You are on page 1of 18

MAKALAH

“BATAK SIMALUNGUN”

Tentang :

SEJARAH DAN ADAT ISTIADAT BATAK SIMALUNGUN

Disusun Oleh :
CHRISTINA M SARAGIH (163309010151)

Dosen :

Sonya Arini Batubara, S.H., M.H

Program Studi : ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA


T.A 2017/2018
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam administrasi pendidikan.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan, oleh kerena itu saya harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. I

DAFTAR ISI............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

BAB II ISI ................................................................................................................. 2

A. Sejarah Singkat Suku Simalungun .......................................................... 2


B. Urutan Pernikahan Adat Simalungun ...................................................... 3
C. Upacara Kematian Untuk Raja ............................................................... 11

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 14

A. Kesimpulan .............................................................................................. 14
B. Saran ........................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15

ii
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku bangsa yang mendiami wilayah Sumatera Utara, masing-masing mempunyai ciri khas
budaya sendiri-sendiri, termasuk dalam mengapresiasikan adat perkawinannya. Munculnya
keanekaragaman budaya ini, tentu erat kaitannya dengan lokasi wilayah serta aspek
kesejarahan pertumbuhan penduduk di tempat mereka berdomisili, sehingga tepatlah bunyi
pepatah yang mengatakan: “Lain padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya”. Manusia
adalah mahluk sosial yang berarti bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lainnya.
Setiap manusia yang berlainan jenis kelamin saling membutuhkan untuk dijadikan teman
hidupnya, sebagai perwujudan sifat naluri tersebut sesuai dengan norma-norma agama.
Perkawinan dalam arti membentuk rumah tangga pada kenyataannya menunjukkan
perbedaan di samping ada juga persamaannya antara suku bangsa yang satu dengan suku
bangsa yang lain, hal ini dapat disebabkan karena adat istiadat yang berbeda atau juga
perbedaan agama yang dianut. Dalam melaksanakan perkawinan hendaknya dipenuhi
ketentuan-ketentuan atau syaratsyarat baik itu yang ditentukan oleh undang-undang
perkawinan, agama, dan juga yang ditentukan oleh adat-istiadat suatu daerah (suku bangsa)
Upacara perkawinan merupakan saat yang paling menentukan kesahan perkawinan tersebut,
apakah perkawinan tersebut sesuai dengan adat atau tidak bagi masyarakat Simalungun dan
juga ditentukan lewat terselenggaranya adat pada sebelum upacara perkawinan, saat upacara
perkawinan, dan sesudah upacara perkawinan, karena dengan terlaksananya upacara
perkawinan ini maka akan dianggap merupakan perkawinan yang ideal dan memiliki nilai
tinggi bagi masyarakat yang melaksanakannya. sistem adat yang dipakai sebelum masyarakat
Simalungun mengenal agama. Kita bisa melihat bagaimana orangtua atau panatua adat dulu
menggagas istilah di dalam perkawianan adat simalungun yaitu Tolu Sahundulan dan Lima
saodoran mengandung nilai-nilai yang diakui serta ditaati oleh masyarakat dan mendasari
hampir semua perilaku budaya masyarakat Simalungun, termasuk tujuan dan tata cara dalam
pelaksanaan upacara perkawinan. Secara etimologis Tolu Sahundulan berarti Tiga teman
musyawarah/sekedudukan, sedangkan Lima Saodoran diartikan sebagai Lima teman
sebarisan/Serombongan.

1
BAB II

ISI

A. SEJARAH SINGKAT SUKU SIMALUNGUN


Dari sumber-sumber kuno dan cerita-cerita rakyat di Simalungun, orang yang
kemudian menjadi suku Simalungun berketurunan dari ragam nenek moyang. Dalam
perjalanan sejarahnya, suku Simalungun datang dalam dua gelombang. Gelombang pertama
(Proto Simalungun) diperkirakan datang dari India Selatan (Nagore) dan India Timur
(Pegunungan Assam) sekitar abad ke-5 menyusuri Birma terus ke Siam dan Melaka
selanjutnya menyebrang ke Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari Raja
dinasti Damanik. Dan kemudian gelombang kedua (Deutro Simalungun) yang merupakan
pembaruan suku-suku tetangga dengan suku Simalungun asli (Herman Purba Tambak, SIB
3/9/2006, hlm. 9).
Selanjutnya panglima-panglima (Raja Goraha) Kerajaan Nagur bermarga Saragih,
Sinaga dan Purba dijadikan menantu oleh Raja Nagur dan kelak mendirikan kerajaan-
kerajaan : Silou (Purba Tambak), Tanoh Djawa (Sinaga), Raya (Saragih). Kerajaan-kerajaan
ini pada abad XIII-XV mengalami serangan-serangan dari tentara Singasari, Majapahit,
Rajendra Chola dari India dan terakhir Aceh, sultan-sultan Melayu dan Belanda. Terkenal
dalam cerita-cerita rakyat Simalungun akan ”hattu ni sappar” yang melukiskan situasi
mengerikan di Simalungun akibat peperangan itu, mayat-mayat bergelimpangan, kericuhan
sehingga mengakibatkan wabah penyakit kolera yang merajalela.
Dan konon menurut legenda, orang Simalungun mengungsi ke seberang Laut Tawar (obat
penawar Sappar) sampai ke sebuah pulau yang kemudian dinamai “Samosir” (Sahali misir).
Kelak keturunan orang Simalungun yang berdiam di Samosir kembali lagi ke kampung
halamannya (huta hasusuran) di Nagur dan dilihatlah daerah itu sudah ditinggalkan orang
karena mengungsi, sepi dan yang tersisa hanya peninggalan rakyat Nagur, sehingga
dinamakanlah daerah Nagur itu “sima-sima ni nalungun” dan lama kelamaan menjadi
Simalungun (daerah yang sunyi sepi) (M.D Purba, 1997).
Pembauran dengan suku-suku tetangga khususnya dari Pulau Samosir, Silalahi, Karo,
dan Pakpak menyebabkan adanya timbul marga baru di Simalungun, seperti: marga Sidauruk,
Sidabalok, Siadari, Simarmata, Simanihuruk, Sidabutar, Munthe, Sijabat yang berafiliasi
dengan marga Saragih, Manorsa, Simamora, Sigulang Batu, Parhorbo, Sitorus dan

2
3

Pantomhobon yang berafiliasi dengan marga Purba, Malau, Limbong, Sagala, Gurning,
Manikraja yang berafiliasi dengan marga Damanik, Sipayung, Sihaloho, Sinurat, Sitopu yang
berafiliasi dengan marga Sinaga (tetapi sejak Revolusi Sosial sudah kembali ke marga
asalnya). Selain itu masih ada marga Lingga, Manurung, Butar-butar, Sirait di Simalungun
timur dan barat. Demikianlah sampai zaman modern ini “warna-warni” suku Simalungun ini
menyebabkan suku Simalungun sangat toleran dan bahkan nyaris “hilang” karena terlalu
terbukanya dengan para pendatang. Belum lagi dengan suku Simalungun yang masuk Islam
sejak abad XV di Asahan dan Deli serta Serdang mengaku dirinya Melayu dan
menghilangkan identitasnya sebagai suku Simalungun.
Dahulu kala menurut Tuan Taralamsyah Saragih (surat pribadi,1963), orang Simalungun asli
itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan
rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan
Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka
mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga
Simalungun yang empat populer dengan nama SISADAPUR (Sinaga, Saragih, Damanik dan
Purba) berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu
agar jangan saling menyerang, bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup
mangimbang munssuh)

UPACARA RITUAL KELAHIRAN :


- mangalop parhorasan (memohon berkat)
- paabinghon pahompu (menggendong cucu), dan
- patohuhon pahompu (menghantar cucu

B. URUTAN PERNIKAHAN ADAT SIMALUNGUN


a.Pranikah
b.Pesta pernikahan
c. Pasca pernikahan

PraNikah
1.Mangarisika
adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka
penjajakan, jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria
4

memberikan tanda terima (tanda holong pihak wanita memberikan tanda mata ). Jenis
barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.

2.Marhori-horiDinding
Marhori-hori dinding yaitu pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan
yang dilamar terbatas dalam hubungan keluarga kedua pihak dan belum diketahui oleh
umum. Serta membicarakan perihal pernikahan, tanggal pernikahan, tempat, dan sinamot.

3.Marhusip

Marhusip ialah Marbisik atau keputusan yang akan dihasilkan di tahap selanjutnya
sudah ditentukan sekarang. Marhusip kelanjutan dari marhori-hori dinding, umumnya
dilakukan 3 bulan sebelum hari H. Marhusip dihadiri lebih banyak kerabat.

Rombongan hula-hula untukmasuk ke tempat acara dengan urutan uduran


(rombongan ) yaitu Hula-hula lah yang pertama masuk diikuti tulang dan seterusnya sesuai
dengan urutan adat. Tanda makanan adat yang pokok adalah kepala utuh, leher
(tanggalan),rusuk melingkar (somba-somba), pangkal paha (soit), punggung dengan ekor
(upasira) hati dan jantung ditempatkan dalam baskom / ember besar. Makanan adat tersebut
diserahkan kepada pihak perempuan yang intinya menunjukkan kerendahan hati dengan
mengatakan walaupun makanan yang kami bawa ini sedikit semoga membawa manfaat dan
berkatjasmani dan rohani bagi semua yang menyantapnya, sambil menyebut bahasa adat :
Sitiktikma si gompa, golang – golang pangarahutna, tung so sadia otik pe naung pinatupai,
sai godangma pinasuna manjalo tumpak ( sumbangan tanda kasih )

Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat wanita untuk
melakukan marhata sinamot / membicarakan masalah uang jujur (tuhor).

Busana yang akan dipakai dalam acara pernikahan

Pengantin wanita

Hiou dalam pakaian pengantin Simalungun juga melambangkan kekerabatan


Simalungun yang disebut Tolu Sahundulan, yang terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup
dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (abit). Hiou penutup kepala wanita disebut Bulang,
5

kain yang disandang disebut Suri-suri. Pengantin wanita mengenakan kebaya dengan bahan
brokat merah atau disesuaikan dengan selera.

Pengantin Pria

Pengantin pria mengenakan jas yang dipadu dengan celana panjang dengan warna
sama. Hiou yang disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.Marhata sinamot lebih
formal lagi dari marhusip tetapi terkadang marhusip dan marhata sinamot digabung.

4.Pudun Sauta
Adalah pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan
lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih ) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah
makan bersama dilanjutkan dengan pembagian jambar juhut (daging)kepada anggota kerabat
yang terdiri dari :

1. kerabat marga i bu (hula-hula

2. Kerabat marga ayah (dongan tubu)

3. Anggota marga menantu(boru)

4. Pengetuai (orang-orang tua/pariban

Diakhir kegiatan pudun sauta maka pihak keluaraga wanita dan pria bersepakat
menentukan waktu martumpol dan pamasu – masuon.

5.Martumpol
Ialah Sebuah acara perjanjian pernikahan di Gereja dimana calon mempelai harus
membacakan janji akan menikah, menandatangani surat perjanjian dan sekaligus sebagai
pengumuman kepada jemaat gereja kalau ada yang mau di protes. Penanda-tanganan
persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak
mereka dihadapan pejabat gereja.

Tata cara partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang
berlaku selanjutnya pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai
melalui warta jemaat di GKPS, yang disebut dengan Tingting. Tingting harus dilakukan dua
6

kali hari minggu berturut-turut, apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak
lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon)

b. Pesta Pernikahan

1. Di Gedung

a.Prosesi masuk tempat acara adat

acara di tempat perempuan :

*Raja parhata/protokol pihak perempuan

*Raja parhata/protokol pihak laki-laki

*Suhut pihak wanita

*Suhut pihak laki-laki

Raja parhata/protokol pihak wanita meminta semua dongan tubu/semarganya bersiap


untuk menyambut dan menerima kedatangan rombongan hula-hula dan tulang. Raja
parhata/protokol pihak perempuan memberi tahu kepada Hula-hula, bahwa Suhut pihak laki-
laki sudah siap menyambut dan menerima kedatangan Hula-hula. Setelah Hula-hula
mengatakan mereka sudah siap untuk masuk , Raja parhata/protokol pihak wanita
mempersilakan masuk dengan menyebut satu persatu secara berurutan:

1.Hula-hula

2.Tulang

3.BonaTulang

4.Bonaniari

5.Hula-hulanamarhamaranggi

6. Hula-hula anak manjae, dengan permintaan agar mereka bersama-sama masuk dan
menyerahkan pengaturan selamjutmya kepada hula-hula.

b. Menerima kedatangan suhut paranak pihak pria

Setelah seluruh rombongan hula-hula dan tulag dari suhut pihak wanita duduk
rombongan paranak/suhut pihak laki-laki dipersilakan memasuki ruangan Raja
7

parhata/protokol pihak wanita. Memberi tahu bahwa tempat untuk suhut pihak laki-laki dan
uduran/rombongannya sudah disediakan dan suhut pihak wanita sudah siap menerima
kedatangan mereka beserta hula-hula, Tulang suhut pihak laki-laki dan
uduran/rombongannya yaitu :

1.Hula-hula

2.Tulang

3.Bonatulang

4.Tulangrorrobot

5.Bonaniari

6.Hula–hulanamarhamaranggi

7.Hula-hulaanakmanjae

Raja parhata/protokol pihak laki-laki memohon sesuai permintaan hula-hula suhut


pihak wanita agar mereka masuk bersama-sama dengan suhut pihak laki-laki. Untuk itu tata
cara dan urutan memasuki ruangan pertama diatur uduran/ rombongan suhut pihak laki-laki
dan borunya, disusul hula-hula, Tulang dan seterusnya sesuai dengan urutan yang dibacakan
raja parhata/protokol pihak laki-laki

c.Menyerahkan tanda makanan

(Tudu-tudu ni sipanganon)

d. Menyerahkan dengke (ikan oleh suhut pihak wanita )

Ikan yang diberikan adalah jenis ikan batak yaitu sejenis ikan yang hanya hidup di
Danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan rasanya memang manis dan khas. Ikan ini
mempunyai sifat hidup di air yang jernih (tio) dan kalau berenang selalu beriringan (mudur-
mudur) karena itu disebut dengke sitio-tio. Simbol inilah yang menjadi harapan kepada
pengantin dan keluarganya yaitu seia sekata, beriringan dan mudah rejeki (tio pencarian
pakon pangomoan). Ikan mas dimasak dengan masakan khas batak yaitu ‘ naniarsik ‘ ikan
yang dimasak dengan bumbu tertentu sampai airnya berkurang pada kadar tertentu dan
bumbunya sudah meresap ke dalam daging ikan itu. Dalam menyerahkan Ikan tersebut
biasanya menggunakan bahasa adat.
8

e. Makan bersama

Sebelum menyantap makan terlebih dahulu berdoa dari suhut pihak pria, untuk
pengantar makan raja parhata pihak laki-laki menyampaikan satu uppasa (ungkapan adat)
yaitu Sitiktikma si gompa, golang-golang pangarahutna , sosadia pe napinatupa on, sai
godang ma pinasuna. Ungkapan ini menggambarkan kerendahan hati yang membawa
makanan, yang artinya walaupun makanan yang dihidangkan tidak seberapa tetapi
mengharapkan agar semua dapat menikmatinya serta membawa berkat, kemudian raja
parhata pihak laki-laki mempersilahkan untuk makan.

f. Membagi Jambar (tanda makanan adat)

sebelum jambar di bagi, terlebih dahulu dirundingkan bagian-bagian mana yang


diberikan suhut pihak wanita kepada suhut pihak laki-laki, tetapi yang dianut dalam acara
adat yaitu “ Jambar Mangihut “ dimana jambar sudah dibicarakan sebelumnya dan dalam
acara adatnya suhut pihak wanita tinggal memberikan bagian jambar untuk suhut pihak laki-
laki yaitu ulu ni dengke. Selanjutnya masing-masing suhut membagikannya kepada masing-
masing fungsi dari pihaknya masing-masing saat makan sampai selesai diberikan.

Tumpak adalah sumbangan bentuk uang atau tanda kasih, tetapi melihat keberadaan
masing-masing dalam acara adat . Yang memberikan tumpak adalah undangan suhut pria
yang diantarkan ketempat suhut duduk dengan memasukkannya dalam baskom yang
disediakan dihadapan SUHUT, sambil menyalami pengantin dan suhut. Setelah selesai
makan Raja parhata pihak laki-laki meminta ijin kepada Raja parhata pihak wanita agar
mereka diberi waktu untuk menerima para undangan untuk mengantarkan tumpak (tanda
kasih) setelah raja parhata pihak wanita mempersilakan, raja parhata pihak laki-laki
menyampaikan kepada dongan tubu, boru/bere dan undangannya bahwa suhut pihak laki-laki
sudah siap menerima kedatangan mereka untuk mengantar tumpak. Setelah selesai Raja
parhata pihak laki-laki mengucapkan terima kasih atas pemberian tanda kasih dan para
undangannya :

1. Raja parhata pihat wanita menanyakan apakah sudah siap memulai percakapan ? suhut
pihak laki-laki menjawab “mereka sudah siap “

2. Masing-masing Raja parhata pihak wanita dan laki-laki menyampaikan kepada pihaknya
dan hula-hula serta tulangnya bahwa percakapan adat akan dimulai, dan memohon kepada
9

hula-hulanya agar berkenan memberi nasehat kepada kedua mempelai dalam percakapan
adat.

c.Pasca Pernikahan
1.Mangihut di ampang (dialap jual)

Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria dengan mengiringi jual
berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.

2.Ditaruhon jual

Jika pesta pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria maka mempelai wanita
dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa
manaru ( upah mengantar )dalam dialap jual upa manaru tidak di kenal.

3. Paranak makan bersama di tempat kediaman si pria (Daulat ni si panganon):

Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria. Di adakan


acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah
pengantin pria. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru.

4.Paulak Unea

a. Setelah satu,tiga,lima atau tujuh hari wanita tinggal bersama dengan suaminya,
maka paranak , minimumpengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk
menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, Terutama keadaan
baik pengantin wanita pada masa gadisnya (berkaitan dengan kesucian si anak wanita sampai
ia masuk di dalam pernikahan).

b. Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke rumahnya untuk memulai
hidup baru.

5.Manjahea

Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalanin. Hidup berumah tangga
(jika pria tersebut bukan anak bungsu ) maka mereka akan manjahea yaitu dipisah rumah
(tempat tinggal ) dan mata pencaharian.

6.Maningkir Tangga
10

Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah
berdiri sendiri (rumah dan mata pencahariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki )
maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga .
Dalam kunjungan ini parboru membawa makanan (nasi dan lauk-pauk, dengke sitio-tio dan
dengke simudur-mudur) dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini, maka selesailai
rangkaian adat pernikahan.

Namatei Saur Matua

Kematian adalah salah satu siklus dari kehidupan manusia selain kelahiran, pubertas
dan perkimpoian. Pada salah satu fase dalam siklus ini sering dilaksanakan upacara. Upacara
tersebut dilakukan karena merupakan tahap-tahap penting dalam kehidupan manusia untuk
diperingati. Peringatan upacara tersebut dinamakan upacara peralihan (rites of passage). Di
masyarakat Simalungun, seseorang yang meninggal dunia pada usia lanjut dan telah
meninggalkan anak cucu, dilakukan upacara kematian yang disebut namatei saur matua.
Kematian pada usia lanjut tidak perlu lagi bersedih, namun merupakan satu kegembiraan,
karena menjadi berkah. Ketika ada seorang warga Simalungun yang berusia lanjut meninggal
di suatu perkampungan, mereka memahami seketika itu banyaknya kegiatan yang harus
segera dilakukan oleh warga setempat sebagai persiapan menjelang dilangsungkannya
upacara pemakaman. Jenazah yang bersangkutan diletakkan di tengah-tengah ruang keluarga
yang kemudian segera dihadiri oleh para kerabat dan rekan.

Ensamble musik gonrang bolon dimainkan di dalam ataupun di luar rumah, namun
pada tempat yang berdekatan dengan jenazah. Pernah terjadi suatu ketika untuk menghormati
seorang wanita tua Simalungun, dilangsungkan berbagai kegiatan selama tiga hari tiga malam
sebagai bentuk penyesuaian terhadap kehidupan masyarakat modern. Ansamble musik
gonrang berhenti dimainkan pada saat mendekati tengah malam, meskipun menurut tradisi
yang asli, musik ini dimainkan secara nonstop. Mendekati senja hari setelah berlangsungnya
upacara disertai dengan kata-kata sambutan, arak-arakan menuju lokasi penguburanpun mulai
dilaksanakan dengan dipimpin oleh para pemain musik dan pengusung jenazah. Demikianlah
seorang warga Simalungun dibaringkan ke peristirahatannya yang terakhir menurut tata cara
yang digariskan oleh tradisi.
11

C.Upacara Kematian Untuk Raja

Pada saat seorang raja wafat, kematiannya harus disebarluaskan kepada rakyat dan berbagai
persiapan harus segera dilaksanakan di istana. Jenazah raja dipersiapkan dan ditempatkan
pada suatu anjungan di tengah-tengah suatu ruangan besar untuk diperlihatkan kepada
khalayak, agar para rekan, kerabat serta kenalan yang hadir dapat menari di sekelilingnya.

Para pekerja (parhobas) mulai membangun usungan, sebuah tandu dari bambu yang
digotong oleh limapuluh hingga tujuh puluh lima orang yang digunakan untuk menampung
peti mati beserta jenazah raja. Untuk meletakkan peti mati ke atas tandu besar itu dibuatlah
sebuah tangga panjang yang terbuat dari bambu.

Lembaran-lembaran kain putih (porsa) dibagikan kepada para anggota keluarga laki-laki dan
pelayat yang lain sebagai tanda dukacita. Kain ini sebagian dililitkan pada kepala menyerupai
sorban dan sebagian lagi diikatkan melingkari lengan. Alat-alat musik dibungkus dengan kain
putih itu juga. Para penari dan pemain musik dipanggil menghadap ke istana. Para penari
dengan pakaian-pakaian tertentu yang dipersiapkan untuk acara yang akan segera di mulai.

Setelah semuanya siap, ketiga fase upacara pemakaman seorang raja Simalungun
dapat dilaksanakan (1) Kegiatan Huda-huda yang berpusat di halaman istana, (2)
Mandingguri, acara disekitar peti mati yang dilakukan di dalam istana, (3) Manandur/manuan
berbagai ritual yang terakhir di lokasi pemakaman. Ketiga fase itu dirancang guna memenuhi
kebutuhan untuk memperlihatkan rasa hormat, pengungkapan rasa simpatik, dan kesedihan
serta memberikan bantuan kepada mereka yang ditinggalkan

Mandingguri adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suara-


suara kematian di daerah Simalungun. Lonceng kematian untuk menggambarkan sifat
mandingguri sebagai bunyi ansemble musik gonrang di rumah seseorang yang meninggal
dunia. Salah satu sumber bunyi pada saat berlangsungnya upacara pemakaman gaya
Simalungun adalah dimainkannya ansambel musik gonrang. Ansambel musik gonrang ini
memainkan musik bilamana terjadi peristiwa kematian.

Mauli Bulung adalah berbicara tentangkematian seseoang dalam konteks adat Batak. Jenis
kematian lain seperti :
“Martilaha”
(anak yang belum berumah tangga meninggal dunia)
“Mate Mangkar”
12

(yang meninggal suami atau isteri, tetapi belum berketurunan)


“Matipul Ulu”
(suami atau isteri meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil)
“Matompas Tataring”
(isteri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil).

Sari Matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah
bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara anak-
anaknya yang belum kawin (hot ripe).

Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai PARTUTURAN.


Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan
dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut :

 Tutur Manorus / Langsung

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.

 Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun

 Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai
tanda hormat.

Tari Toping Toping dan Tangis Tangis

Toping-toping dan tangis tangis adalah jenis tarian tradisional dari suku Batak
Simalungun yang dilaksanakan pada acara duka cita di kalangan keluarga Kerajaan. Toping-
toping atau huda-huda ini terdiri dari 3 (tiga)m bagian, bagian pertama yaitu huda-huda yang
dibuat dari kain dan memiliki paruh burung enggang yang menyerupai kepala burung
enggang yang konon menurut cerita orang tua bahwa burung enggang inilah yang akan
membawa roh yang telah meninggal untuk menghadap yang kuasa, bagian yang kedua adalah
manusia memakai topeng yang disebut topeng dalahi dan topeng ini dipakai oleh kaum laki-
laki dan wajah topeng juga menyerupai wajah laki-laki dan kemudia topeng daboru dan yang
memakai topeng ini adalh perempuan karena topeng ini menyerupai wajah perempuan
(daboru). Pada tanggal 06 s/d 08 Agustus 2009 tepatnya di Kota Perdagangan Pematang
Siantar diadakan acara yang disebut dengan Pasta Rondang Bintang, acara ini dilaksanakan
13

secara rutin setiap tahunnya. Dalam acara ini digelar berbagai kegiatan seni dan budaya
diantaranya berbagai jenias tari daerah Simalungun, Festival Lagu daerah, permainan
tradisional (Jelengkat atau enggrang) dan Festival Toping-toping dan tangis-tangis.

Festival toping-toping dan tangis-tangis ini diadakan pada acara Pesta Rondang
Bintang dengan tujuan untuk mengangkat dan mengembangkan kembali peranan toping-
toping atau tangis-tangis yang biasanya dilaksanakan pada saat acara duka cita di daerah
Simalungun. Pada Zaman dahulu penampilan huda-huda atau toping-toping dan tangis-tangis
hanya dilaksanakan dikalangan keluarga kerajaan saja dan karena sekarang keberadaannya
sudah tidak ada lagi, maka akan diaktifkan kembali dalam kehidupan sehari hari. Dari sekian
lama Pesta Rondang Bintang dilaksanakan baru kali ini diadakan festival toping-toping dan
tangis-tangis karena dari pengamatan dan pantauan dilapangan sudah sangat jarang dan
biasanya acara ini juga dilaksanakan jika orang yang punya hajatan adalah orang yang sudah
saur matua atau orang yang sudah lengkap anak, cucu dari masa tuanya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Suku Simalungun yang terletak di Timur provinsi Sumatera Utara ini memiliki
kekhasan budaya yang patut dilestarikan. Mulai dari bahasa,kepercayaan,baju adatnya sampai
kehidupan masyarakatnya.Masyarakt Simalungun berasal dari 4 marga besar yang kabarnya
berasal dari India Selatan. Ke-4 marga tersebut adalah Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga.
Mereka adalah raja-raja kerajaan Simalungun yang bersatu dan tak menginginkan adanya
perang antara yang satu dengan yang lain. Suku Simalungun biasanya menggunakan Bahasa
Simalungun (bahasa simalungun: hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Karena begitu
besar pengaruh yang datang dari suku-suku di sekitarnya, mengakibatkan beberapa bagian
Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Kepercayaan
suku Simalungun sebagian besar kepada mantera-mantera dari "Datu" (dukun), disertai
persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga
Dewa yang disebut Naibata yang dilambangkan dengan warna putih,merah dan hitam.

B. Saran

Dalam rangka upaya pelestarian Budaya Bangsa, diharapkan kepada generasi muda
agar tetap mempertahankan nilai-nilai budaya tersebut. Dalam hal ini termasuk Budaya Adat
perkawinan Simalungun, setiap masyarakat Simalungun pada umunya agar lebih mengerti
dan menerapkan pelaksanaan fungsi Adat dalam upaya cara perkawinan, sebagaimana
mestinya sehingga menjadi suatu keharusan dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menyelenggarakan suatu upacara perkawinan hendaknya bekerjasama antara pengetua
Adat selaku pemimpin dalam masyarakat dengan masyarakat.

14
15

DAFTAR PUSTAKA

Japiten Sumbayak, Refleksi Habonaron Do Bona Dalam Adat Budaya Simalungun.


(Pematang Siantar: Presidium Partuha Maujana Simalungun. 2001),

MansenPurba. Pangurusian Pasal Adat Perkawinan Simalungun. Medan: Komite Bina


Budaya Simalungun.1984

Sartono Kartodirjo, Pendekatan ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:Gramedia


Pustaka Utama, 1993)

Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah ( Jogjakarta: Ar-Ruzza Media, 2007)

G. J. Reiner, Terj. Muin Umar, Metode dan Manfaat Ilmu sejarah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007) Ritus Peralihan

You might also like