You are on page 1of 27

MAKALAH

PERDAGANGAN ORANG ATAU MANUSIA


DOSEN PENGAMPU: KAMILATUN S.H.,M.H

OLEH :

INTAN MUSTICA 1502970055


JAY ASMANI 1502970056
ALFATH NURDIN 1402950005
RENDI FEBTER HELMIADI 1402960039

MATA KULIAH: KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM MUHAMMADIYAH

KOTABUMI

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat
bimbingannya penulis mampu menyususn makalah Sejarah Hukum dengan judul:
“PERDAGANGAN ORANG ATAU MANUSIA”. Makalah yang penulis susun
ini merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di internet yang
dirangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat
memahami bahwa perlunya kita untuk mengungkapkan fakta-fakta hukum tentang
perdagangan manusia yang merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri
sebagai bagian kelam bangsa Indonesia. Namun demikian, persoalan human
trafficking belum mendapat perhatian yang serius untuk diatasi.
Akhir kata penulis berharap makalah ini menjadi inspirasi baru untuk
karya-karya selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan
informasi mengenai politik hukum yang dilakukan penguasa dalam mengatasi
masalah perdagangan manusia seperti lemahnya penegakan hukum, peraturan
perundang-undangan yang ada, peran pemerintah dalam penaganan maupun
minimnya informasi tentang human trafficking.
Mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan,
baik materi maupun teknis, penulis dengan tangan terbuka menerima masukkan
dan koreksian dari para pembaca untuk menjadi lebih baik.

Kotabumi, 26 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3

BAB II KERANGKA TEORI .............................................................................. 4


A. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang ........... 4
1. Pengertian Tindak Pidana ......................................................................... 4
2. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang ........................................ 5
3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang ........................ 6
4. Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang ......................................................... 7
5. Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang .............................. 9
B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang ....................... 9
1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang ................... 9
2. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdangan Orang
Secara Represif(Penindakan) ......................................................................... 11

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 15

BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 20


A. Kesimpulan ................................................................................................ 20
B. Saran ........................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dan segala peradabannya selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. Termasuk didalamnya adalah fenomena adanya praktik-praktik
perdagangan orang (human trafficking) yang sangat memprihatinkan, mengingat
manusia sesungguhnya bukan merupakan produk komoditi perdagangan. Sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang paling mulia seharusnya manusia saling
menjaga harkat dan martabat sesamanya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya
bentuk perbudakan modern yang terjadi baik dalam tingkat nasional dan
internasional harus diberikan perhatian serius.
Tindak pidana perdagangan orang semakin menunjukkan kecenderungan
yang terus meningkat diikuti dengan modus operandi yang semakin beragam dan
kompleks, sehingga dibutuhkan penanganan secara komprehensif dan sinergi
selanjutnya pada tanggal 17 April 2007 Pemerintah Indonesia akhirnya
mengesahkan dan mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang
mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang.
Undang-Undang ini diharapkan mampu menyediakan landasan hukum
formil dan materiil sekaligus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis
tindakan dalam proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi
dalam praktek perdagangan manusia baik yang dilakukan antar wilayah dalam
negeri maupun antar negara, baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi,
kemudian yang terakhir adalah peraturan yang berasal dari Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2008 dalam Bab XX Tindak
Pidana Pada Kemerdekaan Orang, Bagian Kesatu tentang Perdagangan Orang.
Namun demikian, sebagus atau seunggul apapun bentuk produk hukum,
apabila tidak dilaksanakan dengan benar dan ditegakkan dan tidak membuat jera
para pelaku untuk berhenti melakukan perdagangan orang makan produk hukum
tersebut menjadi tidak efektif.
Menurut C.S.T. Kansil bahwa selama ini perdagangan orang dianggap
sama dengan perbudakan, yang diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang
berada di bawah kepemilikan orang lain.[1] Perbudakan dalam perbuatan
menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain, sehingga orang tersebut
tidak mampuh menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum
diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang tersebut tidak
menghendakinya. Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai
bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan terburuk
dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah tindak
pidana perdagangan orang menjadi perhatian serius beberapa negara termasuk
pemerintah Indonesia.

1
Penanggulangan tindak pidana dapat diawali dengan dengan melakukan
upaya pencegahan serta diakhiri dengan penindakan hukum atas tindak pidana
yang terjadi. Sebab itu, penanggulangan tindak pidana dapat meliputi hukum
pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil, bentuk dan
jenisnya dapat berupa tindak pidana umum yang diatur dala KUHP, dan tindak
pidana khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Salah satu tindak pidana khusus adalah tindak pidana perdagangan orang, yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Di sisi lain sebelum dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007, perdagangan orang sudah diatur dalam KUHP,
khususnya yang terdapat dalam pasal 297 yang mengancam hukuman 6 (enam)
tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan dan anak laki-
laki di bawah umur, pasal ini dianggap tidak efektif untuk dapat menjerat pelaku
tindak pidana terkait.
Selain itu juga, dengan masih banyaknya praktek-praktek lain dari
perdagangan orang yang terjadi, baik yang menimpa perempuan dan laki-laki
dewasa, dengan dirasa masih banyaknya unsur-unsur yang tidak dapat
megakomodir bentuk-bentuk praktek perdagangan orang yang terjadi kini
sehingga menjadi sulit untuk dapat diberantasnya kejahatan perdagangan orang
tersebut. Saat ini di dalam pemberitaan yang berkaitan dengan perdagangan orang
di Indonesia saja kian marak terjadi, dari berbagai macam kegiatan kejahatan
diketahui yang dilakukan oleh orang perorangan maupun korporasi dalam batas
wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain
yang semakin meningkat.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut ada berbagai macam bentuknya, antara
lain eksploitasi sebagai buruh, menjadi korban pornografi, prostitusi dan narkoba.
Kejahatan perdagangan orang ini, dapat mengancam eksistensi dan martabat
kemanusiaan yang membahayakan masa depan perkembangan diri dari seseorang.
Melihat pada kenyataan yang ada dari korban-korban perdagangan orang, luasnya
praktik tersebut khususnya yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak,
terjadi karena banyak faktor-faktor yang mendukung dan memungkinkan untuk
dapat terus berkembang lebih jauh lagi. Sehubungan dengan persoalan-persoalan
yang terjadi pada penjelasan yang telah dipaparkan diatas, kini disadari bahwa
peran dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga
yang terkait, hingga aparat penegak hukum khususnya Kepolisian Republik
Indonesia, yang dalam hal ini langsung berhadapan dengan berbagai kasus
perdagangan orang, diharapkan dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
terjadinya perdagangan orang yang terjadi di dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, peran Polri sangat dibutuhkan dalam menanggulangi
tindak pidana perdagangan orang ini secara tepat dan cepat, sehingga tidak
semakin meresahkan masyarakat. Sesuai dengan uraian tersebut yang telah
dijelaskan diatas, maka penulis melakukan penelitian mengenai apa kebijakan

2
politik hukum pidana dalam upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan
orang di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang dari
aspek kebijakan politik hukum pidana di Indonesia?
2. Apakah kendala yang menghambat upaya penanggulangan tindak pidana
perdagangan orang?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui upaya penaggulangan tindak pidana perdagangan orang dari
aspek kebijakan politik hukum pidana.
2. Mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya penanggulangan
tindak pidana perdagangan orang.

3
BAB II
KERANGKA TEORI

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Pengertian Tindak Pidana


Istilah tindak pidana oleh Prof. Moeljatno adalah istilah lain dari perbuatan
pidana yang sering dipakai dalam perundangan oleh kementerian kehakiman.
Selanjutnya menurut Moeljatno, meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada
“perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti
perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan
peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak
gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk,
tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “bertindak”. Oleh
karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan
yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri,
maupun dalam penjelasannya pula selalu dipakai pula kata perbuatan.
Selanjutnya, menurut beliau bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Dapat juga dikatakn bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu
aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat
bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
Marshal mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi
yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana
berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Roeslan Saleh mengemukakan
pendapatnya mengenai perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh
aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Dalam konsep
KUHP tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dalam konsep juga
dikemukakan bahwa untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan
tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus
juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum
masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum,
kecuali ada alasan pembenar.
Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana barang siapa melakukannya, maka unsur-unsur
perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berujud suatu
kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau

4
keadaaan yang dilarang oleh hukum.Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul
tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil
maupun yang yang materiil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang
menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur
yang ketiga, adalah terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda
sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang.
Misalnya berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana, tempat terjadinya
perbuatan pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan
keadaan yang memberatkan pemidanaan.

2. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang


Pengertian perdagangan orang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi
setiap orang, meliputi sederatan masalah dan isu sensitif yang kompleks sehingga
ditafsirkan berbeda-beda oleh setiap orang yang memahaminya tergantung dari
sudut pandang pribadi atau organisasinya. Maka dari itu hingga saat ini salah satu
masalah utama perdagangan orang adalah masalah definisi. Pada masa lalu,
masyarakat biasanya berfikir bahwa perdagangan orang adalah suatu kegiatan
yang memindahkan perempuan melewati perbatasan di luar keinginan mereka dan
memaksa mereka untuk memasuki dunia prostitusi. Seiring berjalannya waktu,
masyarakat lebih memahami mengenai isu perdagangan orang yang kompleks dan
sekarang melihat bahwa pada kenyataan perdagangan orang melibatkan berbagai
macam situasi.
Penaggulangan tindak pidana dapat diawali dari pencegahan dan diakhiri
dengan penindakan hukum yang merupakan bagian dari hukum pidana formal.
Karena itu penanggulangan tindak pidana dapat meliputi hukum pidana materiil
dan hukum pidana formal. Dalam tindak pidana materril, bentuk dan jenisnya
dapat berupa tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana
khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP. Salah
satu tindak pidana khusus adalah tindak pidana perdagangan orang yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang. Tindak pidana perdagangan orang memuat aspek-
aspek yang bertentangan dengan kesejahteraan umum. Lebih-lebih praktek tindak
pidana perdagangan orang selalu disertai dengan berbagai tindakan ancaman dan
kekerasan, sehingga menimbulkan ketersiksaan bagi si korban pada masa
depannya, apalagi korban tindak pidana perdagangan orang pada umumnya adalah
pihak yang dalam kondisi tidak berdaya baik secara fisik, psikis, maupun
ekonomi.
Meskipun sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
perdagangan orang sudah diatur dalam KUHP, yaitu Pasal 297 yang mengancam
hukuman enam tahun penjara bagi siapapun yang memperdagangkan perempuan
dan anak laki-laki di bawah umur, ini dianggap tidak efekif untuk menjerat pelaku

5
perdagangan orang atau yang lebih populer lebih dikenal dengan human
traffickingterorganisasi.
Di Indonesia, peraturan tentang perdagangan orang sudah diatru dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Dalam undang-undang terseut dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah “tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang
dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga merumuskan mengenai
ruang lingkup tindak pidana perdaganga orang yaitu:
a) Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana yang ditentuan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007). Selain itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga
melarang setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah Negara Kesatuan
Wilayah Republik Indonesia untuk dieksploitasi;
b) Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk
tujuan eksploitasi;
c) Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk
maksud eksploitasi;
d) Mengirimkan anak ke dalam atau luar negeri dengan cara apapun; dan setiap
orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara
melakukan persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk
tujuan eksploitasi atau mengambil keuntungan;
e) Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan pada dokumen
negara ata dikumen lain untuk mempermudah TPPO;
f) Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu
atau baran bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum;
g) Setiap orang yang menyerang fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan
perkara TPPO; setiap orang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di
sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara
TPPO; setiap orang yang membantu pelarian pelaku TPPO;
h) Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya
dirahasiakan.

3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perdagangan Orang

6
Faktor-faktor yang paling mendukung adanya perdagangan orang
diantaranya karena adanya permintaan (demand) terhadap pekerjaan di sektor
informal yang tidak memerlukan keahlian khusus, mau dibayar dengan upah
relatif rendah serta tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit, sehingga
menyebabkan para pelaku terdorong untuk melakukan bisnis perdagangan orang.
Dari segi ekonomi kegiatan usaha/ bisnis seperti ini dapat mendatangkan
keuntungannya yang sangat besar serta adanya celah hukum yang menguntungkan
para pelaku perdagangan orang yaitu kurangnya penegakan hukum di Indonesia,
terutama dalam mengadili pelaku perdagangan orang, termasuk pemilik/ penglola/
perusahan pengerah tenaga kerja, sehingga mereka dapat memanfaatkan korban
dan calon korban perdagangan orang.
Para pelaku perdagangan orang bekerja sangat rapi dan terorganisasi.
Umumnya mereka melakukan pencarian korban dengan berbagai cara, seperti
mengiming-imingi calon korban dengan berbagai daya upaya.diantara para pelaku
tersebut ada yang langsung menghubungi calon korban, atau menggunakan cara
lain dengan modus pengiriman tenaga kerja, baik antardaerah, antarnegara,
pemindahtanganan atau transfer, pemberangkatan, penerimaan, penampungan
yang dilakuka sangat rapi,dan tidak terdeteksi oleh sistem hukum yang berlaku,
bahkan ada di antaranya yang dilindungi oleh aparat (pemerintah dan penegak
hukum). Cara kerja pelaku ada yang bekerja sendirian ataupun secara terorganisir
yang bekerja dengan jaringan yang menggunakan berbagai cara, dari yang
sederhana dengan cara mencari dan menjebak korban ke daerah-daerah mulai dari
membujuk, menipu dan memanfaatkan kerentanan calon korban dan orang
tuanya, bahkan sampai pada kekerasan, menggunakan teknologi canggih dengan
cara memasang iklan, menghubungi dengan telepon genggam yang dapat diakses
di mana saja, sampai dengan menggunaka internet.
Selain itu salah satu sumber penyebab dari perdagangan orang adalah
adanya diskriminasi gender; praktik budaya yang berkembang di masyarakat
Indonesia, pernikahan dini, kawin siri, konflik dan bencana alam, putus sekolah,
pengaruh globalisasi, sistem hukum dan penegakan hukum yang lemah, keluarga
yang tidak harmonis, rendahnya nilai-nilai moral agama, dan sebagainya. Tetapi
lebih dari itu karena ada faktor eksternal yang secara terorganisasi dan sistemik
memaksa korban menuruti kehendaknya. Mereka ini adalah para pengasuh
hiburan, cukong, lelaki hidung belang, penganut seks bebas, manusia berkelainan
jiwa, perubahan perilaku manusia modern dan sebagainya.

4. Bentuk-Bentuk Perdagangan Orang


Ada beberapa bentuk tindak perdagangan orang yang harus diwaspadai,
karena terkadang masyarakat tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban
dari perdagangan orang. Bentuk-bentuk tindak pidana perdagangan orang menurut
Agus Hamim dan Agustinanto, yaitu:

7
a) Kerja paksa seks dan eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah
Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja
sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-
pekerjaan lain tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri
seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
b) Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia diperdagangkan ke
dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk jam kerja wajib yang
sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang
dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis,
penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak
boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya.
Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk
memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri.
c) Bentuk Lain dari Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia.
Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang
lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian
di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh
migran ini diperdagangkan ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang
dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali.
Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang,
paksaan, atau kekerasan.
d) Penari, Penghibur dan Pertukaran Budaya–terutama di luar negeri. Perempuan
dan anak perempuan dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi,
atau penghibur di negara asing. Pada saat kedatangannya, banyak dari
perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan
dengan kondisi mirip perbudakan.
e) Pengantin Pesanan–terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak
perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah
ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka
memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk keluarga mereka dengan
kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.
f) Beberapa Bentuk Buruh/ Pekerja Anak–terutama di Indonesia. Beberapa
(tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di
lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah diperdagangkan ke
dalam situasi yang mereka hadapi saat ini. Dan terakhir, Penjualan Bayi–baik
di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI)
ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka
dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang
lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang
melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar
gelap.

8
5. Modus Operandi Tindak Pidana Perdagangan Orang
Tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) umumnya
dilakukan dengan cara pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa
pelanggaran harkat dan martabat manusia yang berupa perlakuan kejam, dan
bahkan perlakuan serupa perbudakan. Perlakuan ini diterima sebagai
ketidakberdayaan korban, yang terjebak dalam jeratan jaringan yang sangat sulit
untuk diidentifikasi, sehingga akan berakibat sulit untuk menemukan solusianya.
Modus perdagangan orang yang paling menonjol diantaranya disebabkan
kemiskinan, pendidikan rendah, keluarga yang tidak harmonis/ perceraian,
bencana alam, dan bisa gender.
Selain itu faktor geografis Indonesia yang sangat strategis, kondisi
keuangan negara, perlindungan hukum serta penegakan hukum khususnya hukum
HAM, rendahnya pemahaman rehadap moral dan nilai-nilai religius rendah,
mengakibatkan adanya permintaan yang main meningkat untuk bekerjanya di luar
negeri, dengan iming-iming gaji yang sangat besar dan tidak memerlukan
keterampilan yang khusus, kurangnya kesempatan kerja dalam negeri, budaya
masyarakat yang konsumtif, dan faktor lingkungan turut mendukung. Sementara
itu, pengguna Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terutama di sektor informal sangat
menguntungkan, karena TKI dapat dibayar dengan upah yang rendah, mempunyai
sifat penurut, loyal dan mudah diatur. Keadaan ini menimbulkan tumbuh suburnya
modus-modus yang makin beragam, karena sistem hukum yang ada di Indonesia
masih lemah, khususnya dalam penegakan hukum TPPO.
Oleh karena itu, untuk menjamin dan melindungi hukum HAM perlu
adanya sosialisasi yang berkesinambungan tentang bahaya perdagangan orang,
dan juga regulasi sistem hukum baik substansi, struktur dan budaya hukum. Selain
itu pemberdayaan ekonomi masyarakat, tingkat pendidikan, dan pendidikan moral
harus terus menerus disosialisasikan dan diinternalisasikan. Selain beberapa hal
tersebut di atas, modus lain dalam tindak pidana perdagangan adalah kesadaran
hukum masyarakat yang masih rendah, pemahaman moral dan agama yang
kurang, gaya hidup masyarakat yang konsumtif, pemahaman akan
persamaan gender dalam keluarga dan masyarakat yang masih bias, rendahnya
pendidikan masyarakat, dan kondisi ekonomi masyarakat yang belum merata.

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang


Secara Preventif (Pencegahan) Upaya pencegahan merupakan suatu
pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, upaya ini
seharusnya lebih diutamakan daripada upaya yang bersifat represif. Ada pendapat

9
yang mengatakan bahwa mncegah lebih baik daripada mengobati. Demikian pula
W.A. Bonger mengatakan bahwa, dilihat dari efisiensi dan efektifitas upaya
pencegahan lebih baik daripada upaya yang bersifat represif. Dalam dunia
kedokteran kriminal telah disepakati suatu pemikiran mencegah kejahatan adalah
lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali, lebih baik
disini jug berarti lebih mudah, lebih murah dan lebih mencapai tujuannya.
Mengutip pendapat yang disampaikan oleh Hery Firmansyah, penggunaan
sarananon-penal sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan
dengan penyantunan dan pendidikan sosial dala rangka mengembangkan
tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa melalui
pendidikan formal; agama dan sebagainya; penigkatan usaha-usaha kesejahteraan
anak dan remaja, khususnya yang terkait langsung dengan perdagangan orang
yakni dengan melakukan kegiatan patroli atau dengan melakukan usaha-usaha
pengawasan lainnya. Sebab tujuan dari usaha-usaha non-penal adalah untuk dapat
memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.
Lebih lanjut Hery Firmansyah mengatakan dengan mengutip pendapat
yang dikemukakan oleh Soedjono, bahwa secara umum pencegahan kejahatan
dapat dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode. Pertama,
cara Moralistic (miring) yang dilaksanakan dengan penyebarluasan ajaran-ajaran
agama dan moral, undang-undang yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat
mengekang nafsu untuk berbuat kejahatan.Kedua, adalah dengan
cara Abiliosinistik yang berusaha untuk memberantas sebab-musababnya.
Umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaratan)
merupakan salah satu faktor penyebab, maka usaha untuk mencapai kesejahteraan
untuk mengurangi kejahatan yang disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan
caraAbiliosinistik. Adapun pencegahan kejahatan melalui pendekatan
kemasyarakatan, yang biasa disebut Community Based Crime
Prevention, melibatkan segala kegiatannya untuk memperbaiki kapasitas
masyarakat dalam mengurangi kejahatan dengan jalan meningkatkan kontrol
sosial informal.
Pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana merupakan suatu upaya
untuk memberikan dan menghindari rasa takut masyarakat dari gangguan pihak
lain dalam melakukan kejahatan. Sebab, Polri merupakan alat pengontrol atau
pengawas tindak pidana yang efektif. Jika kembali mengacu berdasarkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
tugas poko polisi antara lain:
a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b) Menegakkan hukum;
c) Memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dengan melakukan segala usaha dan kegiatan di lingkungan kepolisian,
yang bertujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

10
memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan
perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaan
hukum. Pada kenyataannya kepolisian melakukan razia-razia ke tempat hiburan,
hotel, atau tempat yang dianggap sangat rawan berpotensi terjadinya perdagangan
orang, biasanya baik perempuan maupun anak-anak, jika perempuan misalnya
dengan bentuk eksploitasi seksual seperti mempekrjakan perempuan di bawah
umur ataupun dewan sebagai pekerja seks komersil. Disamping itu juga
melakukan pengawasan secara ketat di tempat lain yang terindikasi dapat
melancarkan lalu lintas perdagangkan orang seperti di pelabuhan laut, pelabuhan
udara, pintu gerbang perbatasan dengan negara lain dan patroli perairan untuk
mengawasi kapal/ perahu yang diduga membawa tenaga kerja dengan tujuan
mencegah lalu lintas manusia yang diperdagangkan secara ilegal dari desa ke kota
maupun dari satu kota ke kota yang lainnya serta dari dalam negeri ke negara
tujuan.

2. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdangan Orang


Secara Represif(Penindakan)
Penaggulangan Represif menurut pendapat Bambang Purnomo, yaitu
tindakan dari petugas hukum terhadap perbuatan seseorang yang dilakukan
setelah terjadinya pelanggaran hukum. Penanggulngan tindak pidana ini dimulai
dari tindakan pengusutan dan penyediaan barang bukti oleh polisi, tindakan
penuntutan oleh jaksa, kemudian diteruskan pemeriksaan sidang oleh hakim yang
mengutamakan analisa dari kejadian yang berakibat melanggar dan aturan hukum
yang bersangkutan untuk memperoleh putusan hakim dan berakhir dengan
pelaksanaan putusan.
Dengan kata lain, upaya ini merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum setelah terjadinya suatu tundak pidana yang meliputi
tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dalam sidang
pengadilan, sampai dengan dilaksankannya putusan pidana. Adapun tugas Polri
dalam hal ini, apabila tindak pidana perdagangan orang, penyidik Polri dapat
melakukan kegiatan berupa:
a) Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana
yang dilakukan pelaku,
b) Menetukan dapat atau tidaknya dilakukan upaya penyidikan terhadap pelaku,
c) Mencari serta mengumpulkan bukti kejahatan perdagangan orang,
d) Membuat terang tindak pidana kejahatan perdagangan orang yang terjadi,
e) Menemukan tersangka pelaku tindak pidana.
Lebih lanjut lagi, Polri dapat melakukan razia di tempat yang terindikasi
adanya praktek perdagangan orang misalnya panti pijat, lokalisasi, tempat
karaoke, penampungan wanita dan anak, maupun tempat hiburan lainnya.
Di dalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa Proses

11
Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai
sesuai dengan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini, guna menacari serta
mengumpulkan bukti, sebab dengan bukti membuat atau menjadi terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Jadi dalam tahapan
penyidikan ini, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta
mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi
terang, serta agat dapat menemukan dan menentukan pelakunya.
Mengingat fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai
pengayom masyarakat, penegak hukum serta mempunyai tanggung jawab khusus
untuk memelihara ketertiban masyarakat dalam menangani kejahatan, termasuk
dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan perdagangan orang maupun bentuk
pencegahan tindak pidana perdagangan orang, agar para anggota masyarakat
dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram. Sesuai dengan pasal 2
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, menyatakan bahwa Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Di dalam melakukan proses penyidikan perkara tindak pidana
perdagangan orang yang dilakukan oleh pihak kepolisian, harus berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), kecuali apabila ditentukan lain dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(human trafficking). Hal ini tercantum dalam pasal 28 sampai dengan pasal 42.
Sedangkan di dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menyatakan
bahwa Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana perdagangan orang dilakukan berdasarkan Hukum Acara
Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dalam penanganan korban perdagangan orang terutama korban dari
eksploitasi seksual, mensyaratkan agar dilakukannya dengan penanganan khusus.
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang juga menyebutkan bahwa untuk melindungi saksi-
korban, di setiap Propinsi dan Kabupaten/ Kota wajib untuk dibentuk Ruang
Pelayanan Khusus yang saat ini disebut dengan Unit Pelayanan Perempuan dan
Anak (UPPA) dalam kantir kepolisian. Lebih lanjut lagi dalam pengaturannya
menurut Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, unit
tersebut bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap
perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum
terhadap pelakunya. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, pasal 4
menyatakan bahwa fungsi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak ini, sebagai
berikut:
a) Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;

12
b) Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;
c) Penelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.
Oleh sebab itu di setiap kantor polisi seharusnya tersedia sejumlah petugas
yang mempunyai keahlian khusus untuk dapat menangani tindak pidana
perdagangan orang ini, khusunya terhadap korban ekploitasi seksual. Penyidik
harus memiliki keterampilan sosial, pengetahuan tentang posisi dan duduk
permasalahan yang dihadapi oleh korban atau mereka yang diduga sebagai korban
tindak pidana. Sebab dalam penanganan yang dilakukan oleh pihak penyidik,
korban hendak menyampaikan laporan perihal tindak pidana yang dialaminya,
disamping itu penyidik telah terbiasa bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang
dapat meyediakan bantuan, pelayanan dan pendampingan korban, baik dari
lembaga swadaya masyarakat maupun dari instansi pemerintah terkait lainnya.
Keterangan korban yang diberikan saat tingkat penyidikan adalah
merupakan sebagai bukti awal secara formal untuk dapat memulai suatu proses
pemeriksaan perkara. Keterangan tersebut diproses secara profesional, dengan
kehati-hatian dan kecermatan. Laporan atau aduan yang dilakukan oleh korban
perdagangan orang tidak dapat begitu saja untuk mencabut keterangannya dan
menghentikan proses penyidikan yang sudah berjalan, sebab tindak pidana
perdagangan orang merupakan ancaman bagi kepentingan umum.
Adapun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk dihentikannya
proses penyidikan dalam tindak pidana perdagangan orang ini. Sebab proses
penyidikan merupakan kompetensi bagi pihak penyidik, termasuk untuk
menghentikannya, bardasarkan pasal 109 ayat (2) KUHAP alasan pemberian
wewenang penghentian penyidikan ada dua unsur, yaitu:
a) Untuk menegakkan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya
ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan
masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan
penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke
persidangan, peniydik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan
penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum;
b) Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika
perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut
ataupun menghukum, dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/
terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan pasal 95 KUHAP.
c) Selanjutnya secara singkat mengenai alat bukti menurut pasal 29 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (human trafficking), selain sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
2) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,

13
baik yang tertuang di atas kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tidak terbatas pada:
 Tulisan, suara, atau gambar;
 Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
 Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Dalam ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 29 huruf (b) tersebut,
misalnya data yang tersimpan dalam komputer, telepon atau peralatan elektronik
lainnya atau catatan lainnya seperti:
a) Catatan rekening bank, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau
catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga
terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
b) Catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau
organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut undang-
undang ini; atau
c) Dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari
negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak
berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

14
BAB III
PEMBAHASAN

Kendala Dalam Melaksanakan Upaya Pencegahan Tindak Pidana


Perdagangan Orang.

Pencegahan tindak pidana adalah langkah awal dalam penanggulangan


tindak pidana, karena itu membahas pencegahan tindak pidana tidak dapat terlepas
dari kebijakan penanggulangan pidana, yang secara keseluruhan merupakan
bagian dari penegakan hukum (law enforcement), dan sekaligus memberikan
perlindungan pada masyarakat (social defence). Menurut Marc Ancel, setiap
masyarakat menentukan adanya tertib sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-
peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama,
tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Perlindungan
terhadap individu maupun masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat
mengenai hukum pidana, dalam hal ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan
masyarakat. Atas dasar itu, sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim
terhadap si pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni, maupun
pidana merupakan lembaga-lembaga (institusi) yangharus dipertahankan.
Kejahatan sebagai “a human and social problem”, menurut Marc Ancel tidak
begitu saja dengan mudah dapat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-
undangan.
Menanggulangi kejahatan hendaknya tidak hanya mengandalkan pada
sistem hukum yang berlaku, melainkan dengan memadukan berbagai konsep
upaya penegakan hukum, yaitu:
1) Hukum yang merupakan perwujudan dari undang-undang, harus berwawasan
ke masa yang akan datang sebagai bagian dari proses penegakan hukum
(criminal justice system) dengan berorientasi pada kebenaran dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2) Aparatur yang tertata dengan baik, dengan personal yang profesional di
bidangnya, didukung oleh sarana dan prasarana yang up to date serta sarat
untuk penanggulangan kejahatan modern, dengan modus operandi yang
canggih dan terselubung.
3) Koordinasi yang serasi antar fungionaris hukum dan aparatur pemerintah
terkait yang berdedikasi dan berorientasi pada upaya mewujudkan keamanan,
ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan.
4) Partisipasi masyarakat yang harus dimodifikasi, agar kondisi potensial dapat
terangkat menjadi kekuatan nyata warga masyarakat yang peduli terhadap

15
kejahatan dan aktif ambil bagian dalam penaggulangan, dan melakukan sikap
yang antisipatif terhadap kejahatan.
Menurut Koesparmono Irsan bahwa strategi dan kebijakan
penanggulangan kejahatan, terutama kejahatan, terutama kejahatan terorganisasi
tidaklah sederhana. Pencegahan kejahatan dapat dilakukan melalui pendekatan-
pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan filosofi, sosiologis, psikologis,
yuridis, kriminologis dan manajerial. Pendekatan filosofis bertolak dari cermin
insan pancasila, yang selalu menginginkan hidup lebih baik dan berguna bagi
orang banyak; pendekatan sosiologis diperlukan karena kejahatan adalah bagian
dari masyarakat, yang akan diarahkan untuk kembali menjadi anggota masyarakat
yang baik; pendekatan psikologis mengandaikan pelaku kejahatan akan dibimbing
menjadi manusia yang punya kepribadian lebih baik. Adapun pendekatan yuridis
mengarahkan pelaku kejahatan untuk menyadari bahwa perbuatannya telah
melanggar undang-undang. Terakhir pendekatan kriminologis membantu dalam
mempelajari kejahatan sebagai penyebab kejahatan.
Dengan demikian, dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang
yang merupakan pelanggaran harkat dan martabat manusia atau sebagai salah satu
bentuk modern dari perbudakan, dewasa ini menjadi perbuatan yang sangat
memprihatinkan, dapat dilakukan dengan langkah-langkah persuasif melalui
lembaga sosial. Hal ini didasarkan pada realita yang terjadi, sekalipun sudah ada
pengaturan hukum secara tertulis dan ditambah dengan peraturan-peraturan
pelaksana yang berlaku di daerah-daerah, tidak membuat jera para pelaku
perdagangan orang. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 siapapun
dilarang untuk melakukan TPPO, membantu orang lain melakukan TPPO,
sekalipun kegiatan dari usaha/ bisnis ini dapat mendatangkan keuntungan
ekonomis yang cukup besar. Karena itu, sudah menjadi kewajiban dan tanggung
jawab dari pemerintah untuk berupaya mencegah, menanggulangi, bahkan
memberantas TPPO. Hal ini tidak mungkin apabila hanya dibebankan kepada
pemerintah saja, melainkan harus bekerja sama dengan lembaga lain, unsur
masyarakat, dan seluruh orang untuk peduli terhadap TPPO. Selain itu agar
supaya pencegahan dan penegakan TPPO ini dapat berjalan, maka harus didukung
oleh anggaran dan yang memadai. Selain dukungan dana/ anggaran, guna
mengefektifkan upaya pencegahan dan penegakan TPPO diperlukan adanya
sarana lain yang mendukung, diantaranya informasi.
Informasi diperlukan oleh setiap orang dalam pencegahan dan
penaggulangan TPPO. Untuk menjamin agar informasi akurat, maka data yang
diinformasikan harus oleh Gugus Tugas Nasional berdasarkan laporan nyata/
realita dari perkembangan dan berita dari daerah-daerah, yang kemudian dapat
dijadikan rujukan informasi bagi siapapun yan membutuhkannya.
Secara umum, penyebab TPPO adalah masalah ekonomi (kemiskinan)
dengan modus penjeratan utang dan rendahnya tingkat pendidikan, sehigga upaya
pencegahannya juga harus berjalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan

16
dan peningkatan serta perluasan kesempatan kerja dan lapangan pekerjaan.
Namun selain masalah kemiskinan dan pendidikan rendah, masih banyak
penyebab lainnya dari TPPO yang sangat kompleks, sehingga pencegahan dan
penanggulangannya memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu, berkelanjutan,
serta terkoordinasi dengan baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,
organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, media
massa, dan seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain, diperlukan adanya
upaya pencegahan dan penanganan dengan meningkatkan peran serta dan fungsi
berbagai sektor dan elemen dari tingkat pusat sampai ke daerah.
Sekalipun berbagai rencana strategis dan upaya penanggulangan sudah
direncanakan dan dilaksanakan, namun realita dalam masyarakat masih banyak
kedala yang dihadapi dalam pencegahan TPPO. Atas dasar itu, upaya pencegahan
dan penegakan hukum adalah upaya menyelaraskan dan menserasikan adanya
ketidakserasian antar nilai, kaidah dan pola prilaku dalam penerapan hukum.
Ketidakserasian ini terjadi apabila antara nilai-nilai yang berpasangan, yang
menjelma dalam kaidah-kaidah menjadi bersimpang siur, dan pola prilaku yang
tidak terarah dan mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu
dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukan semata-mata baerarti
pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungan demikian, sehingga pengertian penegakan hukum (law
enforcement) juga dapat berupa melaksanakan keputusan-keputusan hakim.
Demikian juga dalam pencegahan TPPO, tidak dapat terlepas dari proses
penegakan hukum. Upaya yang dapat dilakukan tidak hanya berpedoman pada
undang-undang saja, tetapi justru pada implementasi penerapan kebijakan dari
pemerintah. Karena itu, dalam realita upaya penegakan hukum TPPO tidak dapat
disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya, tetapi tergantung dari
akar penyebabnya. Terlebih nilai-nilai dan budaya masyarakat indonesia sangat
beragam dan beraneka coraknya.
Melihat pada beberapa kasus TPPO yang terjadi, maka kendala dalam
upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang sangat beragam dan
kompleks, karena penyebab dari tindak pidana perdagangan orangpun beragam
modusnya. Diantara kendala tersebut yang paling signifikan adalah:
1) Masih banyak anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan;
2) Minimnya kualitas pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI yang akan
bekerja ke luar negeri;
3) Masih minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal;
4) Masih adanya pemahaman dalam masyarakat untuk melegalkan perkawinan di
usia dini;
5) Masih maraknya penjeratan utang dalam perkerutan sampai pemulangan
tenaga kerja, sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana perdagangan orang;

17
6) Masih kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO,
sehingga korban yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan
kembali;
7) Masih ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi;
8) Belum optimalnya peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya
penanggulangan TPPO;
9) Belum ada sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu dalam pencegahan
TPPO;
10) Belum adanya pemahaman yang sama dalam penegakan hukum TPPO;
11) Instrumen hukum yang menyulitkan dalam menghadirkan alat bukti;
12) Lemahnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan
penindakan pelaku;
13) Kualitas SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum
mendukung;
14) Masih lemahnya bantuan hukum bagi korban, terutama korban yang bekerja di
luar negeri;
15) Terdapat kesulitan dalam teknis penegakan pelaku yang berstatus Warga
Negara Asing (WNA);
16) Belum optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, propinsi,
dan kabupaten/ kota;
17) Masih minimnya data akurat korban TPPO, karena korban baru melapor
apabila ada kerugian/ penderitaan;
18) Masih ada kendala dalam proses birokrasi dalam penanganan korban,
sehingga dapat menghambat pencegahan dan penegakan hukum;
19) Masih ada kendala dalam penanganan rehabilitasi bagi korban TPPO;
20) Belum optimalnya penyediaan anggaran dari pemerintah terhadap penanganan
korban, terutama pemulangan bagi korban yang ada di luar negeri;
21) Masih lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar
negeri, dalam upaya penanganan pekerja migran di negara tujuan.
Berdasarkan upaya penanggulangan dan pencegahan tindak pidana
perdagangan orang yang telah di paparkan sebelumnya, menurut penulis sudah
selayakanya pemerintah mengeluarkan peraturan hukum yang tujuannya adalah
melindungi masyarakat, menciptakan ketertiban, memberikan keamanan,
mewujudkan keadilan, dan akhirnya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang dijalankan di
Indonesia, yaitu hukum berperan sebagai sarana untuk melakukan dan
mengendalikan perubahan dan pembangunan masyarakat. Untuk itu hukum yang
akan dan telah diciptakan, harus dapat mengikuti dan mengatur setiap perubahan
masyarakat.
Sekalipun upaya-upaya tersebut telah, sedang dan akan dilaksanakan,
namun yang paling utama untuk mewujudannya adalah semangat dari seluruh
masyarakat Indonesia untuk selalu berupaya mencegah TPPO, karena merupakan

18
salah satu bentuk pelanggaran HAM, dan disamakan dengan perbudakan modern.
Oleh karena itu pencegahan TPPO bukan hanya tugas pemerintah saja, melainkan
tugas bersama seluruh komponen masyarakat. Dengan kata lain, upaya
pencegahan TPPO merupakan kegiatan dari aparat, pejabat yang terlibat dengan
mengikut sertakan masyarakat yang diawali dari pembuatan hukum (law making),
maupun penerapan hukum (law enforcement), sesuai dengan peran sertanya.

19
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah, pembahasan, dan hasil penelitian yang
dilakukan penulis, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan kebijakan formulasi terhadap tindak pidana perdagangan
orang harus juga dipertimbangkan pendekatan-pendekatan yang tidak hanya
berdasarkan kebijakan hukum semata, melainkan harus mempertimbangkan
nilai-nilai, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Hal ini penting
dipertimbangkan, karena dalam menerapkan kebijakan hukum pidana
peraturan perundang-undangan yang berlaku akan dapat bekerja dan berjalan
secara optimal, apabila sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Hasil
kriminalisasi dalam UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, dapat terlihat dari adanya perluasan subjek tindak
pidana perdagangan orang, seperti terlihat dari rumusan Pasal 1 angka 4, yaitu
pelaku tidak hanya berupa perseorangan yang merupakan manusia (natural
person), tetapi juga diatur adanya pelaku yang berbentuk korporasi.
Berdasarkan kebijakan hukum pidana, upaya ini merupakan hasil formulasi
hukum/ kebijakan hukum yang berorientasi ke depan, sebagai antisipasi
sebagai wujud dari upaya pencegahan yang merupakan pembaruan hukum
pidana dalam tindak pidana perdagangan orang/ kriminalisasi.
2. Melihat pada beberapa kasus TPPO yang terjadi, maka kendala dalam upaya
pencegahan tindak pidana perdagangan orang sangat beragam dan kompleks,
karena penyebab dari tindak pidana perdagangan orangpun beragam
modusnya, diantaranya adalah:
1) Masih banyak anggota masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan;
2) Minimnya kualitas pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI yang
akan bekerja ke luar negeri;
3) Masih minimnya sarana perekrutan tenaga kerja lokal;
4) Masih adanya pemahaman dalam masyarakat untuk melegalkan perkawinan di
usia dini;
5) Masih maraknya penjeratan utang dalam perkerutan sampai pemulangan
tenaga kerja, sehingga berpotensi tejadinya tindak pidana perdagangan orang;
6) Masih kurangnya kegiatan pendukung di daerah asal bagi korban TPPO,
sehingga korban yang sudah dipulangkan rentan untuk diperdagangkan
kembali;
7) Masih ada pemanfaatan fasilitas wisata untuk membuka celah prostitusi;
8) Belum optimalnya peran serta masyarakat dan tokoh masyarakat dalam upaya
penanggulangan TPPO;
9) Belum ada sistem monitoring dan evaluasi yang terpadu dalam pencegahan
TPPO;

20
10) Belum adanya pemahaman yang sama dalam penegakan hukum TPPO;
11) Instrumen hukum yang menyulitkan dalam menghadirkan alat bukti;
12) Lemahnya keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan
pelaku;
13) Kualitas SDM aparat penegak hukum dan sarana serta prasarana yang belum
mendukung;
14) Masih lemahnya bantuan hukum bagi korban, terutama korban yang bekerja di
luar negeri;
15) Terdapat kesulitan dalam teknis penegakan pelaku yang berstatus
Warga Negara Asing (WNA);
16) Belum optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, propinsi,
dan kabupaten/ kota;
17) Masih minimnya data akurat korban TPPO, karena korban baru melapor
apabila ada kerugian/penderitaan;
18) Masih ada kendala dalam proses birokrasi dalam penanganan korban,
sehingga dapat menghambat pencegahan dan penegakan hukum;
19) Masih ada kendala dalam penanganan rehabilitasi bagi korban TPPO;
20) Belum optimalnya penyediaan anggaran dari pemerintah terhadap penanganan
korban, terutama pemulangan bagi korban yang ada di luar negeri;
21) Masih lemahnya landasan hukum bagi perwakilan negara Indonesia di luar
negeri, dalam upaya penanganan pekerja migran di negara tujuan.

B. Saran
Pemerintah Indonesia diharapkan dalam kebijakan politik hukumnya agar
segera menetapkan standar minimum pembasmian perdagangan orang. Selain itu,
harus segera dilakukan revisi dari beberapa pasal dan ayat dari Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang
yang pada praktek-praktek perdagangan buruh, dan modus serta bentuk
perdagangan orang cendrung luput dari jeratan hukum. Selain itu segera dilakukan
perbaikan dari kinerja pengadilan, pendakwaan dan penjatuhan hukuman atas
kasus-kasus perdagangan orang, termasuk yang melibatkan agen-agen perekrutan
tenaga kerja dan membongkar jaringan cukong perdagangan orang.
Perlu peningkatan upaya untuk mengadili dan mendakwa pejabat publik
yang menarik keuntungan dari atau terlibat dalam perdagangan orang dan
meningkatkan pendanaan bagi upaya penegakan hukum dalam menyelamatkan,
memulihkan, dan mengintegrasikan para korban perdangangan orang (human
trafficking).

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, H.R, PolotikHukum, PTK, Jakarta, 2011


Abdusalam, H.R., Penegakkan Hukum Dilapangan oleh Polri, Jakarta: Diskum
Polri, 1997.
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan 1, Jakarta: Yarsif Watampone,
2005.
Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004.
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Ali Mahrus dan Aji Pramono Bayu, Perdagangan Orang, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2011.
Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta,
2010
_____ Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, Cetakan Ketiga, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2000.
Bonger, W.A., Pengantar Tentang Kriminologi Pembangunan, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1995.
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi
dan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Grhadhika Press, 2004.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Jakarta:
Kencana, 2006.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Harkristuti Harkrisnowo, Indonesian Court Report: Human Trafficking, Jakarta:
Universitas Indonesia Human Right Center, 2003.
Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Anak, Jakarta
Raya: Universitas Bhayangkara, 2004.
Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Remaja
Rosda Karya, 1993.

22
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi,
Jakarta: Djambatan, 2004.
---------, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2007.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, 2008
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas
Diponegoro, 1995.
--------, Hak Asasi Manusia, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Nuraeny, Henny, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana
dan Pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Naniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Niken Savitri, HAM Perempuan, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Poernomo, Bambang, Orinetasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta
1984.
Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.
Rosenberg. Ruth, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta:
USAID, 2003.
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009.
Soedjono Dirjosisworo, Konsepsi Kriminologi dalam usaha penanggulangan
kejahatan (Crime Prevention), Bandung: Alumni, 1979.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet.
Kelima, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
------------- ,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.
Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum “Menuju Hukum yang Berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Yogyakarta: Yayasan penelitian Fakultas,
UGM, 1988.
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barakatullah, 2005. Politik Hukum Pidana “Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi”, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Diterjemahkan oleh Moeljatno, Cetakan


22, Jakarta: Sinar Grafika, 2003
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, (LN Tahun
2000 Nomor 208, TLN Nomor 4026).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

23
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindun gan Saksi dan Korban.
Catur Tulus Setyorini, Tindak Pidana Perdagangan Wanita dan Anak, Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, 2006.
Kanwil Dep. Kehakiman dan HAM DIY, Evaluasi Kebijakan Pemerintah dalam
Pencegahan Perdagangan Orang, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM
RI, 2007.
--------, Pemenuhan Hak untuk Mendapatkan Rehabilitasi Bagi Korban Tindak
Pidana Perdagangan Orang, 2009.
Komnas Perempuan, “Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban:
Perspektif Perempuan”, Lokakarya tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, Jakarta, 2006.
Nasution, Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Nunun Sarifah, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang
Pada Tingkat Penyidikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2007.
Masyuhuri & M. Zainuddin, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan
Aplikatif, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Soedjono Dirjosisworo kuliah Prof Donald R. Cressey, tentang Kejahatan Mafia,
Bandung: Armico, 1985.
Zaky Alkazar Nasution, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak
Korban Perdagangan Manusia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2008
Http://jimly.com/makalah/namafile/56/penegakan_hukum.pdf. Kajian terhadap
upaya polri dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang,
diakses 28 Desember 2016, pukul 11.44 Wib
Http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf., diakses 27
Desember 2016, pukul 15.27 Wib
Http://elibrary.unisba.ac.id/files/06-1087_Fulltext.pdf., diakses 27 Desember
2016, pukul 10.18 Wib
Http://bangaip.org/2009/08/perdagangan-manusia/#definisi., diakses 27 Desember
2016, pukul 21.07 Wib

24

You might also like