You are on page 1of 11

I.

ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea dilimbus.

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan


kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata
baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks
superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan
forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang
potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura
palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial
konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika
semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks
bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:


1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior
kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi
konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam
kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal,
tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus junction
hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona
marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva
merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.
Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona
orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola
mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika
mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah
dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva
bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga
sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar
dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak
ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus
yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi
menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur
sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di
bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus
rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat
bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.


Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring
vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan
pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus
oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial
dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di
dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel
epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet
bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti
sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea
secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel
superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di
bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan
adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan
adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini
menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan
folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun
dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini
menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal
terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks
atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.

II. DEFINISI
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap
(wing). Pterigium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada konjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya
bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex
menghadap kesentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada
cantus.

III. EPIDEMIOLOGI
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang
sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370
lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah
dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari
2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien di bawah umur 15
tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigium meningkat dengan umur,
terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49
tahun. Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan
dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar
rumah.

IV. ETIOLOGI
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa
kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun
kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi
menimbulkan pterigium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi
pterigium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan
lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar
matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok
anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian menunjukkan
riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.

V. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan
faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel
basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF
(vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase,
migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular
di bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea.
Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan
oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi
ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen
serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan
histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik
tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin
dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat
khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic,
hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area
hiperplasia dari sel goblet.

VI. KLASIFIKASI
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi
ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih
cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak
kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat
primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:


Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil,
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea
di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
VII. GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa
keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:
• mata sering berair dan tampak merah
• merasa seperti ada benda asing
• timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irreguler
sehingga mengganggu penglihatan pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan
4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.
Pterigium memiliki tiga bagian :
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
2. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area
paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,
mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan
adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan
pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula
ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular
dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Perigium paling
sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi kr kornea nasal,
tetapi dapt pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler
yang disebabkan oleh pterigium.

IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif
seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan
sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air
mata buatan/topical lubricating drops.

2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
a. Progresif, resiko rekurensi > luas
b. Mengganggu visus
c. Mengganggu pergerakan bola mata
d. Masalah kosmetik
e. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
f. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
g. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Ada


berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman
teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada
bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya
Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

X. DIAGNOSIS BANDING
1. Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna
kekuningan.

2. Pseudopterigium
Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang
merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada
pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat
akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea, dimana
konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan
dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada pterigium.
Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada
pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan
riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain
pseudopterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan
kista dermoid.
VI. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmat karena
pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal
pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran
itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak
kornea dan peninggian pterigium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterigium
adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan
menyebabkan diplopia.
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft
konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau
nekrosis sklera dan kornea
3. Pterigium rekuren

VII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion.
Kesimpulan

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang
tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis
indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang
merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium.
Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di
luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif. Penderita
dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun(asimptomatik), bisa juga
menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam
penglihatan tergantung dari stadiumnnya.
Pterigium tumbuh dengan lambat dari arah limbus, tempat pemunculan pertamanya.
Pertumbuhannya berjalan tidak konstan. Terdapat periode klinis yang tenang, dan periode
pertumbuhan yang cepat. Secara umum progresifitas sangat lambat. Pterigium yang progresif
tumbuh dan menjalar sampai ke tengah kornea sehingga dibutuhkan tindakan pembedahan.
Pada fase awal yang berjalan lambat tidak diperlukan pembedahan. Dengan pengecualian
pasien meminta pembedahan dengan alasan kosmetik. Pada tipe yang progresif pasien akan
mengeluh tentang irtitasi atau penglihatan yang terganggu akibat pertumbuhan pterigium
tersebut. Bila pterigium telah menjalar mendekati pupil, tindakan pembedahan harus
dilakukan

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm?
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 –
117
3. Jerome P Fisher, PTERYGIUM. 2009
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia:Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
5. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ;1996.
p.142
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbitAirlangga
Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
7. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi
17Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
8. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorland’s Illistrated Medical Dictionary. 29th.
Philadelphia: W.B. Saunders Company.
9. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
10. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. 2012. Management of
Pterygium. http://www.aao.org/aao/publications/eyenet/201011/pearls.cfm

You might also like