You are on page 1of 20

PEMERIKSAAN OBJEKTIF

Otoacoustic emission

Pemeriksaan OAE dilakukan untuk menilai apakah koklea berfungsi normal. OAE merupakan
respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang tiba di sel sel rambut
luar (outer hair cells/ OHC’s ) koklea. Telah diketahui bahwa koklea berperan sebagai organ
sensor bunyi dari dunia luar. Didalam koklea bunyi akan dipilah-pilah berdasarkan frekuensi
masing, setelah proses ini maka bunyi akan diteruskan ke sistim saraf pendengaran dan
batang otak untuk selanjutnya dikirim ke otak sehingga bunyi tersebut dapat
dipersepsikan. 1,2

Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar, misalnya akibat infeksi virus, obat obat
ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju koklea – menyebabkan OHC’s tidak dapat
memproduksi OAE. OAE adalah suatu teknik pemeriksaan koklea yang relatif baru,
berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang obyektif, cepat, mudah,otomatis, non invasif,
dengan sensitivitas mendekati 100%. Kelemahannya dipengaruhi oleh bising lingkungan,
kondisi telinga luar dan tengah, kegagalannya pada 24 jam pertama kelahiran cukup tinggi,
serta harga alat relatif mahal.1,2

Analisa gelombang OAE dilakukan berdasarkan perhitungan statistik yang menggunakan


program komputer. Hasil pemeriksaan disajikan berdasarkan ketentuan pass– refer criteria,
maksudnya pass bila terdapat gelombang OAE danrefer bila tidak ditemukan gelombang
OAE. Pemeriksaan OAE dapat dilakukan di ruang biasa yang cukup tenang sehingga tidak
memerlukan ruang kedap suara (sound proof room). Juga tidak memerlukan obat penenang
(sedatif) asalkan bayi/ anak tidak terlalu banyak bergerak. 1

Prinsip pemeriksaan OAE adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga saat suara
menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui kerusakan pada OHC, dapat pula
digunakan untuk memeriksa telinga tengah daN dalam. Kriteria hasil pemeriksaan
yaitu pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE maka bayi dapat melewati tes OAE (pass),
berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan pendengaran. Jika tidak ditemukan
gelombang OAE berarti ada gangguan pendengaran (refer), maka harus dilakukan tes
lanjutan. 1
Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang telinga
melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip)yang ukurannya
dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang telinga, selanjutnya
melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi mencapai OHC koklea
yang sehat, OHC akan memberikan respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan
dipantulkan ke arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang
tiba di liang telinga akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert probe,
selanjutnya diproses oleh mesin OAE sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar
monitor mesin OAE.

Faktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu ukuran probe (harus sesuai dengan
ukuran liang telinga), posisi penempatan probe (tidak ada kebocoran atau celah udara dan
posisi probe harus lurus ke arah gendang telinga) serta kebisingan eksternal maupun
internal1

Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada disfungsi outer haircell
pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat screening karena selain
sensitif juga cukup murah. Minesota Newborn Hearing Screening Program memakai OAE
sebagai standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas baru diperiksa dengan
ABR. Otoacoustic Emission atau OAE merupakan skrining pendengaran secara obyektif,
namun tidak dapat memberikan informasi tentang derajat gangguan pendengaran seorang
bayi atau anak.

JENIS PEMERIKSAAN OAE

Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu Spontan dan Evoked OAE. Spontan OAE dapat timbul
tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki Spontan OAE sehingga
manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE yang terjadi pasca pemberian
stimulus, dibedakan menjadi Stimulus Frequency OAE (SFOAE), Transient Evoked OAE
(TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE).32,33

1. SFOAE
Merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang panjang dan terus
menerus, jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang digunakan. 32
2. TEOAE
Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya
sangat cepat (milidetik) dengan intensitas sekitar 40 desibel. Secara otomatis akan
diperiksa 4–6 jenis frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa TEOAE
adalah 500 - 4500 Hz untuk orang dewasa dan 5000–6000 Hz pada bayi. TEOAE
tidak terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila TEOAE pass berarti tidak ada ketulian
kohlea, sebaliknya bila TEOAE reffer berarti ada ketulian kohlea lebih dari 40 dB.
Umumnya hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi/anak.13
3. DPOAE
Mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus, yang berbeda
frekuensi maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih
luas dibandingkan dengan TEOAE, dapat mencapai frekuensi tinggi (10.000 Hz).
DPOAE (+BERA) digunakan untuk mendiagnosis auditori neuropati, monitoring
pemakain obat ototoksik dan pemaparan bising,menentukan prognosis tuli
mendadak (sudden deafness) dan gangguan pendengaran lainnya yang disebabkan
oleh kelainan koklea.

BERA

Brain Evoked Response Audiometry atau BERA merupakan alat yang bisa digunakan untuk
mendeteksi dini adanya gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi baru saja dilahirkan.
Istilah lain yang sering digunakan yakni Brainstem Auditory Evoked Potential (BAEP)
atau Brainstem Auditory Evoked Response Audiometry (BAER). Alat ini efektif untuk
mengevaluasi saluran atau organ pendengaran mulai dari perifer sampai batang otak.25

Penggunaan tes BERA dalam bidang ilmu audiologi dan neurologi sangat besar
manfaatnya dan mempunyai nilai obyektifitas yang tinggi bila dibandingkan dengan
pemeriksaan audiologi konvensional. Penggunaannya yang mudah, tidak invasive, dan dapat
dilakukan pada pasien koma sekalipun menyebabkan pemeriksaan BERA ini dapat digunakan
secara luas.13

Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain : bayi baru
lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa. Jika ada anak yang
mengalami gangguan atau lambat dalam berbicara, mungkin salah satu sebabnya karena
anak tersebut tidak mampu menerima rangsangan suara karena adanya gangguan di
telinga.25

BERA juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan sumber gangguan pendengaran


apakah di koklea atau retro choclearis, mengevaluasi brainstem (batang otak), serta
menentukan apakah gangguan pendengaran disebabkan karena psikologis atau fisik.
Pemeriksaan ini relatif aman, tidak nyeri, dan tidak ada efek samping,sehingga bisa juga
dimanfaatkan untuk screening medical check up.1

Meskipun BERA memberikan informasi mengenai fungsi dan sensitivitas pendengaran,


namun tidak merupakan pengganti untuk evaluasi pendengaran formal,dan hasil yang
didapat harus dapat dihubungkan dengan hasil audiometri yang biasa digunakan jika
tersedia.27

Brain Evoked Respone Audiometry atau biasa disebut dengan BERA adalah

Suatu pemeriksaan neurologi yang berguna untuk menilai fungsi pendengaran batang otak
terhadap rangsangan suara (click) dengan mendeteksi aktivitas listrik pada telinga bagian
dalam ke colliculus inferior. Dilakukan secara objektif dan bersifat non-invasif .27,28

Prinsip Pemeriksaan

Prinsip pemeriksaan BERA adalah untuk menilai potensial listrik di otak setelah
pemberian rangsang sensoris berupa bunyi. Pemeriksaan BERA dapat dilakukan pada bayi
dan anak dengan gangguan sikap dan tingkah laku, retardasi mental, cacat ganda, dan
kesadaran menurun. Pada orang dewasa digunakan untuk memeriksa orang yang berpura-
pura tuli atau ada kecurigaan tuli saraf retro koklear.

Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) biasanya menggunakan rangsangan suara klik
yang menghasilkan respon dari regio basilar cochlea. Sinyalnya berjalan melalui jalur
pendengaran/auditori pathway dari kompleks inti cochlear, proksimal ke colliculus inferior.
Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial aksi yang benar. Gelombang
selanjutnya mungkin menggambarkanaktivitas postsinaptik pada pusat auditori batang otak
utama that secara bersamaanmenimbulkan bentuk gelombang puncak dan palung. Puncak
positif dari bentuk gelombang menunjukkan aktivitas aferen kombinasi (dan kemungkinan
juga eferen)dari jalur axonal pada batang otak auditory.

Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi berdasarkan
waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberianimpuls sampai
menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Gelombang yangterjadi sebenarnya ada 7
buah, namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III,dan V

Timpanometri

1. TIMPANOMETRI
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran timpanometri
yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya
gangguan pendengaran konduktif.

Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga berdasarkan energy
suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau bayi
berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6
bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga
harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668678 atau 1000 Hz).

Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu:

1. Tipe A (normal)
2. Tipe Ad (diskontinuitas tulang tulang pendengaran)
3. Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
4. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
5. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius)

Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpanogram tidak mengikuti ketentuan
di atas,

Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat
gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal.

Refleks akustik pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe
tone frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa.
PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

Pada prinsipnya gangguan pendengaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin. Walaupun
derajat ketulian yang dialami seorang bayi hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan
selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Dalam keadaan normal
seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif pada usia 18 bulan, berarti saat
tersebut merupakan periode kritis untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran.

Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak jauh lebih
sulit dan memerlukan ketelitian dan kesabaran. Selain itu pemeriksa harus memiliki pengetahuan
tentang hubungan antara usia bayi dengan taraf perkembangan motorik dan auditorik. Berdasarkan
pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan
tambahan untuk melakukan konfirmasi hasil pemeriksaan sebelumnya.

Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan pada bayi;

1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)


2. Timpanometri
3. Audiometri bermain (play audimetry)
4. Oto Acoustic Emission (OAE)
5. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

2. BEHAVIORAL OBSERVATION AUDIOMETRY


Tes ini berdasarkan respons aktif pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respons yang
disadari (voluntary response). Metoda ini dapat mengetahui seluruh sistim auditorik termasuk pusat
kognitif yang lebih tinggi. Behavioral audiometry penting untuk mengetahui respons subyektif sistim
auditorik pada bayi dan anak dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada
pengukuran alat bantu dengar (hearing dan fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada setiap
tahap usia perkembangan bayi, namun pilihan jenis tes harus disesuaikan dengan usia bayi.

Pemeriksaan dilakukan pada runangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari
60dB), idelaknya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai sumber bunyi sederhana
dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi pasir, remasa kertas minyak, bel,
terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi (squaker toy) dll.

Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa dipakai
alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer, Viena tone (frekuensi 3000 Hz dengan
pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100 dB).

Dinilai kemampuan anak dalam memberikan respons terhadap sumber bunyi tersebut.
Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi (1) Behavioral Reflex
Audiometry dan (2) Behavioral Response Audiometry.

Behavioral Reflex Audiometry

Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat refleks sebagai reaksi terhadap
stimulus bunyi.

Respons behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata (auropalpebral reflex),
melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah (grimacing), berhenti menyusu (cessation
reflex), denyut jantung meningkat refleks Moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan Moro
rentan terhadap efek habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi
bosan sehingga tidak memberi respon walaupun dapat mendengar. Stimulus dengan intensitas
sekitar 65-80 dBHL diberikan melalui loudspeaker, jadi merupakan metode sound field atau dikenal
juga sebagai Free field test. Stimulus juga dapat diberikan melalui noisemaker yang dapat dipilih
intensitasnya. Pemeriksaan ini tidk dapat menentukan ambang dengar.
Bila kita mengharapkan terjadinya refleks Moro dengan stimulus bunyi dan keras sebaiknya
dilakukan pada akhir prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis, sehingga menyulitkan
ovservasi selanjutnya,

Behavioral Response Audiometry

Pada bayi normal sekitar usia 5-6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan pola respons khas
berupa menoleh atau menggerakkan kepala ke arah sumber bunyi di luar lapangan pandang.
Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horisontal, dan dengan bertambahnya usia bayi dapat
melokalisir sumber bunyi dari awrah bawah. Selanjutnya bayi mampu mencari sumber bunyi dari
bagian atas. Pada bayi normal kemampuan melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai
pada usia 13-16 bulan.

Teknik Behavioral Response Audiometry yang seringkali digunakan adalah (1) Tes Distraksi dan
(2) Visual Reinforcement Audiometry(VRA).

- Tes Distraksi
Tes ini dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan stimulus nada murni. Bayi dipangku
oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang pemeriksa, pemeriksa pertama bertugas untuk
menjaga konsentrasi bayi, misalnya dengan meperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik
perhatian; selain memperhatikan respons bayi. Pemeriksa kedua berperan memberikan
stimulus bunyi, misalnya dengan audiometer yang terhubung dengan pengeras suara.

Respons terhadap stimulus bunyi andalan menggerakan bola mata atau menolah kea rah
sumber bunyi. Bila tidak ada respons terhadap stimuli bunyi, pemeriksaan diulang sekali lagi.
Kalau tetap tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1 minggu kemudian. Seandainya
tetap tidak ada respons harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih lengkap.

- Visual Reinforcement Audiometry (VRA)


Mulai dapat dilakukan pada bayi 4-7 bulan dimana control neuromotor berupa bulan dimana
control neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada
masa ini respons unconditioned beralih menjadi respons conditioned. Pemeriksaan
pendengaran berdasarkan respons conditioned yang diperkuat dengan stimulus visual
dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan
member respons orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh ke arah sumber
bunyi. Dengan intensitas yang sama diberikan stimulus bunyi saja (tanpa stimulus visual), bila
bayi member respons diberi hadiah berupa stimulus visual. Pada tes VRA juga diperlukan 2
orang pemeriksa. Pemeriksaan VRA dapat dipergunakan menentukan ambang pendengaran,
namun karena stimulus diberikan melalui pengeras suara maka respon yang terjadi
merupakan tajam pendengaran pada telinga yang lebih baik.

Play audiometry (usia 2-5 tahun)

Pemeriksaan Play Audiometry (Conditioned play audiometry) meliputi teknik melatih anak
untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respons motorik spesifik dalam suatu aktivitas
permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan anak dilatih (conditioned) untuk memasukkan bedan
tersebut ke dalam kotak segera setelah mendengar bunyi. Diperlukan 2 orang pemeriksa, yang
pertama bertugas memberikan stimulus melalui audiometer sedangkan pemeriksa kedua melatif
anak dan mengamati respons. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone. Dengan mengatur
frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil yang dapat menimbulan respons dapat
ditentukan ambang pendengaran pada frekuensi tertentu (spesifik).

3. TIMPANOMETRI
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran timpanometri
yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah) merupakan petunjuk adanya
gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga berdasarkan energy
suara yang dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau bayi
berusia di atas 7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6
bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga
harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668678 atau 1000 Hz).

Terdapat 4 jenis timpanogram yaitu:

6. Tipe A (normal)
7. Tipe Ad (diskontinuitas tulang tulang pendengaran)
8. Tipe As (kekakuan rangkaian tulang pendengaran)
9. Tipe B (cairan di dalam telinga tengah)
10. Tipe C (Gangguan fungsi tuba Eustachius)

Pada bayi usia kurang dari 6 bulan ketentuan jenis timpanogram tidak mengikuti ketentuan
di atas,

Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila terdapat
gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai telinga tengah normal.

Refleks akustik pada bayi juga berbeda dengan orang dewasa. Dengan menggunakan probe
tone frekuensi tinggi, refleks akustik bayi usia 4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa.
4. AUDIOMETRI NADA MURNI
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil pencatatannya disebut
sebagai audiogram. Dapat dilakukan pada anak berusia lebih dari 4 tahun yang koperatif. Sebagai
sumber suara digunakan nada murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi.
Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air
conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz.
Hantaran suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada
prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa
digunakan antara 10 – 100 dB (masing – masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua
telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk
memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.

5. OCTOPUS EMISSION (OAE)


Suara yang berasal dari dunia luar diproses oleh koklea menjadi stimulus listrik, selanjutnya
dikirim ke batang otak melalui saraf pendengaran. Sebagian energi bunyi tidak dikirim ke saraf
pendengaran melainkan kembali menuju ke liang telinga. Proses ini mirip dengan peristiwa echo
(Kemp echo). Produk sampingan koklea ini selanjutkan disebut sebagai emisi otoakustik
(Otoaccoustic emission). Koklea tidak hanya menerima dan memproses bunyi tetapi ojuga dapat
memproduksi energi bunyi dengan intensitas rendah yang berasal dari sel rambut luar koklea (outer
hair cells).

Terdapat 2 jenis OAE yaitu (1) Spontaneous OAE (SPOAE) dan (2) Evoked OAE. SPOAE adalah
mekanisme aktif koklea untuk memproduksi OAE tanpa harus diberikan stimulus, namun tidak
semua orang dengan pendengaran normal mempunya SPOAE. EOAE hanya akan timbl bila diberikan
stimulus akustik yang dibedakan menjadi (1) Transient Evoked OAE (TEOAE) dan (2) Distortion
Product OAE (DPOAE). Pada TEOAE stimulus akustik berupa click sedangkan DPOAE menggunakan
stimulus berupa 2 buah nada murni yang berbeda frekuensi dan intensitasnya.
Pemeriksaan OAE merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea yang
obyektif, otomatis (menggunakan kriteria pass/ lulus/ dan refer/ tidak lulus), tidak invasif, mudah,
tidak membutuhkan waktu lama dan praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining
pendengaran bayi baru lahir (Universal newborn Hearing Screening).

Pemeriksaan tidak harus di ruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada mersin
OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi selama
pemeriksaan. Artefak yang terjadi akan diseleksi saat itu juga (real time). Hal tersebut menyebabkan
nilai sensitifitas dan spesifitas OAE yang tinggi. Untuk memperoleh hasil yang optimal diperlukan
pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi
dan anak koperatif.

Pemeriksaan OAE juga dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat ototoksik,
diagnosis neueropati auditorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan
bising (noise induced hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus – kasus yang
berkaitan dengan gangguan koklea.
6. BRAINSTEM EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY
Istilah lain: Auditory Brainstem Response (ABR). BERA merupakan pemeriksaan
elektrofisiologik untuk menilai integritas sistim auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat
memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma.
BERA merupakan cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan n.VIII,
pusat – pusat neutral dan traktus di dalam batang otak) sebagai respons terhadap stimulus auditorik.
Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui headphone,
insert probe, bone vibrator. Untuk memperoleh stimulus yang paling efisien sebaliknya digunakan
insert probe. Stimulus click merupakan impuls listrik dangan onset cepat dan durasi yang sangat
singkat (0,1 ms), menghasilkan respons pada average frequency antara 2000 – 4000 Hz. Tone burst
juga merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki frekuensi yang spesifik.

Respons terhadap stimulus auditorik berupa evoked potential yang sinkron, direkam melalui
elektroda permukaan (surface electrode) yang ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosesus
mastoid), kemudian diproses melalui program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang
defleksi positif (gelombang I sampai V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan.
Analisis gelombang BERA berdasarkan (1) marfologi gelombang, (2) masa laten dan (3) amplitudo
gelombang.

Salah satu faktor penting dalam menganalisa gelombang BERA adalah menentukan masa laten,
yaitu waktu (milidetik) yang diperlukan sejak stimulus diberikan sampai terjadi EP untuk masing –
masing gelombang (gel I sampai V). Dikenal 3 jenis masa laten: (1) masa laten absolut dan (2) masa
laten antar gelombang (interwave latency attau interpeak latency) dan (3) masa laten antar telinga
(interaural latency). Masa laten absolut gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian
stimulus sampai timbultnya gelombang I adalah waktu yang dibutuhkan sejak pemberian stimulus
sampai timbulnya gelombang I. Masa laten antar gelombang adalah selisih waktu antar gelombang,
misalnya masa laten antar gelombang I – III, III – V, I – V. Masa laten antar telinga yaitu
membandingkan masa laten absolut gelombang yang sama pada kedua telinga. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah pemanjangan masa laten fisiologik yang terjadi billa intensitas stimulus
diperkecil. Terdapatkan pemanjanan masa laten pada beberpa frekuensi menunjukkan adanya suatu
gangguan konduksi.

Perlu dipertimbangkan faktor maturitas jaras saraf auditorik pada bayi dan anak yang usianya
kurang dari 12 – 18 bulan, karena terdapat perbedaan masa laten, amplitudo dan morfologi
gelombang dibandingkan dengan anak yang lebih besar maupun orang dewasa.
Audiometri Khusus
Untuk mempelajari audiometri Khusus di perlukan pemahaman istilah recuiment dan decay
1. Recuiment ialah suatu fenomena terjadi sensitifitas pendengaran yang berlebihan di atas
abang dengar keadaan ini khas untuk tuli koklea . Pada kelainan koklea pasien dapat
membedakan bunyi 1 db sedangkan pada orang normal baru bisa membedakan ya pada 5
db
2. Decay: ( Kelelahan) merupakan adaptasi abnormal merupakan tanda khas pada tuli
retrokoklea, saraf pendegaran cepat lelah bila dirasang terus menerus. Bila dibeli istirahat
akan pulih kembali
Fenomena tersebut dapat dilacak dengan Pemeriksaan sebagai berikut
 Tes SISI ( Short sensitivity Index )
 Tes ABLB ( Alternate Binaural loudness)
 Test kelelahan ( Tone Decay )
 Audiometri tutur
 Audiometri bekesay

Tes SISI ( Short increment sensitivity Index )


Tes ini khas untuk mengetahui adaya kelainan koklea dengan memakai fenomena rekuitmen
cara pemeriksaan: Menentkan abang dengar pasien terlebih dahulu Misalnya 30db kemudian
diberi 20 db diatas abang rangsang yaitu 50 db. Setelah itu diberikan tambahan 5 db lalu
diturunkan 4 db lalu 3 kemudian 2 dan 1 db bila pasien dapat membedakan maka TEST
dinyatakan +

Tes ABLB ( Alternate Binaural loudness)


Pada Test ABLB diberikan intesitas bunyi tertentu pada ferkwensi yg sama pada kedua
telinga, sampai kedua telingah mencapai presepsi yang sama ,Yang disebut balans negative.
Bila balans tercapai terdapat recuitmen positif

Test Kelelahan ( Tone Decay)


Terjadi kelelahan saraf oleh karena perasangan terus –menerus . Jadi kalau telinga yang
diperiksa dirangsang terus menerus terjadi kelelahan .Tanda pasien tidak dapat mendengar
dengan telinga yang diperiksa
Ada 2 cara
1. TTD = Treshold tone decay
2. STAT= Supra threshold Adaptasi tes
TTD Cara Gerhart memberikan Persangan secara terus menerus dengan intensitas sesuai
dengan ambang dengar . Misalnya 40 db bila setelah 60 detik masih tetap mendengar maka
test dinyatakan negative , jika sebaliknya terjadi kelelelahan atau tidak mendegar maka test
dinyatakan +
Kemudian intesitas Bunyi ditambah 5 db jadi 45 db maka pasien dapat mrndengar
lagi,rangsangan dilakukan dengan 45 db selama 60 detik dan seterusnya

Penambahan 0-5 = Normal


10-15 = Ringan
20-25 = Sedang
>30 = Berat

STAT
 Cara pemeriksaan ini dimulai oleh Jegger
 Prinsipnya pemeriksaan pada 3 Frekwensi( 500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110 db
SPL = 100 db Sl
 Artinya Nada Murni pada frekwensi ( 500 hz 1000 hz dan 2000 hz) pada 110 db SPL
diberikan secara terus menerus selama 60 detik , terjadi kelelahan maka tes
dinyatakan +

Audiometri tutur
 Pada tes ini dipakai satu suku kata dan 2 suku kata,
 Kata kata ini disusun dalam daftar Phonetically balance Word LBT ( PB,UST)
 Pasien disuruh mengulanngi kata kata yang di dengar melalui kaset tape recorder
 Pada tuli saraf koklea , Pasien sulit membedakan bunyi S,R,H,C,H,CH
 Sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi
Dinilai dengan menggunakan speech discrimination score
 90 – 100 % berari Pendengaran Normal
 75 – 90 % Tuli Ringan
 60 – 75 % Tuli sedang
 50 - 60 % Kesukaran dalam mengikuti pembicaraan
 < 50 % Tuli Berat

Audiometri Bekessy
 Prinsipnya mengunakan Nada yang terputus dan Continyu
 Bila ada suara masuk maka pasien menekan tombol
 Ditemukan grafik seperti gigi gergaji
 Garis yang Menaik adalah priode suara yang dapat didengar
 Garis yang turun ialah suara yang tidak di dengar
 Pada telinga normal amplitude 10 db sedangkan pada Recuitmen amplitude lebih
kecil

Normal Nada Terputus dan terus menerus Berimpit

Tuli Saraf Koklea Nada terputus dan terus menerus berimpit hanya sampai
frekwensi 1000 hz dan grafi kotinue makin kecil

Tuli f Retro koklea Nada Terputus dan terus menerus berpisah

Audiometri Obyektif
Terdapat 4 cara pemeriksaan yaitu
 Audiometri Impedans
 Electro kokleo grafi
 Envoke rensponse Audiometri
 Otoacoustic Emission/ OAE

1. Audiometri impedans
pada pemeriksaan ini di periksa kelenturan membrane timpani dengan tekanan
tertentu pada Meatus Acusticus Eksterna
a. Timpanometri yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani Misalnya
ada cairan , gangguan rangkaian tulang pendegaran , Kekakuan pada membrane
Timpani dan membrane timpani sangat Lutur
b. Fungsi Tuba Estacius : Untuk mengetahui Fungsi Tuba ( Terbuka atau Tertutup )
c. Refleks stapedius  Pada telinga Normal Reflek satapedius muncul pada
Rangsangan 70 – 80 db
Pada Lesi koklea ambang rangsang reflex Stapedius Menurun sedangkan pada Lesi
Retrokolea ambang rangsang itu naik.

You might also like