You are on page 1of 12

THALASEMIA

Pendahuluan
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi gen globin.1,2 Pada thalasemia, mutasi gen
ini mengakibatkan perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan
produksi rantai globin tertentu.1
Molekul hemoglobin terdiri atas dua pasang rantai globin identik yang berasal
dari kromosom yang berbeda. Pada orang dewasa dapat dijumpai molekul HbA (96%)
terdiri atas 2 pasang rantai globin alfa dan beta (α2β2) dan HbA2 (2.5%) yang terdiri atas
2 pasang rantai globin alfa dan delta (α2δ2).1
Penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai
globin, dapat menimbulkan defisiensi produksi sebagian (parsial) atau menyeluruh
(komplit) rantai globin tersebut. Akibatnya terjadi thalasemia yang jenisnya sesuai
dengan rantai globin yang terganggu produksinya.1-3

Epidemiologi
Sebaran thalasemia-β bersifat sporadik pada semua ras, namun cukup sering
ditemukan pada populasi Mediteranian, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara,
Rusia Selatan dan Cina. Jarang ditemukan di benua Afrika, kecuali Liberia dan beberapa
bagian Afrika Utara.1

Klasifikasi Thalasemia
Thalasemia-β
Individu normal memiliki dua alel gen globin-β, sehingga genotip thalasemia-β
dapat muncul dalam bentuk heterozigot atau homozigot. Kedua bentuk genotip ini dapat
melahirkan berbagai bentuk fenotip thalasemia-β.1-3
1. Thalasemia-β0 , Thalasemia-β+
Terjadi karena gen normal tidak diekspresikan atau terjadi delesi gen. Pada
thalasemia homozigot (β0β0), rantai-β tidak diproduksi sama sekali, sehingga
hemoglobin A tidak dapat diproduksi.
Pada thalasemia-β+ ekspresi gen-β normal menurun, namun tidak menghilang sama
sekali, sehingga hemoglobin A masih diproduksi.1-4
2. Thalasemia-β trait
Mempunyai genotip berupa heterozigot thalasemia-β, seringkali disebut juga
sebagai thalasemia-β minor. Fenotip kelainan ini secara klinis tidak memberikan
gejala (asimtomatik).1-4
3. Thalasemia-β mayor
Thalasemia-β mayor, dengan genotip homozigot atau heterozigot ganda
thalasemia-β, menunjukkan fenotip klinis berupa kelainan yang berat karena
penderita bergantung pada transfusi darah untuk memperpanjang usia.1-4
4. Thalasemia-β intermedia
Menunjukkan fenotip klinis diantara tipe mayor dan minor. Penderita thalasemia-β
intermedia secara klinis dapat berupa asimtomatik, namun kadang memerlukan
transfusi darah yang umumnya tidak bertujuan untuk mempertahankan hidup.1-4
5. Thalasemia β-dominan
Mutasi thalasemia yang dikaitkan dengan fenotip klinis yang abnormal dari bentuk
heterozigot.1

Patofisiolgi
Pada thalasemia-β, dimana terdapat penurunan produksi rantai β, terjadi
produksi berlebihan rantai α. Produksi rantai globin γ, dimana pasca kelahiran masih
tetap diproduksi rantai globin α2γ2 (HbF), tidak mencukupi untuk mengkompensasi
defisiensi α2β2 (HbA). Hal ini menunjukkan bahwa produksi rantai globin β dan rantai
globin γ tidak pernah dapat mencukupi untuk mengikat rantai α yang berlebihan. Rantai
α yang berlebihan ini merupakan ciri khas pada patogenesis thalasemia-β.1,2
Rantai α yang berlebihan, yang tidak dapat berikatan dengan rantai globin lainnya, akan
berpresipitasi pada prekursor sel darah merah dalam sumsum tulang dan dalam sel
progenitor dalam darah tepi. Presipitasi ini akan menimbulkan gangguan pematangan
prekursor eritroid dan eritropoiesis yang tidak efektif (inefektif), sehingga umur eritrosit
menjadi pendek. Akibatnya, timbul anemia. Anemia ini lebih lanjut lagi akan menjadi
pendorong (drive) proliferasi eritroid yang terus menerus (intense) dalam sumsum
tulang yang inefektif, sehingga terjadi ekspansi sumsum tulang. Hal ini kemudian akan
menyebabkan deformitas skeletal dan berbagai gangguan pertumbuhan dan
metabolisme. Anemia kemudian akan ditimbulkan lagi (eksaserbasi) dengan adanya
hemodilusi akibat adanya hubungan langsung (shunting) darah akibat sumsum tulang

2
yang berekspansi dan juga oleh adanya splenomegali. Pada limpa yang membesar
makin banyak sel darah merah abnormal yang terjebak, untuk kemudian akan
dihancurkan oleh sistem fagosit. Hiperplasia sumsum tulang kemudian akan
meningkatkan absorpsi dan muatan besi. Transfusi yang diberikan secara teratur juga
menambah muatan besi. Hal ini akan menyebabkan penimbunan besi yang progresif di
jaringan berbagai organ, yang akan diikuti kerusakan organ dan diakhiri dengan
kematian, bila besi tidak segera dikeluarkan.1,2

Manifestasi Klinis
Thalasemia-β dibagi menjadi 3 sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru
ditentukan, yakni:1
 Thalasemia-β minor (trait)/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom
 Thalasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfusi darah
 Thalasemia-β intermedia: gejala diantara thalasemia mayor dan minor
 Pembawa sifat tersembunyi thalasemia-β (silent carrier)

Thalasemia-β silent carrier


Pembawa sifat tersembunyi adalah penderita thalasemia dengan variasi mutasi β
yang heterogen, di mana hanya sedikit terjadi gangguan produksi rantai-β, sehingga
dihasilkan rasio yang hampir normal antar rantai globin β dan α, tanpa menyebabkan
kelainan hematologis.
Tampilan klinis normal dengan kadar hemoglobin normal, kadar HbA2 normal dan
kemungkinan adanya mikrositosis yang sangat ringan. Adanya pembawa sifat
tersembunyi diketahui saat dilakukan studi keluarga (saudara kandung dan keluarga
dekat) pada anak dengan sindroma thalasemia-β yang lebih berat daripada kedua
orangtuanya yang menunjukkan thalasemia-β trait.1-2

Thalasemia-β minor (trait)


Tampilan klinis normal. Hepatomegali dan splenomegali ditemukan pada sedikit
penderita. Pada penderita thalasemia-β minor biasanya ditemukan anemia hemolitik
ringan yang tidak bergejala (asimtomatik). Kadar hemoglobin terentang antara 10-
13 g% dengan jumlah eritrosit normal atau sedikit tinggi. Darah tepi menunjukkan
gambaran mikrositik hipokrom, poikilositosis, sel target dan eliptosis, termasuk

3
kemungkinan ditemukannya peningkatan eritrosit stippled. Sumsum tulang
menunjukkan hiperplasia eritroid ringan sampai sedang dengan eritropoiesis yang
sedikit tidak efektif. Umumnya kadar HbA2 tinggi (antara 3.5 – 8 %). Kadar HbF
biasanya terentang antara 1 – 5 %. Pada bentuk varian lainnya yang jarang,
ditemukan HbF berkisar antara 5 – 20 %.1,2,5

Thalasemia-β mayor
Thalasemia-β mayor biasanya ditemukan pada anak berusia 6 bulan sampai dengan
2 tahun dengan klinis anemia berat, bila anak tersebut tidak diobati dengan
hipertransfusi (transfusi darah yang bertujuan mencapai kadar Hb tinggi) akan
terjadi peningkatan hepatosplenomegali, ikterus, perubahan tulang yang nyata
karena rongga sumsum tulang mengalami ekspansi akibat hiperplasia eritroid yang
ekstrim.1,2,6
Radiologi menunjukkan gambaran khas ”hair on end”. Tulang panjang menjadi tipis
akibat ekspansi sumsum tulang yang dapat berakibat fraktur patologis. Wajah
menjadi khas, berupa menonjolnya dahi, tulang pipi dan dagu atas. Pertumbuhan
fisik dan perkembangannya terhambat.1
Kadar Hb rendah mencapai 3 atau 4 g%, eritrosit hipokrom, sangat poikolisitosis,
termasuk sel target, sel teardrop, dan eliptosit. Fragmen eritrosit dan mikrosferosit
terjadi akibat ketidak-seimbangan sintesis rantai globin. Pada daarah tepi ditemukan
eritrosit stippled dan banyak sel eritrosit bernukleus. MCV terentang antara 50 – 60
fL. Sel darah merah khas berukuran besar dan sangat tipis, biasanya wrinkled dan
folded dan mengandung hemoglobin clump. Hitung retikulosit berkisar antara 1% -
8%, dimana nilai ini kurang berkaitan dengan hiperplasia eritroid dan hemolisis
yang terjadi. Rantai globin-α yang berlebihan dan merusak membran sel merupakan
penyebab kematian prekursor sel darah merah intramedula, sehingga menimbulkan
eritropoiesis inefektif. Elektroforesis Hb menunjukkan terutama HbF, dengan
sedikit peningkatan HbA2. HbA dapat tidak ada sama sekali atau menurun. Sumsum
tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dengan rasio eritroid dan mieloid kurang
lebih 20:1. Besi serum sangat meningkat, tetapi total iron binding capacity (TIBC)
normal atau sedikit meningkat. Saturasi transferrin 80% atau lebih. Ferritin serum
biasanya meningkat.1,6

4
Thalasemia-β intermedia
Thalasemia-β intermedia adalah penderita thalasemia yang dapat mempertahankan
hemoglobin minimum ± 7g% atau lebih tinggi tanpa mendapat transfusi. Ketidak
seimbangan sintesis rantai α dan β berada di antara thalasemia minor dan mayor,
sehingga fenotip klinik menyerupai gambaran di antara fenotip thalasemia mayor
yang sangat bergantung transfusi darah dan thalasemia minor yang asimtomatik.1-3
Penderita thalasemia-β intermedia dapat menunjukkan kelainan-kelainan genotip
yang berbentuk:1
 homozigot untuk mutasi yang menyebabkan penurunan ringan ekspresi globin-β
 heterozigot ganda untuk mutasi ringan atau mutasi yang menyebabkan
pengurangan yang lebih nyata ekspresi globin-β
 pewarisan bersama (co-inheritance) dengan thalasemia-α, yang menyebabkan
bentuk homozigot mutasi thalasemia-β yang lebih berat, namun dapat tetap
berbentuk thalasemia yang tidak bergantung pada transfusi, karena rasio antara
rantai-α/rantai-β lebih seimbang.
 peningkatan kapasitas untuk memproduksi rantai globin-γ dari mekanisme non-
delesi ke bentuk delesi dengan hasil meningkatnya produksi HbF
 bentuk bentuk mutasi gen lainnya, seperti delesi thalasemia-δβ, bentuk homozigot
untuk bentuk mutasi tersebut, atau bentuk heterozigot ganda antara thalasemia-δβ
dan mutasi thalasemia-β
 pewarisan bersama antara thalasemia lokus-α triple (ααα) dan thalasemia-β
heterozigot.
Morfologi eritrosit pada thalasemia intermedia menyerupai thalasemia mayor.
Elektroforesis Hb dapat menunjukkan HbF 2 – 100%, HbA2 sampai dengan 7%,
dan HbA 0 – 80%, bergantung pada fenotip penderita. HbF didistribusikan secara
heterogen dalam peredaran darah.1,2 Gambaran klinik bervariasi dari bentuk ringan,
walaupun dengan anemia sedang, sampai dengan anemia berat yang tidak dapat
mentolerasi aktivitas berat dan fraktur patologik. Muatan besi berlebih dijumpai,
walaupun tidak mendapat transfusi darah. Eritropoiesis nyata meningkat namun
tidak efektif, sehingga menyebabkan peningkatan turnover besi dalam plasma,
kemudian merangsang penyerapan besi via saluran cerna. Komplikasi jantung dan
endokrin muncul 10 – 20 tahun kemudian pada penderita thalasemia intermedia
yang tidak mendapat transufsi darah.1-5

5
Pendekatan Diagnosis
Riwayat penderita dan keluarga sangat penting dalam mendiagnosis thalasemia,
karena pada populasi dengan ras dan etnik tertentu terdapat frekuensi yang tinggi jenis
gen abnormal thalasemia yang spesifik. Pemeriksaan fisik mengarahkan ke diagnosis
thalasemia, bila dijumpai gejala dan tanda pucat yang menunjukkan anemia, ikterus
yang menunjukkan hemolitik, splenomegali yang menunjukkan adanya penumpukan
sel abnormal, dan deformitas skeletal, yang menunjukkan ekspansi rongga sumsum
tulang, terutama pada thalasemia mayor.1,2
Penderita sindrom thalasemia umumnya menunjukkan adanya anemia
mikrositik hipokrom. Kadar hemoglobin dan hematokrit menurun, tetapi hitung jenis
eritrosit biasanya secara disproporsi relatif tinggi terhadap derajat anemia, yang
menyebabkan MCV yang sangat rendah. MCHC biasanya sedikit menurun. Pada
thalasemia mayor yang tidak diobati, relative distribution width (RDW) meningkat
karena anisositosis yang nyata. Namun, pada thalasemia minor RDW biasanya normal;
hal ini membedakannya dengan anemia defisiensi besi. Pada pewarnaan Wright eritrosit
khas mikrositik dan hipokrom, kecuali pada fenotip pembawa sifat tersembunyi. Pada
thalasemia-β heterozigot, eritrosit mikrositik dengan poikilositosis ringan sampai
dengan menengah. Pada thalasemia-β homozigot dan heterozigot berganda, dapat
ditemukan poikilositosis yang ekstrim, termasuk sel target dan eliptosit, dan juga
polikromasia, basophillic stippling. Hitung retikulosit meningkat, menunjukkan
sumsum tulang merespons proses hemolitik. Pada thalasemia-β homozigot hitung
retikulosit kurang lebih 5%; hal ini secara tidak proporsional relatif rendah terhadap
derajat anemia. Penyebabnya paling mungkin eritropoiesis inefektif.1,2,3,6
Sumsum tulang penderita thalasemia-β yang tidak diobati menunjukkan
hiperselularitas yang nyata dengan hiperplasia eritroid yang ekstrim. Hemopoiesis
ekstramedula terlihat menonjol. Eritrosit thalasemia yang mikrositik hipokrom
memiliki fragilitas osmotik yang menurun. Hal ini digunakan sebagai dasar dari variasi
one tube tes fragilitas osmotik sebagai uji tapis pembawa sifat thalasemia pada populasi
dimana thalasemia sering dijumpai. Namun, tes ini tidak dapat membedakannya dengan
anemia defisiensi besi, karena pada anemia defisiensi besi ditemukan fragilitas osmotik
yang juga menurun.1,2
Peningkatan HbA2 dengan elektroforesis hemoglobin dapat dilakukan pada uji
tapis thalasemia-β minor, yang diukur dengan menggunakan mikrohematografi.

6
Prosedur khusus lainnya seperti tes rantai globin dan analisis DNA dikerjakan untuk
mengidentifikasi genotip spesifik. Harus ditentukan apakah keuntungan uji lengkap ini
melebihi biayanya.1 Pendekatan diagnosis thalassemia-β dapat dilihat pada bagan.

Bagan 1. Pendekatan anemia mikrositik hipokrom

Diagnosis thalasemia intermedia mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik dan


laboratorium, seperti diuraikan dibawah ini, yang dikutip dari panduan penatalaksanaan
thalasemia intermedia perhimpunan hematologi & transfusi darah Indonesia (PHTDI)
Juli 2008.1
1. Anamnesis
Usia tersering > 18-67 tahun (dapat terjadi pada usia 2 – 18 tahun). Adanya tanda
dan gejala anemia dengan atau tanpa riwayat; splenomegali, batu empedu,
trombosis, kardiomiopati, hemopoiesis ekstramedular, penyakit hati kronik, ulkus
maleolar, kelainan endokrin/diabetes melitus.
2. Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan facies thalasemia (facies rodent), pucat, hepatosplenomegali
sedang-berat, gangguan pertumbuhan tulang dan ikterik.
3. Laboratorium

7
Lakukan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, hitung retikulosit, dan pada sediaan
apus darah tepi dapat ditemukan anemia mikrositer, hipokrom, anisositosis,
poikilositosis, sel eritrosit muda (normoblas), fragmentosit dan sel target. Indeks
eritrosit juga dapat diperiksa. Pemeriksaan elektroforesa Hemoglobin perlu
dilakukan, sementara radio imaging dan pemeriksaan seperti USG atau angiografi
dapat dilakukan untuk pemeriksaan komplikasi thalasemia.1,2

Terapi
Penderita thalasemia dewasa diawali dengan penentuan kadar hemoglobin dan
adanya pansitopenia (penurunan Hb progresif < 7g/dl, leukopeni < 3000/ul,
trombositopeni < 80.000/ul) yang menunjukkan adanya hipersplenisme.1
Bila Hb < 7 g/dl disertai dengan hipersplenisme atau splenomegali masif, maka
pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan. Imunoprofilaksis pra splenektomi
merupakan keharusan, mencakup: vaksinasi anti meningococcus, anti hemophilus
influenza, dan pasca splenektomi diberikan antibiotik profilaksis oral. Lanjutkan
transfusi darah merah pekat pasca splenektomi dan tatalaksana komplikasi thalasemia
yang ada.1 Pada praktiknya, splenektomi sudah mulai ditinggalkan dan jarang
dilakukan, mengingat pada pasien dengan transfusi yang adekuat, jarang terjadi
hipersplenisme dan pertimbangan mengenai efek samping gangguan pembekuan darah
pasca splenektomi. Splenektomi terutama dilakukan apabila hipersplenisme
mengakibatkan peningkatan kebutuhan transfusi, dan mengganggu kontrol kadar besi
dalam tubuh dengan terapi kelasi. Pasien dengan splenomegali ringan – moderat tanpa
tanda-tanda tersebut, tidak diwajibkan untuk menjalani splenektomi. Salah satu tanda
peningkatan kebutuhan transfusi pada hipersplenisme adalah bila jumlah transfusi PRC
mencapai 225 – 250 cc/kgBB/tahun.2,3,6
Terdapat beberapa pilihan yang direkomendasikan untuk terapi kelasi, seperti
deferoksamin, deferasirox dan deferiprone.1,3,4,5 Deferoksamin (DFO) merupakan terapi
kelasi yang paling sering digunakan. Dibutuhkan 1 molekul deferoksamin untuk
mengikat 1 molekul besi. Bioavailabilitas obat berdasarkan administrasi oral buruk,
karena itu pemberiannya dilakukan secara subkutan, intravena, atau terkadang
intramuskular. Waktu paruh deferoksamin pendek, sehingga pemberian perlu diberikan
selama 8 – 12 jam per hari, 5 – 7 hari dalam seminggu. Secara umum, pembuangan besi
lebih efisien setelah penggunaan deferoksamin dalam jangka waktu yang lama.

8
Penyebab utama inefektivitas penggunaan deferoksamin adalah compliance yang buruk.
Pemberian vitamin C dapat meningkatkan ekskresi dari besi pada pemberian terapi
deferoksamin. Pemberian vitamin C dapat dilakukan secara oral dengan dosis 2 – 4
mg/kg/hari (100-250mg) dan diberikan segera setelah terapi infusi deferoksamin
dimulai, namun harus diingatkan kepada pasien agar tidak mengonsumsi vitamin C
secara eksesif saat sedang tidak menjalani infusi deferoksamin, karena dapat
meningkatkan kerusakan jantung tanpa adanya terapi kelasi. Efek samping obat
deferoksamin ini terutama pada sistem kulit, mata dan telinga.3,6
Deferasirox merupakan obat kelasi oral yang diminum satu kali sehari, pemberiannya
sebaiknya dilakukan 30 menit sebelum makan. Dibutuhkan 2 molekul deferasirox untuk
mengikat 1 molekul besi. Secara klinis obat ini sudah digunakan pada banyak pasien
dan terbukti sebagai terapi kelasi yang efektif, walau tidak sebaik deferoksamin. Waktu
paruhnya yang cukup panjang memungkinkan pemberian obat ini satu kali per hari.
Tingkat keamanan obat pada pasien anak dan dewasa sama. Efek samping yang paling
sering timbul adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan nyeri
abdomen. Pada efek samping yang nyata dan cukup berat, dosis dapat dikurangi secara
perlahan, atau pemberian obat dapat dibagi menjadi 2 kali/hari dengan dosis terbagi.
Efek samping yang paling serius adalah kerusakan ginjal, karena itu pada pemberiannya
harus dilakukan pemantauan kadar ureum dan kreatinin per bulan. Pada peningkatan
kadar kreatinin serum, dosis dapat diturunkan atau dipertimbangkan untuk penggantian
terapi kelasi.3,6
Deferipron merupakan terapi kelasi yang sudah mendapat persetujuan FDA dan
umumnya digunakan pada pasien yang tidak menunjukan kelasi yang efektif dengan
terapi standar. Dibutuhkan 3 molekul deferipron untuk mengikat 1 molekul besi. Studi
menunjukkan deferipron mungkin lebih efektif dalam mengurangi kadar besi jantung.
Studi di Eropa menunjukkan kombinasi deferipron dengan deferoksamin
menguntungkan bagi pasien dengan gangguan jantung dan kardiomiopati terkait besi.
Efek samping utamanya ialah gangguan gastrointestinal, nyeri sendi dan neutropenia.
Sehubungan dengan resiko agranulositosis, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan
leukosit per minggu. Penggunaan deferipron juga menurunkan kadar zink dan umumnya
membutuhkan suplementasi.3,6 Dosis untuk pemberian obat-obat kelasi dapat dilihat
seperti pada tabel.

9
Transfusi darah pada penderita thalasemia intermedia diberikan atas beberapa
indikasi seperti; gangguan pertumbuhan, kondisi stres fisik (kehamilan, infeksi),
manifestasi klinis anemia, gagal jantung kongestif dan deformitas skeletal. Setiap 3
bulan perlu dilakukan pemeriksaan kadar feritin serial dan fungsi hati, dan setiap tahun
dilakukan pemeriksaan muatan besi hati.1-6 Transfusi secara umum dilakukan pada
pasien dengan nilai hemoglobin < 8 g/dL atau < 7 g/dL.1,7 Pada pasien thalasemia,
transfusi yang dibutuhkan ialah sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC).
Tujuan dari transfusi pada thalasemia adalah untuk menghentikan proses eritropoiesis
sebanyak mungkin. Transfusi umumnya diberikan setiap 3 – 4 minggu. Jumlah darah
yang diperlukan bergantung pada kadar hemoglobin pre-transfusi.1,3,6 Targetnya adalah
agar tercapai kadar hemoglobin pre transfusi 9 – 10 g/dL. Percobaan untuk
meningkatkan kadar hemoglobin > 10 g/dL akan meningkatkan kebutuhan transfusi dan
penumpukan kadar besi.2,3,4,6 Transfusi sebaiknya dilakukan dengan kecepatan
5cc/kg/jam dan kadar hemoglobin post-transfusi tidak boleh melebihi 14 g/dL.3 Pada
pasien dengan anemia berat (kadar hemoglobin < 5 mg/dL) atau kardiomiopati,
kecepatan transfusi sebaiknya 2cc/kg/jam untuk mencegah overload cairan. Kebutuhan
transfusi darah per tahun tanpa hipersplenisme umumnya dibawah 200cc/kg/tahun.3-5
Secara umum, transfusi dengan dosis 4cc/kg meningkatkan kadar hemoglobin 1 g/dL.
Kepercayaan umum mengenai 1 unit PRC (200-250cc) meningkatkan 1g/dL
hemoglobin hanya berlaku pada pasien dengan berat badan ± 70 kg. Kecepatan transfusi
PRC yang umumnya aman bagi pasien adalah 90-120 menit/unit PRC. Obat-obatan dan
cairan lain tidak boleh diberikan pada jalur intravena yang sama dengan pemberian
darah, dengan pengecualian normal saline 0.9%.7,8
Reaksi transfusi PRC pada thalasemia yang paling harus diwaspadai pada pemberian
PRC adalah hipervolemia atau transfussion associated circulatory overload (TACO).
10
TACO didefinisikan sebagai keadaan akut atau perburukan dari edema pulmonal dalam
6 – 12 jam pasca transfusi. Keadaan ini tampak dari gejala distres pernapasan akut,
hipertensi, takikardia dan bukti balans cairan positif. Penanganannya adalah dengan
segera menghentikan transfusi, pemberian oksigen, dan terapi diuretik dengan
pemantauan kondisi umum dan tanda-tanda vital.8,9

11
Daftar Pustaka
1. Atmakusuma D, Setyaningsih I. Dasar-dasar thalassemia; thalassemia: manifestasi
klinis, pendekatan diagnosis dan thalassemia intermedia dalam buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Benz EJ. Disorders of hemoglobin in Harrison’s principles of internal medicine. 19th
Edition. New York: McGraw-Hill education; 2015.
3. Northern California Comprehensive Thalassemia Center. Standard-of-care clinical
practice guidelines (2012). Available from http://thalassemia.com/treatment-
guidelines-22.aspx#gsc.tab=0.
4. Odame I, Sayani F, Warner M, Wu J, Rieger DW, Humphreys K. Guidelines for the
clinical care of patients with thalassemia in Canada. Ontario: Thalassemia Foundation
of Canada; 2009.
5. Vichinsky E, Levine L, Bhatia S, Bojanowski J, Coates T, Foote D, et al. Standard of
care guidelines for thalassemia. Oakland: Children’s Hospital & Research Center
Oakland; 2012.
6. Capellini, Cohen A, Porter J, Taher A, Viprakasit V. Guidelines for the management
of transfusion dependent thalassemia (TDT). 3rd Edition. Cyprus: Thalassemia
International Federation; 2016.
7. World Health Organization. Clinical transfusion practice guidelines for medical
interns Bangladesh. Available from
http://www.who.int/bloodsafety/transfusion_services/ClinicalTransfusionPracticeGuid
elinesforMedicalInternsBangladesh.pdf?ua=1.
8. Norfolk D. JPAC handbook of transfusion medicine. UK: The Stationery Office
(TSO); 2013.
9. Thomas D, Maggs PB, Watt A, Poles D, Davies T, Chapman C, et al. Annual SHOT
report 2014. Manchester; SHOT UK; 2015.

12

You might also like