You are on page 1of 233
Bre T CUO Mes em KON 2 fc SP 2 1 ty NIE Ore lee a-ak ol —lInspire Magazine IRVING KARCHMAR Sekedar Perbagi Please respect the author’s copyright and purchase a legal copy of this book AnesUlarNaga. BlogSpot. com Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku Ketentuan Pidana: Pasal 72: 2. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dsmaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1,000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 3. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Master of the Jinn ' Diterjemahkan dari Master of the Jinn: A Sufi Novel Karangan. Irving Karchmar Terbitan Bay Street Press, Sag Harbor, NY, 2004 Copyright © 2004 by Irving Karchmar This edition published by arrangement with Irving Karchmar Hak terjemahan Indonesia pada Kayla Pustaka All rights reserved Penerjemah: Tri Wibowo BS Penyunting: Salahuddien Gz Pemindai Aksara: Ahmad Syarifuddin Penggambar Sampul: Reza Alfarabi Illustrator: Nadya Orlova Penata Letak: MT Nugroho Editor PDF: AnesUlarNaga. blogspot.com Buku ini pernah diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan judul Sang Raja Jin: Novel tentang Cinta, Doa, dan Impian. Cetakan I: Mei 2010 ISBN: 978-979-17997-6-8 KAYLA PUSTAKA Jin. Ampera Raya Gg. Kancil No.15 Jakarta Selatan 12550 Indonesia Telp/Faks: (021) 788 47301 E-mail; info@kaylapustaka.com Website: www. kaylapustaka.com Kupersembahkan novel ini kepada Dr. Javad Nurbakhs, Mursyid Tarekat Sufi Nimatullahi. Rajutan Kigah Sang Syekh Negeri Jin.. Epilog GOSAVIUM......ceecsessecsessecscssesscsscsssesseecscsessesseesseneeees 221 Clcapan GerimaKasin .......sssccecssscsccecrscsecseeseesseseeses 227 Dentang Pengarang.....cecseccscrercrscreeereernessssarerreesaes 228 Dentang PenerjemaN ...c.seeccscrescrscreeereersessesearerreesees 229 Prolog Manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri (AL-Qiyamah: 14) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aku, Ishaq, penulis buku ini, diperintah Guruku un- tuk menceritakan kisah sebuah perjalanan. Berkat rahmat Allah, hanya aku saja dari kelompok pengembara ini yang berhasil kembali. Ali dan Rami telah tiada. Aku melihat mereka masuk ke dalam api. Dan Jasus, yang berhati suci, pun melompat ke dalam api. Sementara yang terjadi pada orang bijak Yahudi dan putrinya, atau Si Kapten, sama sekali aku tak tahu. Mereka tak mau pergi saat kuminta pergi. Tetapi aku yakin pada satu hal: Jin jahat itu masih ada. Baalzeboul—Si Raja Jin. Akan Kami perlihatkan pada mereka tanda-tanda Kami pada segenap lengkung langit dan dirt mereka sendiri (Fushshilat: 53) Ketika fajar merekah di hamparan pasir, kumbang-kumbang menyeruak dari dalam gurun, bergegas merayap ke permukaan untuk mendoa. Binatang-binatang itu berjalan berbaris di sepanjang punggung bukit pasir, menghadapkan wajah ke matahari, lalu menundukkan muka, seakan bersujud penuh khusyuknya. Mereka mengangkat kaki belakangnya dan menyambut urapan hangat cahaya matahari. Lalu dikumpulkannya embun pagi yang menempel di tubuh mereka yang pejal, yang entah bagaimana muncul dari dinginnya malam di gurun. Tetes-tetes air bening pun menggelincir turun ke mulut-mulut yang telah menanti. Air mataku menetes tatkala menyaksikan pemanda- ngan itu. Air mata yang terakhir. Aku berpikir, inilah pantulan dari Yang Maha Pengasih. Inilah jawaban dari doa setiap pagi. Ia mencu- rahkan rezeki bagi kehidupan. Andai saja hatiku meman- tulkan ketaatan para kumbang.... Andai saja keyakinan yang tak terbatas itulah yang melimpahi hatiku, bukan degup kecemasan yang melekat pada manusia, keraguan dan hasratku.... Bahkan kebingungan yang tertanggung- kan akan merasuki nalar ketika pikiran berusaha mati- matian memahami dirinya sendiri. Demikianlah, bukannya tanpa alasan jika Guruku memerintahku untuk menceritakan kisah ini. la mengetahui hasrat dan keraguanku. Bahkan sejak awal, mata hatinya yang sudah tak terhijab tahu dengan jelas keraguan dan hasratku ini. Aku berjalan lagi semalaman tanpa air, membelok ke barat, lalu ke utara melintasi erg! di Tenere. Aku berharap bisa memotong jalan menuju Agadez. Kekuatanku hampir punah. Tiga jam sebelum cahaya pertama fajar merekah, tubuhku telah ambruk di sebelah bukit pasir kecil berbentuk bulan sabit. Kugali pasir untuk menutupi ba- danku agar memperoleh sedikit kehangatan untuk mena- han gamparan angin dingin Angin telah mereda. Bintang-gemintang di angkasa tak bersanding dengan rembulan. Anehnya, aku tak merasa takut, walau mungkin besok aku sudah tak mampu bertahan hidup lagi. Pikiranku begitu tenang dan jernih, melayang jauh menggapai bintang. Putus asa dan kesedihan yang selama ini meluapiku kini hampir lenyap, menghilang bersama surutnya cairan tubuh yang terus \ Gurun yang sesungguhnya; kawasan luas berupa padang pasir dan bukitbukit pasir. berkurang selama pengembaraan. Aku _ tak bisa menjelaskannya. Barangkali aku dikaruniai sedikit sakinah, kedamaian hati yang hanya bisa datang melalui kepasrahan kepada Allah. Atau mungkin aku sudah gila karena terpapar panas matahari dan kehausan. Saat menutup mata, aku tak merasa takut pada kalajengking, ular, atau hewan buas macam apa pun. Bahkan aku tak merasa jeri sedikit pun pada kematian. Pikiranku kosong dan muram, mengalir tak tentu arah hingga fajar mengembang, Saat semburat cahaya matahari membangunkanku, aku sempat berpikir bahwa diriku masih bermimpi. Aku, yang baru setengah tersadar, tak mengetahui ketika tiba- tiba muncul kumbang-kumbang gurun di sekitarku, ber- gerombol seperti noktah hitam raksasa di depan mataku yang terheran-heran. Tak pernah kulihat pemandangan seperti itu. Seketika aku berpikir, mereka akan menyantap tubuhku. Cepat-cepat aku keluar dari timbunan pasir dan merangkak menjauh. Tapi aku terkejut ketika sadar bahwa kawanan kumbang itu tak peduli sama sekali pada keberadaanku. Mereka bergegas naik ke bukit pa-sir membentuk barisan panjang mengejar matahari, seo- lah-olah dipanggil oleh muazin gaib untuk segera bersem- bahyang. Air mataku jatuh saat menyaksikan tetes-tetes air berguliran dari punggung mereka, seperti menjawab doa- doanya sendiri. Lalu aku berusaha menahan nyeri di lututku untuk bersujud menyentuhkan dahi di atas pasir. Tak lama kemudian, sekelompok orang dari suku Tuareg mendatangiku saat aku masih bersembahyang. Mereka bergerak cepat menuju ke arahku. Mereka datang seperti hantu, mengendarai kudanya dengan pelan. Mere- ka memicingkan mata, menatapku penuh curiga. Mereka bertanya-tanya apakah mereka sedang bertemu dengan orang gila atau sesosok setan. Orang-orang itu mengikuti jejak di pasir ke arah ba- rat, dengan dipandu oleh sebuah bintang yang mereka sebut Hajuj. Sepertinya mereka merasa menemukan sosok yang sangat aneh pada pagi ini. Aku menggeleng saat mereka memberikan isyarat padaku. Tapi aku tetap diam ketika mereka berbicara satu sama lain. Aku hanya sedikit paham kata-kata Tamashek, bahasa yang mereka pakai. Tetapi, aku tak tahu kenapa mereka membawaku ke kemah mereka meski aku memakai gandura.? Kemudian aku diberi air dalam kantong kulit saat kami menunggu kedatangan modougou® mereka. Kuucap- kan puji syukur kepada Yang Mahakuasa dalam setiap tegukan. Dan di setiap tarikan napas aku bersyukur atas pertolongan-Nya. Pelan-pelan aku merasa_ kondisiku membaik. Selang beberapa saat, sang modougou datang dengan mengendarai kuda. la membawa pedang panjang bersarung merah. la mengenakan turban hitam yang me- nutupi seluruh wajah kecuali mata. Melalui mata itu aku tahu, ia adalah Afarnou. Aku dan Afarnou pernah bertemu sebelumnya. “Wah!” serunya, tanpa turun dari kuda. “Kita ketemu lagi. Mana yang lainnya>?” Ia berbicara menggunakan bahasa Prancis dan Arab dengan buruk. Namun, saat aku tak menjawab pertanya- annya, ia turun dari kudanya dan menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menduga-duga apa yang sedang ditatap- nya. Kemudian ia menjelaskan dengan pelan, seolah-olah berbicara kepada orang tolol, bahwa unta-untanya penuh dengan muatan garam dari tambang di Tisemt dan ia se- dang menuju Damergu di Nigeria untuk menukarkan ga- ram dengan rempah-rempah. Tapi, dengan sedikit meng- gerutu ia mau menyediakan satu anak buahnya dan dua untanya untuk mengantarku menemui ayahnya, Amenukat dari para bangsawan. Seekor unta disiapkan. Tanpa mengucapkan selamat jubah biru yang dipakai oleh suku Tuareg ° Pemimpin sebuah kafilah 4 Julukan bagi ketua suku Tuareg. tinggal, aku dan pemanduku berjalan melintasi Tenere. Dalam dua hari kami sampai di Agadez. Di sini aku dijamu oleh istri Amenukal dan seorang perempuan tua di ru- angan kecil di rumahnya yang sederhana. Yang kutahu, Amenukal ini punya kekuasaan atas ti- ga suku Kel Ahaggar dalam federasi suku yang longgar. la juga seorang Amrar atau “Ketua Genderang” sukunya sendiri. Itu adalah simbol terbaik dari otoritas ketua di kalangan suku yang menyukai perang seperti suku Tuareg ini. Tapi itu dulu. Masa penjajahan Prancis sudah meng- ubah hampir segalanya. Dengan hati-hati dan cermat, Amenukal menjaga ke- rajaan kecilnya seolah-olah kerajaan itu jubah kehormat- annya. Ia lelaki tua yang amat ramah dan sopan. Dan ia selalu bersikap tenang dan berwibawa sebagai kepala rumah tangga. Kini ia berdiri di sisiku dan menatapku sedih, Tapi ia tak bertanya tentang keadaanku. la mengambil catatan yang kubawa tanpa berucap sepatah kata pun. Mungkin, baginya, aku bukan orang bodoh pertama yang ditemukan tersesat di tengah gurun. Atau mungkin ia mengharapkan imbalan. Tapi yang jelas, ia orang baik dan tuan rumah yang murah hati. Sepertinya ia menganut pepatah Arab ‘Lakukan kebaikan, dan jangan mengungkit-ungkitnya, dan yakinlah bahwa kebaikanmu akan mendapatkan balasan.” Akan tetapi, dua perempuan itu duduk setiap hari di depan pintu kamarku. Mereka berbisik penuh gelisah. Mereka bertanya-tanya apakah aku menjadi bodoh karena tergampar matahari gurun, atau karena terkena sihir; apa- kah aku sedang kebingungan atau terkena kutukan. Yah, mungkin itulah yang mereka pikirkan. Kini, pena, tinta, dan kertas putih ada di hadapanku. Tubuhku telah pulih, tapi mulutku tetap membisu. Aku tak pernah bicara sejak berlari ke gurun pasir. Aku tak pernah bicara kepada siapa pun kecuali pada diriku sendiri, penulis kisah ini. Kata-kata tak berguna, kecuali untuk menceritakan semua kisah secara lengkap. Syukurlah, Allah memberiku ingatan yang jernih. Hatiku telah mampu menerima segala macam bentuk. Hatiku adalah padang bagi rusa, biara bagi para rahib, kuil bagi penyembah berhala, Kakbah bagi para peziarah, dan altar bagi Taurat dan Al-Quran Kuikuti agama Cinta: ke mana saja unta Cinta membawaku, itulah agama Tarjumanul Ashwagq (Penerjemah Kerinduan), Ibnu Arabi Melalui penglihatan batin, kami menyaksikan penglihatan Allah di hamparan kalbu Tarjiband, Nur Ali Shah Di rumah Syekh kami bangun pagi-pagi ketika udara masih begitu dingin dan bintang-gemintang mulai pudar. Malam yang lembut pun hendak berganti pagi. Tahukah engkau? Hening adalah rumah hati. Altar jiwa terbasuh bersih. Saat itu aku duduk di dekat jendela. Dari situ aku bisa menyaksikan indahnya taman. Jauh di bawah bukit terhampar ladang dan kota. Ah, Yerusalem! Saat ini musim panas, dan kesiut angin menghantarkan aroma melati dan laut. Kudengar kokok ayam menyambut pagi. Namun pagi itu sangat berbeda dengan pagi yang selama ini kurasa- kan. Mendadak semua burung di alam semesta bergabung menyanyikan tembang. Pohon-pohon di taman, bersama burung tekukur, ketilang, kenari, merpati, dan ratusan burung lain yang tak kutahu namanya, mengungkapkan nyanyian masing-masing yang khas. Mereka bercericit, mendekut, berkuak, dan bersiul. Belum pernah kusaksikan mereka berkumpul sedemikian rupa, atau menyanyi bersama-sama seperti itu. Bahkan burung-burung hantu, yang biasanya hanya bernyanyi di bawah kerlip cahaya bintang, pun ikut bersama mereka. Entah naluri apa yang menyatukan mereka. Yang jelas, sepiku pecah sudah. Aku berjalan menuruni tangga rumah guna memasak air untuk menghidangkan teh pagi ini. Setelah menjerang air di cerek, kubuka pintu yang menghadap taman. Ingin kuakhiri serenade burung pagi ini dengan memberi mereka remah-remah roti. Tapi aku terkejut ketika kulihat Syekh Guru kami duduk di bangku kayu di antara pepohonan Aku heran mengapa ia duduk di tengah keriuhan su- ara burung. Saat aku hendak menawarinya segelas teh, ia menatapku sekilas, lalu menutup matanya. Sekejap kemudian burung-burung terdiam serentak, seolah-olah mereka tadi bernyanyi untuk Syekh belaka. Aku terpaku menahan napas. Menurut orang-orang, ini adalah salah satu misteri kecil yang sering terjadi saat kita berada bersama Syekh, Aku belum pernah menyak- sikan pemandangan ganjil seperti ini, sehingga aku hanya bisa terpana. Betapa sedikit yang kuketahui tentang Syekh dan halhal aneh seperti ini. Pikiranku dijejali ratusan bayangan, tapi aku tak bisa memahami mengapa burung-burung itu bertindak aneh. Aku tak tahu nyanyian mereka, dan juga tak paham kenapa mereka diam serentak. Tapi tak ada waktu lagi untuk merenungkan semua ini. Hari mulai terang dan penghuni rumah akan segera keluar. Aku tak menyebut-nyebut soal burung ini, dan tidak bertanya kepada orang tentang apa-apa yang mereka lihat dan dengar pagi ini. Yang dilakukan Syekh Guru ti- dak untuk didiskusikan. Orang-orang yang bertugas di dapur mulai menghamparkan sufreh® di atas permadani yang menutupi lantai ruang tamu. Kemudian mereka me- letakkan garam, roti, mentega, keju, dan selai untuk sarapan. Sayangnya, aku tidak begitu berselera dengan roti. Syekh tidak ikut makan bersama kami. Beberapa waktu kemudian, saat aku melihat ke taman, Syekh tidak ada di sana. Burung-burung telah pergi. Menjelang sore Syekh muncul kembali. Tiada yang bertanya dari mana ia pergi. Dan tiada yang berkomentar saat ia memutuskan untuk pergi ke pasar—sebuah kegiatan yang selama ini tak pernah dilakukannya. la mencari sejenis kopi tertentu, yang belum pernah 5 Kain putih yang dibentangkan di atas lantai atau tanah pada saat makan. diminumnya. Semuanya heran dengan tindakan itu, tapi tak satu pun yang mempertanyakan kemauan Syekh. Aku dipilih untuk menemaninya, membawa barang-barang yang dibelinya. Ah! Aku ingat betapa eksotiknya pemandangan dan bau di pasar pagi itu. Misteri burung-burung telah terlu- pakan saat kami berjalan melintasi beragam toko dan ke- dai kecil. Banyak pedagang yang mengenal Syekh mena- warinya buah dan roti agar ia mau mendoakan mereka. Syekh menyuruhku mencatat nama-nama mereka di buku catatan yang selalu kubawa. Ia kemudian menyuruh para pedagang untuk memberikan barang-barang yang mereka tawarkan itu kepada orang-orang miskin. “Agar doaku didengar Yang Maha Memberi,” demikian ia berkata. Setelah membeli beberapa barang, Syekh memutus- kan untuk berkunjung ke Kota Lama. Kami berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun selama beberapa waktu, sampai tiba di gerbang Masjid Haramus Syarif. Masjid ini konon dibangun di atas puing-puing Kuil Sulaiman. Di bawah bayang-bayang kubah masjid yang besar, untuk pertama kalinya aku melihat seorang pengemis yang tampak tua sekali. Kulitnya sehitam kopi karena terpanggang matahari. la hanya mengenakan sehelai kain putih, sandal dan pecinya pun putih. la sedang duduk di tangga batu dan menawarkan ramalan kepada siapa saja yang mau memberinya sedekah, Pengemis itu tinggi dan kurus, semua tulang iga dan ototnya kelihatan. Barangkali ia baru saja keluar dari gurun pasir. Namun rambut dan jenggotnya yang putih tampak bersih dan tersisir rapi, mungkin untuk menghormati orang-orang yang hendak shalat. Syekh berhenti dan menatapnya sebentar. Aku belum pernah melihat lelaki tua itu, tapi aku merasakan semacam keakraban yang aneh dengannya. Tiba-tiba aku merasa bersimpati kepadanya. Aku merasa kasihan melihat tulangtulangnya yang menggambarkan kehidupan yang sulit. “Apakah doa-doanya dijawab?” tanyaku kepada diriku sendiri dengan suara sedikit keras. “Ya, doanya dijawab,” ujar Syekh sembari menatapku. Bola matanya yang hitam bersinar di bawah alisnya yang putih. “Tapi tentu saja ia tak pernah meminta untuk dirinya sendiri. Karena itu, doanya sangat ringan hingga cepat melesat ke langit seperti uap yang naik dari samudra kehidupan ini. la seorang fagir, orang yang telah mencapai sakinah. Jadi, dialah sesungguhnya yang merasa kasihan kepadamu, wahai Ishaq. Kalau kau telah belajar melihat dengan hati, mata tidak akan menipumu. Nah, beri dia sedekah! Semakin sedikit engkau dibebani oleh rasa memiliki, semakin ringan beban nafsumu yang selalu minta dipuaskan.” Aku mengangguk, dan kusadari betapa sedikitnya pemahamanku. Aku lalu mendekati pengemis itu untuk menaruh beberapa keping uang ke dalam kashkul-nya.® Saat ia menatapku, aku terkejut sehingga uang yang ada dalam genggamanku terjatuh. Rambut dan jenggot putih lelaki tua itu seperti membingkai seulas wajah tua penuh kerut mendalam yang dipahat oleh waktu dan angin gurun. Aku merasa tak enak dan aneh sehingga aku ingin memalingkan tatapanku ke arah lain. Tapi sorot matanya seperti menjeratku, sehingga aku tak bisa berpaling. Sorot mata di wajah tuanya membara seperti batu bara yang terbakar. Tapi ada aura kedamaian terpancar dari sana. Tiba-tiba aku merasa malu pada kedunguanku. Mendadak ia berkata, “Kau akan melakukan perja- lanan panjang!” Ia menundukkan wajahnya dan tak bicara lagi. Aku juga tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa mundur ke ° Mangkok yang terbuat dari buah labu

You might also like