Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
KEHAMILAN EKTOPIK
2
Menurut lokasi implantasinya, kehamilan ektopik dibagi menjadi: (6)
1. Kehamilan tuba
Ampulla (80-90%)
Isthmus (5-10%)
Fimbriae (5%)
Interstitial (1-2%)
2. Kehamilan abdomen (1-2%)
Primer
Sekunder
3. Kehamilan ovarial (< 1%)
4. Kehamilan cervical (< 1%)
5. Kehamilan intraligamenter
6. Kehamilan tuboovarial.
Gambar 1. Berbagai Lokasi Implantasi pada Kehamilan Ektopik seperti: fimbriae, infundibulum,
ampularis, isthmus, interstitial, cervical, ovarian, dan abdominal.
3
II.2. EPIDEMIOLOGI DAN MORTALITAS
Di USA, The Centers for Disease Control (CDC) mencatat kejadian kehamilan
ektopik selama 17 tahun pada periode 1970-1987, bahwa: (6,7)
Peningkatan rata-rata kehamilan ektopik hampir empat kali ( dari 4,5 per 1000
kehamilan menjadi 16,8 per 1000 kehamilan).
Angka kematian dari kehamilan ektopik menurun jauh hampir 90% ( dari 35,5 per
1000 kehamilan ektopik menjadi 3,8 per 1000 kehamilan ektopik).
Penurunan angka kematian yang besar ini disebabkan karena:
1. deteksi awal kehamilan, berupa pemantauan dari kadar hCG.
2. sistem aseptik terutama pada ruang operasi.
3. adanya antibiotika.
4. obat-obatan anestesi.
5. tersedianya darah yang memadai.
6. teknik operasi untuk kehamilan ektopik.
Walaupun insidensi kehamilan ektopik meningkat dan kematian menurun secara
progresif, namun kehamilan ektopik tetap menjadi penyebab kematian ibu pada trimester
pertama. (3)
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1987 terdapat 153
kehamilan ektopik di antara 4.007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam
kepustakaan frekuensi kehamilan ektopik dilaporkan antara 1: 28 sampai 1 : 329 tiap
kehamilan. Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara
20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. (4)
4
Etiologi kehamilan ektopik menurut William dibagi atas: (3)
A. Faktor Mekanik
1. Salpingitis, terutama Endosalpingitis dapat menyebabkan perlengketan endosalping
sehingga lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu. Pergerakan cilia
pada mukosa tuba yang berkurang akibat infeksi juga mempengaruhi implantasi
zygote di tuba.
2. Peritubal adhesi, biasanya sesudah infeksi pasca-abortus atau infeksi masa nifas,
appendicitis atau endometriosis. Hal ini mungkin menyebabkan tuba menjadi
berkelok-kelok dan lumen menyempit.
3. Kelainan pertumbuhan tuba, seperti divertikel, hipoplasia uteri, dan ostium
assesorius. Kelainan seperti ini sangat jarang terjadi.
4. Kehamilan ektopik sebelumnya. Meningkatnya resiko ini kemungkinan besar
disebabkan oleh Salpingitis yang terjadi sebelumnya.
5. Operasi pada tuba dan strilisasi yang tidak sempurna dapat menjadi sebab lumen tuba
menyempit..
6. Tumor, seperti Mioma uteri dan tumor adneksa. Dapat menyebabkan penekanan pada
dinding tuba sehingga menyempitkan lumen tuba dan juga mengubah bentuk uterus.
B. Faktor Fungsional, yaitu faktor-faktor yang memperlambat perjalanan ovum yang
telah dibuahi ke dalam cavum uteri, seperti:
1. Migrasi eksterna, yaitu perjalanan telur panjang dan lama sehingga sudah terbentuk
trofoblast sebelum telur ada di dalam cavum uteri sehingga menyebabkan implantasi
premature.
2. Refluks menstrual, keterlambatan fertilisasi ovum dengan perdarahan menstruasi
pada waktu biasanya, secara teoritis dapat mencegah masuknya ovum ke dalam
cavum uteri atau menyebabkan ovum berbalik kembali ke dalam tuba. Bukti yang
mendukung fenomena ini tidak banyak.
3. Perubahan motilitas tuba, biasanya terjadi mengikuti perubahan kadar estrogen dan
progesterone dalam serum. Hal ini mungkin terjadi karena adanya perubahan dari
jumlah dan afinitas reseptor adrenergik dalam otot polos uterus serta tuba falopii.
Insidensi ini juga meningkat pada penggunaan kontrasepsi
5
oral yang mengandung progesterone saja, IUD dengan atau tanpa progesterone, morning
after pil, wanita yang pernah mendapat preparat dietylstilbestrol intrauterine.
C. Faktor lain:
1. Wanita yang menggunakan Assisted Reproduction Transfer (ART); GIFT (Gamet
Intrafalopian Transfer); IVF (Invitro Fertilization) dan transfer ovum.
2. Kehamilan cervical heterotipic setelah IVF.
3. Kehamilan ovarian heterotipic setelah transfer gamet intrafalopian, IVF.
Faktor Resiko dari Kehamilan ektopik dapat dikenali sebagai berikut: (1,2,8)
A. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, dimana kehamilan ektopik diobati secara
konservatif, akan menyebabkan kehamilan ektopik berikutnya sekitar 10%.
B. Pelvic Inflammatory Disease (PID)
(9)
Menurut Josie L , PID merupakan faktor resiko yang paling umum terjadinya
kehamilan ektopik. Dengan adanya infeksi menyebabkan:
1. destruksi epitelium tuba dengan berkurang atau hilangnya cilia.
2. adhesi intratuba menyebabkan obstruksi tuba partial.
3. adhesi peritubal menyebabkan pergerakan tuba menjadi terbatas.
Chlamydia trachomatis merupakan organisme yang paling utama dan penting
dalam menyebabkan kerusakan tuba dan timbulnya kehamilan ektopik. Hal ini
disebabkan karena banyak pasien dengan infeksi Chlamydia bersifat asimptomatik
sehingga terlambat dalam mendiagnosis. Lebih dari 50% wanita tidak menyadari kalau
mereka sedang menderita PID. Organisme lain yang dapat menyebabkan PID seperti
Neisseria gonorrhoeae, meningkatkan resiko kehamilan ektopik. Insidensi kerusakan
tuba setelah PID adalah 13% setelah 1 episode, 35% setelah 2 episode, 75% setelah 3
episode.
C. Penggunaan Kontrasepsi
Sekitar 4% kegagalan kontrasepsi Copper-IUD berupa kehamilan ektopik
(kehamilan tuba). Progesterone-IUD kurang efektif dibanding copper-IUD dalam
mencegah kehamilan tuba dimana Progesterone-IUD menyebabkan 17%
6
terjadinya kehamilan tuba. Pada umumnya, rata-rata kehamilan ektopik pada wanita yang
menggunakan progesterone-IUD lebih tinggi dibanding dengan wanita yang tidak
menggunakan kontrasepsi copper-IUD. Secara keseluruhan, IUD mencegah implantasi
intrauterine dimana copper-IUD mencegah fertilizasi melalui cytotoxic dan efek fagositik
pada sperma dan oocyte sedangkan progesterone-IUD kurang efektif dalam mencegah
konsepsi.(8) Bagaimanapun juga pada penelitian selanjutnya didapatkan bahwa
penggunaan IUD tidak meningkatkan resiko terjadinya kehamilan ektopik.
7
Tabel 1. Faktor Resiko Kehamilan ektopik.
(3)
Faktor Resiko %
Resiko Tinggi
Operasi Tuba 21
Sterilisasi Tuba 9,3
8
menunjukkan gejala seperti di atas. Kebanyakan pasien menunjukkan gejala yang lain
seperti yang terjadi pada umumnya saat awal kehamilan seperti mual, rasa penuh pada
mammae, lelah, nyeri perut bagian bawah, kram. (1,11)
Gejala-gejala yang bisa kita dapatkan adalah: (3,5)
1. Rasa nyeri.
Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien dengan kehamilan ektopik
adalah nyeri abdomen ataupun pelvis yang dapat ditemukan pada 100% kasus.
Nyeri dapat bersifat unilateral atau bilateral pada abdomen bagian bawah atau
pada seluruh abdomen. Dengan adanya hemoperitoneu, rasa nyeri akibat iritasi
diafragma bisa dialami pasien. Secara umum, serangan nyeri yang dirasakan
sangat hebat pada ruptur kehamilan ektopik disebabkan oleh darah yang mengalir
di dalam cavum peritoneum. Ini semua tergantung dari banyaknya perdarahan
(3)
intraabdominal. Menurut Pitchard dan Adams , darah sebanyak 500ml di dalam
cavum peritoneum lebih sering menimbulkan nyeri tekan abdomen, distensi
intestinal dan rasa nyeri terutama pada puncak bahu serta sisi leher akibat iritasi
diafragma.
2. Perdarahan.
Perdarahan yang abnormal, biasanya berupa spotting, dapat ditemukan pada 75%
kasus. Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus
biasanya tidak ditemukan namun bila dukungan endokrin dari endometrium sudah
tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan. Perdarahan
tersebut biasanya sedikit-sedikit atau terus-menerus. Meskipun adanya perdarahan
pervaginam yang masif juga dapat ditunjukkan oleh abortus inkompletus
intrauterin.
3. Amenorrhea.
Ditemukan adanya amenorrhea yang bersifat sekunder. Lebih dari setengah
wanita mengalami spotting dan mereka menyangka itu adalah menstruasi
sehingga dapat memberikan tanggal haid terakhir yang keliru. Sehingga perlu
ditanyakan riwayat haid secara teliti terutama sifat haid
9
terakhir seperti waktu mulainya, lama serta banyaknya haid apakah pasien merasa
bahwa haidnya normal atau tidak normal.
4. Pingsan.
Keadaan ini sering ditemukan sekitar 1/3 - ½ kasus.
5. Decidual cast.
Adanya decidual cast pada 5-10% kasus kehamilan ektopik disalah artikan
sebagai hasil konsepsi.
10
Tabel 3. Tanda-tanda klasik yang dapat kita temukan saat melakukan pemeriksaan
fisik pada Kehamilan ektopik.(11)
Tanda-tanda Klinik %
Nyeri tekan adneksa 75-90
Nyeri tekan abdomen 80-95
Teraba massa adneksa 50
Pembesaran uterus 20-30
Perubahan posisi 10-15
Demam 5-10
Keterangan: Pemeriksaan fisik yang sering ditemukan adalah adanya nyeri tekan baik
pada abdomen kiri atau kanan atau dapat pada seluruh abdomen.
II. 5. DIAGNOSIS
Membuat diagnosis Kehamilan ektopik adalah sulit karena gambaran klinik yang
ditemukan mulai dari yang asimptomatik sampai akut abdomen dan syok hemodinamik.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat diperlukan dalam mengidentifikasi adanya
kehamilan ektopik secara dini sebelum timbul komplikasi seperti rupture.
A. ANAMNESIS
Secara klasik terdapat trias gejala kehamilan ektopik berupa nyeri, amenorrhea,
dan perdarahan pervaginam. Gejala-gejala ini hanya sekitar 50% ditemukan pada pasien
dan selebihnya kebanyakan pasien datang setelah timbul gejala-gejala komplikasi seperti
adanya ruptur pada kehamilan ektopik. Nyeri abdomen merupakan keluhan yang paling
sering diutarakan oleh pasien. Tidak ada nyeri yang patognomik untuk mendiagnosis
kehamilan ektopik. Nyeri dapat bersifat unilateral atau bilateral dan mungkin dapat
timbul pada abdomen atas atau bawah. Nyeri dapat bersifat intermiten atau terus-
menerus. Adanya nyeri pada bahu dan punggung, merupakan iritasi hemoperitoneal pada
diafragma atau adanya perdarahan intraabdominal. (8)
B. PEMERIKSAAN FISIK
11
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan abdomen dan
pelvis. Pada umumnya, sebelum terjadi ruptur ataupun perdarahan, pemeriksaan fisik
akan didapatkan dalam batas-batas normal. Bila telah terjadi komplikasi berupa ruptura
atau perdarahan intraabdominal, pasien akan memberikan gejala takikardi yang diikuti
dengan tanda- tanda hipotensi serta suhu didapatkan tetap normal atau bahkan menurun.
Ukuran uterus sedikit membesar atau dapat sama seperti kehamilan yang normal. Nyeri
tekan pada bagian servik dapat ada atau tidak ada sama sekali. Adanya massa adneksa
dapat ditemukan sekitar 50% kasus pada pemeriksaan dengan palpasi, tetapi akan
ditemukan ukuran, konsistensi dan nyeri tekan yang bervariasi. Abdomen akan tampak
distensi dengan adanya nyeri tekan atau nyeri lepas abdomen. Pada auskultasi, akan
didapatkan bising usus yang menurun atau menghilang sama sekali. Pada umumnya,
pemeriksaan fisik pelvis tidak adekuat. (8)
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat atau tidak dapat memberikan informasi
yang jelas dalam membuat diagnosis.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin danHematokrit
Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit memberikan hasil yang sangat bervariasi
tergantung pada keadaan pasien dan beratnya penyakit, misalnya bila telah terjadi
perdarahan intraabdominal maka akan didapatkan penurunan hemoglobin dan hematokrit.
(5)
Leukosit
Hitung leukosit sangat bervariasi hasilnya. Adanya leukositosis bukan merupakan
pemeriksaan pasti untuk kehamilan ektopik.(5)
12
penting dalam mendiagnosis adanya suspek kehamilan ektopik. Sekarang ini terdapat tiga
standar referensi untuk pengukuran -hCG. WHO memperkenalkan the First
International Standard (1st IS) pada tahun 1930 sedangakan the Second International
Standard (2nd IS) dikenalkan pada tahun 1964 berupa dan hCG. Awalnya, the First
International Reference preparation (1st IRP) merupakan tes standar yang mana sekarang
ditunjukkan dengan the Third International Standard (3rd IS). Setiap standar yang ada
mempunyai skala yang berbeda, seperti pada 2nd IS merupakan ½ dari 3rd IS. Sebagai
contoh, jika kadar yang dilaporkan adalah 500mIU/mL (2nd IS), ini sama dengan kadar
1000mIU/mL (3rd IS). Kegunaan tes Standar ini perlu diketahui. (8)
Kadar hCG berhubungan dengan usia kehamilan. -hCG akan memberikan hasil
positif pada 100% kehamilan termasuk kehamilan ektopik. (5) Peningkatan kadar -hCG
dua kali lipat pada 48 jam dan terjadi setiap dua hari pada kehamilan normal. (1) Menurut
Kadar et all (1994) (1,3), batas terendah dari peningkatan kadar -hCG per dua hari adalah
sekitar 66%. Mereka menghitung angka ini dengan mengurangkan nilai mula-mula dari
nilai 48 jam yang kemudian dikalikan seratus sehingga didapatkan suatu persentase:
13
sebagai reaksi Arias Stella.(3,14) Perubahan seluler dalam reaksi Arias-Stella tidak spesifik
untuk kehamilan ektopik tetapi dapat terjadi pada kehamilan intrauterin.(3)
Serum Progesterone
Sejak pemeriksaan -hCG tunggal gagal, maka dilakukan pemeriksaan darah
single terhadap serum progesterone (dimana disekresikan oleh corpus luteum selama
awal kehamilan) yang digunakan oleh beberapa dokter untuk membedakan kehamilan
ektopik dari kehamilan normal.(13) Pemeriksaan serum progesterone tidak tergantung pada
usia kehamilan karena hasilnya relatif konstan pada trimester pertama kehamilan normal
ataupun abnormal dan ini berbeda dengan -hCG. (1)
Pada penelitian pada > 5000 wanita hamil trimester pertama didapatkan 70%
pasien dengan kehamilan intrauterine memiliki serum progesterone lebih dari 25ng/mL,
dimana hanya 1,5% pasien dengan kehamilan ektopik memiliki kadar serum progesterone
lebih dari 25ng/mL. (8)
Kadar serum progesterone dapat digunakan sebagai screening kehamilan ektopik
jika kadar -hCG dan USG tidak dapat ada atau tidak siap dipakai. Jika kadar serum
progesterone yang kurang dari 5ng/mL merupakan dugaan tinggi adanya kehamilan
abnormal tetapi tidak dapat dipercaya 100%. Resiko kehamilan normal dengan serum
progesterone < 5ng/mL didapatkan 1: 1.500. Oleh karena itu, serum progesterone tidak
digunakan sendiri tetapi diperlukan pemeriksaan yang lain. (8)
Ultrasonography
Ultrasonography merupakan pemeriksaan penunjang yang penting dalam
mendiagnosis sebuah kehamilan ekstrauterine. Pemeriksaan ultrasonography dapat
dilakukan secara transabdominal atau secara transvaginal. Ultrasonography transvaginal
lebih baik dari ultrasonography transabdominal dalam mengevaluasi struktur intrapelvis.
Diagnosis kehamilan intrauterine dapat dibuat satu minggu lebih cepat dengan
transvaginal ultrasonography dibanding dengan
14
ultrasonography transvaginal.(1,3,8,11) USG pada kehamilan intrauterine akan tampak
gambaran kantong kehamilan dengan diameter 1-3 mm atau lebih, dikelilingi dengan
cincin echoic yang tebal yang bertempat di tengah ruang endometrium serta terdapat
gambaran fetus dan adanya aktivitas jantung fetus. Adanya gambaran kantong kehamilan
intrauterin, dengan atau tanpa adanya aktivitas jantung fetus, merupakan dugaan kuat
untuk menyingkirkan adanya kehamilan ektopik. (3)
Penelitian yang dilakukan oleh Barnhart,dkk (1994) bahwa uterus yang kosong
dengan kadar serum -hCG 1500mIU/mL atau lebih menujukkan 100% adanya
kehamilan ektopik.(3) Seluruh kehamilan intrauterine dapat terlihat pada ultrasonography
transabdominal dengan kadar serum -hCG > 6.500mIU/mL. Jika kehamilan intrauterine
tidak terlihat dengan serum -hCG > 6.500mIU/mL merupakan indikasi adanya
kehamilan abnormal termasuk kehamilan ektopik. (8,11)
Doppler Ultrasound
Aliran warna doppler-US merupakan alat diagnostic transvaginal US yang
memiliki sensitivitas dan spesificitas, terutama dalam kasus-kasus dimana kantong
kehamilan diragukan atau tidak ditemukan. Penelitian yang dilakukan pada 304 wanita
resiko tinggi kehamilan ektopik yang menggunakan doppler-US dibandingkan dengan
hanya transvaginal US, didapatkan peningkatan sensitivitas diagnostik dari 71-87% untuk
kehamilan ektopik. (1,8)
Dilatasi dan Kuretase
Dilatasi dan kuretase merupakan sebuah metode efektif yang lebih cepat untuk
mendiagnosis kehamilan ektopik. Adanya kehamilan abnormal yang didapatkan melalui
kadar -hCG atau progesterone, kuretase dapat membantu membedakan antara kehamilan
intrauterine dan ektopik. (1)
Pasien dengan titer hCG yang tetap (berubah <15%) atau peningkatan hCG <50%
dalam 48 jam, seharusnya menjalani pemeriksaan D&C untuk membedakan antara
kehamilan intrauterine atau ektopik.(11,12) Dilakukan evakuasi pada uterus. Terkadang
kuretase ini dilakukan di ruang operasi dan menggunakan anestesi lokal. Jika ditemukan
jaringan pada kuretase, positif adanya kehamilan intrauterine nonviabel bila villi
15
mengapung dalam saline atau melalui diagnosis histologi pada frozen section atau
permanent section. Bila tidak terdapat jaringan villi pada kuretase maka dapat dibuat
diagnosis adanya kehamilan ektopik. (1,8)
Sensitivitas dan spesifisitas teknik ini adalah 95% saat jaringan diperiksa secara
mikroskopis. Sebab hasil kuretase yang mengapung tidak 100% akurat dalam
membedakan kehamilan intrauterine dari kehamilan ektopik, sehingga diperlukan
bantuan pemeriksaan histologi dan pengukuran kadar serial -hCG. D&C merupakan
pemeriksaan yang mudah dan efektif, tetapi dapat memberikan kesalahan diagnosis pada
kasus-kasus kehamilan heterotopik dimana terdapat multipel kehamilan yaitu satu di
intrauterine dan satu lagi di ekstrauterine. (1,8)
Diagnosis kuretase
16
Tampak villi Tidak tampak villi
Culdocentesis
Culdocentesis digunakan secara luas dalam mendiagnosis kehamilan ektopik.
Pada literatur yang lama, sekitar 70-83% dari seluruh kehamilan ektopik ditemukan
bukan bekuan darah ( tes positif) pada Culdocentesis. Yang menarik adalah sekitar 50-
62% pasien dengan Culdocentesis positif didapatkan tuba falopii unrupture dan hanya
50% yang mengalami ruptur tuba dengan adanya hemoperitoneum. (8,11) Sekitar 10-20%
kehamilan ektopik pada Culdocentesis ditemukan cairan serous (Culdocentesis negatif)
atau bukan cairan/ bekuan darah (bukan diagnosis Culdocentesis). False positif dapat
ditemukan sekitar 2-3%.(11,12) Sedangkan false negatif ditemukan cukup tinggi yaitu rata-
rata 10-14% biasanya
17
darah yang ditemukan berasal dari kehamilan ektopik unrupture, ruptur corpus luteum,
(1)
abortus incomplete, atau menstruasi retrograde. Tidak selalu hasil Culdocentesis
berhubungan dengan adanya kehamilan. (8)
Teknik Culdocentesis: (4)
1. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi
2. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
3. Spekulum dipasang dan bibir belakang portio dijepit dengan cunam cerviks,
dengan penarikan ke depan sehingga forniks posterior terlihat.
4. Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam cavum Douglas dan dengan spuit 10cc
dilakukan pengisapan.
5. Bila pada pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa
dan diperhatikan apakah darah yang dikeluarkan merupakan:
Darah segar warna merah yang dalam beberapa menit akan membeku;
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
Darah tua berwarna coklat atau hitam yang tidak membeku, atau yang
berupa bekuan kecil-kecil; darh ini menunjukkan adanya hematokel
retrouterina.
Gambar 2. Culdocentesis. Dilakukan aspirasi cairan dari Cul-de-sac yang kemudian dilihat jenis
cairan yang keluar. Ini bertujuan untuk menentukan diagnosis selanjutnya walaupun false negatif
cukup besar untuk pemeriksaan Culdocenteis.
18
Laparoscopy
Laparoscopy merupakan gold standard untuk diagnosis kehamilan ektopik.
Laparoscopy dilakukan untuk menilai struktur pelvis, ukuran dan lokasi dari kehamilan
ektopik, melihat adanya hemoperitoneum, melihat keadaan lain seperti kista ovarium dan
endometriosis. Saat ini, laparoscopy juga digunakan sebagai terapi diagnosis. Kesalahan
pada pemeriksaan dengan laparoscopy sekitar 3-4% pada awal kehamilan ektopik yang
dikarenakan ukuran yang masih sangat kecil. (1,8)
19
3. Kemungkinan reabsorpsi jaringan konsepsi oleh dinding tuba sebagai akibat
pelepasan dari suplai darah tuba.
4. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat
erosi villi chorialis atau distensi berlebihan tuba, keadaan ini yang umum disebut
kehamilan ektopik terganggu / kehamilan ektopik dengan ruptur tuba.
Ruptur tuba biasanya timbul secara spontan. Ruptur yang terjadi pada kehamilan
isthmus dapat terjadi lebih awal yaitu pada kehamilan 6-8 minggu dengan diameter yang
kecil. Ruptur pada kehamilan ampulla biasanya terjadi lebih lambat yaitu pada kehamilan
8-12 minggu. Sedangkan pada kehamilan interstitial, terjadinya ruptur pada minggu 12-
16. Ruptur pada kehamilan interstitialis lebih berbahaya karena lebih dekat ke uterus dan
terdapat banyak vaskularisasi sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang hebat. (5)
20
1. Tampak tuba dan ovarium normal dengan tidak adanya riwayat kehamilan yang
baru terjadi.
2. Tidak ditemukan adanya fistula uteroplasenta.
3. Tampak kehamilan semata-mata berhubungan dengan permukaan peritoneum dan
memungkinkan untuk menyingkirkan adanya kehamilan sekunder setelah nidasi
primer di tuba.
21
besar. Jika kehamilan tumbuh sampai besar, perdarahan / ruptur yang terjadi sangat besar,
sehingga sering diperlukan tindakan hiaterektomi total.(15)
Kriteria klinis dari Paalman & McElin (1959) untuk kehamilan serviks, lebih dapat
diterapkan secara klinis, yaitu: (15)
1. ostium uteri internum tertutup.
2. ostium uteri eksternum terbuka sebagian.
3. hasil konsepsi terletak di dalam endoserviks.
4. perdarahan uterus setelah fase amenorrhea, tanpa disertai nyeri.
5. serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus (hour-glass
uterus).
22
2. Abortus imminens atau insipiens
Perdarahan lebih banyak dan lebih merah sesudah amenore, rasa nyeri yang
berlokasi di daerah median dan bersifat mules lebih menunjukkan ke arah abortus
imminens atau permulaan abortus insipiens. Pada abortus tidak dapat diraba
tahanan di samping atau di belakang uterus, dan gerakan serviks uteri tidak
menimbulkan rasa nyeri.
3. Ruptur corpus luteum
Keadaan ini biasanya terjadi pada pertengahan siklus menstruasi. Perdarahan per
vaginam tidak ada dan tes kehamilan negatif.
4. Torsi kista ovarium dan appendicitis.
Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan perdarahan pervaginam biasanya
tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat daripada pada
kehamilan ektopik. Pada appendicitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada
gerakan serviks kurang dibanding pada kehamilan ektopik. Nyeri perut bagian
bawah pada appendicitis terletak pada titik McBurney. Kesalahn diagnosis pada
kedua keadaan ini tidak menjadi masalah karena kedua penyakit ini memerlukan
tindakan operasi.
II. 8. KOMPLIKASI
Komplikasi kehamilan ektopik dapat terjadi karena salah dioagnosis, terlambat
terdiagnosis, atau terlambat diterapi. Kagagalan dalam mendiagnosis kehamilan ektopik
akan menimbulkan komplikasi berupa rupture tuba atau uterine, tergantung kepada lokasi
dari kehamilan, dimana dapat terjadi perdarahan massive, syok, DIC (disseminated
intravascular coagulopathy) bahkan kematian. Kehamilan ektopik merupakan penyebab
kematian ibu pada trimester pertama, ditemukan sekitar 9-13% dari seluruh kematian
pada kehamilan. (1)
Setelah terjadi ruptur, hasil konseptus dapat diresorbsi atau merupakan suatu
massa di cavum abdomen atau di cavum Douglas. Biasanya, jika tidak terjadi kerusakan
selama ruptur, hasil konseptus akan mengadakan implantasi di berbagai tempat di cavum
abdomen dan selanjutnya akan berkembang di sana. (5)
23
Tabel 3. Komplikasi Kehamilan Ektopik
Kehamilan Ektopik Tidak Ruptura Kehamilan Ektopik Yang Ruptura
Gejala awal kehamilan dapat berupa Tampak lemah
perdarahan atau spotting yang Tampak pucat
irreguler, nausea, nyeri pada Takikardi ( > 110 x / mnt)
payudara. Hipotensi
Nyeri abdomen atau pelvis. Hipovolemik
Nyeri pelvis atau akut abdomen
Distensi abdomen
Nyeri lepas
II. 9. PENATALAKSANAAN
A. MEDIKAMENTOSA
Dulu yang menjadi terapi untuk kehamilan ektopik terbatas hanya pada
pembedahan. Namun dengan pengalaman ternyata pengobatan pada kehamilan ektopik
dapat dilakukan dengan medikamentosa berupa pemberian Methotrexate. Terapi
medikamentosa untuk kehamilan ektopik ternyata lebih menguntungkan dari pembedahan
karena akan membatasi morbidity akibat efek pembedahan dan anestesi umum,
mengurangi potensi kerusakan tuba serta mengurangi biaya pengobatan.(1)
METHOTREXATE
Methotrexate merupakan obat kemoterapi antimetabolik yang menghambat
reduktase enzim dihydrofolate sehingga bekerja sebagai antineoplastik yang menghambat
pertumbuhan sel seperti pada kehamilan atau pada sel-sel kanker. (1,3,8) Methotrexate
mengandung 85% 4-amino-10-methylfolic acid yang berfungsi sebagai antagonis asam
folat dan juga menggangu sintesa DNA dan reproduksi sel. Leucovorum calcium
merupakan derivat asam tetrahydrofolic dimana merupakan bentuk aktif asam folat yang
“missing” yang berefek mengurang efek samping penggunaan methotrexate sehingga
dinamakan sebagai “rescue”. (8,16)
24
Kriteria untuk pemberian Methotrexate adalah: (17)
1. Keadaan hemodinamika baik
2. Tidak ada ruptur tuba atau perdarahan intraabdomen
3. Diameter tuba berukuran < 3-4cm
4. Tidak ada kontraindikasi untuk pemberian MTX
5. Informed consent
6. Pasien bersedia untuk mengikuti follow-up
7. Kadar -hCG < 5000 mIU/mL (menurut Indegene journal)(18)
Pada umumnya, terdapat dua cara pemberian methotrexate untuk kehamilan
ektopik, yaitu dengan single dose atau variable dose. Pada awalnya, digunakan variable
dose methotrexate dengan leucovorin yang bertujuan untuk mengurangi efek sampaing
yang lebih berat. Pada variable dose, methotrexate diberikan 1mg/kgBB, IM pada hari
ke-0, 2, 4, dan 6 kemudian diikuti 4 dosis leucovorin 0,1 mg/kgBB, IM pada hari ke-1, 3,
5, dan 7. Tetapi saat ini menggunaan single dose lebih populer dimana diberikan
methotrexate 50 mg/m2 IM. (1,3) Puncak kadar serum methotrexate timbul 2 jam setelah
pemberian dosis IM dan waktu paruhnya adalah 2-4 jam. (16)
Setelah pemakaian MTX, dilakukan pemantauan terhadap kadar -hCG dimana
biasanya akan hilang dari plasma antara 14-21 hari. Lipscomb,dkk (1998) melaporkan
bahwa 287 wanita menjalani terapi, ditemukan rata-rata kadar -hCG berkurang sampai
<15mIU/mL pada hari ke-34. Monitor kadar kadar -hCG pada terapi single dose yaitu
pada hari ke-4 dan 7 sedangkan untuk terapi variable dose dilakukan dengan interval 48
jam sampai kadar kadar -hCG <15%. Dilakukan pemantauan kadar -hCG sampai < 5
mIU/mL. (3)
Komplikasi utama pada penggunaan Methotrexate: (16)
a. Supresi sumsum tulang
Berupa penurunan konsentrasi hemoglobin yang terjadi pada hari ke 6-13,
leukosit setelah hari ke 4-7, serta trombocit yang terjadi setelah hari ke 5-
25
12. Komplikasi ini jarang terjadi pada menggunaan single dose IM untuk
kehamilan ektopik.
b. Hepatotoksik akut dan kronik.
Terjadi peningkatan kadar fungsi hepar. Peningkatan ini tidak dapat
memperkirakan kerusakan hepar selanjutnya. Gangguan fungsi hepar merupakan
komplikasi yang umum terjadi yaitu sekitar 12%.
c. Toksisitas paru-paru.
Berupa pneumonitis dan fibrosis paru. Komplikasi ini jarang terjadi pada
pemakaian single dose IM.
d. Efek pada kulit.
Berupa rash, rasa gatal, folikulitis, fotosensitif, perubahan warna pigmen, serta
terkadang timbul alopecia (kehilangan rambut).
Kontraindikasi penggunaan MTX: (16)
1. Keinginan untuk hamil, dimana pengunaan MTX pada trimester pertama akan
menimbulkan malformasi sebanyak 30%.
2. Anemia berat, leukopenia atau trombositopenia.
3. Gangguan fungsi ginjal (MTX terutama diakskresikan di ginjal).
4. Infeksi yang sedang aktif karena akan menyebabkan efek immunosupresi.
5. Ulkus peptikum atau Colitis ulserativa.
6. AIDS, akan memperberat terjadinya immunosupresif.
B. PEMBEDAHAN
Penanganan secara pembedahan sangat luas digunakan sebagai terapi pada
kehamilan ektopik. Pembedahan Tuba pada Kehamilan ektopik terdiri atas dua macam,
yaitu pembedahan secara konservatif dan secara radikal. Pemilihan tindakan ini,
tergantung dari keinginan pasien apakah masih menginginkan anak lagi atau tidak. Bila
pasien sudah tidak menginginkan anak lagi maka kita dapat melakukan pembedahan
radikal tetapi bila masih menginginkan anak maka dapat dipilih pembedahan konservatif.
Pembedahan tuba yang konservatif seperti
26
Salpingostomy, Salpingotomy, Fimbrial expression sedangkan yang termasuk radical
adalah salpingectomy.(3,8,10)
Pembedahan dapat dilakukan dengan laparotomy ataupun dengan laparoscopy.
Laparoscopy saat ini lebih banyak digunakan pada kebanyakan kasus. Pada banyak
penelitian mengatakan bahwa penanganan kehamilan ektopik dengan laparoscopy
menghasilkan komplikasi postoperasi berupa perlengketan (adhesi) lebih sedikit
dibandingkan dengan laparotomy. Penggunaan laparoscopy juga akan mengurangi
kehilangan darah yang banyak selama operasi dan menurunkan kebutuhan akan
analgetik. Akhirnya dengan laparoscopy akan diperoleh biaya yang lebih murah, proses
pemulihan yang lebih cepat serta masa rawat inap lebih singkat. Laparotomy diperlukan
bila didapatkan keadaan pasien yang tidak stabil yang memerlukan waktu operasi yang
secepatnya,terdapat kehamilan ektopik di cornu atau bila operator tidak terlatih dalam
menggunakan laparoscopic. Laparotomy juga menjadi pilihan terutama pada kasus-kasus
yang sulit seperti adanya hemoperitoneum yang massive, banyak perlengketan atau
pasien obesitas. (1)
27
Terapi (%) (%) (%)
Pembedahan 1626 93 57 13
Dosis variabel 338 93 58 7
MTX dosis tunggal 393 87 61 8
Keterangan: setelah di terapi, didapatkan prognosis yang baik pada pasien dengan
kehamilan ektopik dan mempunyai kesempatan yang cukup besar untuk kehamilan
intrauterin pada kehamilan berikutnya.
BAB III
KESIMPULAN
28
1. Kehamilan ektopik adalah terjadinya implantasi hasil konsepsi di luar
endometrium uterus. Tempat yang paling sering terjadi adalah di tuba falopii
terutama di Ampulla (80-90%).
2. Faktor resiko dan gambaran klinik dari kehamilan ektopik harus diketahui karena
berpengaruh terhadap penanganan yang tepat sebelum timbul komplikasi yang
berakibat fatal terutama buat ibu.
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang penting walaupun
tersedianya sarana penunjang modern seperti pemeriksaan hCG serial darah
dengan ELISA, RIA atau USG transvaginal. Hal ini bertujuan untuk membuat dan
menegakkan secara tepat diagnosis dini kehamilan ektopik.
4. Terapi yang dipilih sebaiknya yang menimbulkan efek samping yang paling
sedikit.
5. Prognosis untuk wanita dengan riwayat kehamilan ektopik satu kali adalah baik
yaitu sebesar 87,2% untuk kesempatan kehamilan intrauterin sedangkan pada
wanita yang telah mengalami kehamilan ektopik dua kali mempunyai kesempatan
kehamilan intrauterin sebesar 30%.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.emedicine.com/med/topic3212.htm
2. http://www.arabicobgyn.net/doc/ectopic.htm
29
3. Cunningham FG, Gant NF, Levenko KJ, Haulth JC, Wenstrom KD, Ectopic
Pregnancy, in William Obstetrics, 21st edition, 2001, New York, McGraw Hill
(883-904)
4. Rachimhadhi T, Kehamilan ektopik dalam Wiknjosastro H,ed., Ilmu Kebidanan,
edisi 3, 1992, Jakarta, Yayasan Bina puastaka Sarwono Prawirohardjo (324,331-
332)
5. Garmel SH, Early Pregnancy Risk,in DeCherney AH, Nathan L, Current obstetric
and Gynecology Diagnosis and Treatment, edisi 9, 2003, New York, McGraw Hill
(278-281)
6. http://www.drdaiter.com/hyst_ecto/ecto1.html
7. http://www.drdaiter.com/hyst_ecto/ecto2.html
8. Stovall TG, Early Pregnancy Loss and Ectopic Pregnancy, in Berek JS, Novaks
Gynecology, edisi 13, 2002, California, Lippincott Williams & Wilkins (511-533)
9. http://www.aafp.org/afp/20000215/1080.html
10. DeCherney AH, Agel WO, Ectopic Pregnancy, in Sciarra JJ, Gynecology &
Obstetric vol.1, revised edition, 2003, Chicago, Lippincott Williams & Wilkins
(1-4,9)
11. Lipscomb GH, Ectopic Pregnancy, in Copeland LJ, Textbook of Gynecology, 2nd
ed, 2000, Ohio, WB.Sauders company (274-281)
12. Lipscomb GH, Ectopic Pregnancy, in Ling FW, Duff P, Obstetric & Gynecology
Principles for Practice, 2001, Toronto, McGraw Hill (1137-1143)
13. http://sprojects.mmi.mcgil.ca/gynecology/lap12gectfrmd.html
14. Novak ER, Woodruff JD, Ectopic Pregnancy, in Novaks Gynecology and
Obstetric pathology with Clinical and Endocrine Relations, 8th ed, 1979,
Philadelphia, WB.Saunders company (551-552)
15. http://www.goocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt7.html
16. http://www.drdaiter.com/hyst_ecto/ecto4.html
17. http://www.advancedfertility.com/ectopic.html
18. http://www.indegene.com/Gyn/Jour/indJour_BJOG_Sum_01-02-2001-1.asp
30