You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

LATARBELAKANG

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan


oleh kuman TB(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Human
immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan
genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk
mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid
(RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti
retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa
laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS.

Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV


positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik
terbanyak (49%) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).Indonesia berada pada
level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua
yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru
diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna
Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria).

Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir


Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah
24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835
kasus (49%). Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di
dunia diperkirakan ada sebanyak14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-
HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-
infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Tuberculosis(TB) disebabkan oleh suatu bakteri (Mycobacterium


tuberculosis). Ini merupakan penyakit yang biasanya menyerang paru-paru tetapi
juga dapat menyerang bagian lain tubuh, seperti otak, ginjal atau tulang
punggung. TB bisa aktif dalam tubuh atau laten (diam). Jika tidak dirawat,
TBCaktif dapat mengakibatkan masalahkesehatan yang serius, bahkan kemat

Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang


infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet)
dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering
dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang
infeksius tersebut hanya sekitar 1 – 5 mikron. Pada umumnya droplet yang
infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari.

Human immunodeficiency virus adalah virus RNA yang termasuk family


retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh
pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah
ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel
pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi
yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala
AIDS.

2.2 Etiologi dan Faktor Resiko

a. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan


ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0,3-0,6/µm. Sebagian besar dinding kuman
terdiri dari asam lemak ( lipid ), kemudian peptidoglikan dan arabinoman. Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam ( asam alcohol ) sehingga
disebut bakteri tahan asam ( BTA ) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan
kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari
sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit
tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apical paru paru lebih
tinggi dari bagian yang lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberculosis

b. Faktor Resiko
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis

MTB mempunyai komponen penting yaitu Lipoarabinomannan (LAM)


yang memiliki kemampuan luas menghambat pengaruh imunoregulator. LAM
merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun dari pospatidilinositol,
berperan langsung dalam pengendalian pengaruh sistem imun sehingga MTB
tetap mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam upaya
mempertahankan kehidupannya tersebut MTB juga menekan proliferasi limfosit
T, menghambat aktivitas makrofag, dan menetralisasi pengaruh toksik radikal
bebas. Di sisi lain LAM mempengaruhi makrofag dan sebagai induktor transkripsi
mRNA sehingga mampu menginduksi produksi dan sekresi sitokin termasuk
TNF, granulocyte- macrophage CSF,IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-8dan IL-10. Pengaruh
sitokin tersebut menghambat peran antimikrobial, memicu gejala demam,
mengakibatkan nekrosis jaringan.
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan terjadinya TB pada penderita
HIV, yaitu reaktivasi, adanya infeksi baru yang progresif serta terinfeksi.
Penurunan CD4 yang terjadi dalam perjalanan penyakit infeksi HIV akan
mengakibatkan reaktivasi kuman TB yang dorman. Data dari Rwanda dan Zaire
menunjukkan bahwa pengidap HIV yang telah pernah terinfeksi TB (Mtx positif)
ternyata 20 kali lebih sering mendapat TB.
Pada penderita HIV jumlah serta fungsi sel CD4 menurun secara
progresif, serta gangguan pada fungsi makrofag dan monosit. CD4 dan makrofag
merupakan komponen yang memiliki peran utama dalam pertahanan tubuh
terhadap mikobakterium. Salah satu aktivator replikasi HIV di dalam sel limfosit
TB adalah tumor necrosis factor alfa. Sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang
aktif dan dalam proses pembentukan jaringan granuloma pada TB. Kadar bahan
ini 3-10 kali lebih tinggi pada mereka yang terinfeksi TB dengan HIV-AIDS
dibandingkan dengan yang terinfeksi HIV saja tanpa TB. Tingginya kadar tumor
necrosis factor alfa ini menunjukkan bahwa aktivitas virus HIV juga dapat
meningkat, yang artinya memperburuk perjalanan penyakit AIDS. Pada penelitian
lain dijumpai adanya peningkatan kadar beta 2 mikroglobulin pada penderita
HIV/AIDS dengan TB.
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh HIV
adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili
retrovirus obligat intraseluler dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host, dan
merupakan virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobase ). Maifestasi TB
pada HIV dapat berupa TB paru atau infeksi di luar paru. TB ekstra pulmonal
lebih sering terjadi pada penderita HIV sampai 70% dibanding populasi umum,
dapat berupa limfadenitis TB, infeksi pada saluran genital, saluran kencing,
susunan saraf pusat dan sumsum tulang, biasanya terjadi pada CD4 <400 sel /mm.

2.4. Tanda Dan Gejala


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktifitas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak
napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura,
pneumotoraks dan pneumonia). Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali
tidak spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan
berat badan yang signifikan (lebih dari 10%). Di samping itu, dapat ditemukan
gejala lain terkait TB ekstraparu (TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan
saraf pusat dan TB abdomen) seperti diare terus menerus lebih dari satu bulan,
pembesaran kelenjar limfe di leher, sesak napas dan lain-lain.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis TB pada HIV/AIDS menyerupai akibat infeksi lain,
berupa demam berkepanjangan (100%), penurunan berat badan dramatis (74%),
batuk (37%), diare kronis (28%), meningitis (12%), sesak nafas (5%),
Hematochezia (3,5%), Obstruksi saluran cerna (2,6%). Menurut WHO manifestasi
koinfeksi dapat ditinjau dari keluhannya berupa infeksi menular seksual, herpes
zoster (sering disertai jaringan parut), pneumonia (baru atau rekuren), infeksi
bakteri berat, baru masuk program terapi OAT, penurunan berat badan > 10%
dari berat badan basal, diare kronis > 1 bulan, nyeri retrospinal saat menelan
(curiga kandidiasis esophageal), kaki terasa panas akibat neuropati perifer
sensorik. Sedangkan gejala yang timbul berupa jaringan parut akibat herpes
zoster, rash kulit popular dan gatal, sarkoma kaposi, limpadenopati generalisata
simetris, kandidiasis oris, kheilitis angularis, gingivitis necrotizing, ulserasi
aphthous besar, ulserasi genital dengan nyeri persisten.

2.6 Diagnosis
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV tinggi atau di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh penderita TB secara rutin. Pada daerah dengan angka prevalensi
HIV rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasikan pada pasien TB
dengan keluhan dan tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien TB dengan riwayat resiko tinggi terpajan HIV. TB paru yang memerlukan
uji HIV yaitu : riwayat perilaku resiko tinggi tertular HIV, hasil pengobatan
OAT tidak memuaskan, MDR TB / TB kronik. Pemeriksaan minimal yang perlu
dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA sputum,
foto thorax dan bila memungkinkan pemeriksaan CD4. Diagnosis dibuat
berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan langsung sputum 3 hari berturut-turut,
faktor resiko HIV, foto thorak terlihat pembesaran kelenjar hilus, infiltrat di apek
paru, efusi pleura, kavitas paru atau gambaran TB milier. Sensitivitas pemeriksaan
sputum BTA pada penderita HIV/ AIDS sekitar 50%, tes tuberkulin positif pada
30 - 50% pasien HIV/AIDS dengan TB. Diagnosis presumtif ditegakkan
berdasarkan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala
sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi OAT. Diagnosis definitif TB pada
penderita HIV/AIDS adalah dengan ditemukannya MTB pada pembiakan
spesimen.
Tabel : Gambaran TB - HIV

Alur diagnosis

Diagnosis TB Paru pada ODHA Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain : Pemberian antibiotik sebagai
alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi. Penggunaan antibiotik dengan
maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa
dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat
meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik
sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.

Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin


disebabkan oleh infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi,
maksud pemberian antibiotic tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB
tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik
golongan fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan
dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut. Pemeriksaan foto toraks
memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA dengan BTA
negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA
umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut Jika sarana pemeriksaan
biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk
konfirmasi diagnosis TB. Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di
bawah ini merupakan langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur
diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu
diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya)
berbeda dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya)

Tabel : Alur diagnosis TB paru pada HIV/AIDS dengan rawat jalan


Tabel : Alur diagnosis TB paru pada HOIV/AIDS pada pasien sakit berat

2.7 Pemeriksaan Penujang


Pemeriksaan laboratorium dahak Mikroskopis Pada ODHA meskipun sulit
menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan pemeriksaan
mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya
BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan.
Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak
(Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu specimen dahak hasilnya
BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan.

Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB.
Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media
padat dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat
dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang
lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 – 8
minggu. Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila
penegakan diagnosis TB pada ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan
biakan maka dapat mengakibatkan angka kematian TB pada ODHA meningkat.
Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu penegakan diagnosis TB bila hasil pemeriksaan penunjang lainnya
negatif.

Pemeriksaan Penunjang Radiologis


Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam
penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif. Indikasi pemeriksaan foto
toraks pada ODHA:
BTA positif
Foto toraks diperlukan pada:
 pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura).
 pasien hemoptisis.
 pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.
BTA negatif
Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif. Kelainan gambaran
radiologis yang ditemukan pada TB Paru

2.8 Diagnosa Banding


Penyakit TB Paru maupun TB ekstraparu pada ODHA mempunyai
kemiripan dengan penyakit lain yang mempunyai gejala seperti batuk, demam
dan kadang nyeri dada serta kemiripan gambaran foto toraks. Pneumonia dapat
terjadi sebagai ko-infeksi TB. Pada setiap kasus harus dilakukan pemeriksaan
klinis yang cermat. Lakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada pasien yang
batuk selama 2 minggu atau lebih.Berikut ini adalah beberapa penyakit paru yang
sering ditemukan pada ODHA:

1. Pneumonia Bakterial

Pneumonia ini bisa menyerang bayi, usia lanjut, ketergantungan alkohol,


pasien dengan retardasi mental, pasien pascaoperasi, pasien imunokompromais
yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi virus sangat rentan terhadap
pneumonia bakterial. Bakteri penyebab pneumonia merupakan flora normal pada
saluran napas atas. Pada saat daya tahan tubuh menurun maka bakteri akan
bermultiplikasi dan merusak parenkim paru. Jika terjadi infeksi, sebagian besar
parenkim paru terisi cairan dan infeksi dapat dengan cepat menyebar ke seluruh
tubuh melalui peredaran darah. Pneumokokus adalah penyebab tersering
pneumonia bakterial tersebut. Pneumonia bakterial didahului dengan infeksi
saluran napas atas kemudian terjadi aspirasi lendir ke saluran napas bagian bawah
sehingga menyebabkan bakteri saluran napas atas menginfeksi parenkim
paru.Gejala klinis pada pneumonia berupa batuk produktif, demam yang dapat
disertai menggigil, takikardia, takipneu sampai sianosis. Pada keadaan
imunokompeten, tubuh mampu mengadakan perlawanan tetapi tidak pada
keadaan imunokompro-mais sehingga gejala klinis yang terjadi tidak spesifik.
Pneumonia bakterial sering menjadi penyebab infeksi sekunder pada ko-infeksi
TB-HIV. Infeksi sekunder yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan
sepsis. Hal ini sering ditemukan namun sulit didiagnosis.

2. Sarkoma Kaposi

Sarkoma kaposi ditandai oleh lesi tipikal pada kulit dan membran mukosa
berwarna biru kehitaman. Sarkoma kaposi pada membran mukosa saluran napas
menimbulkan gejala batuk, demam, hemoptysis dan dispnea disertai lesi kulit di
tempat lain. Foto toraks menunjukkan infiltrat nodular difus menyebar dari hilus
atau gambaran efusi pleura. Pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat membantu
penegakan diagnosis sarkoma kaposi.

3. Pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP)

Pneumonia Pneumocystis jirovecii pada orang dewasa sering terjadi pada


ODHA dengan stadium klinis 4 (AIDS). Gejala klinis berupa batuk tidak
produktif, demam dan sesak napas progresif.

4. Mycobacterium Avium Complex (MAC)

Manifestasi klinis MAC umumnya berupa demam, keringat malam,


penurunan berat badan, lemah/ fatique dan nyeri abdomen. Manifestasi yang
terlokalisir berupa gejala-gejala limfadenitis servikal atau mesenterikal,
pneumonitis, perikarditis, osteomielitis dan infeksi SSP. Pada pemeriksaan fisis
dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali atau limfadenopati (di paratrakeal,
retroperitoneal dan paraaorta). Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
anemia, peningkatan alkali fosfatase.

5. Infeksi parasit

Infeksi parasit yang sering ditemukan pada ODHA Cryptococcus sp. dan
Nocardia sp. Gejala klinis Cryptococcosis sulit dibedakan dengan gejala klinis TB
paru. Diagnosis Cryptococcosis paru ditegakkan dengan ditemukannya spora
fungi pada apusan dahak. Gejala klinis Nocardiosis mirip TB paru seperti batuk
produktif dapat disertai darah, demam, mual, malaise, sesak napas, keringat
malam tanpa aktifitas, penurunan nafsu makan dan berat badan, nyeri sendi dan
nyeri dada. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan ronki basah, suara napas
melemah, limfadenopati, skin rash dan hepatosplenomegali.

2.9 Penatalaksanaan

Prinsip Pengobatan Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh status


HIV pada pasien TB. Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB
HIV harus diberikan segerasedangkan pengobatan ARV dimulai setelah
pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2
minggu dan paling lambat 8 minggu.

1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV

Bila pasien belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera


dimulai. Jika pasien dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB-nya
sampai dapat ditoleransi dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan
memulai pengobatan ARV pada pasien dengan pengobatan TB sebaiknya
dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tatalaksana pasien TB-HIV.

2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV

Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB


dimulai minimal di Rumah Sakit yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk
diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan ko-
infeksi TB-HIV). Hal ini penting karena ada banyak kemungkinan masalah yang
harus dipertimbangkan, antara lain: interaksi obat (Rifampisin dengan beberapa
jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.
BAB III

KESIMPULAN

Gambaran klinis HIV koinfeksi TB bervariasi berupa infeksi menular


seksual, herpes zoster (sering disertai jaringan parut), pneumonia (baru atau
rekuren), infeksi bakteriil berat, sedang terapi OAT, penurunan berat badan > 10%
dari berat badan basal, diare kronis > 1 bulan, nyeri retrospinal saat menelan
(curiga kandidiasis esophageal), kaki terasa panas akibat neuropati perifer
sensorik. Sedangkan gejala yang timbul berupa jaringan parut akibat herpes
zoster, rash kulit popular dan gatal, sarkoma kaposi, limpadenopati generalisata
simetris, kandidiasis oris, kheilitis angularis, gingivitis necrotizing, ulserasi
aphthous besar, dan ulserasi genital dengan nyeri persisten. Pengobatan pasien
TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB, pengobatan ARV
(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV.
DAFTAR PUTAKA

1. Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Dalam : Petunjuk teknis tata laksana klinis ko-
infeksi TB-HIV, Jakarta. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan KeMenkes RI 2012 : 20-26

2. Zulkifli Amin, Asri Bahar, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI,
Edisi ke enam, Jakarta 2014 : 863-873

3. WHO, Tuberculosis Care with TB-HIV Co management , Integrated


Management of Adolescent and Adult Illness ( IMAI). 2007 : 14-30

4. TB CARE I , International Standards for Tuberculosis Care Edition 3. TB


CARE I. The Haque, 2014: 20-26

5. Henry M, Blumberg M.D, American Journal of Respiratory and Critical Care


medicine. Vol . 167. 2003 : 606

6. Anton Pozniak, MD, FRCP,et all . Tuberculosis : Clinical manifestations and


evaluation of pulmonary Tuberculosis. MD employee of Up To Date inc.
February 2015

7. Timothy R Sterling, MD, et all . Tuberculosisi : Treatment of pulmonary


Tuberculosis in the HIV-infected patient. MD Employee of Up ToDate inc.
June 2015

8. Lee W Riley, MD,et all. Tuberculosis : Natural history, microbiology and


pathogenesis of Tuberculosis. MD Employee of Up To Date inc. March 2015

9. Gary Maartens, MBChB, MMed, et all. Tuberculosis : Epidemiology, Clinical


manifestations and Diagnosis of Tuberculosis in HIV-infected patients. MD
Employee of UpTodate inc. April 2015

You might also like