascencio, F. W., Martinez-Arias, J., Romero, M., & Wadstrom, T.


(2008). Analysis of the interaction of Aeromonas caviae, A.
hydrophila and A. sobria with mucins. FEMS Immunology and
Medical Microbiology, 20, 219–229

52. Austin, B., & Adams, C. (2006). Fish Pathogens. In B. Austin, M.


Altwegg, P. J. Gosling, & S. Joseph (Eds.), The Genus Aeromonas
(pp. 197–244). J. Wiley & Sons, Ltd.

53. Barnhart, H. M., Pancorbo, O. C., Dreesen, D. W., & Shotts, E. B.


(2009). Recovery of Aeromonas hydrophila from carcasses and
processing water in a broiler processing operation. Journal of Food
Protection, 52(9), 646–649.

54. Bell, R. G., Penney, N., & Moorhead, S. M. (2005). Growth of the
psychrophilic pathogens Aeromonas hydrophila, Listeria
monocytogenes and Yersinia enterocolitica on smoked blue cod
(parapercis colias) packd under vacuum or carbon dioxide.
International Journal of Food Science and Technology, 30, 515–
521.

55. Berrang, M. E., Brackett, R. E., & Beuchat, L. R. (2009). Growth of


Aeromonas hydrophila on fresh vegetables stored under a
controlled atmosphere. Applied and Environmental Microbiology,
55(9), 2167–2171.

31
56. Croci, L., Di Pasquale, S., Cozzi, L., & Toti, L. (2001). Behavior of
Aeromonas hydrophila in bottled mineral waters. Journal of Food
Protection, 64(11), 1836–1840.

57. Davies, A. R., Cappel, Ch., Jahanno, D., Nychas, G. J. E., & Kirby,
R. M. (2001). Incidence of foodborne pathogens on European fish.
Food Control, 12, 67–71.

58. Davies, A. R., & Slade, A. (2005). Fate of Aeromonas and Yersinia
on modified-atmosphere-packaged (MAP) cod and trout. Letters in
Applied Microbiology, 21, 354–358.

59. Devlieghere, F., Lefevere, I., Magnin, A., & Debevere, J. (2000).
Growth of Aeromonas hydrophila in modified-atmosphere-packed
cooked meat products. Food Microbiology, 17, 185–196.

60. Ellenberg, L., & Hoover, D. G. (2009). Injury and survival of


Aeromonas hydrophila 7965 and Yersinia enterocolitica 9610 from
high hydrostatic pressure. Journal of Food Safety, 19, 263–276.

61. Isonhood, J. H., & Drake, M. (2002). Aeromonas species in foods.


Journal of Food Protection, 65(3), 575–582.

62. Janda, J. M., & Duffey, P. S. (2008). Mesophilic aeromonads in


human disease: current taxonomy, laboratory identification, and
infectious disease spectrum. Reviews of Infectious Diseases, 10,
980–997.

32
Laporan Kasus

IDENTITAS

Nama pasien : Tn.RI


Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa /Indonesia
Al amat : Medan
Tanggal Masuk : 22 – 09 – 2018
No. Lab / MR : 756593

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Lemas
Telaah : Hal ini dialami os sejak 2 bulan ini dan memberat 1 mgg
ini. Os juga mengeluh penurunan nafsu makan 4 hari ini.
Penurunan BB 20 kg, demam hilang timbul. Timbul
bercak2 putih di mulut. Batuk tidak berdahak selama 2
bulan. Mual (-), muntah (-), mencret (-). Luka borok di
scrotum sampai ke anus 1 bulan. Bau (+). Pasien rujukan
dari RSU USU dengan HIV . BAK (+)/N. BAB (+)/N

RPT : HIV
RPO : ARV.

Status Present
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 112 x /menit
Respirat.rate : 24 x /menit
Temp.Tubuh : 37,5 OC

Pemeriksaan Fisik
Kepala
Mata : Konjunctiva palpebra pucat (+), Sklera Icterus (-).
Hidung : Tidak ada kelainan

33
Mulut : bercak putih (+)
Wajah : Tidak ada kelainan
Leher : Pembesaran kel. Lymph (-),

Thorax
Inspeksi : Simetris Kanan/Kiri (+), Respiratory Rate : 24 x/menit, reguler
Palpasi : SF Ka=Ki
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan : vesicular, Suara tambahan : -

Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel. H/L tidak teraba, Renal tidak teraba. Nyeri tekan
epigastrium (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+), Normal

Ekstremitas : Oedem pretibial -/-, akral hangat

Ano genital : Tampak luka borok di bawah scrotum sampai ke anus.

Pemeriksaan Laboratorium Tgl. 22-09-2018 (saat di IGD RSUP H. Adam


Malik)
Darah Lengkap Satuan Hasil Rujukan
Hb g/dl 8,4 13 – 18
Eritrosit Juta/ ul 2.16 4.50 – 6.50
Leukosit / ul 6720 4.000 – 11.000
Hematokrit % 20 39 – 54
Trombosit / ul 113.000 150.000 –
450.000
MCV Fl 81 81 – 99
MCH Pg 27.0 27.0 – 31.0
MCHC g/dl 36.0 31.0 – 37.0
RDW % 11.6 11.5 – 14.5
Hitung Jenis
 Neutrofil % 82.40 50.0 – 70.0
 Limfosit % 3.90 20.0 – 40.0
 Monosit % 3.20 2.00 – 8.00
 Eosinofil % 0.20 1.00 – 3.00

34
 Basofil % 0.30 0.00 – 1.00
 Neutrofil 10 3/ul 23.39 2.7 – 6.5
Absolut
 Limfosit Absolut 10 3/ul 3.96 1.5 – 3.7
 Monosit Absolut 10 3/ul 0.92 0.2 – 0.4
 Eosinofil 10 3/ul 0.06 0 – 0.10
Absolut
 Basofil Absolut 10 3/ul 0.08 0 – 0.1
IPF % 0.0 1 – 4.8
NRBC % 0.0

MORFOLOGI
● Eritrosit : Normokrom Normositer
● Leukosit : Bentuk normal
● Trombosit : Bentuk normal

KIMIA KLINIK

Satuan Hasil Rujukan


Metabolisme Karbohidrat
 Glukosa darah mg / dl 128 < 200
sewaktu
Ginjal / ul
Blood Urea Nitrogen ( BUN % 12 9 – 21
)
Ureum / ul 26 19 – 44
Kreatinin Fl 0,69 0,7 – 1,3
Elektrolit Pg
Natrium ( Na ) g/dl 106 135 – 165
Kalium (K) % 2.4 3.6 – 5.5
Klorida ( Cl ) 76 96 – 106
HATI
 Bilirubin Total mg / dl 4,60 0,2 – 1,2
 Bilirubin Direk mg / dl 3.40 < 0,5
 SGOT U/L 218 5 – 34
 SGPT U/L 118 0 -55
 Albumin g/dl 2.3 3.5 – 5.0

IMUNOSEROLOGI
Satuan Pasien Kontrol
Procalcitonin ng/ml 15,82 <0,05

Hepatitis Satuan Hasil Rujukan

35
HBsAg Non reaktif Non reaktif S/CO
< 1.00
Reaktif S/CO
>1.00
Anti HCV Non reaktif Non reaktif S/CO
< 1.00
Reaktif S/CO
>1.00

Urinalisis Satuan Hasil Rujukan


Warna Kuning keruh Kuning
Glukosa Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Keton Negative Negative
Berat Jenis 1.009
PH 5,5
Protein Negative Negative
Nitrit Negative Negative
Leukosit Positive Negative
Darah Positive Negative
FCM :
 Eritrosit / ul 85,5 < 6,4
 Leukosit / ul 137,9 < 5,8
 epitel / ul 2,5 < 3,5
 cast / ul 3.35 < 4,7
 Kristal / ul 1,7
 Bakteri / ul 101.3 < 23
 Path cast / ul 3.35 < 4,7

Diagnosa Kerja :

HIV Std IV + Oral Candidiasis

Terapi :

Diet sonde

O2 4 ltr/I

Inf RL 30 tts/menit

Drip Fluconazole 200 mg/24 jam

Inj. Ranitidin 50 mg/12jam

36
Sucralfat syr 3x1C

Doksisiklin 2x100 mg

KSR 2x1 PO

Kompres NACL 0,9 % 15 menit setiap 4 jam pada kulit yang melepuh.

Acdal cream 2x1 setelah kompres di oles seluruh kulit yg melepuh

Alopidair cream 2x1 setelah kompres, di oles seluruh kulit yg melepuh

Follow up tanggal 23/O9/2018

S : Lemas (+), Tidak selera makan (+), sesak nafas (-)

O : Sens CM lemah, TD : 100/80, HR : 110X/I, RR : 24X/I, Temp : 37 oc

A : HIV + Oral Candidiasis + Sifilis

P : Terapi Lanjut + Terapi RM 8.1

Konsul dr SpKK, dr SpGK, cek Feces Lengkap, Anti Toxo IgG, Anti
Toxo IgM, Anti CMV igG, Anti CMV IgM., VDRL, TPHA

Pemeriksaan Laboratorium Tgl. 23-09-2018

Imunoserologi Satuan Hasil Rujukan


Virus
Anti Toxoplasma IgG IU/ml 140 Negatif < 9
Equivocal 9-11
Positif > 11
Anti Toxoplasma IgM COI 2,6 Negatif < 9
Equivocal 9-11
Positif > 11
Anti CMV IgG U/ml 148 Negatif < 9
Equivocal 9-11
Positif > 11
Anti CMV IgM COI 3,2 Negatif < 9

37
Equivocal 9-11
Positif > 11
Mikroorganisme
VDRL Reaktif Non Reaktif
1/16
TPHA Reaktif Non Reaktif
1/320

Feces Rutin Satuan Hasil Rujukan


Makroskopis
Warna Kuning
Kosistensi Encer
Darah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Mikroskopis
Telur Cacing LPB Negatif Negatif
Amoeba LPB Negatif Negatif
Eritrosit LPB 0-1
Leukosit LPB 0-1

Follow up tanggal 24/09/20178

S : Lemas (+), Nafsu makan (-), Sesak nafas (-),

O : Sens CM lemah, TD : 100/80, HR : 110X/I, RR : 22X/I, Temp : 37,1 oc

A : HIV + Oral Candidiasis + Sifilis

P : Terapi Lanjut , pasang NGT, cek Darah lengkap, KGD sewaktu, Faal
Ginjal, Elektrolit

Pemeriksaan Laboratorium Tgl. 24-09-2018

Darah Lengkap Satuan Hasil Rujukan


Hb g/dl 8,5 13 – 18
Eritrosit Juta/ ul 2,99 4.50 – 6.50
Leukosit / ul 6.940 4.000 – 11.000
Hematokrit % 34 39 – 54
Trombosit / ul 267.000 150.000 – 450.000
MCV Fl 85 81 – 99
MCH Pg 27,6 27.0 – 31.0
MCHC g/dl 35,7 31.0 – 37.0

38
RDW % 11.7 11.5 – 14.5
Hitung Jenis
 Neutrofil % 88.40 50.0 – 70.0
 Limfosit % 8.00 20.0 – 40.0
 Monosit % 3.60 2.00 – 8.00
 Eosinofil % 0.00 1.00 – 3.00
 Basofil % 0.20 0.00 – 1.00
 Neutrofil 10 3/ul 14.06 2.7 – 6.5
Absolut
 Limfosit Absolut 10 3/ul 1.28 1.5 – 3.7
 Monosit Absolut 10 3/ul 0.57 0.2 – 0.4
 Eosinofil 10 3/ul 0.00 0 – 0.10
Absolut
 Basofil Absolut 10 3/ul 0.03 0 – 0.1
IPF % 0.0 1 – 4.8
NRBC % 0.0

MORFOLOGI
● Eritrosit : Normokrom Normositer
● Leukosit : Bentuk normal
● Trombosit : Bentuk normal

KIMIA KLINIK
Satuan Hasil Rujukan
Metabolisme Karbohidrat
 Glukosa darah mg / dl 148 < 200
sewaktu
Ginjal / ul
Blood Urea Nitrogen ( BUN % 29 9 - 21
)
Ureum / ul 62 19 - 44
Kreatinin Fl 0,70 0,7 – 1,3
Elektrolit Pg
Natrium ( Na ) g/dl 125 135 - 165
Kalium (K) % 3,6 3.6 – 5.5
Klorida ( Cl ) 76 96 – 106

Follow up tanggal 25/09/2018

S : Lemas (+), Penurunan Kesadaran (+) mulai hari ini.

O : Sens Somnolen, TD : 110/80, HR : 112X/I, RR : 22X/I, Temp : 37,1 oc

A : HIV + Oral Candidiasis + Sifilis + Penurunan Kesadaran ec ?

39
P : Terapi Lanjut

Konsul Neurologi, cek elektrolit, faal hati dan procalcitonin

Pemeriksaan Laboratorium Tgl. 25-09-2018

Satuan Hasil Rujukan


Elektrolit Pg
Natrium ( Na ) g/dl 123 135 - 165
Kalium (K) % 2.4 3.6 – 5.5
Klorida ( Cl ) 94 96 – 106
HATI
 Bilirubin Total mg / dl 1,50 0,2 – 1,2
 Bilirubin Direk mg / dl 1,40 < 0,5
 SGOT U/L 40 5 – 34
 SGPT U/L 25 0 -55

IMUNOSEROLOGI
Satuan Pasien Kontrol
Procalcitonin ng/ml 7,67 <0,05

Follow up tanggal 26/09/2018

S : Penurunan Kesadaran (+), bicara ngawur (+)

O : Sens Apatis, TD : 110/80, HR : 110X/I, RR : 22X/I, Temp : 37,1 oc

A : HIV + Oral Candidiasis + Sifilis + Penurunan Kesadaran ec Susp


TE.

P : Terapi Lanjut, cek darah lengkap. KGD sewaktu, elektrolit, albumin, faal
ginjal, CD4

Pemeriksaan Laboratorium Tgl. 26-09-2018

Darah Lengkap Satuan Hasil Rujukan


Hb g/dl 8,0 13 – 18
Eritrosit Juta/ ul 2,99 4.50 – 6.50
Leukosit / ul 6.940 4.000 – 11.000
Hematokrit % 34 39 – 54
Trombosit / ul 267.000 150.000 – 450.000
MCV Fl 85 81 – 99
MCH Pg 27,6 27.0 – 31.0
MCHC g/dl 35,7 31.0 – 37.0
RDW % 11.7 11.5 – 14.5
Hitung Jenis

40
 Neutrofil % 88.40 50.0 – 70.0
 Limfosit % 8.00 20.0 – 40.0
 Monosit % 3.60 2.00 – 8.00
 Eosinofil % 0.00 1.00 – 3.00
 Basofil % 0.20 0.00 – 1.00
 Neutrofil 10 3/ul 14.06 2.7 – 6.5
Absolut
 Limfosit Absolut 10 3/ul 1.28 1.5 – 3.7
 Monosit Absolut 10 3/ul 0.57 0.2 – 0.4
 Eosinofil 10 3/ul 0.00 0 – 0.10
Absolut
 Basofil Absolut 10 3/ul 0.03 0 – 0.1
IPF % 0.0 1 – 4.8
NRBC % 0.0

MORFOLOGI
● Eritrosit : Normokrom Normositer
● Leukosit : Bentuk normal
● Trombosit : Bentuk normal

KIMIA KLINIK

Satuan Hasil Rujukan


Metabolisme Karbohidrat
 Glukosa darah sewaktu mg / dl 43 < 200
Ginjal
Blood Urea Nitrogen ( BUN ) mg / dl 25 9 - 21
Ureum mg / dl 54 19 - 44
Kreatinin mg / dl 0,79 0,7 – 1,3
Hati
Albumin g/dl 2,0 3,5-5.0

Elektrolit
Natrium ( Na ) mEq/L 130 135 - 165
Kalium (K) mEq/L 2,5 3.6 – 5.5
Klorida ( Cl ) mEq/L 105 96 – 106

Imunoserologi Satuan Hasil Rujukan


IMUNODEFICIENCY
PROFILE
CD4
 CD4 % % 1 31-60
 CD4 Absolut Cell/uL 1 410-1590

41
Hasil kultur dan sensitivity test

Pengambilan specimen tanggal 22 September 2018

Spesimen : Feces

Gambar 2. Media Blood Agar

Gambar 1. Media Mc. Conkey

42
Gambar API 20E

Keluar hasil tanggal 28 September 2018

Hasil : Aeromonas Hydrophila

Antibiotik Hasil
Amoxycillin R
Amikasin S
Ciprofloxacin S
Streptomycin R
Cefotaxim R
Ceftriaxone R
Gentamicin S
Tetrasiklin R
Cefixime R
Cefoxitin R
Clindamycin R
Ampicillin + Sulbactam R
Amikacin S
Thrimethroprim / sulfametaxazole R
Keterangan

R : Resisten

43
I : Intermediate
S : Sensitive

44

You might also like