Professional Documents
Culture Documents
JENIS-JENIS KETULIAN
Ketulian atau penurunan daya dengar dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
a. Trauma Akustik
Trauma akustik adalah efek dari pemaparan yang singkat terhadap suara yang keras
seperti sebuah letusan. Dalam kasus ini energi yang masuk ke telinga dapat mencapai
struktur telinga dalam dan bila melampaui batas fisiologis dapat menyebabkan
rusaknya membran thympani , putusnya rantai tulang pendengaran atau rusak organ
spirale (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat
pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan
dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang
sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga,
merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran (Prabu,Putra, 2009).
Tuli sementara merupakan efek jangka pendek dari pemaparan bising berupa kenaikan
ambang pendengaran sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan
bising, akan kembali pada kondisi semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada reseptor
pendengaran yang disebabkan oleh energi suara dengan tetap dan tidak melampui
batas tertentu. Maka apabila akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan yang sempurna.
Akan tetapi jika kelelahan melampaui batas tertentu dan pemaparan terus berlangsung
setiap hari, maka TTS secara berlahan-lahan akan berubah menjadi PTS (Goembira,
Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
TTS diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan
mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu
pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,
daya dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra, 2009).
Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat pulih
atau disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor
usia, penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar pada
intensitas kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan
kemungkinan terjadinya Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya kerusakan
pendengaran.
Tinitus bisa disebabkan oleh berbagai sumber bising bahkan dari musik yang sangat
keras, biasanya berlangsung selama beberapa menit atau jam setelah terpapar bising
yang tinggi dan akan hilang setelah berada jauh dari tempat yang bising. Oleh
karenanya hal ini sering diabaikan dan lebih parah lagi biasanya dianggap sebagai
bagian dari pekerjaannya.
Derajat ketulian
Untuk mengetahui derajat ketulian dapat memakai suara bisik sebagai dasar yaitu
sebagai berikut :
blower , pompa, kipas angin, gergaji sirkuler, dapur pijar, dan peralatan pemprosesan.
Adalah kebisingan saat tingkat kebisingan naik dan turun dengan cepat, seperti lalu
lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara.Bising jenis ini sering disebut juga
intermittent noise, yaitu bising yang berlangsung secar tidak terus-menerus, melainkan
ada periode relatif tenang, misalnya lalu lintas, kendaraan, kapal terbang, kereta api .
Merupakan kebisingan dengan kejadian yang singkat dan tiba-tiba. Efek awalnya
menyebabkan gangguan yang lebih besar, seperti akibat ledakan, misalnya dari mesin
pemancang, pukulan, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan dari suara tembakan
senjata api (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Bising jenis ini memiliki
perubahan intensitas suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya
mengejutkan pendengarnya seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam.
Bising ini memiliki energi akustik yang penting dalam range frekuensi 8-100 Hz. Bising
jenis ini biasanya dihasilkan oleh mesin diesel besar di kereta api, kapal dan pabrik,
dimana bising jenis ini sukar ditutupi dan menyebar dengan mudah ke segala arah dan
dapat didengar sejauh bermil-mil
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas dua
kategori yaitu :
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch“ yang curam
pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.
Hasil study Kryter dan Ward menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat
antara ketulian temporer dan ketulian permanen. Beberapa kesimpulan yang bisa
dijadikan pedoman adalah sebagai berikut :
2. Penaikan secara temporer pada ambang pendengaran adalah sesuai dengan durasi
bising. Sebagai contoh kebisingan 100 dB selama 10 menit akan menghasilkan
penaikan sebesar 16 dB, dan setelah 100 menit meningkat menjadi 32 dB.
3. Lamanya waktu yang dibutuhkan pendengaran untuk kembali ke normal juga sesuai
dengan intensitas dan durasi bising. Waktu pemulihan adalah sekitar 10 % lebih lama
dibandingkan durasi bising.
4. Pergantian periode paparan bising dengan yang lebih tenang akan mengurangi
resiko ketulian sementara.
a. Fase I
Terjadi pada 10-20 hari pertama pemaparan bising. Pada saat sudah bekerja, telinga
penderita terasa penuh, mendenging, sakit kepala ringan, pusing, dan merasa lelah.
b. Fase II
Terjadi pada jangka waktu pemaparan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Pada
fase ini semua gejala subjektif hilang, kecuali telinga yang mendenging secara
intermitten . Gejala lain tergantung dari sifat bising, lama waktu pemaparan, dan
prediposisi individual .
c. Fase III
Terjadi sebagai lanjutan fase II. Pada kondisi ini penderita merasa pendengarannya
tidak normal lagi. Penderita tidak dapat lagi mendengar pembicaraan-pembicaraan
terutama jika terdapat bising latar belakang.
d. Fase IV
Pada fase ini, diikuti oleh tinnitus yang tetap (terus menerus) yang menunjukan bahwa
terjadi kerusakan pada struktur syaraf dari cochlea . Hal ini tidak hanya mengganggu
pendengaran, tetapi juga mengganggu istirahat, tidur dan lain-lain.
Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan sesuai dengan Departemen
Tenaga Kerja 1994 – 1995
2. Frekuensi kebisingan.
Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada
beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran
normal bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea,
mikromekanik dan seluler dari organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan
bioelektris telinga dalam, dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang
bekerja dengan baik (Arts, 1999).
Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang
pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya
pertama kali muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya
mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan
pendengaran yang temporer. Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat
bising, atau sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan
berangsur menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan
pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada
percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari 25 dB. Awal dan
perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian selalu bertipe
sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga.
Secara otoskopik, membran timpani tampak normal .
Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas
bising dan durasi paparan tetapi juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi
dan pola waktu). Paparan terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi
yang sempit menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran
tersebut terjadi pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi
terbesar. Alasan dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin adalah dari
jarak pergeseran maksimal membran basilar terhadap dasar koklea saat adanya
peningkatan intensitas suara .
Sebelum kehilangan pendengaran, ada beberapa tanda yang bisa menjadi peringatan
dini, diantaranya:
2. Menghindari atau mengurangi batas waktu berada dalam tempat yang bising seperti
konser musik rock atau klub malam.
3. Usahakan untuk menggunakan pelindung pendengaran jika harus berada di
lingkungan yang bising.
6. Gunakanlah volume yang pintar 'smart volume' dalam menggunakan MP3 player.
6. Alat pelindung diri ( personal protective equipment ) --- bagi para pekerja
c. Dengan modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang sudah terpasang;
misalnya pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang bergetar, mengurangi
jarak jatuh material, atau penggantian komponen-komponen logam dengan bahan-
bahan yang lebih rendah emisi suaranya.
a. Pemisahan sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan ruang generator jauh
dari tempat kerja.
b. Isolasi peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya pompa dan kompresor
udara bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.
c. Isolasi pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator mesin dengan remote-
control panel .
Penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghalangi rambatan kebisingan pada
pekerja. Seperti :
1. Sumbat telinga (ear plugs ), dimasukkan dalam telinga sampai menutup rapat
sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga dapat mengurangi
bising s/d 30 dB.
2. Tutup telinga (ear muff ), menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk
mengurangi bising s/d 40-50 dB.
2.Usia karyawan.
5. Lamanya bekerja.
EPIDEMIOLOGI KETULIAN
Kebisingan kota-kota besar di Indonesia sudah melewati ambang batas, sehingga tidak
hanya menyebabkan gangguan pendengaran dan ketulian, tetapi juga membahayakan
kesehatan fisik dan psikis masyarakat maupun lingkungan secara umum, terlihat dari
fakta-fakta sebagai berikut:
2. 10,7% anggota masyarakat yang melakukan aktivitas di sekitar jalan raya di Jakarta
(pedagang kaki lima, polisi lalu lintas, tukang parkir, tukang koran, dan lain-lain)
mengalami gangguan pendengaran akibat bising.
3. Pekerja pabrik baja usia 30-46 tahun, 61,8% mengalami gangguan pendengaran
akibat bising.
5. Kebisingan di banyak mall dan fasilitas rekreasi keluarga telah mencapai 90-97 dB,
sementara ambang batas yang diperkenankan hanya 70 dB.
6. Perubahan perilaku menjadi mudah marah dan agresif, sehingga menjadi pemicu
tindak kekerasan yang kerap terjadi di ruang-ruang publik ditengarai sebagai akibat dari
kebisingan.
1. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar (di Jakarta saat ini
jumlah kendaraan bermotor hampir sama dengan jumlah penduduknya).
6. Kegiatan industri (kecil, menengah maupun besar) yang berada di sekitar kawasan
pemukiman dan tidak mengindahkan peraturan yang berlaku.
3. Manusia Indonesia yang sehat lahir, batin dan sejahtera seperti dicita-citakan tidak
akan pernah tercapai.
Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya intensif oleh berbagai pihak untuk
menanggulanginya segera dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia. Untuk itu Masyarakat Bebas-Bising didirikan, sebuah kelompok masyarakat
yang terdiri dari individu, organisasi dari berbagai disiplin, yang seluruh kegiatannya
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan prakarsa masyarakat serta kepedulian
pihak pengambil keputusan untuk bersama-sama menanggulangi masalah tersebut.