You are on page 1of 35

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1. Latar belakang .................................................................................................................. 1
1.2. Tujuan referat ................................................................................................................... 1
1.3. Manfaat referat ................................................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3
2.1. Polycystic ovarian syndrome ........................................................................................... 3
2.2. Risiko kehamilan pada PCOS ....................................................................................... 16
2.3. PCOS pada menopause ................................................................................................. 17
BAB III TATALAKSANA ................................................................................................. 19
3.1. Terapi farmakologis ....................................................................................................... 19
3.2. Terapi non farmakologis ................................................................................................ 28
3.3. Pembedahan ................................................................................................................... 29
BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Polycystic ovarian syndome (PCOS) merupakan masalah yang kompleks yang
dikarakteristikkan dengan oligoovulasi atau anovulasi, peningkatan kadar androgen,
dan ditemukannya kista ovarian yang kecil dan multipel. Hiperandrogenism, yang
merupakan tanda klinis PCOS, dapat menginhibisi pembentukan folikel, kista kecil
pada ovarian, anovulasi, dan perubahan pada siklus menstruasi.1
Sebanyak kurang lebih 7% wanita menderita PCOS dan di Amerika, sebanyak
5 juta wanita mengalami kelainan ini. Penelitian menunjukkan 5 – 10% wanita
berumur 18 hingga 44 tahun menderita PCOS sehingga membuat PCOS merupakan
kelainan endokrin tersering pada wanita usia reproduktif.1–3 Di Indonesia, prevalensi
dari PCOS belum terdata dengan jelas. Namun, terdapat satu penelitian yang meneliti
prevalensi PCOS di Surabaya dan didapatkan sebesar 4,5% pada perempuan usia
reproduktif.4
Wanita seringkali datang ke dokter dengan keluhan peningkatan berat badan,
jerawat, amenorrhea, pertumbuhan rambut yang abnormal, dan infertilitas. PCOS juga
menyebabkan peningkatan resiko untuk terjadinya kanker endometrium, kelainan
kardiovaskular, dislipidemia, dan diabetes mellitus tipe 2.3
Oleh karena itu, kami tertarik untuk membahas PCOS sebagai referat kami
mengingat kelainan ini merupakan kelainan endokrin yang paling sering pada wanita
berusia reproduktif. Selain itu, kami juga akan membahas tatalaksana terbaru untuk
PCOS ini sehingga dapat menurunkan resiko komplikasi dari PCOS.

1.2. Tujuan referat


1.2.1. Tujuan umum
Mengetahui polycystic ovarian syndrome secara komprehensif pada wanita
usia reproduktif.
1.2.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui faktor resiko, etiologi, patofisiologi dan cara mendiagnosis
PCOS
2. Mengetahui tatalaksana terbaru untuk PCOS

1
1.3. Manfaat referat
1.3.1. Manfaat dalam bidang edukasi
Penulis berharap referat ini dapat berguna bagi sejawat kedokteran untuk
mengetahui lebih dalam mengenai PCOS.
1.3.2. Manfaat dalam bidang kesehatan masyarakat
Penulis berharap referat ini dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat
untuk publik mengenai PCOS sehingga dapat mengenal gejala – gejala PCOS
lebih awal.
1.3.3. Manfaat dalam bidang penelitian
Penulis berharap referat ini dapat digunakan oleh peneliti lain sebagai
referensi yang bermanfaat, terutama mengenai tatalaksana terbaru dari PCOS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Polycystic ovarian syndrome


2.1.1. Definisi PCOS
PCOS atau yang disebut juga Stein-Leventhal syndrome, pertama kali
ditemukan pada tahun 1935. PCOS merupakan kondisi yang dapat
mempengaruhi periode menstruasi, fertilitas, kadar hormonal, dan juga dapat
mempengaruhi penampilan serta memiliki efek jangka panjang pada
kesehatan.5 PCOS merupakan kelainan endokrin yang sering terjadi pada
wanita usia reproduktif. Berdasarkan pertemuan konsensus antara European
Society of Human Reproduction and Embryology dan American Society for
Reproductive Medicine (ESHRE/ASRM) pada tahun 2003, PCOS harus
memenuhi dua dari tiga kriteria yaitu hiperandrogen, oligoovulasi atau
anovulasi, dan ovarium yang polikistik. Kriteria ini memiliki spektrum yang
lebih luas dibandingkan dengan kriteria sebelumnya dari National Institutes of
Health (NIH) pada tahun 1990. Pada tahun 2006, Androgen Excess and PCOS
Society juga mengeluarkan kriteria tersendiri. Kriteria – kriteria dari ketiga
kelompok ini memiliki kemiripan dan dapat digunakan untuk mendiagnosis
PCOS.1

3
2.1.2. Epidemiologi PCOS
Saat ini beberapa penelitian telah menunjukkan prevalensi PCOS akan
beragam bergantung dengan kriteria diagnostik yang digunakan. Sebagai
kelainan endokrin tersering yang dialami oleh wanita usia reproduktif, PCOS
mempengaruhi sekitar 4 hingga 8% dari populasi menggunakan kriteria NIH
dan penelitian menunjukkan prevalensi akan meningkat sebanyak dua hingga
tiga kali lebih tinggi jika menggunakan kriteria Rotterdam dibandingkan
menggunakan kriteria NIH.6 Selain itu, meskipun gejala dari peningkatan
kadar androgen beragam pada berbagai etnis, namun PCOS dapat
mempengaruhi semua ras secara merata.
Prevalensi PCOS juga meningkat pada beberapa kondisi. Riwayat
penambahan berat badan yang tinggi memiliki resiko untuk terjadinya PCOS.
Sebanyak 28,3% wanita yang obese mengalami PCOS. Diabetes mellitus tipe
1, 2 dan diabetes gestasional juga mengalami peningkatan prevalensi PCOS.
Dengan menggunakan kriteria NIH, sebanyak 40,5% pasien dengan diabetes
mellitus tipe 1 mengalami PCOS; 26,7% pasien dengan diabetes mellitus tipe
2 mengalami PCOS; dan 16% pada pasien dengan diabetes gestasional.6
Menurut Christensen et al, PCOS terdapat pada 1 dari 200 wanita pada
usia 15 – 19 tahun.7 PCOS juga terdapat pada 5 juta wanita berusia reproduktif
di Amerika serta terdapat 4,5% wanita dengan PCOS di Surabaya.4,8

2.1.3. Faktor resiko PCOS


Riwayat keluarga dengan PCOS merupakan salah satu faktor resiko
untuk terjadinya kelainan ini. Berdasarkan beberapa penelitian, PCOS
merupakan kelainan yang dapat diturunkan. Tingginya prevalensi PCOS pada
kerabat terdekat menunjukkan terdapat pengaruh genetik.6
Menurut penelitian konsumsi dari makanan cepat saji yang sering juga
memiliki resiko sebesar 1,7 kali lebih besar untuk terjadinya PCOS karena
makanan cepat saji mengandung saturasi lemak yang tinggi dan steroid.
Terlalu sering mengkonsumsi makanan cepat saji dapat meningkatkan kadar
glukosa, resistensi insulin, dan peningkatkan ketidakseimbangan hormon
seperti hiperandrogen sehingga menambah resiko untuk terjadinya PCOS.
Pasien yang mengalami obesitas juga memiliki resiko 1,74 kali lebih
tinggi untuk mengalami PCOS dibandingkan dengan pasien yang memiliki
BMI normal. Hal ini mungkin dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dan
kebiasaan makan yang tidak sehat. Selain itu, obesitas juga memperparah
hiperinsulinemia pada wanita dengan PCOS.7,9
Beberapa faktor resiko PCOS telah dapat terlihat ketika bayi lahir dan
pada masa anak – anak. Faktor prenatal meliputi berat badan bayi yang tinggi
ketika lahir dari wanita yang obese, kongenital virilisasi, dan berat lahir
rendah. Faktor resiko pada masa anak – anak yaitu premature pubarche,
atypical central precocious puberty, obesitas, acanthosis nigricans, dan
sindroma metabolis.6

2.1.4. Etiologi PCOS


Penyebab yang mendasari terjadinya PCOS tidak jelas dan belum
diketahui. Akan tetapi dasar kelainan genetik yang kemungkinan diwariskan
oleh ibu atau ayah, atau mungkin keduanya dicurigai menjadi penyebabnya,
dimana sindrom ini banyak ditemukan pada keluarga yang sama. Secara
spesifik, peningkatan prevalensi tercatat pada individu yang terkena dan
saudaranya (32-66%) dan ibunya (24-52%). Faktor lain penyebab PCOS
adalah faktor endokrin (kenaikan rasio LH/FSH, hiperandrogenisme) dan
faktor metabolik (resistensi insulin). Kadar LH yang tinggi merangsang sintesa
androgen. Testosteron menekan sekresi SHBG (Sex Hormone Binding
Globulin) oleh hati sehingga kadar testosteron dan estradiol bebas meningkat.
Kenaikan kadar estradiol memberi umpan balik positif terhadap LH sehingga
kadar LH makin meningkat lagi sedangkan kadar FSH tetap rendah. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang
apalagi terjadi ovulasi.1
Penyebab terbanyak PCOS adalah akibat adanya gangguan hormonal.
Gangguan hormonal berupa resistensi insulin, adanya deposit lemak sentral
(obesitas) dan Diabetes Melitus tipe 2 sering dianggap berhubungan dengan
kejadian PCOS pada wanita usia subur.10
2.1.5. Patofisiologi PCOS
Patofisiologi dari PCOS sangat kompleks, temuan utama adalah
peningkatan dari kadar LH serum dan FSH rendah atau normal. Selain itu
dijumpai pula peningkatan kadar androgen. Kelainan metabolik berupa
hiperinsulinemia dan resistensi insulin ikut berperan dalam timbulnya PCOS.11
a. Kelainan neuroendokrin
LH yang meningkat pada pasien PCOS akan meningkatkan jumlah
dan frekuensi respon dari Gonadotropin-releasing hormone (Gn-RH) dari
hipotalamus. GnRH merupakan stimulan utama untuk menghasilkan
sekresi gonadotropin dan menstimulasi sel-sel teka interna folikel untuk
memproduksi androstenedion, yang dikonversi di perifer, utamanya di
dalam jaringan lemak, menjadi estron (E1), dan testosteron dalam jumlah
yang lebih sedikit meningkat, berlawanan dengan pasien-pasien dengan
hiperketosis. Kadar estradiol (E2) tetap normal atau sedikit di bawah
normal, yang menyebabkan peningkatan rasio E1/E2. Peningkatan kadar
E1 dan pada beberapa pasien akan meningkatkan sekresi dari inhibin-F
suatu peptida nonsteroid yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa, akan
menghambat sekresi FSH. Peningkatan rasio LH/FSH merupakan temuan
yang khas pada ovarium polikistik. Pneingkatan estrogen yang bersirkulasi
tampaknya akan meningkatkan sekresi dari Luteinizing Hormone
Releasing Factor (LHRF) dan mempertinggi sensitifitas sel-sel hipofisis
yang memproduksi LH terhadap LHRF. Produksi estrogen ovarium pada
pasien polikistik ovarium secara nyata berkurang dari jaringan ovarium
mungkin karena inaktivasi dari sistem aromatase FSH dependen pada sel-
sel granulosa. Sintesis estrogen intrafolikel, dan peningkatan rasio
LH/FSH akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan folikel pada stadium
midantral, terjadi anvoluasi, dan ovarium yang sklerokistik. Sejumlah
kelainan akan menyebabkan hiperestronemia dan perubahan sekresi
gonadotropin secara potensial berperan dalam inisiasi atau terjadinya
polikistik ovarium yang terus-menerus.1,11,12
b. Hiperandrogenisme
Salah satu studi menunjukkan bahwa wanita dengan PCOS terjadi
peningkatan aktivitas 11-hidroksisteroid dehidrogenase, yang merupakan
enzim yang memetabolisme kortisol menjadi kortison. Hal ini
mengakibatkan peningkatan kadar clearence kortisol dan menurunkan
feedback negatif dari sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan
secara sekunder meningkatkan sekresi androgen adrenal. Pada studi ini
wanita dengan obesitas menunjukkan peningkatan aktivitas 11-
hidroksisteroid dehidrogenase, tetapi tidak sesuai dengan derajat yang
terlihat pada wanita dengan PCOS. Ini kemungkinan adanya pengaruh
hiperinsulinemia yang dapat meningkatkan aktivitas enzim ini yang
mengarahkan terjadinya hiperandrogen adrenal.
Peningkatan androgen adrenal dapat menyebabkan hiperestronemia
karena akan memanjangkan fase folikuler dan memendekkan fase luteal
dan konsekuensinya terjadi peningkatan rasio LH/FSH. Peristiwa ini yang
menerangkan kerapnya terjadi infertilitas dan ketidakteraturan haid pada
wanita dengan hiperandrogen. Terapi deksametason dapat mengoreksi
rasio LH/FSH yang abnormal pada beberapa pasien dengan polikistik
ovarium, yang dapat menyebabkan terjadinya ovulasi lagi. Walaupun
beberapa penelitian percaya bahwa pada pasien-pasien polikistik ovarium,
abnormalitas adrenal adalah gangguan yang primer, penelitian lain telah
menyimpulkan bahwa itu adalah sekunder dari kelainan hormonal.
Pada pihak lain, hiperandrogen endogen akan menebalkan tunika
albuginea ovarium. Juga ternyata bahwa pemberian androgen eksogen
yang berlebihan dapat menebalkan kapsul ovarium. Selanjutnya keadaan
tersebut akan mengganggu pelepasan folikel dan pecahnya bintik ovulasi.
Ini merupakan bentuk lain dari androgen dalam mengganggu mekanisme
ovulasi. Secara klinis dengan menekan kadar androgen yang tinggi akan
menyebabkan folikel ovarium menjadi lebih peka terhadap gonadotropin
endogen dan eksogen.1,11,12

c. Obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin


Obesitas berhubungan dengan masalah kesehatan pada umumnya
dan kelainan ginekologi secara khusus, meliputi siklus menstrusasi yang
ireguler, amenorea, dan perdarahan uterus disfungsional.
Penelitian menemukan bahwa pada wanita remaja yang gemuk
terdapat peningkatan serum androgen dan kadar LH dan rasio E1 dan E2
yang terbalik. Namun hal ini bersifat reversibel dengan menurunnya berat
badan.
Hiperinsulinemia merupakan penyebab utama dari PCOS,
meskipun peningkatan produksi androgen sendiri dapat menyebabkan
terjadinya PCOS. Wanita dengan predisposisi resistensi insulin
mengkombinasikan hubungan antara obesitas yang menyebabkan
resistensi insulin. Hiperinsulinemia dapat meningkatkan androgen melalui
setidaknya 3 mekanisme: (1) Stimulasi dari hiperandrogenisme ovarium
melalui peningkatan LH atau stimulasi aktivitas 17-hidroksilase/17,20-
lyase, (2) stimulasi hiperandrogenisme adrenal melalui augmentasi
aktivitas 11-hidroksisteroid dehidrogenase, atau (3) supresi kadar SHBG.
Jaringan adiposa mengandung aromatase yang merupakan enzim yang
mengkonversi androgen menjadi estrogen. Meningkatnya keadaan
androgen dan estrogen mengarah kepada terjadinya atresia folikuler,
anovulasi, dan meningkatnya sekresi LH, yang secara lebih lanjut
meningkatkan produksi androgen ovarium.
Kadar androgen meningkat pada wanita gemuk. Baik tingkat
produksi androgen maupun tingkat clearance-nya meningkat. Penurunan
Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) berhubungan dengan obesitas
yang meningkatkan kadar clearance androgen. Tingkat kelebihan berat
badan berkorelasi dengan derajat aromatisasi ekstraglanduler dari
androgen menjadi estrogen. Meningkatnya kadar androgen, tingginya rasio
E2:E1, dan rendahnya kadar SHBG membuat keadaan biokimiawi kepada
keadaan PCOS. Lebih dari 50% pasien PCOS merupakan pasien gemuk.
Pada banyak wanita PCOS, pengurangan dari berat badan dapat
menurunkan kadar androgen, menghilangkan hirsutism, dan bahkan
mengembalikan ovulasi.
Obesitas, ketika dikaitkan dengan PCOS, mempunyai hubungan
dengan hiperinsulinemia, resistensi insulin, dan tes toleransi glukosa yang
abnormal. Resistesi insulin dan hiperinsulinemia ditentukan terjadi pada
wanita PCOS, baik yang gemuk maupun tidak gemuk. Insulin
menstimulasi sekresi androgen dari stroma ovarium, hal ini disebabkan
karena insulin merupakan famili insulin lainnya dari insulin growth factor
1 (IGF-1). IGF-1 dapat meningkatkan produksi sel teka ovarium
menghasilkan androgen. Disebabkan karena reseptor untuk insulin dan
IGF-1 serupa, sehingga pada percobaan secara in vitro insulin dapat
meningkatkan produksi androgen pada sel teka dan stroma.
Hiperinsulinemia juga secara potensial menyebabkan peningkatan kadar
androgen yang bersirkulasi (dan dengan konversi di perifer, estron) pada
pasien-pasien PCOS. Hasil dari hiperandogenisme ini pada gilirannya akan
meningkatkan resistensi insulin.
Ketidaknormalan lipoprotein secara umum terdapat pada PCOS
meliputi meningkatnya kolesterol, trigliserida, dan low density lipoprotein
(LDL), dan rendahnya kadar high density lipoprotein (HDL) dan
apoprotein. Berdasarkan salah satu penelitian, ciri yang paling penting dari
peningkatan lipid ialah menurunnya kadar HDL.
Penemuan lain yang muncul pada wanita dengan PCOS meliputi
gangguan fibronolisis yang ditunjukkan oleh meningkatnya kadar inhibitor
aktivator plasminoge, meningkatnya insidensi hipertensi terjadi pada 40%
perimenopause, prevalensi yang besar dari aterosklerosis dan penyakit
kardiovaskuler, dan risiko infark myokard.1,11,12

2.1.6. Diagnosis PCOS


1. Anamnesis
Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan
sebelumnya (jika ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi
rokok, konsumsi alkohol, pola makan, dan riwayat anggota keluarga dengan
diabetes atau penyakit kardiovaskular. Ketidakteraturan menstruasi (80%)
terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore sekunder dan atau
oligomenore.13
Pada 75% penderita PCOS mengalami infertilitas akibat anovulasi
kronik, dan beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada jangka panjang.
Gejala sisa pada penderita SOPK dapat berupa penyakit kardiovaskular dan
dislipidemia, intoleransi glukosa atau diabetes mellitus yang tidak
tergantung insulin (DM tipe 2), hiperplasia endometrium atau
adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada uterus.13

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus ditujukan pada tanda-
tanda hirsutisme yaitu kebotakan, jerawat (akne), klitoromegali
(pembesaran klitoris), distribusi rambut pada tubuh (muka, di atas bibir,
dada, linea alba), pengecilan payudara, dan tanda-tanda resistensi insulin
(obesitas, distribusi lemak sentripetal, akantosis nigrikans). Sedangkan pada
pemeriksaan bimanual dapat juga ditemukan ovarium yang membesar atau
dapat juga tidak teraba.10,13
Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola
pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada seorang
wanita. Sedangkan akantosis nigrikans adalah penanda dermatologis akibat
resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang ditandai dengan perubahan
warna kulit menjadi abu-abu kecoklatan, halus, kadang-kadang seperti
veruka pada leher, selangkangan dan aksila. Oleh sebab itu, efek-efek
ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari PCOS disebut sebagai
Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme, resistensi insulin, dan akantosis
nigrikans).13
Menurut National Institute of Health – National Institute of Child
Health and Human Development (NIH-NICHD) untuk mendiagnosa PCOS
ditetapkan:
Kriteria mayor:
 Anovulasi
 Hiperandrogenemia
 Tanda klinis hiperandrogenisme
 Penyebab lainnya dapat disingkirkan
Kriteria minor:
 Resistensi insulin
 Hirsutisme dan obesitas yang menetap
 Meningkatnya perbandingan rasio LH/FSH
 Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan androgenemia
 Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik
Dalam skema ini, terdapat dua kriteria mayor untuk mendiagnosis
PCOS yaitu anovulasi dan adanya hiperandrogenisme yang ditetapkan
secara klinis dan laboratorium. Adanya 2 kelainan ini cukup untuk
mendiagnosis PCOS. Dibutuhkan 1 kriteria mayor yaitu anovulasi dan 2
kriteria minor yaitu rasio LH/FSH > 2,5 dan terbukti adanya ovarium
polikistik secara USG.
Penyakit ini diperkirakan terjadi pada 3,5% - 7% dari populasi
wanita. Pasien-pasien yang terkena khususnya mereka yang berada pada
dekade ketiga dengan riwayat obesitas pramenars, amenorea sekunder atau
oligomenorea, infertil dan hirsutisme.

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau
dehidroepiandrosteronsulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan
hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada
ovarium atau kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen
dalam sirkulasi yang meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang
bersifat patognomonik untuk suatu tumor atau kadar minimum yang dapat
menyingkirkan kemungkinan adanya tumor. Kadar T yang tinggi selalu
berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar DHEAS yang tinggi
selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml).10,13
Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat dilihat dari ringan
beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat
hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya
androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium yaitu berupa
anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang
mencolok, maka peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari
kelenjar suprarenal yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor.13
USG dan/atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis
PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG
terlihat gambaran seperti roda pedati atau folikel-folikel kecil berdiameter
7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi, kedua atau salah
satu ovarium pasti tampak membesar.13
Dengan USG pada 25% wanita normal ditemukan adanya ovarium
polikistik. Wanita polikistik ovarium meunjukkan kadar FSH, prolaktin dan
estrogen normal, sedangkan LH sedikit tinggi (nisba LH/FSH > 3). LH
yang tinggi akan meningkatkan sintesis testosteron di ovarium dan
membuat stroma ovarium menjadi tebal dan membuat folikel atresi.1,11
Kriteria Ultrasonografi (USG):
 Kriteria diagnostik jika memakai USG transabdominal:
1. Penebalan stroma
2. Lebih dari 10 folikel berdiameter 2-8 mm di subkorteks dalam satu
bidang.
 Kriteria diagnostik jika memakai USG transvaginal:
1. Penebalan stroma 50%
2. Volume ovarium lebih dari 8 cm3
3. Lebih dari 15 folikel berdiameter 2-10 mm dalam satu bidang.
Pemeriksaan penunjang pada PCOS beserta tujuan pemeriksaannya akan
dijelaskan sebagai berikut:
Tabel Pemeriksaan Laboratorium pada PCOS
Pemeriksaan Nilai normal Tujuan
-hCG < 5 mIU/mL Menyingkirkan
kehamilan
TSH 0,5-4,5 μU/mL (0,5-4,5 Menyingkirkan
mU/L) gangguan tiroid
Prolaktin < 24 ng/mL Menyingkirkan
hiperprolaktinemia
Testosteron 250 – 1100 ng/dL Menyingkirkan tumor
(total) yang menghasilkan
androgen
Testosteron 20-30 tahun: 0,06-2,57 Menegakkan
(bebas) pg/mL diagnosis atau
(0,20-8,90 pmol/L) monitoring terapi
40-59 tahun: 0,4-2,03 pg/mL
(1,40-7,00 pmol/L)
DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2 Menyingkirkan tumor
μmol/L) yang menghasilkan
androgen
Androstenedione 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4 Menegakkan
nmol/L) diagnosis
Insulin puasa 3.2 – 28.5 Menyingkirkan
hiperinsulinemia
Glukosa puasa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 Menyingkirkan DM
mmol/L) tipe 2 atau intoleransi
glukosa
Rasio glukosa ≥ 4,5 Menyingkirkan
puasa:insulin resitensi insulin
Kolesterol (total) 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan
gaya hidup
Kolesterol HDL 35-85 mg/dL (0,9-2,2 Monitor perubahan
mmol/L) gaya hidup
Kolesterol LDL 80-130 mg/dL (2,1-3,4 Monitor perubahan
mmol/L) gaya hidup
Biopsi Tidak ada tanda hiperplasia Menyingkirkan
endometrium atau keganasan keganasan atau
hiperplasia
Diagnosis PCOS ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain
oligomenorea atau hiperandrogenisme.
β-hCG = beta subunit human chorionic gonadotropin;
TSH = thyroid-stimulating hormone;
DHEAS = dehydroepiandrosterone sulfate;
NCAH = nonclassic adrenal hyperplasia;
HDL = high-density lipoprotein;
LDL = low-density lipoprotein.
4. Gambaran histopatologi
Gambaran makroskopis
Kedua ovarium, kadang-kadang pada kasus yang jarang, satu
ovarium, membesar 2 sampai 5 kali ukuran normal dan lebih besar dari
uterus. Bentuknya oval atau “egg-shaped”; dimana pada penelitian baru-
baru ini, volume ovarium pada pasien ovarium polikistik 3 kali lebih besar
dari volume ovarium kelompok kontrol. Kadang-kadang, ovarium dapat
ditemukan dalam ukuran normal. Kista korteks superfisial biasanya dapat
dilihat di bawah permukaan ovarium yang putih. Pemeriksaan bagian
permukaan ovarium ini menunjukkan suatu penebalan berwarna putih
seperti mutiara, korteks superfisial, dan beberapa kista, dengan diameter
kurang dari 1 cm. Biasanya ada suatu zona sentral stroma dengan beberapa
atau kadang tidak ada sama sekali stigmata ovulasi (misalnya korpora lutea
atau albikans).11,12

Kista ovarii
Gambaran mikroskopis
Korteks superfisial mengalami fibrosis dan hiposeluler, menyerupai
suatu kapsul, dan mengandung pembuluh darah berdinding tebal yang
menonjol. Penonjolan dari stroma fibrotik yang meluas dari korteks
superfisial ke korteks yang lebih dalam atau bahkan ke medula. Kista ini
merupakan folikel kistik yang atretik yang mempunyai batas sebelah dalam
dari beberapa lapisan sel-sel granulosa nonluteinisasi yang mungkin
mengalami eksfoliasi fokal. Suatu lapisan yang lebih luar dari sel-sel teka
interna kadang-kadang disebut sebagai “hipertekosis folikuler” tetapi
folikel-folikel kistik pada wanita dengan ovarium polikistik berbeda dari
yang ditemui pada wanita normal, dimana pada wanita normal hanya
ditemui peningkatan jumlah. Folikel-folikel matur yang mencapai stadium
midantral dan folikel-folikel atretik menunjukkan luteinisasi teka interna
mungkin jumlahnya 2 kali dari ovarium normal. Jumlah dan gambar-
gambaran folikel primordial adalah normal. Seperti telah dinyatakan,
stigmata dari ovulasi sebelumnya tidak ada, tetapi korpora lutea telah
dideskripsikan sebanyak 30% dari kasus-kasus khusus ovarium polikistik.
Korteks yang lebih dalam dan stroma medula mungkin mempunyai sampai
5 kali lipat pertambahan volume. Stroma mungkin mengandung sel-sel
stroma terluteinisasi dan fokal dari otot-otot polos. Sarang-sarang dari sel-
sel hilus ovarium (leydig) mungkin lebih banyak pada pasien-pasien dengan
ovarium polikistik daripada pada kelompok kontrol dengan usia yang
sama.11,12

Kista ovarii secara mikroskopik

2.2. Risiko kehamilan pada PCOS


Wanita dengan PCOS yang hamil memiliki peningkatan resiko sebesar 30 –
50% untuk terjadinya aborsi spontan pada trimester pertama dibandingkan dengan
rata – rata populasi pada umumnya yaitu sebesar 15%.14 Penyebab aborsi dari wanita
dengan PCOS masih belum diketahui dengan jelas karena banyak teori – teori yang
bertentangan sehingga tidak dapat dipastikan. Salah satu penelitian mengatakan
bahwa terdapat hubungan antara hipersekresi LH dengan aborsi. Namun, penelitian
lainnya mengatakan penurunan kadar LH gagal untuk memberikan hasil yang baik
pada pasien tersebut.
Penelitian lain juga mengatakan bahwa terdapat hubungan antara abortus
dengan resistensi insulin. Hal ini dibuktikan dengan pemberian metformin pada
pasien PCOS akan memiliki insidensi abortus yang lebih rendah. Namun penelitian
ini ditentang juga oleh Palombasebaga et al karena pada penelitiannya metformin
tidak memberikan dampak pada kejadian aborsi pada wanita dengan PCOS. Oleh
karena itu, pemberian metformin tidak direkomendasikan untuk mencegah abortus
pada pasien ini.1,8
Wanita dengan PCOS yang hamil juga memiliki resiko dua hingga tiga kali
lebih besar untuk mengalami diabetes gestasional, preeklamsia, bayi lahir prematur,
dan kematian perinatal. Bayi yang lahir dari ibu yang mengalami PCOS memiliki
peningkatan resiko untuk terjadinya aspirasi mekonium dan memiliki skor Apgar
yang rendah (<7) sehingga memerlukan perawatan di NICU.1,14-16

2.3. PCOS pada menopause


Diagnosis PCOS pada wanita yang telah menopause sulit untuk ditegakkan
karena gejala PCOS sudah tidak tampak lagi. Sebagai proses normal dari penuaan,
semua wanita akan mengalami resistensi insulin, obesitas, inflamasi kronis, dan
dislipidemia serta peningkatan LDL pada saat akan menopause. Oleh karena itu,
abnormalitas metabolis juga dapat memburuk pada wanita dengan PCOS seiring
bertambahnya usia.
Salah satu penelitian jangka panjang yang meneliti wanita dengan dan tanpa
PCOS dimulai dari masa reproduktif hingga menopause mengatakan bahwa wanita
dengan PCOS hanya mengalami sedikit peningkatan atau bahkan tidak mengalami
peningkatan pada tekanan darah sistol dan berat badan selama masa transisi menuju
menopause. Prevalensi hipertensi pada wanita dengan PCOS yang telah mengalami
menopause akan lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tanpa PCOS. Hal ini
dikarenakan wanita dengan PCOS mengalami perubahan metabolis yang dimulai
sejak usia muda sehingga mengalami paparan resiko kardiovaskular yang lebih
lama.17,18 Penelitian longitudinal pada wanita dengan PCOS menunjukkan bahwa
lingkar pinggang, kolesterol, dan kadar trigliserida meningkat pada wanita dengan
PCOS saat mereka mencapai 40 hingga 50 tahun. Insulin puasa dan indeks
pemeriksaan sensitivitas insulin kuantitatif, yaitu parameter metabolik, dan prevalensi
sindrom metabolik tidak berubah seiring waktu pada wanita dengan PCOS. Dalam
studi cross-sectional, wanita dengan PCOS di atas usia 35 tahun memiliki BMI yang
lebih tinggi, homeostasis model assesment (HOMA), glukosa, dan kadar trigliserida
dibandingkan dengan kontrol yang sesuai usia. Sebuah penelitian longitudinal pada
wanita dengan PCOS menunjukkan prevalensi diabetes tipe 2 sebesar 39%, melebihi
prevalensi 5,8% pada populasi umum. Secara konsisten, studi cross-sectional pada
wanita menopause dengan PCOS dibandingkan dengan wanita menopause umumnya
menunjukkan bahwa secara signifikan memiliki kadar insulin yang lebih tinggi pada
wanita dengan PCOS dimana wanita tersebut memiliki BMI diatas normal.19, 20
BAB III
TATALAKSANA

PCOS tidak dapat disembuhkan, tetapi terapi obat dapat mengurangi gejala yang
terjadi. Pilihan terapi dapat bervariasi karena seseorang dengan PCOS dapat mengalami
berbagai gejala, atau hanya satu gejala saja. Pilihan terapi pengobatan yang dapat digunakan
untuk mengurangi gejala PCOS terbagi menjadi terapi farmakologi, terapi non farmakologi,
dan tindakan operasi yang akan dibahas secara lebih rinci di bawah ini.

3.1 Terapi Farmakologi


Combined Hormonal Contraceptives (CHC)
Combined Hormonal Contraceptives (CHC) adalah pilihan terapi lini pertama
untuk manifestasi klinis PCOS, khususnya dalam mengatasi gejala menstruasi yang tidak
teratur, hirsutisme, dan jerawat. CHC mengandung komponen estrogen (ethynylestradiol
[EE], estradiol valerate, atau estradiol) dan komponen progestogen yang bervariasi dalam
hal komposisi dan afinitas terhadap reseptor hormon steroid lainnya (mineralokortikoid,
glukokortikoid, androgen, dan estrogen). Kombinasi hormon estrogen dan progestogen
berkontribusi pada manajemen manifestasi klinis hiperandrogen.21,25

Hiperandrogen
Hiperandrogen adalah salah satu gejala PCOS yang paling menonjol. Penurunan
dalam manifestasi klinis hiperandrogen dianggap tidak hanya memiliki manfaat estetik
tetapi juga berkontribusi terhadap pengurangan faktor risiko untuk gangguan metabolik.
Penelitian menunjukkan bahwa CHC dapat mengurangi gejala hiperandrogen dengan
mengurangi produksi androgen. Komponen estrogen dari CHC telah terbukti
meningkatkan sintetis hepatik terhadap sex hormone-binding globulin (SHBG), yang
dapat mengurangi testosteron bebas yang dapat mengikat reseptor androgen. Efek
antiandrogen ini lebih bermakna dengan penggunaan EE dibandingkan dengan
penggunaan estrogen alami. Selain sifat antiandrogen ini, progestogen memiliki umpan
balik negatif pada lonjakan hormon luteinizing, yang dapat mengurangi produksi
androgen ovarium. Beberapa progestogen dapat secara langsung mengurangi efek
androgen pada reseptor androgen serta mengurangi aktivitas enzim 5α reduktase, yang

19
dapat mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron, yang dapat menghasilkan highly
potent androgen.
Berdasarkan The Endocrine Society Clinical Practice Guideline, The American
Society of Reproductive Medicine, dan The European Society of Human Reproduction
and Embryology telah merekomendasikan penggunaan combined oral contraceptives
(COC) sebagai terapi lini pertama untuk wanita dengan PCOS tetapi pedomannya tidak
menyarankan kombinasi senyawa tertentu. COC yang mengandung cyproterone acetate
telah terbukti memiliki aktivitas antiandrogen yang lebih tinggi daripada desogestrel.
Demikian pula, The Andogren Excess dan PCOS Society telah membentuk protokol untuk
pengobatan hirsutisme dimana pilihan COC yang digunakan adalah COC yang
mengandung progestogen dengan potensi antiandrogen yang lebih besar, seperti
cyproterone, chlormadinone, dan drospirenone.21,22
Bedasarkan kriteria WHO, penggunaan CHC tidak diindikasikan untuk wanita
dengan hipertensi dengan atau tanpa PCOS, terlepas dari rute pemberian atau jenis
estrogen. Jika seorang wanita dengan PCOS memiliki Systemic Arterial Hypertension
(SAH), terapi yang memenuhi syarat adalah POC atau kontrasepsi nonhormonal. Hal ini
disebabkan karena Estradiol Endogen (EE) dapat menghasilkan vasodilatasi pembuluh
darah dengan meningkatkan produksi nitrit oxide dan collagen sysnthesis yang sesuai,
sehingga mengurangi tekanan arteri. Selain itu progesteron endogen yang dapat
menimbulkan gejala hipotensi yang memiliki efek antimineralokortikoid. Namun, EE
yang terdapat pada sebagian besar CHC dapat meningkatkan produksi angiotensinogen
hati, yang dapat meningkatkan tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-
aldosteron, terlepas dari rute pemberian.21 Suatu tinjauan metaanalisis juga telah
membuktikan bahwa penggunaan COC dengan jangka waktu paling sedikit 3 bulan
memiliki hubungan yang bermakna dengan peningkatan kadar HDL dan TG pada wanita
dengan PCOS.25

Jerawat
Jerawat umumnya terjadi pada populasi umum dan pada pasien dengan PCOS.
COC adalah obat lini pertama untuk mengobati jerawat yang berhubungan dengan PCOS
dan dapat digunakan bersamaan dengan terapi jerawat topikal standar (misalnya, retinoid,
antibiotik, benzoil peroksida) atau sebagai monoterapi. Antioksidan, spironolactone
menjadi yang paling umum, dapat ditambahkan sebagai terapi lini kedua. 26,27
Iregularitas pada menstruasi
Pada pasien yang tidak merencanakan kehamilan, The Endocrine Society
merekomendasikan COC seperti kontrasepsi oral, dermal patch, atau vaginal ring sebagai
terapi lini pertama. Selain itu, pencegahan hiperplasia endometrium dari anovulasi kronis
dapat dicegah oleh turunan progesteron maupun kontrasepsi oral yang mengandung
progestin, atau sistem intrauterin levonorgestrel-releasing.28

Metformin
Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dengan menurunkan glukoneogenesis,
lipogenesis dan meningkatkan ambilan glukosa di hati, otot skeletal, jaringan adiposa dan
ovarium. Hal ini diketahui pada populasi lain untuk mencegah kenaikan berat badan dan
muncul untuk membantu penurunan berat badan, untuk mencegah dan mengelola DM2,
diabetes gestasional, perlemakan hati, dan mengurangi penyakit kardiovaskular di DM2.
Pada sindrom polikistik ovarium, metformin mengurangi resistensi insulin dan
menghambat produksi androgen ovarium melalui efek pada protein regulasi akut
steroidogenik dan 17alpha-hydroxylase.29 Peran metformin dalam mengobati sindrom
polilistik ovarium adalah untuk menghambat produksi glukosa hati dan produksi glukosa
usus serta meningkatkan sensitivitas insulin dalam jaringan perifer.29,30 Metformin juga
memiliki peran dalam meningkatkan induksi ovulasi pada wanita dengan PCOS melalui
berbagai tindakan, termasuk mengurangi kadar insulin dan mengubah efek insulin pada
biosintesis androgen ovarium, proliferasi sel teka, dan pertumbuhan endometrium. Selain
itu, metfroming juga memiliki efek dalam menghambat glukoneogenesis ovarium dan
dengan demikian metformin berguna dalam mengurangi produksi androgen ovarium.
Penelitian telah membuktikan bahwa metformin dapat menghambat pelepasan GnRH
dengan adanya aktivasi AMPK hipotalamus yang berfungsi sebagai pengatur penting
dalam asupan makan pada manusia.31
Myo-inotisol & d-chiro-inotisol
Suplement Myo-inositol (MI) pada wanita dengan PCOS telah dievaluasi selama
beberapa tahun terakhir. Banyak gangguan hormonal dan reproduksi yang terkait dengan
gangguan ini dapat diobati oleh suplemen. Myo-inositol (MI) adalah salah satu
stereoisomer dari alkohol gula C6 yang termasuk dalam golongan inositol.32 MI adalah
prekursor inositol trifosfat, bertindak sebagai intracelluler second messenger dyang
berfungsi untuk mengatur sejumlah hormon seperti hormon tiroid, follicle-stimulating
hormone (FSH) dan insulin.33
MI dan d-chiro-inositol (DCI), bentuk stereoisomer lain dari inositol, berperan
dalam menyeimbangkan dengan cara deregulasi metabolik yang disertai dengan resistensi
insulin (IR) :
 MI dan d-chiro-inositol (DCI), bentuk stereoisomer lain dari inositol,
menyeimbangkan dengan cara yang berbeda beberapa deregulasi metabolik yang
disertai dengan resistensi insulin (IR)
 Inositolphosphoglycan derivatif (MI-IPG) memainkan peran penting dalam
menurunkan regulasi pelepasan asam lemak bebas (FFA) dari jaringan adiposa serta
menghambat enzim adenilat siklase.
FFA beperan dalam mengurangi pembuangan glukosa, menyebabkan IR dan
peningkatan sintesis trigliserida. Peran DCI adalah meningkatkan regulasi dehidrogenase
piruvat yang mengarah ke produksi ATP oleh siklus Krebs. MI dan DCI berfungsi dalam
meregulasi glikogen sintase, enzim yang menginduksi konversi glukosa menjadi glikogen
yang kemudian akan disimpan di dalam sel. MI juga berperan dalam memodulasi aktivasi
transporter glukosa dan pemanfaatan glukosa. Molekul ini terdapat pada ovarium dan
berfungsi dalam mengatur sintesis androgen yang diinduksi insulin, sedangkan MI
mengatur penyerapan glukosa dan pengsignalan FSH.
Kombinasi dari MYO dan DCI telah terbukti meningkatkan faktor-faktor metabolik
di PCOS. Satu uji randomized controlled trial, double-blind, placebo terkontrol
menunjukkan bahwa MYO (4 g / hari) selama 14 minggu, meningkatkan kadar HDL
(kolesterol "baik") dan mengakibatkan penurunan berat badan yang signifikan (dan
penurunan kadar leptin) pada wanita dengan PCOS. Dalam uji coba plasebo double-blind,
Costantino dkk juga menunjukkan bahwa MYO (4 g / hari) menurunkan insulin,
trigliserida, testosteron, dan tekanan darah pada wanita dengan PCOS. Studi oleh
Venturella et al menunjukkan bahwa 2 g / hari MYO selama enam bulan menghasilkan
penurunan berat badan yang signifikan dan meningkatkan kadar HDL dan LDL.
Dosis yang dianjurkan agar wanita dengan PCOS adalah MYO (2-4 gram) dan DCI
(50-100mg) dalam rasio fisiologis 40: 1. Saat ini, Ovasitol adalah satu-satunya suplemen
yang mengandung kombinasi dari MYO dan DCI pada rasio yang ideal.34

N-acetyl-cysteine
N-Asetil sistein (NAC) adalah obat mololitik aman yang umum digunakan, Selain
itu, NAC meningkatkan kadar sel antioksidan dan mengurangi glutation pada dosis yang
lebih tinggi. Oleh karena itu, NAC memiliki potensi untuk meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam eritrosit manusia dan meningkatkan sekresi insulin sebagai respons
terhadap glukosa.
Peningkatan aktivitas reseptor insulin pada subjek hiperinsulinemik dapat
menyebabkan penurunan sekunder dalam respon sel β terhadap tes toleransi glukosa oral.
Penurunan kadar insulin juga dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dalam kadar
testosteron dan indeks androgen bebas pada wanita yang merespon pada terapi.
Keuntungan yang dihasilkan dari pemberian NAC berperan dalam pencegahan pada
kerusakan endotel yang dihasilkan dari oksidan pada subjek diabetes dewasa yang
bergantung pada non-insulin dan efek biologis seperti, perlindungan terhadap iskemia
fokal, penghambatan inhibisi metabolisme fosfolipid, pelepasan sitokin proinflamasi, dan
aktivitas protease.35

Vitamin D
Vitamin D berguna untuk meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat pada sistem
intestinal yang nantinya akan digunakan untuk menjaga struktur normal dan fungsi dari
sistem skeletal. Defisiensi vitamin D sering terlihat pada pasien dengan diabetes, kanker,
dan peyakit autoimun. Terdapat dua bentuk vitamin D yang memiliki fungsi fundamental
yaitu ergocalciferol (vitamin D2) dan cholecalciferol (vitamin D3). Semua serum
cholecalciferol dan ergocalciferol akan terikat pada vitamin D binding protein (VDBP)
dan ditransport menuju hati untuk hidrolisasi enzimatik sehingga menghasilkan 25-
hydroxyvitamin D (25-(OH)D). Hasil tersebut akan ditranspot menuju ginjal dimana akan
dihasilkan vitamin D-1α, 25-(OH)2D.36
Vitamin D memiliki pengaruh terhadap fungsi reproduksi seperti pembentukan
folikel ovarium dan luteinisasi dengan cara merubah sinyal anti-mullerian hormone
(AMH), sensitifitas follicle stimulating hormone dan produksi progesteron pada sel
granulosa. Vitamin D juga mempengaruhi keseimbangan glukosa melalui berbagai cara.
Hal ini dapat terjadi karena terdapat reseptor vitamin D (VDR) pada sel β pankreas dan
pada otot skeletal, ekspresi dari enzim 1-α-hydroxylase yang dapat mengkatalisasi
konversi 25-(OH)D menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D, dan adanya respons vitamin D
pada gen promoter insulin manusia.37
PCOS merupakan kelainan endokrin tersering dan menyebabkan infertilitas pada
wanita usia reproduktif. Penyebab dari PCOS sendiri masih belum diketahui, namun
kelainan ini berkaitan dengan resistensi insulin dan obesitas.
Vitamin D memiliki pengaruh pada sekresi insulin sehingga banyak penelitian yang
meneliti hubungan PCOS dengan metabolisme vitamin D. Beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan antara kadar 25(OH)D3 yang rendah dengan resistensi
insulin, namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas. Salah satu teori mengatakan
bahwa efek regulasi dari vitamin D pada kalsium intraseluler dan ekstraseluler memiliki
efek pada proses insulin mediated intracellular dan juga akan memiliki efek pada sekresi
insulin. Teori lain mengatakan terdapat efek stimulasi dari vitamin D terhadap ekspresi
dari reseptor insulin sehingga menyebabkan peningkatan sensitivitas insulin. Teori
lainnya juga mengatakan bahwa vitamin D mempengaruhi sistem imun dan menyebabkan
respons inflamasi yang lebih hebat yang berbuhungan dengan resistensi insulin.
Hubungan konsentrasi vitamin D dengan obesitas juga ditemukan pada wanita yang
menderita PCOS. Hal ini merupakan konsekuensi dari hubungan antara obesitas dan
resistensi insulin serta korelasinya dengan penurunan vitamin D. Defisiensi vitamin D
juga berhubungan dengan ketidakseimbangan dalam marker hiperandrogen, seperti serum
dehydroepiandrosterone (DHEAS), total testosterone (T), free androgen index (FAI),
free testosterone, dan sex hormone binding globulin (SHBG).
Dalam penelitian Hahn et al. yang meneliti pada 120 wanita dengan PCOS,
ditemukan korelasi yang signifikan antara 25(OH)D (diukur menggunakan metode
radioimmunoassay) dan SHBG serta FAI. Namun, penelitian lain oleh Wehr et al. yang
mengukur 25(OH)D menggunakan ELISA ditemukan korelasi dengan SHBG, namun
tidak ditemukan korelasi positif dengan FAI, T, dan free testosterone. Penelitian lainnya
pada 12 wanita dengan PCOS dan defisiensi vitamin D disertai berat badan yang
overweight diberikan suplemen dosis tinggi vitamin D dan kalsium. Setelah 3 bulan,
testosteron total dan androstendione berkurang, namun SHBG dan FAI tidak berubah.
Selain itu, penelitian lain mengatakan suplementasi vitamin D dapat meningkatkan
sesitivitas dan sekresi insulin dan parameter dari ovarian folliculogenesis dan ovulasi.
Berdasarkan penelitian Thys-Jacobs et al. pada 13 wanita yang menderita PCOS,
pemberian 50.000 IU ergocalciferol setiap 1 minggu sekali atau dua kali dengan target
serum sebesar 75 – 100 nmol/l, dapat memperbaiki siklus menstruasi dan masalah
jerawat, dan 2 wanita pada penelitian ini dapat hamil setelah 6 bulan. Selain itu,
penelitian pada 60 wanita PCOS yang diberikan suplementasi 1000 mg kalsium per
harinya dan 400 IU vitamin D per harinya mengalami perbaikan dalam siklus
menstruasi.37,38

Aromatase inhibitor39,40
Aromatase inhibitor (AI) awalnya merupakan terapi untuk kanker payudara pada
wanita post menopause. Saat ini AI juga digunakan sebagai terapi untuk menginduksi
ovulasi pada wanita yang mengalami anovulasi dan memiliki respons yang tidak adekuat
terhadap terapi clomiphene citrate atau yang disebut CC (lini pertama untuk wanita yang
mengalami anovulasi). AI yang paling sering digunakan untuk induksi ovulasi adalah
letrozole dan anastrozole.
Enzim aromatase berfungsi sebagai katalisator dari konversi androgen menjadi
estrogen, terutama konversi testosterone dan androstendione menjadi estradiole (E2) dan
estrone pada ovarium. Oleh karena itu AI akan bekerja untuk menginhibisi biosintesis
dari estrogen, melepaskan aksis hipotalamus/pituitari dari negatif feedback estrogen, dan
meningkatkan sekresi FSH oleh pituitari. Maka dari itu, ovarium akan menerima
peningkatan stimulasi dari FSH sehingga menyebabkan pertumbuhan folikuler. Selain itu,
androgen yang pada normalnya dikonversi menjadi estrogen akan terakumulasi di
ovarium sehingga membuat folikel menjadi lebih sensitif terhadap FSH.
Jika dibandingkan dengan CC, AI digunakan untuk menghidari beberpa efek
samping dari CC yaitu peripheral anti estrogenic effects pada endometrium dan mukus
serviks, dan peningkatan resiko kehamilan multipel. Tidak seperti CC, AI tidak
mempengaruhi reseptor estrogen. Peningkatan kadar E2 oleh karena sekresi dari beberapa
folikel akan timbul pada hari ke 7 dan juga akan menyebabkan negatif feedback terhadap
FSH secara normal. Folikel yang tidak dominan akan mengalami atresia, sehingga folikel
yang dominan akan berovulasi.
Letrozole biasanya diberikan pada hari ke 3-7 dari siklus menstruasi dengan dosis
2,5 – 7,5 mg per hari. Efek sampingnya yaitu gangguan pencernaan, asthenia, sakit
kepala, dan sakit punggung. Selain itu menurut penelitian, penggunaan letrozole sebagai
terapi infertilitas dapat memiliki efek teratogenik.

Asam Lemak Omega-3


Penanganan yang direkomendasikan untuk wanita-wanita dengan PCOS, terutama
untuk pasien-pasien PCOS dengan obesitas, adalah perubahan gaya hidup dan nutrisi dan
penurunan berat badan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kelainan metabolik pada
pasien-pasien dengan PCOS dapat diperbaiki dengan intervensi dari faktor-faktor diet
seperti makanan-makanan anti-inflamatori. Di antara faktor-faktor diet, asam lemak
omega-3 memainkan peran penting di pengaturan imun, sensitifitas insulin, diferensiasi
seluler, dan ovulasi. Suplemen diet ini dapat digunakan untuk memperbaiki kelainan
folikulogenesis akibat stres oksidatif dan hiperinsulinemia di wanita-wanita dengan
PCOS. Suplementasi asam lemak omega-3 juga mempunyai suatu efek menguntungkan
pada beberapa faktor risiko kardiometabolik di wanita-wanita dengan PCOS, yang
diperoleh dengan mengurangi sintesis dari prostaglandin oleh inhibisi kompetitif
siklooksigenase 2 (COX-2) dan meningkatkan aktifitas enzim-enzim antioksidan. Asam
lemak omega-3 juga dapat mengurangi absorpsi kolesterol dan sintesis kolesterol LDL,
meningkatkan aktifitas reseptor LDL di hati, dan meningkatkan laju fraksional
katabolisme dari kolesterol LDL.41,42
PCOS adalah salah satu kelainan paling umum yang diderita perempuan, yang
berkaitan dengan resistensi insulin dan hiperandrogenisme. Hubungan antara resistensi
insulin dan hiperandrogenisme adalah resistensi insulin dapat menstimulasi produksi dan
sekresi dari androgen dan kegagalan ovarium. Maka dari itu, memperbaiki resistensi
insulin dipertimbangkan penting untuk PCOS. Asam lemak omega-3 adalah substansi
yang meningkatkan sensitifitas terhadap insulin dengan memproduksi dan mensekresi
adipokin anti-inflamatori (seperti adiponektin) dan mengurangi inflamasi dan sitokin
proinflamatori.43

Klomifen dan tamoxifen


Pada PCOS terdapat suatu keadaan anovulasi kronis yang ditandai dengan kista
ovarium kecil, peningkatan produksi androgen oleh ovarium, dan terkadang hipersekresi
LH. PCOS adalah penyebab paling umum akan infertilitas anovulasi. Induksi ovulasi
secara medis dengan klomifen sitrat saat ini menjadi penanganan lini pertama untuk
perempuan-perempuan yang anovulasi. Klomifen sitrat adalah suatu antiestrogen dan
bersaing dengan estrogen endogen untuk terikat pada reseptor. Guideline terbaru dari
NICE (United Kingdom National Institute for Clinical Excellence) menyatakan bahwa
penanganan lini pertama untuk grup 2 anovulasi WHO adalah klomifen sitrat (atau
tamoxifen) selama 12 bulan. Dosis klomifen sitrat harian yang dianjurkan adalah 50 mg
sampai 100 mg dengan maksimal 250 mg. Namun, resistensi klomifen (kegagalan untuk
ovulasi setelah menggunakan klomifen) cukup sering, terjadi pada sekitar 15% hingga
40% perempuan-perempuan dengan PCOS. Resistensi ini dihubungkan dengan
peningkatan indeks massa tubuh, dan program penurunan berat badan meningkatkan
keberhasilan terapi klomifen sitrat.44

3.2 Terapi Non Farmakologi


 Mengurangi berat badan
Kebiasaan makan yang sehat dan aktivitas fisik yang teratur dapat membantu
meringankan gejala yang berhubungan dengan PCOS. Kehilangan berat badan dapat
membantu menurunkan kadar glukosa darah selain itu juga membantu tubuh dalam
mencapai tingkat normal. Bahkan kehilangan 10% dalam berat badan (misalnya,
wanita 150 pon yang kehilangan 15 pon) dapat membantu membuat siklus menstruasi
menjadi lebih teratur dan meningkatkan peluang untuk hamil.
 Hair Removal
Prosedur seperti laser hair removal atau elektrolisis dapat dilakukan dalam
memperlambat pertumbuhan rambut. Perawatan kulit dengan resep (krim eflornithine
HCl) dapat membantu memperlambat laju pertumbuhan rambut baru di tempat yang
tidak diinginkan.45

3.3 Pembedahan
Prosedur bedah minor yang disebut laparoscopic ovarian drilling (LOD)
merupakan pilihan terapi untuk masalah kesuburan yang terkait dengan PCOS. Dengan
menggunakan general anesthesia, tindakan operasi dapat dilakukan dengan membuat
sayatan kecil di perut bagian bawah (perut) kemudian alat seperti mikroskop yang
panjang dan tipis yang disebut laparoskop akan dimasukan ke dalam perut pasien.
Kemudian ovarium akan dioperasi dengan menggunakan laser untuk menghancurkan
jaringan yang memproduksi androgen (hormon laki-laki). Penelitian telah membuktikan
bahwa LOD berguna untuk menurunkan kadar hormon testosteron dan luteinising (LH)
serta meningkatkan kadar hormon perangsang folikel (FSH). Teknik operasi ini dapat
digunakan dalam mengembalikan keseimbangan hormon pada penderita PCOS.46
BAB IV
KESIMPULAN

Polycystic ovarian syndome (PCOS) merupakan masalah yang kompleks yang


dikarakteristikkan dengan oligoovulasi atau anovulasi, peningkatan kadar androgen, dan
ditemukannya kista ovarian yang kecil dan multipel. PCOS juga dapat mempengaruhi periode
menstruasi, fertilitas, kadar hormonal, serta mempengaruhi penampilan yang memiliki efek
jangka panjang pada kesehatan. Penelitian menunjukkan 5 – 10% wanita berumur 18 hingga
44 tahun menderita PCOS sehingga membuat PCOS merupakan kelainan endokrin tersering
pada wanita usia reproduktif.
Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya PCOS meliputi riwayat keluarga,
pola hidup, obesitas, dan adanya faktor perkembangan saat prenatal maupun masa kanak-
kanak. Penyebab yang mendasari terjadinya PCOS tidak jelas dan belum diketahui. Hal ini
dapat menyebabgkan gangguan seperti adanya kelainan neuroendokrin, hiperandrogenisme,
obesitas, hiperinsulinemia, dan resistensi insulin. Oleh karena itu PCOS dapat ditegakkan
melalui diagnosis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. PCOS sendiri juga memiliki resiko kehamilan dimana wanita dengan PCOS yang
hamil memiliki peningkatan resiko untuk terjadinya aborsi spontan pada trimester pertama
Selain itu, PCOS pada menopause telah dibuktikan dalam salah satu penelitian jangka
panjang yang meneliti wanita dengan dan tanpa PCOS dimulai dari masa reproduktif hingga
menopause mengatakan bahwa wanita dengan PCOS hanya mengalami sedikit peningkatan
atau bahkan tidak mengalami peningkatan pada tekanan darah sistol dan berat badan selama
masa transisi menuju menopause.

Kondisi PCOS belum dapat disembuhkan, tetapi terapi obat dapat mengurangi gejala

yang terjadi. Pilihan terapi pengobatan yang dapat digunakan untuk mengurangi gejala PCOS

terbagi menjadi terapi farmakologi, terapi non farmakologi, dan tindakan operasi. Penelitian

terbaru juga menunjukkan bahwa myo-inotisol, d-chiro-inotisol, vitamin D, N-acetyl-

cysteine, aromatase inhibitor, asam lemak omega-3, klomifen dan tamoxifen dapat menjadi

pilihan terapi bagi wanita dengan PCOS.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM. Williams gynecology. 3rd ed.
McGraw-Hill Education; 2016.
2. Williams T, Mortada R, Porter S. Diagnosis and treatment of polycystic ovary
syndrome. Am Fam Physician. 2016;94(2):106–13.
3. Ndefo UA, Eaton A, Green MR. Polycystic ovary syndrome. Pharm Ther. 2013
Jun;38(6):336–55.
4. Santoso B. Sindroma ovarium polikistik: problem reproduksi dan tantangannya terkait
dengan gaya hidup perempuan Indonesia. Airlangga; 2014.
5. Polycystic ovary syndrome: what it means for your long-term health. Royal College of
Obstetricians & Gynaecologists; 2015.
6. Sirmans SM, Pate KA. Epidemiology, diagnosis, and management of polycystic ovary
syndrome. Clin Epidemiol. 2013;6:1–13.
7. Christensen SB, Black MH, Smith N, Martinez MM, Jacobsen SJ, Porter AH, et al. The
prevalence of polycystic ovary syndrome in adolescents. Fertil Steril. 2013;100(2).
8. Qureshi S, Gupta JK, Shah K, Upmanyu N. Prevalence and risk factor of polycystic
ovarian syndrome. Asian J Pharm Clin Res. 2015;9:23–5.
9. Begum GS, Shariff A, Ayman G, Mohammad B, Housam R, Khaled N. Assessment of
risk factors for development of polycystic ovarian syndrome. Int J Contemp Med Res.
2017;4(1):164–7.
10. POGI. Standar pelayanan medik obstetrik dan ginekologi: sindroma ovarium polikistik.
Jakarta: Perkumpulan obstetrik dan ginekologi Indonesia; 2010. P:271-80.
11. Maharani, L., R. Wratsangka. 2002. Sindroma Ovarium Polikistik: permasalahan dan
penatalaksanaannya. Jakarta: Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti Jakarta.
12. Budi R. Hadibroto. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. Medan: Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik
Medan.
13. Norwitz, Errol, Schorge, John. At Glance: Obstetrik dan Ginekologi. Edisi kedua.
Jakarta: Erlangga medical series (EMS); 2012. p: 74-8
14. Kamalanathan S, Sahoo JP, Sathyapalan T. Pregnancy in polycystic ovary syndrome.
Indian J Endocrinol Metab. 2013;17(1):37–43.
15. Palomba S, de Wilde MA, Falbo A, Koster MPH, La Sala GB, Fauser BCJM.
Pregnancy complications in women with polycystic ovary syndrome. Hum Reprod
Update. 2015;21(5):575–92.
16. Qin JZ, Pang LH, Li MJ, Fan XJ, Huang RD, Chen HY. Obstetric complications in
women with polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. Reprod
Biol Endocrinol RBE. 2013;11:56.
17. George B, Bantwal G. Polycystic ovary syndrome (PCOS) - from in utero to
menopause. Diabetes Obes Int J. 2016;1(2).
18. K Welt C, Carmina E. Lifecycle of Polycystic Ovary Syndrome (PCOS): From In Utero
to Menopause. J Clin Endocrinol Metab. 2013;98.
19. Carmina E, Campagna AM, Lobo RA. A 20-year follow-up of young women with
polycystic ovary syndrome. Obstet Gynecol. 2012;119:263–269
20. Carmina E, Campagna AM, Lobo RA.Emergence of ovulatory cycles with aging in
women with polycystic ovary syndrome (PCOS) alters the trajectory of cardiovascular
and metabolic risk factors. Hum Reprod. 2013;28:2245–2252
21. Bhattacharya SM, Jha A. Comparative study of the therapeutic effects of oral
contraceptive pills containing desogestrel, cyproterone acetate, and drospirenone in
patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril. 2012;98(4):1053–105
22. Conway G, Dewailly D, Diamanti-Kandarakis E, et al. ESE PCOS Special Interest
Group The polycystic ovary syndrome: a position statement from the European Society
of Endocrinology. Eur J Endocrinol. 2014;171(4):P1–29
23. de Nadai MN, Nobre F, Ferriani RA, Vieira CS. Effects of two contraceptives containing
drospirenone on blood pressure in normotensive women: a randomized-controlled
trial. Blood Press Monit. 2015;20(6):310–315.
24. Dragoman M, Curtis KM, Gaffield ME. Combined hormonal contraceptive use among
women with known dyslipidemias: a systematic review of critical safety
outcomes. Contraception. 2015 Aug 10; Epub.
25. Melo AS de, Reis RM dos, Ferriani RA, Vieira CS. Hormonal contraception in women
with polycystic ovary syndrome: choices, challenges, and noncontraceptive benefits.
Open Access J Contracept. 2017;8:13.
26. Legro RS, Arslanian SA, Ehrmann DA, et al.; Endocrine Society. Diagnosis and
treatment of polycystic ovary syndrome: an Endocrine Society clinical practice
guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2013;98(12):4565–4592
27. Buzney E, Sheu J, Buzney C, Reynolds RV. Polycystic ovary syndrome: a review for
dermatologists: Part II. Treatment. J Am Acad Dermatol. 2014;71(5):859.e1–859.e15.
28. Dumesic DA, Lobo RA. Cancer risk and PCOS. Steroids. 2013;78(8):782–785
29. R.L. Barbieri. Clomiphene versus metformin for ovulation induction in polycystic ovary
syndrome. Clin Endocrinol Metab, 92 (2007), pp. 3399-3401
30. Vanky E, Stridsklev S, Heimstad R, et al. Metformin versus placebo from first trimester
to delivery in polycystic ovary syndrome: a randomized, controlled multicenter study. J
Clin Endocrinol Metab. 2013;95:E448–E455.
31. Arslanian SA, Lewy V, Danadian K, Saad R. Metformin therapy in obese adolescents
with polycystic ovary syndrome and impaired glucose tolerance: amelioration of
exaggerated adrenal response to adrenocorticotropin with reduction of
insulinemia/insulin resistance. J Clin Endocrinol Metab. 2016;87:1555–1559.
32. Bizzarri M, Fuso A, Dinicola S, Cucina A, Bevilacqua A. Pharmacodynamics and
pharmacokinetics of inositol(s) in health and disease. Expert Opinion on Drug
Metabolism and Toxicology 2016. 12 1181–1196. (10.1080/17425255.2016.1206887)
33. Di Paolo G, De Camilli P. Phosphoinositides in cell regulation and membrane
dynamics. Nature 2006. 443 651–657. (10.1038/nature05185)
34. Colazingari S, Treglia M, Najjar R, Bevilacqua A. The combined therapy myo-inositol
plus D-chiro-inositol, rather than D-chiro-inositol, is able to improve IVF outcomes:
results from a randomized controlled trial. Arch Gynecol Obstet. 2013 Dec;288(6):1405-
11
35. Salehpour S., Sene A. A., Saharkhiz N., Sohrabi M. R., Moghimian F. N-acetylcysteine
as an adjuvant to clomiphene citrate for successful induction of ovulation in infertile
patients with polycystic ovary syndrome. Journal of Obstetrics and Gynaecology
Research. 2012;38(9):1182–1186. doi: 10.1111/j.1447-0756.2012.01844.x.
36. Skowrońska P, Pastuszek E, Kuczyński W, Jaszczoł M, Kuć P, Jakiel G, et al. The role
of vitamin D in reproductive dysfunction in women – a systematic review. Ann Agric
Environ Med. 2016;23(4):671–6.
37. Lin M-W, Wu M-H. The role of vitamin D in polycystic ovary syndrome. Indian J Med
Res. 2015;142(3):238–40.
38. Krul-Poel YHM, Snackey C, Louwers Y, Lips P, Lambalk CB, Laven JSE, et al. The
role of vitamin D in metabolic disturbances in polycystic ovary syndrome: a systematic
review. Eur J Endocrinol. 2013;169(6):853–65.
39. Misso ML, Wong JLA, Teede HJ, Hart R, Rombauts L, Melder AM, et al. Aromatase
inhibitors for PCOS: a systematic review and meta-analysis. Hum Reprod Update.
2012;18(3):301–12.
40. Usluogullari B, Duvan CZ, Usluogullari CA. Use of aromatase inhibitors in practice of
gynecology. Journal of Ovarian Research. 2015;8(1):4.
41. Sarbolouki SH, Djalali M, Dorosty AR, Djazayery SA, Eshraghian MR, SAR E, et al.
Effects of EPA and vitamin E on serum enzymatic antioxidants and peroxidation indices
in patients with type II diabetes mellitus. Iranian J Publ Health. 2010;39:82–91.
42. Tayyebi-Khosroshahi H, Houshyar J, Tabrizi A, Vatankhah AM, Razzaghi Zonouz N,
Dehghan-Hesari R. Effect of omega-3 fatty acid on oxidative stress in patients on
hemodialysis. Iran J Kidney Dis. 2010;4:322–6.
43. Cussons AJ, Watts GF, Mori TA, Stuckey BGA. Omega-3 fatty acid supplementation
decreases liver fat content in polycystic ovary syndrome: a randomized controlled trial
employing proton magnetic resonance spectroscopy. J Clin Endocrinol Metab.
2009;94:3842–8.
44. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health/National Institute for
Clinical Excellence. Fertility problems: assessment and treatment. National
Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health 2013.
45. Polycystic ovary syndrome [Internet]. womenshealth.gov. 2016 [cited 2018 Aug 19].
Available from: https://www.womenshealth.gov/a-z-topics/polycystic-ovary-syndrome
46. Treatment [Internet]. nhs.uk. 2017 [cited 2018 Aug 19]. Available from:
https://www.nhs.uk/conditions/polycystic-ovary-syndrome-pcos/treatment/

You might also like