You are on page 1of 6

BAB 1 : Pendahuluan

A. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan atau gangguan fungsi dan struktur
ginjal selama tiga bulan atau lebih dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus disertai manifestasi kelainan patologi ginjal atau kerusakan ginjal meliputi
komposisi darah atau urin dan ada kelainan pada uji pencitraan ginjal (National
Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative / NKF KDOQI,
2002). PGK adalah bila ginjal mengalami penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus
dibawah 60 mL/min/1.73m2 dengan atau tanpa kerusakanginjal (NKF KDOQI, 2002).

CKD adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever, 2008). End Stage Renal

Disease (ESRD) merupakan tahap akhir dari CKD yang ditunjukkan dengan
ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan homeostasis tubuh (Ignatavicius &
Workman, 2006) Bila pasien berada pada tahap ESRD, terapi pengganti ginjal
menjadi satu- satunya pilihan untuk mempertahankan fungsi tubuh (Lemone & Burke,
2008).

Salah satu tindakan terapi pengganti ginjal adalah dengan hemodialisis. Walaupun
masih ada alternatif terapi pengganti ginjal yang lain seperti peritoneal dialisis dan
transplantasi ginjal tetapi penderita PGK lebih banyak yang memilih hemodialisis.
Jumlah penderita PGK di Indonesia yang menjalani hemodialisis pada tahun 2002
adalah sebesar 2077 meningkat menjadi 4344 padatahun 2006 (Prodjosudjadi &
Suhardjono, 2009).

B. Tujuan Penulisan
Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan
uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien
CKD (Kallenbach, Gutch, Stoner & Corca, 2005). Levy, Morgan & Brown (2004)
menyebutkan bahwa salah satu tujuan tindakan hemodialisis adalah menghilangkan
nitrogen sebagai produk limbah, mengoreksi elektrolit, air, dan kelainan asam-basa
yang berhubungan dengan gagal ginjal. Dialisis tidak memperbaiki kelainan endokrin
karena gagal ginjal, atau mencegah komplikasi kardiovaskular.

Saat dilakukan tindakan hemodialisis bisa terjadi berbagai komplikasi seperti


intradialytic hipotension dan intradialytic hypertension (Daugirdas, Blake & Ing,
2007).Intradialytic hipotension adalah kondisi penurunan tekanan darah sistol
dibawah 90 mmHg atau terjadi penurunan 20 mmHg selama sesi dialisis. Intradialytic
hipotension sering terjadi pada 20 % pasien yang menjalani dialisis (Korkor,
Bretzmann, & Eastwood, 2010) Intradialytic hypotension didefinisikan sebagai
penurunan tekanan darah sistolik sebesar ≥20 mm Hg atau penurunan MAP sebesar
10 mm Hg dengan gejala seperti perut tidak nyaman, menguap, mendesah, mual,
muntah, kram otot, kegelisahan, pusing atau pingsan dan kecemasan (National Kidney
Foundation / NKF, 2005).

Intradialytic Hypotension adalah tekanan darah rendah yang terjadi ketika proses
hemodialisis sedang berlangsung. Intradialytic hypotension terjadi karena penyakit
diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular hypertrophy (LVH), status gizi
kurang baik, albumin rendah, kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan
atau target ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendah dan usia
diatas 65 tahun (Katanko & Levin, 2008). Kejadian intradialytic hypotension
merupakan komplikasi yang sering terjadi dalam proses hemodialisis. Menurut
Daugirdas, Blake & Ing (2007) sekitar 20-30% angka kejadian intradialytic
hypotension dari semua tindakan hemodialisis.

NKF (2005) menyebutkan bahwa faktor resiko hipotensi intradialisis adalah


rendahnya tekanan darah, apabila tekanan darah sistolik pradialisis kurang dari 100
mmHg. Jika rata rata tekanan darah diatas normal, kemungkinan hipotensi
intradialisis semakin kecil. Intradialytic hypotension dan ortostatic hypotension
adalah faktor resiko yang mempengaruhi angka kematian pada pasien hemodialisis
(Palmer & Henrich. 2008).

Komplikasi ini dapat mengakibatkan timbulnya masalah baru yang lebih kompleks
antara lain ketidaknyamanan, meningkatkan stress dan mempengaruhi kualitas hidup
pasien, memperburuk kondisi pasien bahkan menimbulkan kematian (Jablonski,
2007).
C. Manfaat

Pengaturan suhu dialysate diturunkan 0,5-1°C bisa mengurangi terjadinya


Intradialytic Hypotension pada pasien CKD yang menjalani dialisis (Korkor,
Bretzmann, & Eastwood, 2010). Pembatasan makan saat proses hemodialisis,
pengaturan asupan diet dari natrium, pengaturan natrium dialysate, pengaturan suhu
dialysate yang lebih dingin, ultrafiltrasi profil, menghindari hemodialisis dengan
asetat dan memperpendek waktu hemodialisis diyakini bisa mengurangi kejadian
intradialytic hypotension saat hemodialisis (Agarwal, 2012). Menurut Sukandar
(2006) ketika terjadi hipotensi intradialisis dan kram otot, penanganan yang harus
dilakukan adalah menurunkan QB, menurunkan ultrafiltrasi dan memberikan cairan
NaCl 0,9%.

Berdasarkan uraian dan fenomena diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pengaruh pengaturan suhu dan natrium dialysate terhadap intradialytic
hypotension pada pasien yang menjalani hemodialisis.

BAB II : Aplikasi hasil riset pada pasien kelolaan

A. Data Pasien Kelolaan


1. Data Fokus Pasien Kelolaan
Nama : Sdr Syaiful
Umur : 28 tahun
Alamat : Karangawen Rt 01 Rw 09 Demak Jawa Tengah
2. Diagnosa Keperawatan
Hypotensi berhubungan dengan target penarikan cairan atau target ultrafiltrasi
yang terlalu tinggi dan pengaturan profiling suhu dyalisat.
3. Intervensi Keperawatan
- Pengaturan profil suhu 35oC pada dialysat dan penarikan UF saat dilakukan
hemodialisa

B. Telaah Artikel Riset Terkait


1. Judul penelitian
Pengaruh pengaturan Suhu pada pasien Intradialitih Hipotensi.
2. Nama peneliti
Mohammad Ponco Purnomo
3. Tempat dan waktu penelitian
Tempat : RS. Roemani Muhammadiyah Semarang
Tanggal : 14 Maret 2016
Jam : 08.00 WIB
4. Metode penelitian
Desain penelitian ini adalah quasi experiment dengan rancangan time series
design sebelum dan sesudah dilakukan observasi atau pengukuran lebih dari satu
kali.
5. Hasil penelitian
Tabel 1 Pengaturan Profiling Suhu saat intradialisis.

Jam Pengaturan Suhu Hasil TD


1 36,7o C 80/60 mmHg
2 36,4oC 80/60 mmHg
3 36,1oC 90/60 mmHg
4 35.8oC 100/60 mmHg
5 35.5oC 120/70 mmHg

Pada tabel 1 menunjukan bahwa penurunan suhu dialysate dibawah 37oC bisa
menurunkan kejadian komplikasi intradialitic hypotensi karena suhu dialysate
yang rendah bisa meningkatkan kontaktilitas atau merangsang vaso kontriksi pada
pembuluh darah (NKF, 2005)
Dalam sistem peredaran darah mampu merespondengan kompensasi vasokontriksi
vaskuler. Vasokontriksi vaskuler membantu mempertahankan sirkulasi dari
jantung agar tetap berjalan dengan lancar. Disisi lain gangguan sistem saraf
simpatis atau kelainan pada vaskuler bisa mengakibatkan gangguan pada
mekanisme proses vasokontriksi vaskuler.
Pengaruh pengaturan suhu bisa menurunkan prosentase kejadian intradialitik
Hypotensi pada sampel penelitian.
Hasil Penelitian ini bisa dijadikan dasar bahwa pengaturan suhu bisa membantu
untuk mengatasi kejadian intradialitik hypotensi.
BAB III : Penutup
A. Simpulan
Hasil penelitian di Unit Hemodialsis RS Roemani Muhammadiyah Semarang
menujukkan bahwa Ultrafiltrasi yang tinggi mengakibatkan aktifitas parasimpatis
meningkat dan merangsang terjadinya vasokonstriksi kulit. Kondisi ini mengganggu
proses pengaturan suhu tubuh dan akan semakin meningkat dengan adanya proses
hemodialisis yang sedang berlangsung. Peningkatan suhu ini akan membuat
vasokonstriksi perifer terganggu dan menjadi pemicu terjadinya intradialytic
hypotension. Pengaruh pengaturan suhu bisa menurunkan prosentase kejadian
intradialitik Hypotensi

B. Saran
Pencegahan terjadinya komplikasi selama proses hemodialisis menjadi tanggung
jawab pasien dan petugas kesehatan di unit hemodialisis. Pengaturan program
hemodialisis harus disesuaikan dengan kondisi dan respon pasien agar bisa mencegah
terjadinya komplikasi selama proses hemodialisis. Setiap unit hemodialisis perlu
menetapkan regulasi tentang perlunya pemantauan tanda vital dan keluhan pasien
selama proses hemodialisis berlangsung. Perawat dialisis harus melakukan asuhan
keperawatan sesuai standar dengan memantau kondisi pasien selama hemodialisis dan
melakukan asuhan perawatan pada pasien hemodialisis secara individual care untuk
mengantisipasi komplikasi agar komplikasi intradialytic hypotension bisa
diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative / NKF KDOQI,
(2002) Definition and classification of Stages of Chronic Kidney Disease. Clinical Practice
Guideline and Recommendations. American Journal of Kidney Diseases 39, No 2, (Suppl 1)
S46-S75.

You might also like