You are on page 1of 5

1. program Inspeksi K3 yang efektif ada 3 inspeksi rutin, khusus dan informal.

kapan kita
melakukan inspeksi tersebut?

Jenis inspeksi pada umumnya meliputi :


1. INSPEKSI INFORMAL
 Merupakan inspeksi yang tidak terencana
 Inspeksi yang bersifat sederhana
 Dilakukan atas kesadaran orang-orang yang menemukan atau melihat masalah K3 di
dalam pekerjaanya sehari – hari
 Jika ditemukan masalah maka langsung dapat dideteksi, dilaporkan dan segera dapat
dilakukan tindakan korektif.
 Masalah-masalah yang ditemukan langsung dapat didokumentasikan berupa catatan
singkat / foto sesuai prosedur dan di buat laporan secara sederhana.

2. INSPEKSI RUTIN / UMUM


 Direncakan dengan cara WALK-THROUGH SURVEY keseluruh area kerja dan
bersifat komprehensif
 Jadwal pelaksanakan rutin ( Sudah ditentukan : 1x bulan)
 Dilakukan bersama-sama ahli K3 atau perwakilan tenaga kerja dengan pihak
manajemen.
 Bagi perusahaan yang tidak memiliki ahli K3 sendiri, dapat menggunakan ahli K3
dari luar perusahaan yang akan membantu memberikan saran-saran tentang
penanganan masalah-masalah K3 di tempat kerja.
 Pelaksanaan Inspeksi terhadap sumber-sumber bahaya pada area khusus sebaiknya
dilakukan dengan melibatkan seseorang yang mempunyai keahlian khusus.
 Hasil yang ditemukan segera ditindak lanjuti, dan setiap permasalahan yang telah
diidentifikasi dari hasil survey harus selalu tercatat dan dibukukan.
 Setiap laporan inspeksi harus inspeksi harus ditandatangani oleh penanggung jawab
kegiatan inspeksi
 Hasil inspeksi yang telah ditulis dalam bentuk laporan harus disampaiakan kepada
pihak manajemen, sehingga langkah perbaikan segera dilakukan
3. INSPEKSI KHUSUS
Direncanakan hanya untuk diarahakan kepada kondisi-kondisi tertentu, seperti :
Mesin-mesin, alat kerja dan tempat-tempat khusus yang meiliki resiko kerja tinggi.
Langkah dalam membuat daftar inventarisasi objek inspeksi khusus adalah :
 Kategorikan dan buat daftar objek yang dianggap penting & krusial di perusahaan
 Rencanakan atau gambarkan area yang menjadi tanggung jawab masing-masing unit
kerja
 Susun daftar inventarisasi dengan baik dan terstruktur.
 Buatlah Recordkeeping : Identifikasi setiap mesin & peralatan, indikasi apa yang akan di
inspeksi, identifikasi siapa petugas dan penanggung jawab inspeksi n berapa sering
dilakukan inspeksi.

1. Bagaimana metode untuk melakukan Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko?

1. Menentukan personil penilai


Penilai risiko dapat berasal dari intern perusahaan atau dibantu oleh petugas lain
diluar perusahaan yang berkompeten baik dalam pengetahuan, kewenangan maupun
kemampuan lainnya yang berkaitan. Tergantung dari kebutuhan, pada tempat kerja yang
luas, personil penilai dapat merupakan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang.

2. Menentukan obyek/bagian yang akan dinilai


Obyek atau bagian yang akan dinilai dapat dibedakan menurut
bagian/departemen, jenis pekerjaan, proses produksi dan sebagainya. Penentuan obyek ini
sangat membantu dalam sistematika kerja penilai.

3. Kunjungan / Inspeksi tempat kerja


Kegiatan ini dapat dimulai melalui suatu “walk through survey / Inspection” yang
bersifat umum sampai kepada inspeksi yang lebih detail. Dalam kegiatan ini prinsip
utamanya adalah melihat, mendengar dan mencatat semua keadaan di tempat kerja baik
mengenai bagian kegiatan, proses, bahan, jumlah pekerja, kondisi lingkungan, cara kerja,
teknologi pengendalian, alat pelindung diri dan hal lain yang terkait.
4. Identifikasi potensi bahaya
Berbagai cara dapat dilakukan guna mengidentifikasi potensi bahaya di tempat
kerja, misalnya melalui :
- inspeksi / survei tempat kerja rutin
- informasi mengenai data keelakaan kerja dan penyakit, absensi
- laporan dari (panitia pengawas Kesehatan dan Keselamatan Kerja) P2K3, supervisor
atau keluhan pekerja
- lembar data keselamatan bahan (material safety data sheet).

5. Mencari informasi / data potensi bahaya


Upaya ini dapat dilakukan misalnya melalui kepustakaan, mempelajari MSDS,
petunjuk teknis, standar, pengalaman atau informasi lain yang relevan.

6. Analisis Risiko
Dalam kegiatan ini, semua jenis resiko, akibat yang bisa terjadi, tingkat
keparahan, frekuensi kejadian, cara pencegahannya, atau rencana tindakan untuk
mengatasi risiko tersebut dibahas secara rinci dan dicatat selengkap mungkin.
Ketidaksempurnaan dapat juga terjadi, namun melalui upaya sitematik, perbaikan
senantiasa akan diperoleh.

7. Evaluasi risiko
Memprediksi tingkat risiko melalui evaluasi yang akurat merupakan langkah yang
sangat menentukan dalam rangkaian penilaian risiko. Kualifikasi dan kuantifikasi risiko,
dikembangkan dalam proses tersebut. Konsultasi dan nasehat dari para ahli seringkali
dibutuhkan pada tahap analisis dan evaluasi risiko.

8. Menentukan langkah pengendalian


a. Apabila dari hasil evaluasi menunjukan adanya risiko membahayakan bagi
kelangsungan kerja maupun kesehatan dan keselamatan pekerja perlu ditentukan
langkah pengendalian yang dipilih dari berbagai cara seperti : Memilih teknologi
pengendalian seperti eliminasi, substitusi, isolasi, engineering control, pengendalian
administratif, pelindung peralatan/mesin atau pelindung diri.
b. Menyusun program pelatihan guna meningkatka pengetahuan dan pemahaman
berkaitan dengan risiko.
c. Menentukan upaya monitoring terhadap lingkungan / tempat kerja.
d. Menentukan perlu atau tidaknya survailans kesehatan kerja melalui pengujian
kesehatan berkala, pemantauan biomedik, audiometri dan lain-lain.
e. Menyelenggarakan prosedur tanggap darurat / emergensi dan pertolongan pertama
sesuai dengan kebutuhan.

9. Menyusun pencatatan atau pelaporan


Seluruh kegiatan yang dilakukan dalam penilaian risiko harus dicatat dan disusun
sebagai bahan pelaporan secara tertulis.Format yang digunakan dapatdisusun sesuai
dengan kondisi yang ada.

10. Mengkaji ulang penelitian


Pengkajian ulang perlu senantiasa dilakukan dalam periode tertentu atau bila
terdapat perubahan dalam proses produksi, kemajuan teknologi, pengembangan
informasi terbaru dan sebagainya, guna perbaikan berkelanjutan penilaian risiko
tersebut.

2. Apa perbedaan prinsip HRA dan HHI Safety dalam suatu perusahaan yang sama?

ada dasarnya Health Risk Assessment (HRA) secara konsep sama dengan HIRA Safety secara
umum. Jadi dengan menilai kombinasi likelihood dan consequencesuatu potensi ill health yang
diakibatkan oleh suatu hazard. Yang membedakannya hanyalah pendekatan terhadap hazards.
Dalam safety, hazards muncul dari faktor elektrik, mekanis, kinetis, dll. Sedangkan aspek
kesehatan hazards dilihat sebagai faktor fisika, biologi, kimia, ergonomic, dan psikososial.
Kemudian dalam pendekatan terhadap risiko potensi yang terjadi pada safety, yang diidentifikasi
adalah ‘cedera atau injury’ yang muncul bersifat akut sedangkan pada kesehatan, yang
diidentifikasi adalah ‘gangguan fungsi atau munculnya suatu penyakit’ sehingga lebih
bersifat ‘long-term’.
Pada HIRA, memang dibutuhkan satu hal yang lebih spesifik yaitu kemampuan menilai ‘proses
interaksi antara manusia dengan alat, material, dan lingkungannya’. Pada HIRA prosesnya
dimulai dengan melakukan ‘desk study’terhadap proses kerja yang ada di tempat kerja. Pada
tahap ini assessor melakukan identifikasi yang bersifat ‘forecast’ terhadap pekerjaan yang ada di
tempat kerja.

3. Bagaimana cara personil penilai risiko pekerjaan mengetahui kemampuan kerja maksimum
seorang pekerja? Soalnya kita ketahui kemampuan kerja setiap orang kan berbeda-beda
parameter praktis yang digunakan adalah pengukuran denyut nadi yang diusahakan tidak
melebihi 30-40x/m diatas denyut nadi sebelum bekerja

4. Salah satu risiko kesehatan di suatu perusahaan adalah hazard kimia. Bahan2 kima yg kita tau
kan ada yg jika terpapar sedikit sudah sangat berefek, ada yg jika paparannya banyak baru
berefek. bagaimana suatu perusahaan bisa mengetahui hal tersebut?
Menurut peraturan permenaker no 13 tahun 2011 tentang NAB, setiap bahan kimia memiliki
ambang batas yang berbeda. Jadi hal pertama yang dilakukan adalah mengecek kondisi
lingkungan dan perusahaan menggunakan bahan kimia. Contoh nya pada abses dapat
dilakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap setiap pekerja yang terpapar bahan kimia.
Contohnya pada pekerja yang terpapar cadmium dapat dilakukan pemeriksaan urin, darah
rambut dan feses rutin untuk mengetahui jumlah cadmium yang ada didalam tubuh

5. Jika perusahaan tidak menyediakan APD untuk pekerja sesuai standar, apakah ada
konsekuensinya terhadap perusahaan tersebut?

UU 1/1970 dikatakan bahwa pelanggaran atas keselamatan kerja diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan pelaksana, yang dapat memberikan ancaman pidana dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000,- (seratus ribu rupiah)

You might also like