Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
dr. Okta Fitria
Narasumber :
dr. Budi Darmayanto, Sp. A
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping
2
No. ID dan Nama Peserta : dr. Okta Fitria Presenter : dr. Okta Fitria
Nama Wahana : RSUD dr. R. Soetijono Blora Pendamping : dr. Ken Mardyanah
TOPIK : Penolakan Rawat Inap Atas Permintaan Sendiri
3
6. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http://
informconsent_pdf.com.
7. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi. Dalam:
Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. 2006.
8. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review Committee.
World Health Organization. Available: http://www.who.int/rpc/research_ethics .
9. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik Indonesia.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.
10. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.
Deskripsi Umum
Pasien dibawa ke IGD RSUD Soetijono Blora dengan keluhan post KLL motor.Pasien
jatuh dari sepeda motor dikarenakan menghindari orang yang sedang menyebrang dan
jatuh di jalan yang berlubang.terdapat luka robek di dahi,tangan,dan luka lecet di
kaki.Serta didapatkan bengkak dan penurunan pada bahu sebelah kanan dan keterbatasan
gerak pada bahu kanan.Keluhan lain seperti mual(-),muntah(-),pusing(-) tidak ada,saat
kecelakaan pasien menggunakan helm.
Keluhan utama
Post Kecelakaan lalu lintas
Subjektive
Riwayat Penyakit Dahulu
Tanda-tanda Vital
GCS: E4 V5 M6
Pupil: 2 mm/ 2 mm, Refleks cahaya +/+
TD: 115/82 mmHg
Nadi: 115 x/menit
4
Suhu: 36,7 ºC
Pernapasan: 20 x/menit
SpO2: 100 %
Objektive
Status generalis:
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Kulit : sawo matang
Kepala : normochepal
Rambut : warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut.
Mata : konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), oedem palpebra (-/+)
Hidung : simetris, sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Mulut : tidak dilakukan pemeriksaan
Telinga : normotia, discharge (-/-)
Leher : deviasi trakea (-), massa (-), JVP tidak meningkat.
Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening submental,
submandibula, maupun aksila.
Paru :
Inspeksi:
o Statis: simetris, pelebaran ICS (-)
o Dinamis: pergerakan dinding dada saat inspirasi dan ekspirasi
simetris, retraksi intercostalis (-), retraksi supraklavikula (-),
retraksi infraklavikula (-).
Palpasi:
o Statis: simetris, nyeri tekan (-).
o Dinamis: tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-).
Jantung :
Inspeksi: ictus cordis tak tampak.
Palpasi: ictus cordis teraba, pulsus parasternal teraba, sternal lift
5
teraba, pulsus epigastrium teraba.
Perkusi: tidak dilakukan
Auskultasi: Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, gallop (-), murmur (-),
suara S3 (-).
Punggung : tidak dilakukan pemeriksaan.
Abdomen :
Inspeksi: membuncit, sikatrik (-), kulit tidak tampak mengkilat.
Auskultasi: bising usus 1 x/menit.
Perkusi: timpani pada seluruh kuadran.
Palpasi: supel, nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-).
o Hepar: tidak ditemukan pembesaran.
o Lien: tidak ditemukan pembesaran
Ekstremitas atas : edem (-), capillary refill < 2 detik di keempat
ekstremitas, akral dingin (-),luka robek pada tangan kanan
(+)
Ekstremitas bawah : edem (-), capillary refill < 2 detik di keempat
ekstremitas, akral dingin (-),luka lecet pada kaki kanan-kiri
(+)
Status Lokalis
Shoulder dextra : Bengkak (+),menurun,keterbatasan gerak (+),nyeri (+)
Assessment
1.Diagnosis Kerja: CKR GCS 15,VL pada dahi dan tangan, Dislokasi shoulder dextra
2.Planning
a.MRS-> pasien menolak dan meminta pulang->edukasi dan motivasi(+)->pasien
menandatangani penolakan rawat inap
b.wound toilet+hecting,arm sling
asam mefenamat 3x1
cefixime 2x1
2.3 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
FUNGSI INFORMED CONSENT
Informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting
walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan
menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh
menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan
kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya
bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai
Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter
tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
8
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan
yang dilakukan oleh dokter
1. Implied Consent
Pasien menyetujui penjelasan yang diberikan oleh dokter atau suatu tindakan oleh
dokter dengan isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan darah rutin untuk
pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya menghulurkan tangan untuk
pengambilan darah.
2. Explicit / Express Consent
Express atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas menyatakan
persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam bentuk verbal atau
tulisan.
a) Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien menyetujui tindakan
medis dokter secara verbal.
b) Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara bertulis
pada lembar inform consent yang telah disediakan.
9
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Diagnosa dan tata cara tindakan kedokteran serta penjelasan mengenai diagnosis dapat
meliputi:
a. Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
b. Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakan, maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding.
c. Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan
kedokteran.
d. Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang tindakan kedokteran yang
dilakukan meliputi :
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
10
a. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang prognosis meliputi :
b. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
c. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
d. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
11
bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
2. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam
tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum
berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan
tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
3. Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),
sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka
dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan
suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
4. Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed
consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
12
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara
pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang
lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu transaksi persetujuan tindakan medik adalah
sebagai berikut:11
A. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
B. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Pasal 45
(1). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
13
secara lengkap.
(3). Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(1). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(2). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(3). Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
C. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(1). Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.
(3). Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi:
Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktek kedokteran
didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan pasien.
Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik
14
F. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam
Medik/ Medical Record
G. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
H. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan
Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)
I. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan
Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-
saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah
suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan
tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-
undangan atau telah/pernah menikah, tidak
8. terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat
persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan
secara tertulis maupun
lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
15
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diberikan dengan
persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju
atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan pasien akan sama-sama
terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu
dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19
Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Jika dilihat melalui hukum perdata, maka medcal informed consent adalah informasi kesehatan yang
diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan sebuat tindakan medis dan diperlukan
persetujuan pasien untuk melakukan tindakan medis tersebut (consent). dalam pasal 1320
KUHPerdata, informed sebagai bagian dari informed consent adalah hal yang diperjanjikan dalam
persetujuan tindakan medis itu sendiri karena dalam formulir persetujuan tindakan medis misalnya,
isinya sangat terbatas, yaitu hanya persetujuan pasien terhadap suatu tindakan medis tanpa dijelaskan
lebih mendetail bagaimana prosedurnya, efek samping, alternatif tindakan lain dan hal lainnya. Detail
mengenai tindakan medis tersebut berada pada informasi yang disampaikan oleh dokter tersebut.
Informasi kesehatan tersebut tidak diberikan tertulis dalam formulir persetujuan tindakan medis
karena tiap-tiap pasien, penjelasan mengenai kesehatan dan tindakan medisnya pasti berbeda,
walaupun penyakitnya sama. Perbedaan penjelasan tersebut bisa disebabkan oleh faktor usia,
ketahanan tubuh, parah tidaknya penyakit dan lain-lain.
Consent dalam medical informed consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien
setelah diberikan informasi kesehatan oleh dokter. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat
sahnya perjanjian yaitu: kesepakatan, kecakapan untuk membuat perikatan, adanya hal tertentu yang
diperjanjikan dan sebab yang halal. Dalam informed consent sudah terpenuhi seluruh syarat sahnya
perjanjian. Informed consent sendiri sudah memenuhi syarat kesepakatan dan hal tertentu, kemudian
suatu tindakan medis harus dilakukan dengan tidak melanggar hukum yang ada dan memnuhi syarat
sebab yang halal. Syarat terakhir, pihak pihak yang melakukan perjanjian harus cakap dapat terpenuhi
dalam perjanjian medis karena bagi pihak-pihak yang tidak cakap dapat diwakili oleh keluarganya
16
dalam memberikan persetujuan tindakan medis.
17
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan memberikan
imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
18