You are on page 1of 14

1.

1 Latar Belakang

Angka kejadian talasemia terus bertambah setiap tahunnya, baik di dunia maupun di

Indonesia. Pertambahan jumlah penderita talasemia banyak terjadi di negara Mediterania,

Afrika, dan Asia Tenggara (Muncie & Campbell, 2009; Marcdante, Kliegman, Jenson, &

Behrman, 2014; National Heart, Lung and Blood Institute, 2012; Williams & Weatherall,

2012; Advani, 2016; Cooley’s Anemia Foundation, 2017; Yaish, 2017). Laporan WHO (2006)

juga mendukung bahwa penderita talasemia semakin meningkat yaitu 250 juta orang

membawa sifat talasemia. Kemudian pada tahun 2008, sekitar 128.667 bayi lahir dengan

talasemia dan lebih dari 40.000 orang menderita talasemia beta (Modell & Darlison, 2008).

Penelitian terbaru menyebutkan kurang lebih terdapat 80 juta orang pembawa talasemia beta

serta 270 juta orang pembawa sifat haemoglobinopati setiap tahunnya (Sanctis et al., 2017).

Indonesia menjadi salah satu negara yang termasuk dari sabuk talasemia, yaitu deretan

negara yang memiliki angka kejadian talasemia tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Insidensi pembawa sifat talasemia di Indonesia berkisar 6-10%, yang berarti dari setiap 100

orang, 6-10 orang adalah pembawa sifat talasemia (RSHS, 2014). Data Riset Dasar

Kementerian Kesehatan (2014) menyatakan bahwa, penderita talasemia di Indonesia mencapai

6.647 kasus dan meningkat menjadi 7.029 kasus pada tahun 2015. Menurut Ruswandi (2016)

selaku Ketua Yayasan Talasemia Indonesia, menyebutkan jumlah penyandang talasemia di

Indonesia pada tahun 2016 yang terdaftar di rumah sakit-rumah sakit berjumlah 7.238 orang,

namun belum termasuk yang tidak terdata dan terdeteksi. Penyandang talasemia di Indonesia

tersebar di berbagai provinsi. Jawa Barat menjadi provinsi dengan penyandang talasemia

terbanyak se-Indonesia yaitu 42% dari total kasus talasemia (Alyumnah, Ghozali, &
Dalimoenthe, 2016). Tahun 2028, diperkirakan sekitar 20.000-25.000 orang di Indonesia

menderita talasemia (Amalia, 2017). Sambungin ke penelitian yang terbanyak itu anak-anak.

Talasemia merupakan penyakit dengan gangguan pembentukan rantai globin yang

menyebabkan ketidaksempurnaan hemoglobin. Sehingga, umur sel darah merah kurang dari

normal, yaitu kurang dari 120 hari. Terdapat dua bentuk talasemia, yaitu talasemia alpha dan

talasemia beta. Adapun jenis talasemia beta berdasarkan keparahannya ada tiga, yaitu

talasemia beta minor, intermediet dan mayor. Dari ketiga jenis talasemia beta tersebut, yang

paling berbahaya dan memiliki gejala yang paling parah adalah talasemia mayor (National

Organization for Rare Disorders, 2015). Gejala pada penderita talasemia mayor dapat terlihat

saat usia 6 bulan atau 2 tahun pertama kehidupan (NHLBI, 2012; Borgna-Pignatti & Marsella,

2015). Gejala khas yang terlihat pada talasemia mayor adalah anemia berat, sehingga penderita

talasemia mayor membutuhkan transfusi darah seumur hidup untuk mempertahankan kadar

hemoglobin mencapai 9-10 g/dL (Gatot, Amalia, Sari, & Chozie, 2007; (National

Organization for Rare Disorders, 2015).

Bagi penderita talasemia mayor, transfusi darah merupakan terapi yang sangat penting

untuk mempertahankan hidup. Namun, terapi ini menjadi dilema, karena jika tidak

dilaksanakan akan mengancam jiwa tetapi dan apabila dilaksanakan secara rutin akan

menimbulkan dampak lain. Dampaknya berupa penumpukan zat besi yang diakibatkan oleh

transfusi darah terus menerus. Zat besi yang berlebihan tidak dapat diekskresikan secara alami

oleh tubuh dan menumpuk diberbagai organ tubuh seperti hati, limpa, endokrin dan

miokardium. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan, sehingga terjadi disfungsi organ

atau berbagai komplikasi seperti gagal jantung, splenomegali, paru-paru dan sirosis hati (Rofail

et al., 2009; Muncie & Campbell, 2009; Cooley’s Anemia Foundation, 2014; National
Organization for Rare Disorders, 2015). Menurut beberapa penelitian, penyebab utama

kematian pada anak penyandang talasemia adalah gagal jantung sebanyak 50,8 % (Gatot dkk,

2007; Rofail et al., 2009; Borgna-Pignatti & Marsella, 2015).

Komplikasi akibat penumpukan zat besi tersebut dapat diminimalisir dengan

menggunakan obat kelasi besi. Terapi kelasi besi diberikan ketika transfusi darah sudah

dilakukan sebanyak 10-15 kali atau kadar feritin sudah mencapai 1.000 μg/dL. Ada 3 jenis

obat kelasi besi yang sudah diakui dan disetujui oleh Food and Drug Administration dan

European Medicine Evaluation Agency, yaitu, deferoxamin (DFO), deferipron (DFP) dan

deferasirox (DFX). Dosis yang dianjurkan berbeda-beda tiap jenis kelatornya. Deferoxamin

hanya dianjurkan 40-50 mg/kg/hari, minimal pemberian 5 kali dalam satu minggu. Kemudian

deferipron yang berbentuk sirup, dosis yang dianjurkan adalah 75-100 mg/kg/hari dalam 3

subdosis diminum setiap 6 jam. Kelator deferasirox, yang diberikan secara oral 1 kali sehari

dengan dosis 10-40 mg/kg. Kelator besi yang tersedia memiliki kemampuan serta efek samping

obat yang berbeda-beda, serta penggunaannya disesuaikan dengan tempat atau organ yang

mengalami penumpukan zat besi serta sesuai saran dokter (Borgna-Pignatti & Marsella, 2015).

Dari ketiga jenis obat kelasi besi tersebut memiliki waktu paruh yang berbeda. Waktu

paruh adalah lamanya obat tersebut berada dalam pembuluh darah. Pada obat kelasi besi jenis

deferoxamin memiliki waktu paruh pendek, sehingga harus melalui intravena subkutan selama

8-10 jam/hari, agar obat ini bertahan lama dalam pembuluh darah untuk mengikat zat besi

kemudian dikeluarkan melalui urin sebanyak 60% serta melalui feses 40%. Jenis deferiprone

memiliki waktu paruh 5-6 jam sehingga dikonsumsi dalam 3 subdosis atau 3 kali minum dalam

sehari. Sedangkan untuk jenis deferasirox memiliki waktu paruh lebih dari 12 jam, sehingga

diminum 1 kali dalam sehari sudah cukup optimal (Borgna-Pignatti & Marsella, 2015).
Agar obat kelasi besi tersebut bekerja dengan optimal sesuai dengan waktu paruh,

perlu kepatuhan dalam mengonsumsi obat tersebut. Menurut Frain, et al (2009), salah satu

fokus utama untuk mencapai derajat kesehatan pasien dengan penyakit kronik adalah

kepatuhan, dilihat dari kepatuhan pasien dalam mengikuti perencanaan yang sudah disepakati.

Kepatuhan yang tinggi pada pengobatan talasemia dapat meningkatkan angka harapan hidup

dan kualitas hidup pasien. Penelitian di Italia, 60% pasien talasemia melakukan transfusi darah

dan kelasi besi dengan kepatuhan yang baik, dapat bertahan hidup lebih dari 30 tahun dengan

kualitas hidup yang baik. Penelitian yang menerangkan hal sama, dikemukakan oleh Gatot,

dkk (2007), penyandang talasemia yang hidup lebih dari 30 tahun 95% karena patuh

menggunakan deferoksamin. Namun, di Inggris penelitian relatif baru menunjukkan

penurunan kelangsungan hidup <50%, karena kepatuhan yang buruk terhadap terapi kelasi besi

yang komprehensif.

Namun, akibat dari cara pemberian yang berbeda dan efek samping obat yang berbeda-

beda pula, menjadikan tingkat kepatuhan pada obat kelasi tersebut berbeda. Sebelumnya,

kelator besi yang digunakan hanya deferoksamin dengan pemberian via intra vena, dan

memiliki tingkat kepatuhan yang buruk atau negatif menurut beberapa penelitian (Rofail et al.,

2009; Borgna-Pignatti & Marsella, 2015; Yousuf, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh

Rachmat, Fadil, dan Azhali (2009) menegaskan bahwa penggunaan kelasi besi jenis

deferoksamin memiliki kepatuhan yang negatif, dari 57 anak yang menjalani terapi

deferoksamin yang optimal hanya 10 anak dan 47 anak lainnya tidak optimal.

Menurut Fatma (2012), ketidakpatuhan dalam mengonsumsi obat harian pada

penyandang penyakit kronis tersebut dibagi menjadi 2, yaitu ketidakpatuhan yang disengaja

dan ketidakpatuhan yang tidak disengaja. Adapun ketidakpatuhan yang disengaja diakibatkan
oleh keterbatasan biaya, sikap apatis pasien atau keluarga dan tidak percaya pada efektivitas

obat. Sedangkan ketidakpatuhan yang tidak disengaja, karena lupa dalam mengonsumsi obat,

tidak patuh pada petunjuk pengobatan dan kesalahan dalam membaca perintah pengobatan.

Beberapa faktor lain yang menyebabkan ketidakpatuhan terapi pada anak dengan penyakit

kronik berkisar antara 30%-70%, dipengaruhi oleh panjangnya waktu pengobatan, obat-obatan

yang beragam dan periode gejala yang berulang (Dawood, Ibrahim, & Palaian, 2010).

Beberapa dampak yang dapat terjadi, akibat ketidakpatuhan dalam pengobatan pada

penyandang penyakit kronis yang dijelaskan Hayers (2009) berupa kerugian bagi kesehatan

pasien akibat efek samping obat, kemudian biaya pengobatan menjadi semakin besar. Adapun

dampak dari ketidakpatuhan dalam menjalankan terapi kelasi besi dapat terjadi gangguan

pertumbuhan seperti tubuh pendek (Mariani, 2011; Safitri1, Ernawaty, & Karim, 2015). Efek

dari ketidakpatuhan yang lebih berbahaya adalah menurunnya fungsi kognitif karena

penumpukan zat besi yang berada di otak (Ma’ani, Fadlyana, & Rahayuningsih, 2015). Saat

ini, tersedia obat kelasi besi yang diberikan peroral berbentuk sirup dan lebih cocok untuk

diberikan kepada anak-anak serta dapat meningkatkan kepatuhan, yaitu deferipron (Borgna-

Pignatti & Marsella, 2015).

Pada sebagian besar anak, kepatuhan dalam pengobatan ada ditangan orang tua, karena

sebagian besar anak yang menderita penyakit kronik, terlalu kecil untuk bertanggung jawab

terhadap pengobatan. Sehingga, orang tua atau keluarga yang menjadi pemegang asuhan utama

dalam penatalaksanaan di rumah dan berperan dalam keberhasilan asuhan tersebut. Peran

keluarga terutama orang tua pada anak yang sakit kronik seperti talasemia dalam menunjang

keberhasilan perawatan anak seperti perlindungan anak dan pemenuhan kebutuhan anak, baik

kebutuhan nutrisi dan pengobatan atau terapi penatalaksanaan (Wong, 2009).


Bentuk peran orang tua tersebut seperti perhatian langsung kepada anak baik masalah

kesehatannya, tumbuh kembang anak, serta kepatuhan minum obat (Sananreangsak,

Lapvongwatanal, Virutsetazin, Vatanasomboon, & Gaylord, 2012). Namun, kepatuhan orang

tua dalam menjalankan program terapi talasemia anaknya menunjukkan angka yang rendah,

survey internasional pun melaporkan 58% anak dan orang tua penderita anak talasemia tidak

patuh dalam menjalankan terapi kelasi besi (Trachtenberg et al., 2011). Penelitian lain dengan

sampel 57 anak pemberian deferoksamin didapatkan hasil yang optimal hanya 10 sampel,

sisanya tidak optimal (Rachmat et al., 2009). Jika peran orang tua dalam memberikan obat

kelasi besi kepada anak dengan talasemia mayor optimal, maka kepatuhan akan meningkat,

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mazzone, Battaglia, Andreozzi, Romeo, &

Mazzone, (2009) bahwa lebih dari 90% anak dengan talasemia mayor patuh terhadap

pengobatan kelasi besi berkat dukungan dari orang tua. Sehingga, sangat penting peranan

orang tua dalam memberikan perawatan serta pengobatan pada anak penyandang talasemia

mayor, karena penatalaksanaan terapi kelasi besi memerlukan kepatuhan untuk menunjang

kelangsungan hidup.

Dalam menjalankan perannya, terkait kepatuhan terhadap pengobatan kelasi besi pada

anak penyandang talasemia mayor, orang tua membutuhkan kesabaran juga keyakinan

terhadap pengobatan yang dijalani. Khususnya pada orang tua yang mendampingi perawatan

anak secara rutin, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Menurut teori dari Bandura, (1994)

keyakinan atau persepsi diri terhadap kemampuan dalam menghadapi dan melakukan atau

mengatasi masalah disebut self efficacy. Terdapat dua jenis self efficacy, yakni self efficacy

tinggi dan rendah dengan ciri-ciri yang berbeda. Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi

biasanya mampu mengatasi suatu permasalahan secara efektif, mampu menghadapi masalah
tidak menghindari masalah, percaya pada kemampuan diri dan apabila mengalami kegagalan

cepat bangkit kembali. Namun, seseorang dengan self efficacy rendah memiliki ciri-ciri seperti

menghindari masalah, terlalu banyak berfikir negatif pada masalah yang dihadapi, mudah

putus asa dan menyerah, berlarut-larut dalam kegagalan dan tidak memiliki keyakinan pada

kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah. Self efficacy dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor, seperti budaya, gender serta status atau peran dalam lingkungan.

Self efficacy dapat memprediksi kepatuhan pengobatan pada penyakit kronik seperti

talasemia. Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi, sedikit kehilangan dosis dalam

pengobatannya, dibandingkan dengan yang memiliki self efficacy rendah. Self efficacy yang

tinggi pada orang tua dengan anak penyandang talasemia mayor, akan bertahan dalam

pengobatan dengan berbagai efek samping yang ditimbulkan pada anak (Reif et al., 2013).

Sehingga, self efficacy dapat dijadikan sebagai prediktor dalam menentukan kepatuhan orang

tua yang memiliki anak penyandang penyakit kronik, terutama obat kelasi besi yang harus

dikonsumsi secara rutin oleh anak dengan talasemia mayor.

Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Sumedang, karena salah satu Rumah Sakit yang

memiliki poli talasemia. Poli talasemia di RSUD Sumedang juga mengalami peningkatan

jumlah pasien talasemia selama 5 tahun berturut-turut, mulai dari tahun 2013 sampai 2017.

Peningkatan jumlah pasien penderita talasemia secara berurutan dari tahun ke tahun mulai

tahun 2013 sampai 2017 adalah 116 orang, 129 orang, 134 orang, 136 orang dan 140 orang.

Pada tahun 2017, pasien terbanyak adalah anak-anak sebesar 37% (Kepala Ruangan Poli

Talasemia, 2017).

Dari uraian diatas mengenai kepatuhan meminum obat kelasi besi yang masih kurang

patuh dan peran orang tua yang belum optimal dalam membantu anak memberikan obat kelasi
besi serta self efficacy orang tua yang dapat dijadikan sebagai prediktor dalam kepatuhan

pengobatan penyakit kronik, maka peneliti tertarik untuk meneliti Peran dan Self Efficacy

Orang Tua dalam Kepatuhan Meminum Obat Kelasi Besi dengan Anak Penyandang

Talasemia Mayor di RSUD Sumedang.


DAFTAR PUSTAKA

Advani, P. M. (2016). Beta Thalassemia. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview#a5

Alyumnah, P., Ghozali, M., & Dalimoenthe, N. Z. (2016). Skrining

thalassemia beta minor pada siswa sma di jatinangor. Jurnal Sistem Kesehatan, vol 1,

No. https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jsk.v1i3.10358

Borgna-Pignatti, C., & Marsella, M. (2015). Iron chelation in thalassemia

major. Clinical Therapeutics, 37(12), 2866–2877.

https://doi.org/10.1016/j.clinthera.2015.10.001

Cooley’s Anemia Foundation. (2017).

https://doi.org/http://www.thalassemia.org/learn-about-thalassemia/about-

thalassemia/#

Dawood, O. T., Ibrahim, M. I. M., & Palaian, S. (2010). Medication

compliance among children. World Journal of Pediatrics, Vol 6 No 3. Diakses dari

https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs12519-010-0218-8.pdf

Gatot, D., Amalia, P., Sari, T. T., & Chozie, N. A. (2007). Pendekatan

mutakhir kelasi besi pada thalassemia. Sari Pediatri, Vol 8, No, 78–84.

Harsono, F. H. (2017). Jumlah Pasien Thalasemia di Indonesia Capai 25 Ribu

pada 2028 - Health Liputan6.com. Retrieved January 1, 2017, from

http://health.liputan6.com/read/2945112/jumlah-pasien-thalasemia-di-indonesia-
capai-25-ribu-pada-2028

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Skrining Penting untuk Cegah

Thalassemia. Retrieved January 1, 2017, from

http://www.depkes.go.id/article/view/17050900002/skrining-penting-untuk-cegah-

thalassemia.html

Ma’ani, F., Fadlyana, E., & Rahayuningsih, S. E. (2015). Hubungan Kadar

Feritin Serum dengan Fungsi Kognitif Berdasarkan Pemeriksaan Status Mini-Mental

( MMSE ) pada Penyandang Thalassemia The Assosiation between Ferritin Serum

Level and Cognitive Function based on Mini-mental State Examination ( MMSE ) in

Thal, 17(38), 163–168.

Marcdante, K. J., Kliegman, R. M., Jenson, H. B., & Behrman, R. E. (2014).

Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (6th ed.). Singapore: Elsevier.

Mazzone, L., Battaglia, L., Andreozzi, F., Romeo, M. A., & Mazzone, D.

(2009). Clinical Practice and Epidemiology Emotional impact in β -thalassaemia major

children following cognitive-behavioural family therapy and quality of life of

caregiving mothers, 6, 1–6. https://doi.org/10.1186/1745-0179-5-5

Modell, B., & Darlison, M. (2008). Global epidemiology of haemoglobin

disorders and derived service indicators. Bulletin of the World Health Organization,

86(6), 480–487. https://doi.org/10.2471/BLT.06.036673

Muncie, H. L., & Campbell, J. (2009). Alpha and beta thalassemia. American

Family Physician, 80(4), 339–344.


Rachmat, I., Fadil, R., & Azhali. (2009). Hubungan jumlah darah transfusi,

pemberian deferoksamin, dan status gizi dengan kadar seng plasma pada penderita

thalassemia mayor anak. Diakses dari

http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/viewFile/261/pdf_120

Reif, S., Proeschold-Bell, R. J., Yao, J., Legrand, S., Uehara, A., Asiimwe,

E., & Quinlivan, E. B. (2013). Three types of self-efficacy associated with medication

adherence in patients with co-occurring HIV and substance use disorders, but only

when mood disorders are present. Journal of Multidisciplinary Healthcare, 6, 229–37.

https://doi.org/10.2147/JMDH.S44204

Rofail, D., Abetz, L., Viala, M., Gait, C., Baladi, J. F., & Payne, K. (2009).

Satisfaction and adherence in patients with iron overload receiving iron chelation

therapy as assessed by a newly developed patient instrument. Value in Health, 12(1),

109–117. https://doi.org/10.1111/j.1524-4733.2008.00390.x

Safitri1, R., Ernawaty, J., & Karim, D. (2015). Hubungan kepatuhan tranfusi

dan konsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia, Vol 2, No.

Diakses dari Thalassemia, adherence, transfusions, iron chelation

Sanctis, V. De, Kattamis, C., Canatan, D., Soliman, A. T., Elsedfy, H.,

Karimi, M., … Angastiniotis, M. (2017). β-thalassemia distribution in the old world:

An ancient disease seen from a historical standpoint. Mediterranean Journal of

Hematology and Infectious Diseases, 9(1), 1–14.

https://doi.org/10.4084/mjhid.2017.018

Trachtenberg, Vichinsky, Haines, Pakbaz, Mednick, Sobota, … Neufeld.


(2011). Iron chelation adherence to deferoxamine and deferasirox in thalassemia.

https://doi.org/10.1002/ajh.21993

Widiyatno, E. (2016). Jumlah Penderita Talasemia Terus Meningkat |

Republika Online. Retrieved January 1, 2017, from

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/05/19/o7f2n4284-jumlah-

penderita-thalassemia-terus-meningkat

Williams, T. N., & Weatherall, D. J. (2012). Health Burden of the

Hemoglobinopathies. Cold Spring Harb Perspect Med, 2, 1–14.

https://doi.org/10.1101/cshperspect.a011692

Yaish, H. M. (2017). Pediatric Thalassemia. Retrieved January 1, 2017, from

http://emedicine.medscape.com/article/958850-overview#showall

Yousuf, S. M. (2017). Thalassemia major: Transfusion and chelation or

transplantation. Hematology/Oncology and Stem Cell Therapy, (June), 9.

https://doi.org/10.1016/j.hemonc.2017.05.022

You might also like