Professional Documents
Culture Documents
HEMOPTISIS MASIF
(R04.2)
Disusun Oleh:
Kunayah I40611620
Albert Tito I4061162044
Riska Nazaria I4061162045
Lisa Florencia I4061162046
Pembimbing:
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
SINTANG
2017
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Kriteria
Sedangkan batuk darah massif dapat ditentukan berdasarkan laju perdarahan (dalam
ml) atau beratnya klinik yang terjadi akibat ekspektorasi darah. Berikut adalah kriteria
hemoptisis massif dari berbagai literature bervariasi dari 100 ml dalam 24 jam sampai 1000 ml
selama beberapa hari.1
Pada Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/ RS Persahabatan
digunakan kriteria batuk darah massif sebagai berikut:1
a. Batuk darah > 600 ml per 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti
b. Batuk darah > 250 ml tapi kurang dari 600 ml per 24 jam dan pada pemeriksaan labolatorium
menunjukkan Hb ,10 g%, sedang batuk darah masih berlangsung
c. Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml per 24 jam, kadar Hb >10 g% dan pada
pengamatan selama 48 jam dengan pengobatan konservstif proses ini belum berhenti
2
Kriteria hemoptisis mengancam jiwa menurut W.H. Ibrahim didefinisikan: 4
1. Batuk darah > 100 ml dalam 24 jam.
2. Batuk darah menyebabkan abnormalitas pertukaran gas dan/atau terjadi obstruksi saluran
napas.
3. Batuk darah menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
3
2.4. Etiologi
Banyak etiologi yang dapat menyebabkan hemoptisis, termasuk beberapa penyakit
sistemik. Lebih dari 90% hemoptisis masif disebabkan oleh bronkiektasis, tuberkulosis paru
(TB Paru), abses paru (necrotizing pneumonia) dan karsinoma bronkus.1 Maria CW8 di Rumah
Sakit persahabatan melalui penelitian retrospektif pada 112 pasien batuk darah menemukan
penyebab tersering hemoptisis adalah TB Paru, diikuti oleh bekas TB (dengan bronkitis,
bronkiektasis, infeksi jamur) dan bronkiektasis terinfeksi. Di Rumah Sakit Persahabatan,
Hadiarto9 melakukan pemeriksaan terhadap 53 penderita hemoptisis menggunakan bronkoskop
serat optik lentur, mendapati penyebab tersering adalah TB Paru (50%), karsinoma bronkus
(32%), bronkitis (8%) dan bronkiektasis (5%). Retno dkk10 melalui penelitian terhadap 323
penderita batuk darah yang berobat di instalasi gawat darurat Rumah Sakit Persahabatan
mendapati diagnosis tersering adalah TB Paru (64,43%), bronkiektasis (16,71%), kanker paru
(3,4%).
Pada orang dewasa, 70%-90% kasus disebabkan oleh bronkitis, bronkiektasis,
necrotizing pneumonia dan TB. Kanker paru primer merupakan salah satu penyebab, terutama
pada perokok ≥40 tahun, namun kanker metastatik lebih jarang menyebabkan hemoptisis.
Infeksi Aspergillus merupakan salah satu penyebab hemoptisis namun tidak lebih banyak
daripada kanker. Pada anak-anak, penyebab yang umum ditemukan pada penderita hemoptisis
adalah karena infeksi saluran napas bagian bawah dan aspirasi benda asing. Beberapa penyakit
seperti bronkogenik karsinoma, bronkiektasis, tuberkulosis dan pneumonia merupakan
penyebab umum terjadinya hemoptisis masif. Beberapa penyebab tersebut terdapat pada tabel
1.11
4
Tabel 2.2 Etiologi Hemoptisis11
Penyebab Temuan klinis Pemeriksaan diagnostic
Sumber trakeobronkial
Tumor (bronkogenik, - Keringat malam - Rontgen dada
metastatik bronkial, sarkoma - Penurunan berat badan - CT-scan
kaposi) - Riwayat perokok berat - Bronkoskopi
- Faktor resiko sarkoma
kaposi (misalnya infeksi
HIV)
Bronkitis (akut atau kronik) - Akut: Batuk produktif - Akut: Evaluasi klinis
atau non-produktif - Kronik: Rontgen dada
- Kronik: Batuk hampir
setiap hari selama 3 bulan
dalam 2 tahun terakhir
pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif
kronis atau riwayat
merokok.
Bronkiektasis Batuk kronis dan produksi - CT-scan
mukus pada pasien dengan - Bronkoskopi
riwayat infeksi berulang.
Bronkolitiasis Kalsifikasi limfonodi pada - CT-scan
pasien dengan riwayat - Bronkoskopi
penyakit granulomatosus.
Benda asing - Batuk kronis (terutama - Rontgen dada
pada bayi atau anak-anak) - Kadang-kadang
tanpa gejala infeksi bronkoskopi
saluran napas atas
- Kadang-kadang demam
5
Granulomatosis dengan - Perdarahan hidung dan - Biopsi pada daerah yang
polyangiitis ulserasi nasal kronis mengalami keluhan
- Nyeri sendi dan dengan uji cANCA dan
manifestasi kulit berupa demonstrasi vaskulitis
purpura dan nodul pada arteri kecil dan
- Penebalan gingiva dan sedang
gingivitis mulbery - Bronkoskopi
- Perforasi septum nasal
dan saddle nose
- Kadang-kadang
insufisiensi renal
Lupus pneumonitis - Demam - CT-scan menunjukan
- Batuk alveolitis
- Dispnea - Bronkoskopi
- Nyeri dada pleuritik
- Riwayat Sindroma Lupus
Eritromatosus
Lain-lain
Endometriosis pulmonal Hemoptisis berulang ketika - Evaluasi klinis
(catamenial hemoptysis) menstruasi - Kontrasepsi oral
Koagulopati sistemik atau - Riwayat penggunaan - PT/PTT atau kadar anti-
penggunaan antikoagulan antikoagulan faktor Xa
atau trombolitik - Penggunaan trombolitik - Berhentinya hemoptisis
- Riwayat keluarga dengan koreksi defisit
koagulopati koagulasi
6
Pada penderita dengan hemoptisis, sangat penting untuk menyingkirkan asal perdarahan
dari hidung, mulut, faring esofagus dan gaster. Hal tersebut dapat dinilai berdasarkan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik, mungkin dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
endoskopi, esofagografi, esofagoskopi untuk menyingkirkan penyebab perdarahan dari saluran
cerna. Hal berikut dapat berhubungan dalam identifikasi sumber perdarahan:1
a. Riwayat hipertensi, epistaksis merupakan petunjuk darah berasal dari saluran napas atas.
b. Pada hemoptisis bronkopulmonar, darah biasanya merah terang dan berbuih karena
tercampur udara, pada pemeriksaan pH bersifat alkalis.
c. Pada hematemesis, darah biasanya gelap dan sering bercampur makanan, pH bersifat asam.
d. Bila meragukan, maka nasofaring, orofaring dan laring harus diperiksa.
Menyingkirkan sebab non-bronkopulmonar pada ekspektorasi darah dengan
memperhatikan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang penting dalam
menentukan etiologi.1
a. Riwayat
1) Batuk dan ekspektorasi sputum mukopurulen atau purulen dicurigai terjadi infeksi akut
seperti bronkitis, pneumonia dan abses paru atau infeksi kronik seperti pada
bronkiektasis terinfeksi.
2) Riwayat penyakit katup jantung memperkuat kemungkinan stenosis mitral, pada keadaan
ini darah kadang-kadang terang karena berasal dari pecahnya anastomosis vena
bronkopulmonar.
3) Hemoptisis pada trauma dada mugkin disebabkan oleh ruptur trakeobronkial atau kista
paru traumatik.
4) Perdarahan simultan dari tempat-tempat lain merupakan indikasi terdapatnya diatesis
perdarahan umum atau blood dyscrasia. Pada beberapa kasus dapat terjadi pada terapi
antikoagulasi.
5) Perokok berat dan berkepanjangan dapat dihubungkan dengan hemoptisis karena
karsinoma bronkogenik.
6) Nyeri tungkai, pembengkakan tungkai dan nyeri dada pleuritik mencurigakan infark paru
pada penderita dengan faktor resiko sebagai berikut:
- Tromboflebitis
- Tirah baring lama
- Kehamilan
- Baru melahirkan
- Infark miokard
7
- Menjalani pembedahan
- Kegemukan
- Gagal jantung kongestif
- Insufisiensi vena
- Imobilisasi karena fraktur
7) Hematuria yang menyertai hemoptisis merupakan gejala pada granulomatosis Wegener,
sindrom Goodpasture dan Lupus Eritematosus.
b. Temuan Fisik
1) Pemeriksaan umum
Kulit diperiksa dengan seksama untuk mencari terdapatnya ptekie, ekimosis, aneurisma,
arteriovenosus. Ekstremitas diperiksa untuk menilai adanya flebitis.
2) Sistem pernapasan
Perdarahan dari pembuluh darah bronkus atau kapiler paru dapat dinilai dengan adanya
rhonki basah atau rhonki kering lokal. Pada sindrom Goodpasture dan hemosiderosis
paru idiopatik, rhonki basah mugkin difus.
3) Sistem jantung
Stenosis mitral sebagai penyebab hemoptisis dikenali dengan adanya murmur yang khas,
paling baik didengar dengan penderita berbaring pada posisi lateral kiri. Kardiomegali
mencerminkan penyakit miokard perifer dengan komplikasi hemoptisis.
4) Ekstremitas
Pada ekstremitas diperiksa adanya sianosis, edema unilateral, nyeri atau tanda flebitis.
Hubungan antara sianosis dengan hemoptisis merupakan kecurigaan kemungkinan pirau
intrakardiak atau fistula arteriovenosus paru yang luas. Jari tabuh merupakan salah satu
tanda tumor paru, fibrosis paru interstisial, infeksi paru kronik atau pirokardiak.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Foto thorax
Foto thorax dengan kualitas yang baik (postero-anterior dan lateral) harus dilakukan pada
semua keadaan hemoptisis. Pemeriksaan foto oblik dan lordotik dilakukan berdasarkan
kecurigaan klinis individual. Pola perselubungan mengindikasikan sisi dan bahkan sebab
perdarahan. Konfigurasi mitral dari jantung dan Kerley B lines mendukung diagnosis
stenosis mitral dan hipertensi arteri pulmonalis.
2) Evaluasi sputum
Bila kecurigaan pada etiologi infeksi, sputum harus dipulas dan dikultur untuk bakteri
piogenik dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) serial atau sputum collecting.
8
3) Analisis Gas Darah Arteri
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai pertukaran gas dan juga membantu diagnosis
pirau kanan ke kiri pada aneurisma arteriovenosus.
4) Pemeriksaan lainnya
Urinalisa, hemoglobin dan hematokrit, lekosit dan trombosit, profil pembekuan darah
harus dilakukan. Bronkoskopi, tomografi paru dan angiografi pulmonar diperlukan pada
beberapa kasus untuk membantu menegakan diagnosis dan etiologi hemoptisis.
2.5. Penilaian
Pemeriksaan penderita dengan hemoptisis yang sedang berlangsung, usaha yang harus
dilakukan secara akurat adalah menilai beratnya perdarahan. Hal tersebut diikuti manajemen
tahap awal. Hemoptisis yang serius dapat dinilai berdasarkan hal-hal berikut:1
a. Pemeriksaan Fisik
Insufisiensi sirkulasi atau pernapasan dengan hemoptisis masif dapat bermanifestasi klinis
hipotensi sistemik, takikardi, takipnea, usaha napas yang berat, sianosis dan rhonki yang
difus pada pemeriksaan fisik.
b. Jumlah Perdarahan
Darah harus ditampung di gelas sputum dalam waktu 24 jam dan diukur volumenya.
Produksi darah masif dalam waktu yang singkat merupakan indikasi situasi potensial yang
mengancam jiwa.
c. Foto Thorax
Bayangan homogen difus pada foto thorax dapat dicurigai sebagai sejumlah besar darah
yang keluar dari kapiler atau teraspirasi dalam alveoli.
d. Analisis Gas Darah Arteri
Perdarahan bronkopulmonar yang signifikan dapat mengganggu pertukaran gas
(menyebabkan hipoksemia) dan keseimbangan asam-basa (menyebabkan asidosis
respiratorik dan/atau metabolik), kemudian dapat terjadi gagal napas dan kematian.
e. Kadar Hemoglobin
Pengukuran kadar hemoglobin dapat menunjukan beratnya perdarahan dan membantu
penilaian kebutuhan transfusi darah.
2.6. Patofisiologi
Kebanyakan darah pada paru (95%) bersirkulasi melalui arteri pulmonal bertekanan
rendah dan berakhir pada pembuluh kapiler pulmonal, tempat pertukaran gas. Sekitar 5% suplai
9
darah bersirkulasi melalui arteri bronkial yang bertekanan tinggi yang berasal dari aorta dan
mensuplai struktur utama dan penunjang jalan napas. Pada hemoptisis, secara umum, darah
berasal dari sirkulasi bronkial, kecuali jika arteri pulmonal rusak karena trauma, erosi
granulomatosus, kalsifikasi limfe, tumor, proses inflamasi atau komplikasi dari kateterisasi
arteri pulmonal.12
Pada tuberkulosis paru (TB Paru) terjadi inflamasi lokal yang menyebabkan destruksi
sehingga terjadi kerusakan susunan parenkim paru dan pembuluh darah. Timbulnya kavitas
dan pneumonitis TB akut menyebabkan ulserasi bronkus, nekrosis pembuluh darah di
sekitarnya dan alveoli bagian distal hingga pembuluh darah pecah dan terjadi hemoptisis.
Ruptur aneurisma rasmussen sebagai penyebab hemoptisis masif. Sedangkan pada infeksi
jamur, terjadi angioinvasi oleh elemen jamur dan menyebabkan kerusakan parenkim dan
struktur vaskuler. Pada bronkiektasis, terjadi destruksi tulang rawan pada dinding bronkus dan
destruksi pembuluh darah sehingga memicu hemoptisis. Pada abses paru terjadi proses nekrosis
pada parenkim paru dan pembuluh darah. Pada stenosis mitral, terjadi peningkatan tekanan
atrium kiri yang menyebabkan pleksus submukosa vena bronkial mengalami dilatasi dan dapat
pecah. Pada bronkitis kronis, mukosa bronkus yang sembab akibat infeksi dan timbulnya batuk
yang keras akan menyebabkan hemoptisis. Dan pada kanker paru, terjadi proses nekrosis dan
inflamasi pembuluh darah pada jaringan tumor sehingga terjadi destruksi pembuluh darah dan
menyebabkan hemoptisis.13
10
Penyebab hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah besar antara lain13 :
Tabel 2.5 Hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah besar
Infectious diseases Abcess
Bronchitis (acute or chronic)
Bronchiectasis
Fungal infection
Parasitic infection
Pneumonia
Tuberculosis/nontuberculous mycobacteria
Cardiovascular diseases Arteriovenous malformation
Bronchial artery aneurysm
Bronchovascular fistula
Congestive heart failure
Pulmonary embolism/infarction
Pulmonary hypertension
Right sided endocarditis
Thoracic aortic aneurysm rupture/dissection
Septic pulmonary embolism
Congenital diseases Cystic fibrosis
Pseudosequestation
Pulmonary artery atresia or stenosis
Neoplastic diseases Bronchial adenoma
Lung metastatis
Primary lung cancer
Vasculitis diseases Behcet disease/Huges-stovin syndrome
Lupus pneumonitis
Takayasu arteritis
Wegener’s granulomatosis
Others Chronic obstructive airway disease
Drug
Foreign body
Iatrogenic (Swan-Ganz catheter)
Interstisial fibrosis
Lung confusion
Pulmonary endometriosis
Trauma
Dieulafoy’s disease of the bronchus
Crytogenic hemoptisis
11
Menurut Dweik dan Stollerm tujuan di atas dalam klinik penatalaksaannya ditempuh
melalui tiga tahap, tahap pertama merupakan prioritas (tindakan awal), yaitu usaha pembebasan
jalan napas dan stabilisasi penderita. Tahap kedua bila penderita sudah stabil tindakan
ditujukan untuk mencari sumber dan penyebab perdarahan tahap ketiga dimulai setelah periode
perdarahan akut telah teratasi, ditujukan untuk mencegah risiko berulangnya hemoptisis, antara
lain dengan memberikan terapi spesifik sesuai penyebab bila mungkin melakukan terapi
definitif (pembedahan).1
Tahap 1. Pembebasan jalan napas dan stabilisasi merupakan upaya tindakan konservatif dalam
tatalaksana hemoptisis masif antara lain1 :
a. Menenangkan dan mengistirahatkan penderita (tirah baring) sehingga perdarahan lebih
mudah berhenti. Penderita perlu diberitahu agar tidak takut membatukkan darah yang
ada disaluran napas.
b. Menjaga agar jalan napas tetap terbuka, bila terdapat tanda-tanda sumbatan jalan napas
perlu dikaukan pengisapan. Evakuasi darah dengan bronkoskop akan lebih baik tetapi
perlu keterampilan khusus operator. Pemberian oksigen tidak selalu diperlukan dan
hanya berarti apabila jalan napas telah bebas/sumbatan.
c. Resusitasi cairan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid,
d. Transfusi darah diberikan bila hematokrit turun di bawah 25-30% atau hemoglobin di
bawah 10 g%, sedang perdarahan masih berlangsung.
e. Pemberian obat hemostatik belum helas manfaatnya pada penderita hemoptisis, manum
demikian dapat diberikan asam traneksamat, karbazokrom dan koagulan lain seperti
vitamin K/C baik secara bolus intravena maupun drip.
f. Obat dengan efek sedang ringan dapat diberikan bila penderita gelisah. Obat penekan
reflek batuk hanya diberikan bila ada batuk yang berlebihan dan merangsang
hemoptisis yang lebih banyak. Beberapa penulis meganjurkan pemberian kodein 1020
mg peroral tiap 3-4 jam.
g. Pemeriksaan faal hemostasis dan koreksi bila ada kelainan.
Tindakan yang dilakukan bila terjadi serangan batuk darah tergantung keadaan penderita,
yaitu1:
a. Penderita dengan keadaan umum dan reflek batuk yang baik, duduk dan diinstruksikan
cara membatukkan darah dengan benar.
12
b. Penderita dengan keadaan umum benar dan reflek batuk tidak adekuat, posisi
trendelenberg ringan dan miring ke sisi yang sakit (lateral dekubitus). Bila hemoptisis
terus berlangsun, dapat dipasang pipa endotrakeal dengan diameter besar (fg> 7,5) yang
memungkinkan lewatnya bronkoskop serat optik untuk evaluasi, lokalisasi perdarahan
dan pengisapan darah/bekuan darah. Intubasi paru unilateral dapat dilakukan untuk
melindungi paru yang sehat dari aspirasi darah. Bila perdarahan berasal dari paru kanan,
penderita diintubasi sampai ke lumen utama kiri dengan bantuan bronkoskop sehingga
ventilasi paru kiri terjamin dan terhindar dari aspirasi. Sebaliknya bila sumber
perdarahan dari paru kiri, intubasi sampai ke lumen bronkus utama kanan dihindari
karena dapat menutup orifisium lobus atas kanan yang letaknya berdekatan dengan
orifisium bronkus utama kanan (setinggi badan).
c. Pemberian bantuan ventilator bila terjadi gagal napas.
13
b. Pemberian obat topikal, vasokonstriksi pembuluh darah diusahakan dengan larutan
epineprin (1:20.000) melalui bronkoskop, selain itu dapat diberikan larutan trombin
dan trombin-fibrinogen tetapi keberhasilannya masih dipertanyakan.
c. Tamponade endobronkial, isolasi perdarahan pada bronkus segmen atau subsegmen
menggunakan kateter balon dapat mencegah aspirasi darah ke bagian paru yang
sehat dan menjamin pertukaran gas pada batuk darah masif. Prosedur diawali dengan
memasukkan bronkoskop serat optik yang menjadi sumber perdarahan. Kateter
balon nomor 4-7F panjang 200 cm dimasukkan ke bronkus segmen atau subsegmen
yang dituju melalui lumen penghisap bronkoskop, lalu balon dikembangkan
sehingga terjadi tamponade di sumber perdarahan. Sesudahnya bronkoskop
dikeluarkan dari saluran napas dan kateter dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam
dengan bantuan penglihatan melalui bronkoskop balon dikempiskan dan kateter
dikeluarkan jika tidak terjadi lagi perdarahan, pada saluran napas besar dapat
digunakan kateter balon berukuran 14 F.
d. Fotokoagulasi laser (Nd-YAG laser), foto terapi menggunakan laser Neodynamium-
aluminium garnet (Nd-YAG) telah digunakan untuk menghentikan perdarahan
bersifat paliatif pada penderita hemoptisis masif yang diintubasi. Kemampuan
koagulasi dan evaporasi laser Nd-YAG dapat menghentikan perdarahan lesi-lesi
endobronkial, oleh karena itu manfaat terapi laser hanya ditujukan pada perdarahan
yang disebabkan lesi endobronkial.
14
d. Terapi radiasi pada hemoptisis masif pernah dilaporkan penggunaannya pada
aspergiloma yang gagal diatasi dengan embolisasi. Mekanisme kerja radiasi diduga
dengan embolisasi. Mekanisme kerja radiasi diduga akan mengurangi
pembengkakan dan induksi nekrosis sumber perdarahan, sehingga menghasilkan
trombosis vaskuler dan kompresi edema perivaskuler. Penggunaan terapi radiasi
untuk mengatasi hemoptisis masuf juga pernah dilaporkan pada kasus tumor
vaskuler seperti angiosarkoma atau hemangioendotelioma.
Embolisasi arteri, oklusi pembuluh darah yan menjadi sumber perdarahan dengan
embolisasi transkateter untuk terapi hemoptisis masif telah dilakukan sejak beberapa dekade
yang lalu. Embolisasi dapat dilakukan pada arteri bronkialis maupun sirkulasi pulmoner.
Metode ini digunakan sebagai terapi alternatif pada penderita yang tidak dapat menjalani
pembedahan atau sebagai tindakan yang bersifat sementara sebelum penderita menjalani
pembedahan. Di samping itu metode ini juga dilakukan terhadap penderita yang mengalami
hemoptisis berulang akibat TB paru, bronkiektasis, kavitas sarkoid dan abses paru. Tindakan
didahului dengan arteriografi yang kemudian dilakukan embolisasi arteri pada pembuluh darah
yang dianggap sumber perdaraha. Sebelum dilakukan ateriografi jika memungkinkan
dilakukan pemeriksaan bronkoskopi untuk mengidentifikasi orifisium bronkus yang menjadi
sumber perdarahan. Tindakan bronkoskopi juga dilakukan untuk tujuan terapi yang bersifat
sementara sebelum dikakkan embolisasi arteri, yaitu tindakan tamponade endobronkial.
Keberhasilan penghentian perdarahan dilaporkan dari beberapa penelitian berkisar 64-100%.
Kekambuhan hemoptisis (jarang sampai masif) berkisar 20-46%.
2.9. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah prosedur pemeriksaan sistem pernapasan jenis endoskopi yang
digunakan untuk melihat laring, trakea, dan saluran napas bawah apakah terdapat kelainan atau
tidak, untuk mengambil contoh jaringan atau sekret, untuk membersihkan jalan napas, dan
sebagainya. Terdapat dua jenis bronkoskopi yang digunakan sehari-hari sesuai dengan indikasi
penggunaan bronkoskopi, yaitu :14,15
1. Flexible bronchoscopy14,15
Flexible bronchoscopy merupakan suatu prosedur invasif untuk memvisualisasikan
nasal, faring, laring, korda vokalis, dan percabangan trakeabronkial untuk keperluan diagnosis
serta pengobatan pada kelainan paru. Prosedur ini dapat dilakukan di ruang bronkoskopi, ruang
15
endoskopi, kamar operasi, instalasi gawat darurat, ruang radiologi, dan di unit perawatan
intensif.
a. Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk melakukan prosedur adalah bronkoskop, lampu, sikat
sitologi, forsep biopsi, needle aspiration catheter, suction, oksigen, fluoroskopi (C-arm),
pulse oxymetry, sphygmomanometer dan peralatan resusitasi yang meliputi endotracheal
tube serta monitor video.
b. Anastesi
Flexible bronchoscopy dapat dilakukan menggunakan anestesi lokal dengan atau tanpa
sedasi, atau dengan anestesi umum.
c. Teknik
Pasien harus berada dalam posisi setengah berbaring atau supinasi setelah diberikan obat
melalui jalur intravena. Pasien diharuskan puasa minimal empat jam sebelum prosedur. Jika
operator memilih hidung sebagai jalur masuk bronkoskop, pasien harus diberikan anestesi
topikal di sekitar jalur hidung dan faring. Setelah anestesi topikal bekerja, bronkoskop
dimasukkan melalui hidung atau mulut serta pelindung gigi telah terpasang. Operator
kemudian memeriksa orofaring. Ketika mencapai korda vokalis, pasien diberikan anestesi
topikal kembali. Operator memeriksa abduksi dan adduksi korda vokalis. Bronkoskop
melewati korda vokalis dan inspeksi terhadap saluran pernafasan secara keseluruhan dapat
dilakukan. Terapi dan diagnostik dapat dilakukan selama prosedur flexible bronchoscopy.
Prosedur diagnostik berdasarkan indikasi yang dapat dilakukan antara lain: bronchoalveolar
lavage (BAL), biopsi endobronkial atau transbronkial, pencucian atau penyikatan sitologi,
transbronchial needle aspiration (TBNA), EBUS dan autofluoresence bronchoscopy.
Prosedur terapi yang dapat dilakukan menggunakan flexible bronchoscopy seperti: dilatasi
balon, ablasi laser endoronkial, elektrokauter, terapi fotodinamik, brakiterapi, dan
pemasangan stent.
d. Indikasi
Indikasi meliputi infiltrat pada paru yang tidak terdiagnosa, massa di paru, limfadenopati
mediastinal, hemoptisis, kelainan saluran pernafasan, lesi endobronkial, therapeutic
suctioning, dan bronkoskopi pediatrik.
e. Kontraindikasi
Sebagian besar kontraindikasi bersifat relatif. Perhatian khusus harus diberikan terhadap
status pernafasan dan perdarahan. Pada pasien yang tidak stabil atau prosedur membutuhkan
waktu yang lebih lama, dapat dipilih untuk menggunakan rigid bronchoscopy.
16
f. Risiko
Prosedur ini termasuk salah satu tindakan yang aman. Komplikasi yang paling banyak
terjadi adalah perdarahan, depresi napas, henti napas, henti jantung, aritmia, dan
pneumotoraks dengan prevalensi
g. Pelatihan
Operator yang sedang dalam tahap latihan harus didampingi oleh operator yang sudah mahir
dan melakukan sedikitnya 100 kali prosedur dalam pengawasan sesuai standar kompetensi.
Untuk mempertahankan kompetensi, operator harus melakukan sedikitnya 25 kali prosedur
per tahun dan memiliki sertifikat.
2. Rigid bronchoscopy14,15
Rigid bronchoscopy adalah suatu prosedur invasif yang digunakan untuk
memvisualisasikan orofaring, faring, korda vokalis, dan percabangan trakeobronkial. Prosedur
ini digunakan untuk diagnosis dan pengobatan pada kelainan paru. Prosedur ini dilakukan di
ruang endoskopi dengan menggunakan anestesi, tetapi akan lebih baik jika dilakukan di kamar
operasi, dan sangat jarang dilakukan di unit perawatan intensif. Prosedur ini sering dikombinasi
dengan flexible bronchoscopy untuk mendapatkan dan mempertahankan visualisasi serta
melakukan suction pada saluran napas bagian distal.
a. Peralatan
Satu set alat bronkoskop ventilasi harus tersedia dalam berbagai ukuran. Lampu halogen
untuk pencahayaan; teleskop 0, 30, 90 dapat dipasang pada laras untuk meningkatkan
gambaran visualisasi dan monitor video. Instrumen seperti grasper, forsep biopsi, dan
suction harus selalu tersedia. Hal-hal lain yang harus tersedia diantaranya larutan normal
salin, jel lubrikan, syringe, dan suction tubing.
b. Anestesi
Prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum untuk mencapai sedasi yang
adekuat, serta menggunakan pelemas otot.
c. Teknik
Pasien dalam posisi supinasi. Kepala diletakkan di atas bantal kecil dan tempat tidur yang
dapat diatur derajat kemiringannya. Ujung epiglotis diangkat secara perlahan dengan ujung
bronkoskop, saat laring terlihat dan tampak korda vokalis, bronkoskop diputar 90 derajat ke
arah vertikal agar dapat melewati korda vokalis. Cara ini merupakan tindakan dengan
resistensi minimal dan dapat menghindari kerusakan pada korda vokalis. Setelah memasuki
trakea bagian atas, bronkoskop dikembalikan ke posisi semula. Ventilasi dihubungkan
17
melalui port samping. Bronkoskop secara perlahan dimasukkan melalui karina lalu ke
bronkus. Anatomi, kondisi saluran napas, dan ketidaknormalan mukosa harus dicatat.
Teleskop dapat dimasukkan ke rigid bronchoscope untuk memvisualisasikan segmen
bagian distal, dan dibutuhkan teleskop dengan sudut 30 dan 90 derajat untuk melihat bagian
tertentu pada lobus kanan bawah paru. Kepala pasien biasanya diputar ke arah kiri untuk
memasuki bronkus bagian kanan dan diputar ke arah kanan untuk memasuki bronkus bagian
kiri. Setelah pemeriksaan awal selesai, tujuan dari prosedur dapat dilakukan (dilatasi,
pemasangan stent, ablasi laser, pengambilan corpus alienum). Selama melakukan prosedur,
harus tersedia kauter, forsep, dan suction. Jika diperlukan pemeriksaan lebih seperti,
pencucian, ablasi laser/fotodinamik, atau pemasangan stent, maka flexible bronchoscope
dapat dimasukkan melalui rigid bronchoscope.
d. Indikasi
Terdapat banyak indikasi untuk rigid bronchocopy meliputi perdarahan (pengelolaan
hemoptisis masif), reseksi tumor, ektraksi corpus alienum, pengambilan biopsi untuk bagian
yang lebih dalam, dilatasi striktur trakea atau bronkus, membebaskan obstruksi saluran
napas, pemasangan stent, dan bronkoskopi pediatrik. Prosedur ini juga dapat dilakukan
untuk terapi laser trakeo-bronkial atau ablasi mekanik tumor.
e. Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif meliputi koagulopati yang tidak terkontrol, pemakaian ventilator dan
oksigenasi yang ekstrim, serta obstruksi trakeal bagi operator pemula. Kontraindikasi
khusus meliputi ketidakstabilan tulang servikal, trauma maksilofasial parah (deformitas),
penyakit atau kelainan mulut yang menghalangi.
f. Risiko
Komplikasi terbanyak yang paling potensial terjadi dan tidak dapat dihindari meliputi:
cedera gigi atau gusi, kerusakan pada trakea atau bronkus dan perdarahan berat.
g. Pelatihan
Operator harus melakukan sedikitnya 20 kali prosedur di bawah pengawasan sesuai standar
kompetensi pada pasien dengan saluran napas normal. Untuk mempertahankan kompetensi,
operator harus melakukan minimal 10-15 kali prosedur per tahun.
18
2.10. Visualisasi (gambaran) bronkoskopi16,17
Terdapat beberapa kriteria gambaran bronkoskopi yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 2.3. Kriteria Penampakan Bronkoskopi16,17
1 Massa (gumpalan atau a. Obstruksi (i) Total
benda yang terbuat dari (ii) Parsial
kohesi beberapa partikel b. Permukaan (i) Berbenjol-benjol
yang mengakibatkan (ii) Rata
keadaan patologis) c. Mukosa (i) Compang-camping
(ii) Licin
(iii) Mudah berdarah
(iv) Tidak mudah berdarah
2 Infiltratif (penimbunan a. Hiperemis *Minimal 3 kriteria
bahan patologis dalam b. Submukosa tidak
jaringan atau sel yang rata
tidak normal atau dalam c. Nekrosis
jumlah yang berlebihan) d. Edema
3 Stenosis (penyempitan a. Total
duktus atau kanal yang b. Tidak total
abnormal) c. Kompresif
d. Non kompresif
e. Infiltratif
4 Perdangan/inflamasi a. Hiperemis
(respons protektif b. Edema
setempat yang
ditimbulkan oleh cedera
atau kerusakan jaringan)
5 Bronkus normal a. Mukosa normal Pink pucat (pale pink) atau
b. Tidak ada benda berwarna merah kuning.
asing
c. Tidak ada sekresi
abnormal
19
keberhasilannya masih dipertanyakan. Telah dilaporkan respons yang bagus terhadap
pengobatan intrapulmonal dengan rekombinan faktor VII yang diinstilasikan melalui saluran
bronkoskop pada kasus-kasus perdarahan difus alveolar.
Tamponade endobronkial memakai balon Fogarty atau kateter arteri pulmonalis, isolasi
perdarahan pada bronkus segmen atau subsegmen menggunakan kateter balon dapat mencegah
aspirasi darah ke bagian paru yang sehat dan menjamin pertukaran gas pada batuk darah masif.
Prosedur ini diawali dengan memasukkan bronkoskop serat optik sampai ke bronkus segmen
atau subsegmen yang menjadi sumber perdarahan. Kateter balon nomor 4-7F panjang 200 cm
dimasukkan ke bronkus segmen atau subsegmen yang dituju melalui lumen penghisap
bronkoskop, lalu balon dikembangkan sehingga terjadi tamponade di sumber perdarahan.
Sesudahnya bronkoskop dikeluarkan dari saluran nafas dan kateter dibiarkan selama 24 jam.
Setelah 24 jam dengan bantuan penglihatan melalui bronkoskop balon dikempiskan dan kateter
dikeluarkan jika tidak terjadi perdarahan lagi, pada saluran nafas besar dapat digunakan kateter
balon berukuran 14F. Melokalisir perdarahan juga membantu perencanaan embolisasi arteri
bronkialis atau torakotomi.
20
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi. Volume
darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga
masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah
ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan
yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda
atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih
teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan
pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat
mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggun kestabilan hemodinamik
penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.
Banyak etiologi yang dapat menyebabkan hemoptisis, termasuk beberapa penyakit
sistemik. Lebih dari 90% hemoptisis masif disebabkan oleh bronkiektasis, tuberkulosis paru
(TB Paru), abses paru (necrotizing pneumonia) dan karsinoma bronkus. Hemoptisis adalah
salah satu indikasi tersering dilakukannya bronkoskopi emergensi. Tujuan utamanya adalah
untuk melokalisasi sumber perdarahan dan jika memungkinkan mengontrol perdarahan
dengan tamponade topikal atau endobronkial. Bronkoskopi rigid adalah prosedur pilihan
untuk hemoptisis yang mengancam jiwa, yaitu ekspektorasi darah >600 ml dalam waktu 48
jam atau 400 ml dalam 24 jam.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Swidarmoko B, Susanto AD. Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas. Jakarta:
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.
2. Noë GD, Jaffé SM, Molan MP. CT and CT angiography in massive haemoptysis with emphasis
on pre-embolization assessment. Clin Radiol. 2011;66:869–75.
3. Jeudy J, Khan AR, Mohammed TL, et al. ACR Appropriateness Criteria hemoptysis. J Thorac
Imaging. 2010;25:67–9.
4. Ibrahim WH. Massive haemoptysis: the definition should be revised. 2008;32:1131–2.
5. Baptiste EJ. Management of hemoptysis in the emergency department. Hospital Physician;
2005.
6. Earwood JS, Thompson TD. Hemoptysis: evaluation and management. Am Fam
Physician.;2015.
7. Ong ZYT, Chai HZ, How CH, Koh J, Low TB. A simplified approach to haemoptysis.
Singapore Med J; 2016.
8. Maria CHW. Hasil terapi konservatif pada penderita batuk darah di RS Persahabatan. Jakarta:
Bagian Pulmonologi FKUI, Tesis; 2000.
9. Yunus F. Hemoptisis. MKI; 1987; 10: 327-31.
10. Wihastuti R, Maria CHW, Situmeang TSB, Yunus F. Profil penderita batuk darah yang berobat
di bagian paru RS Persahabatan, Jakarta. J Respirologi Indonesia; 1999; 19: 54-9.
11. Lordan JL, Gascoigne A, Corris PA. The pulmonary physician in critical care. Illustrative case
7: Assessment and management of massive haemoptysis. Thorax; 2003; 58: 814–9.
12. Jean-Baptiste E. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Critical Care
Medicine; 2000; 28(5): 1642–7.
13. Larici AR, Franchi P, Occhipinti M, Contegiacomo A, Ciello AD, Calandriello L, et al.
Diagnosis and management of hemoptysis. Diagn Interv Radiol; 2014; 20: 299-309.
14. Ernst A,Silvestri GA, Johnstone D. Interventional Pulmonary Procedures: Guidelines from the
American College of Chest Physicians. CHEST 2003; 123:1693–1717.
15. Bolliger CT, et al. ERS/ATS statement on interventional pulmonology. Eur Respir J 2002; 19:
356–3.
16. Diaz-Fuentes, Venkatram SK. Role of flexible bronchoscopy in pulmonary and critical care
practice. : Global perspectives on bronchoscopy;2009.
22
17. Estella A. Bronchoscopy in mechanically ventilaated patients: Global perspectives on
bronchoscopy In-Tech; 2012.
23