You are on page 1of 16

DEFINISI KETULIAN

Yang dimaksud "ketulian" disini adalah sama dengan "kurang pendengaran",


yang dalam buku buku ditulis deafness atau hearing loss. Di dalam buku pedoman
praktis penyelenggaraan sekolah luar biasa Departemen P dan K, kata "tuli"
menggambarkan adanya kekurangan pendengaran 70 db atau lebih pada telinga yang
terbaik.l Dalam tulisan ini antara kata-kata "ketulian", "kurang pendengaran" dan "tuli"
mempunyai arti yang hampir sama.
Secara garis besar ketulian dibagi menjadi dua. Ketulian dibidang konduksi atau
disebut tuli konduksi dimana kelainan terletak antara meatus akustikus eksterna sampai
dengana tulang pendengaran stapes. Tuli di bidang konduksi ini biasanya dapat
ditolong dengan memuaskan, baik dengan pengobatan atau dengan suatu tindakan
misalnya pembedahan.
Tuli yang lain yaitu tuli persepsi (sensori neural hearingloss) dimana letak
kelainan mulai dari organ korti di koklea sampai dengan pusat pendengaran di otak. Tuli
persepsi ini dmana biasanya sulit dalam pengobatannya. Apabila tuli konduksi dan tuli
persepsi timbul bersamaan, disebut tuli campuran. Untuk mengetahui jenis ketulian
diperlukan pemeriksaan pendengaran. Dapat dari cara yang paling sederhana sampai
dengan memakai alat elektro-akustik yang disebut audiometer.Dengan menggunakan
audiometer ini jenis ketulian dengan mudah dapat ditentukan.

JENIS-JENIS KETULIAN

Ketulian atau penurunan daya dengar dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

a. Trauma Akustik

Trauma akustik adalah efek dari pemaparan yang singkat terhadap suara yang keras
seperti sebuah letusan. Dalam kasus ini energi yang masuk ke telinga dapat mencapai
struktur telinga dalam dan bila melampaui batas fisiologis dapat menyebabkan
rusaknya membran thympani , putusnya rantai tulang pendengaran atau rusak organ
spirale (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat
pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan
dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang
sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga,
merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran (Prabu,Putra, 2009).

b. Temporary Threshold Shift (TTS)/Tuli Sementara

Tuli sementara merupakan efek jangka pendek dari pemaparan bising berupa kenaikan
ambang pendengaran sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan
bising, akan kembali pada kondisi semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada reseptor
pendengaran yang disebabkan oleh energi suara dengan tetap dan tidak melampui
batas tertentu. Maka apabila akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan yang sempurna.
Akan tetapi jika kelelahan melampaui batas tertentu dan pemaparan terus berlangsung
setiap hari, maka TTS secara berlahan-lahan akan berubah menjadi PTS (Goembira,
Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).

TTS diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan
mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu
pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,
daya dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra, 2009).

c. Permanent Threshold Shift (PTS)/Tuli Permanen

Tuli permanen adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversible


sehingga tidak mungkin tejadi pemulihan. Gangguan dapat terjadi pada syaraf-syaraf
pendengaran, alat-alat korti atau dalam otak sendiri. Ini dapat diakibatkan oleh efek
kumulatif paparan terhadap bising yang berulang-ulang selama bertahun (Goembira,
Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).

Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat pulih
atau disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor
usia, penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar pada
intensitas kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan
kemungkinan terjadinya Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya kerusakan
pendengaran.

Tinitus bisa disebabkan oleh berbagai sumber bising bahkan dari musik yang sangat
keras, biasanya berlangsung selama beberapa menit atau jam setelah terpapar bising
yang tinggi dan akan hilang setelah berada jauh dari tempat yang bising. Oleh
karenanya hal ini sering diabaikan dan lebih parah lagi biasanya dianggap sebagai
bagian dari pekerjaannya.

Derajat ketulian

• Normal antara 0 s/d 20 db.

• Tuli ringan antara 21 s/d 40 db.

• Tuli sedang antara 41 s/d 60 db

• Tuli berat antara 61 s/d 80 db.

• Tuli amat berat bila lebih dari 80 db.\

Untuk mengetahui derajat ketulian dapat memakai suara bisik sebagai dasar yaitu
sebagai berikut :

• Normal bila suara bisik antara 5 - 6 meter

• Tuli ringan bila suara bisik 4 meter

• Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meter

• Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter.

KEBISINGAN SEBAGAI FAKTOR KETULIAN

jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:

1. Bising terus menerus ( continuous noise )


Bising terus menerus dihasilkan oleh mesin yang beroperasi tanpa henti, misalnya

blower , pompa, kipas angin, gergaji sirkuler, dapur pijar, dan peralatan pemprosesan.

2. Bising terputus-putus ( intermittent noise )

Adalah kebisingan saat tingkat kebisingan naik dan turun dengan cepat, seperti lalu
lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara.Bising jenis ini sering disebut juga
intermittent noise, yaitu bising yang berlangsung secar tidak terus-menerus, melainkan
ada periode relatif tenang, misalnya lalu lintas, kendaraan, kapal terbang, kereta api .

3. Bising tiba-tiba (impulsive noise )

Merupakan kebisingan dengan kejadian yang singkat dan tiba-tiba. Efek awalnya
menyebabkan gangguan yang lebih besar, seperti akibat ledakan, misalnya dari mesin
pemancang, pukulan, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan dari suara tembakan
senjata api (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Bising jenis ini memiliki
perubahan intensitas suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya
mengejutkan pendengarnya seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam.

4. Bising berpola ( tones in noise )

Merupakan bising yang disebabkan oleh ketidakseimbangan atau pengulangan yang


ditransmisikan melalui permukaan ke udara. Pola gangguan misalnya disebabkan oleh
putaran bagian mesin seperti motor, kipas, dan pompa. Pola dapat diidentifikasi secara
subjektif dengan mendengarkan atau secara objektif dengan analisis frekuensi.

5. Bising frekuensi rendah ( low frequency noise )

Bising ini memiliki energi akustik yang penting dalam range frekuensi 8-100 Hz. Bising
jenis ini biasanya dihasilkan oleh mesin diesel besar di kereta api, kapal dan pabrik,
dimana bising jenis ini sukar ditutupi dan menyebar dengan mudah ke segala arah dan
dapat didengar sejauh bermil-mil

6. Bising impulsif berulang


Sama dengan bising impulsif, hanya bising ini terjadi berulang-ulang, misalnya mesin
tempa.

Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas dua
kategori yaitu :

1. Noise Induced Temporary Threshold Shift (TTS)

Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch“ yang curam
pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.

Pada tingkat awal terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat


sementara, yang disebut juga NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising
biasanya pendengaran dapat kembali normal.

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)

Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran


akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss“ atau
kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising
industri.Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu
bekerja di lingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga
kepada :

a. tingkat suara bising

b. kepekaan seseorang terhadap suara bising

NIPTS biasanya terjadi disekitar frekuensi 4000 Hz dan perlahan-lahan


meningkat dan menyebar ke frekuensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan,
tetapi apabila sudah menyebar sampai ke frekuensi yang lebih rendah (2000 dan 3000
Hz) keluhan akan timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk
mengadakan pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke
frekuensi yang lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang
sangat lemah. Notch bermula pada frekuensi 3000–6000 Hz, dan setelah beberapa
waktu gambaran audiogram menjadi datar pada frekuensi yang lebih tinggi. Kehilangan
pendengaran pada frekuensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10
tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat.

Tinjauan Umum tentang Ketulian

Kerusakan telinga permanen hampir selalu dimulai dengan menurunnya sensitivitas


pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz dan jika terus-menerus terpapar bising maka
akan secara bertahap turun pada frekuensi yang lebih rendah.

Hasil study Kryter dan Ward menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat
antara ketulian temporer dan ketulian permanen. Beberapa kesimpulan yang bisa
dijadikan pedoman adalah sebagai berikut :

1. Kebisingan yang mencapai 80 tau 90 dB hanya menyebabkan sedikit penaikan


ambang dengar yaitu 5 atau 10 dB. Namun jika kebisingan meningkat hingga 100 dB,
ambang dengar akan naik antara 50 sampai 60 dB.

2. Penaikan secara temporer pada ambang pendengaran adalah sesuai dengan durasi
bising. Sebagai contoh kebisingan 100 dB selama 10 menit akan menghasilkan
penaikan sebesar 16 dB, dan setelah 100 menit meningkat menjadi 32 dB.

3. Lamanya waktu yang dibutuhkan pendengaran untuk kembali ke normal juga sesuai
dengan intensitas dan durasi bising. Waktu pemulihan adalah sekitar 10 % lebih lama
dibandingkan durasi bising.

4. Pergantian periode paparan bising dengan yang lebih tenang akan mengurangi
resiko ketulian sementara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketulian akibat bising


Sebenarnya ketulian dapat disebabkan oleh pekerjaan, misalnya akibat
kebisingan, trauma akustik, dapat pula disebabkan oleh bukan karena kerja (non-
occupational hearing loss).
Tetapi tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja, hal tersebut
tergantung dari beberapa factor, diantaranya:
1. Intensitas suara yang terlalu tinggi.
Nada 1000 Hz dengan intensitas 85 dB, jika diperdengarkan selama 4 jam tidak
akan membahayakan. Intensitas menunjukkan derajat kebisingan.
2. Usia karyawan.
Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising
(Depkes RI, 2003).
3. Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja.
4. Tekanan dan frekuensi dari bising tersebut.
Bising dengan frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada bising dengan frekuensi
yang rendah.
5. Lamanya bekerja.
Semakin lama berada dalam lingkungan yang bising, maka semakin berbahaya
untuk pendengaran.
6. Sifat bising.
Bising yang didengar secara terus-menurus lebih berbahaya dari bising yang
didengar secara terputus-putus.
7. Jarak dari sumber suara.
8. Waktu diluar lingkungan bising.
Waktu kerja dilingkungan bising diselingi dengan bekerja beberapa jam sehari
dilingkungan yang tenang akan mengurangi bahaya mundurnya pendengaran.
Sedangkan berdasarkan karakteristik frekuensinya, sumber bising dapat dibedakan
menjadi :
a. Discrete Frequency Noise, contohnya: fan / blower, compressor, pump, internal
combustion engine, transform, saw dan plannar.
b. Broadband Noise, contohnya : steam leak, hammer mill, petrochemical plant, gas
tumbine, jet engine dan gas fire-burner.
c. Broadband and Discrete Frequency Noise, contohnya : wood saw (dalam keadaan
idle).

Gejala-gejala dari ketulian


Gejala-gejala ketulian akibat bising tetap ada beberapa fase, diantaranya:

a. Fase I

Terjadi pada 10-20 hari pertama pemaparan bising. Pada saat sudah bekerja, telinga
penderita terasa penuh, mendenging, sakit kepala ringan, pusing, dan merasa lelah.

b. Fase II

Terjadi pada jangka waktu pemaparan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Pada
fase ini semua gejala subjektif hilang, kecuali telinga yang mendenging secara
intermitten . Gejala lain tergantung dari sifat bising, lama waktu pemaparan, dan
prediposisi individual .

c. Fase III

Terjadi sebagai lanjutan fase II. Pada kondisi ini penderita merasa pendengarannya
tidak normal lagi. Penderita tidak dapat lagi mendengar pembicaraan-pembicaraan
terutama jika terdapat bising latar belakang.

d. Fase IV

Pada fase ini, diikuti oleh tinnitus yang tetap (terus menerus) yang menunjukan bahwa
terjadi kerusakan pada struktur syaraf dari cochlea . Hal ini tidak hanya mengganggu
pendengaran, tetapi juga mengganggu istirahat, tidur dan lain-lain.

Etiologi Penyakit Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan atauNioce Induced


Hearing Loss (NIHL)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan antara lain:


1. Intensitas kebisingan

Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan sesuai dengan Departemen
Tenaga Kerja 1994 – 1995

2. Frekuensi kebisingan.

Patofisiologi Ketulian menetap

Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada
beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran
normal bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea,
mikromekanik dan seluler dari organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan
bioelektris telinga dalam, dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang
bekerja dengan baik (Arts, 1999).

Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran


sensorineural sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel
ini disebut sebagai kenaikan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold
Shift (TTS) (Arts, 1999). Apabila bising tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi
atau waktu paparan yang cukup lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan
ambang dengar permanen, Permanent Threshold Shift (PTS) (Arts, 1999). Sedangkan
trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya dimana
akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan .

Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang
pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya
pertama kali muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya
mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan
pendengaran yang temporer. Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat
bising, atau sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan
berangsur menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan
pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada
percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari 25 dB. Awal dan
perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian selalu bertipe
sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga.
Secara otoskopik, membran timpani tampak normal .

GPAB mengakibatkan kerusakan pada organon corti. Didapatkan kesulitan


dalam menemukan kelainan anatomis sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa
kelainan ini disebabkan oleh stereocilia dari sel rambut yang berkurang ketegangannya
yang mengakibatkan turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan
stereocilia ini dapat kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan
meningkatnya intensitas dan durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin
berat sampai akhirnya terjadi hilangnya stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah
hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami kerusakan. Dengan bertambahnya
paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam organon corti akan turut rusak.
Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf pendengaran dan nukleus
pendengaran.

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan frekuensi dan


intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea
dan frekuensi rendah akan merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan
spektrum lebar dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran
basal pada daerah yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari
terputusnya dan degenerasi sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan
yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel
rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organon corti .

Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang melayani


frekuensi 4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori yang paling populer
adalah bahwa struktur anatomi di daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur
anatomi tersebut adalah sebagai akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari
stimulus suara. Didapatkan bahwa ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu
sampai satu setengah oktaf diatas skala frekuensi nada stimulator. Karena ambang
pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000 dan 3000 Hz, beralasan untuk
menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan menyebabkan kerusakan
paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz .

Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas
bising dan durasi paparan tetapi juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi
dan pola waktu). Paparan terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi
yang sempit menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran
tersebut terjadi pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi
terbesar. Alasan dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin adalah dari
jarak pergeseran maksimal membran basilar terhadap dasar koklea saat adanya
peningkatan intensitas suara .

Pencegahan ketulian akibat kerja

Sebelum kehilangan pendengaran, ada beberapa tanda yang bisa menjadi peringatan
dini, diantaranya:

1. Timbul suara berdengung (tinnitus) di telinga segera setelah terpapar kebisingan.

2. Kesulitan untuk memahami pembicaraan. Seseorang bisa mendengar semua kata-


kata yang diucapkan, tapi tidak dapat mengerti semuanya.

3. Telinga seperti tertutup setelah terkena paparan suara.

Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya


ketulian yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Tidak ada kata terlambat
untuk mencegah kehilangan pendengaran akibat suara-suara bising. Mulailah
mengistirahatkan telingan dengan cara:

Sebisa mungkin mengecilkan volume suara yang didengar atau dihasilkan.

2. Menghindari atau mengurangi batas waktu berada dalam tempat yang bising seperti
konser musik rock atau klub malam.
3. Usahakan untuk menggunakan pelindung pendengaran jika harus berada di
lingkungan yang bising.

4. Menghentikan sementara penggunaan headphone.

5. Menghindari penggunaan headphone untuk meredam suara bising di luar seperti


kereta atau lalu lintas.

6. Gunakanlah volume yang pintar 'smart volume' dalam menggunakan MP3 player.

Bentuk pengendalian kebisingan ditempat kerja

Seperti halnya pada pengendalian faktor-faktor bahaya lain di tempat kerja,


pengendalian kebisingan juga harus melalui urutan-urutan/hirarki (hierarchy of control )
yang benar dan sesuai. Enam langkah/metode yang biasanya dijadikan pedoman
dalam hirarki pengendalian adalah sebagai berikut :

1. Rekayasa ulang (redesign ) --- mesin atau proses.

2. Penggantian (substitution ) --- bahan atau proses.

3. Isolasi ( segregation/isolation ) --- sumber bahaya dari pekerja.

4. Pengendalian teknis ( engineering control ) --- pemeliharaan atau modifikasi mesin.

5. Pengendalian secara administrasi ( administrative control ) --- modifikasi jadwal kerja.

6. Alat pelindung diri ( personal protective equipment ) --- bagi para pekerja

Pengendalian kebisingan yang paling baik adalah dengan menghilangkan sumber


suara darimana kebisingan tersebut berasal. Akan tetapi karena berbagai alasan
biasanya langkah ini sangat sulit untuk dilakukan. Untuk itu dengan berpedoman pada
enam langkah pengendalian di atas, kebisingan bisa dikendalikan melalui beberapa
cara di bawah ini.
1. Pengendalian pada sumbernya

a. Dengan merekasaya ulang ( redesign ) proses atau penggantian alat; misalnya


menggantian roller dengan

conveyor belt , penggunaan mesin-mesin yang tidak membutuhkan kipas pendingin,


atau panggantian pipa-pipa logam dengan yang dari plastik.

b. Dengan mengganti bahan-bahan atau proses yang menghasilkan bising; misalnya


pembelian bahan-bahan dengan ukuran yang sudah dipotong sebelumnya untuk
menghilangkan proses pemotongan.

c. Dengan modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang sudah terpasang;
misalnya pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang bergetar, mengurangi
jarak jatuh material, atau penggantian komponen-komponen logam dengan bahan-
bahan yang lebih rendah emisi suaranya.

2. Pengendalian pada jalan rambat kebisingan

a. Pemisahan sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan ruang generator jauh
dari tempat kerja.

b. Isolasi peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya pompa dan kompresor
udara bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.

c. Isolasi pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator mesin dengan remote-
control panel .

d. Modifikasi teknis pada peralatan atau bahan-bahan yang mengeluarkan bising;


misalnya pemasangan penghalang kebisingan frekuensi tinggi, pembuatan alat-alat anti
kebisingan atau pemasangan panel-panel penyerap kebisingan pada dinding atau atap
ruangan.

3. Pengendalian secara administrasi


Untuk mengurangi waktu pemaparan pekerja terhadap kebisingan; misalnya rotasi
pekerjaan sehingga tidak ada pekerja yang terpapar kebisingan melebihi ambang
batas.

Penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghalangi rambatan kebisingan pada
pekerja. Seperti :

1. Sumbat telinga (ear plugs ), dimasukkan dalam telinga sampai menutup rapat
sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga dapat mengurangi
bising s/d 30 dB.

2. Tutup telinga (ear muff ), menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk
mengurangi bising s/d 40-50 dB.

3. Helmet (enclosure ), menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi


bising maksimum 35dB.

FAKTOR RISIKO KETULIAN AKIBAT KERJA

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja (occupational hearing

loss), adalah sebagai berikut:

1. Intensitas suara yang terlalu tinggi.

2.Usia karyawan.

3. Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja (Pre-employment hearing impairment).

4. Tekanan dan frekuensi bising tersebut.

5. Lamanya bekerja.

6. Jarak dari sumber suara.

7. Gaya hidup pekerja di luar tempat kerja.

EPIDEMIOLOGI KETULIAN
Kebisingan kota-kota besar di Indonesia sudah melewati ambang batas, sehingga tidak
hanya menyebabkan gangguan pendengaran dan ketulian, tetapi juga membahayakan
kesehatan fisik dan psikis masyarakat maupun lingkungan secara umum, terlihat dari
fakta-fakta sebagai berikut:

1. Angka gangguan pendengaran telah mencapai 16,8% dari jumlah penduduk


Indonesia.

2. 10,7% anggota masyarakat yang melakukan aktivitas di sekitar jalan raya di Jakarta
(pedagang kaki lima, polisi lalu lintas, tukang parkir, tukang koran, dan lain-lain)
mengalami gangguan pendengaran akibat bising.

3. Pekerja pabrik baja usia 30-46 tahun, 61,8% mengalami gangguan pendengaran
akibat bising.

4. Kebisingan di jalan raya kota-kota besar Indonesia telah mencapai 80 dB (desibel),


sementara ambang batas yang diperkenankan hanya 70 dB.

5. Kebisingan di banyak mall dan fasilitas rekreasi keluarga telah mencapai 90-97 dB,
sementara ambang batas yang diperkenankan hanya 70 dB.

6. Perubahan perilaku menjadi mudah marah dan agresif, sehingga menjadi pemicu
tindak kekerasan yang kerap terjadi di ruang-ruang publik ditengarai sebagai akibat dari
kebisingan.

Hal tersebut diakibatkan oleh makin meningkatnya sumber-sumber polusi kebisingan di


sekitar kita, antara lain:

1. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar (di Jakarta saat ini
jumlah kendaraan bermotor hampir sama dengan jumlah penduduknya).

2. Penggunaan perangkat pengeras suara di ruang-ruang publik (mal, tempat rekreasi


keluarga, tempat-tempat ibadah, bandara, terminal bis dan kereta api yang tidak
mengindahkan ambang batas kebisingan serta penataan akustik dari bangunan yang
tidak memenuhi syarat.
3. Gaya hidup masa kini (penggunaan alat-alat teknologi yang menghasilkan
kebisingan) yang tidak bijaksana dan tidak memperhitungkan risiko gangguan
pendengaran, seperti stereo system, knalpot modifikasi, balap motor liar, pemutar
rekaman digital, telpon genggam, peralatan rumah tangga elektronik, dan lain-lain.

4. Aktivitas masyarakat yang meningkat dari waktu ke waktu di berbagai bidang,


sehingga tingkat kebisingan lingkungan juga meningkat, misalnya pada malam hari
sekalipun, saat ini sulit menemukan kawasan yang hening.

5. Kegiatan konstruksi di kawasan-kawasan tertentu (pemukiman, sekolah, rumah sakit,


dan lain-lain) yang tidak mengindahkan peraturan yang berlaku.

6. Kegiatan industri (kecil, menengah maupun besar) yang berada di sekitar kawasan
pemukiman dan tidak mengindahkan peraturan yang berlaku.

Bencana besar sudah dapat dibayangkan di masa depan, di antaranya :

1. Rendahnya kualitas hidup masyarakat karena kebisingan yang makin menggila.

2. Masyarakat yang kacau batinnya sehingga menimbulkan sikap agresif dan


kekerasan di mana-mana.

3. Manusia Indonesia yang sehat lahir, batin dan sejahtera seperti dicita-citakan tidak
akan pernah tercapai.

Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya intensif oleh berbagai pihak untuk
menanggulanginya segera dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia. Untuk itu Masyarakat Bebas-Bising didirikan, sebuah kelompok masyarakat
yang terdiri dari individu, organisasi dari berbagai disiplin, yang seluruh kegiatannya
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan prakarsa masyarakat serta kepedulian
pihak pengambil keputusan untuk bersama-sama menanggulangi masalah tersebut.

You might also like