You are on page 1of 12

Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial Secara Litigasi

Kokoh Junia Khotama


E0012222

Abstract
Settlement of industrial disputes previously regulated in Act No. 22 in 1957 About the
Settlement of Labor Disputes, but along with the development of dynamic and complex, Act
No. 22 in 1957 is no longer applicable to the development of the situation and needs of the
time, then Act was born. No 2 in 2004 on Industrial Relations Dispute Settlement. In
Indonesia, the existence of the labor courts known as the Law of Industrial Relations
Disputes Settlement (PHI Act) was approved in the Plenary Session of Parliament on
December 16, 2003. Exactly a month later, on January 14, 2004, Industrial Dispute Act was
promulgated by the President to become Law. 2 of 2004, and become effective one year later.
The soul of Act Industrial Dispute No. 2, 2004 is to ensure settlement of industrial disputes
fairly, fast, and cheap. The way of handling labor disputes can be resolved with 2 (two) ways,
namely through the judicial dispute resolution or litigation and dispute resolution outside the
judicial manner, namely through bipartite, conciliation, mediation, and arbitration.

Abstrak

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dulu diatur dalam Undang- Undang Nomor 22
Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, tetapi seiring dengan
perkembangan jaman yang dinamis dan sangat kompleks, Undang–Undang Nomor 22 Tahun
1957 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan jaman. Oleh
karena itu, lahirlah Undang- Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Di Indonesia, keberadaan pengadilan perburuhan yang dikenal dengan
Undang- Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI) telah disetujui
dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 16 Desember 2003. Tepat sebulan kemudian,
tanggal 14 Januari 2004, UU Perselisihan Hubungan Industrial diundangkan oleh Presiden
menjadi UU No. 2 Tahun 2004, dan berlaku secara efektif setahun kemudian. Jiwa Undang-
Undang Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004 ini adalah menjamin
penyelesaian perselisihan industrial menjadi adil, cepat, dan murah. Cara penanganan
perselisihan perburuhan itu dapat diselesaikan dengan 2 (dua) cara, yaitu penyelesaian
perselisihan melalui jalur peradilan atau litigasi dan penyelesaian perselisihan dengan cara di
luar peradilan, yaitu melalui bipartit, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.

Pendahuluan

Perselisihan atau sengketa senantiasa dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar
manusia, bahkan mengingat subjek hukumpun telah lama mengenal badan hukum maka para
pihak yang terlibat dalamnya pun semakin banyak. 1 Dengan semakin kompleksnya corak
kehidupanmasyarakat maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa perselisihanpun meliputi
ruang lingkup semakin luas, diantaranya yang sering mendapat sorotan adalah perselisihan
hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial biasanya terjadi antara pekerja/ buruh
dan pengusaha/ majikan atau antara organisasi pekerja/ organisasi buruh dengan organisasi
perusahaan/ organisasi majikan. Dari sekian banyak kejadian atau peristiwa konplik atau
perselisihan yang terpenting adalah bagaimana solusi untuk penyelesaiannya agar betul-betul
objektif dan adil.1

Penyelesaian perselisihan pada dasarnya dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri, dan kalau
para pihak tidak dapat menyelesaikannya baru diselesaikan dengan hadirnya pihak ketiga,
baik yang disediakan oleh negara atau para pihak sendiri.
Dalam masyarakat modern yang diwadahi organisasi kekuatan publik berbentuk negara,
forum resmi yang disediakan oleh negara untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan
biasanya adalah lembaga peradilan. Tapi apakah lembaga peradilan tepat guna untuk
penyelesaian perselisihan hubungan industrial tentunya menarik untuk dicermati.
Peradilan merupakan lembaga penyelesaian perselisihan pada masyarakat modern, yang
sebelumnya masyarakat adatpun secara tradisional sebelum mengenal negara dengan
lembaga peradilannya, telah punya cara penyelesaian sengketa antar warga, yang biasanya
dilaksanakan melalui para tetua adat yang bertindak sebagai pasilitator atau juru damai. Jadi
adanya juru damai dalam penyelesaian sengketa bukanlah hal baru bagi masyarakat
Indonesia.
Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia pada saat ini untuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial secara normatif telah mengalami banyak perubahan, antara

1
Di Indonesia badan hukum antara lain terdiri dari perseroan terbatas, badan usaha milik negara, perusahaan
umum, perusahaan jawatan, yayasan, koperasi.
lain dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Diundangkannya Undang-Undang ini dengan latar
belakang bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, sedangkan di era
indutrialisasi ini masalah perselisihan hubungan industrial semakin meningkat dan kompleks
sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang cepat, tepat, adil, dan murah. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diharapkan hubungan industrial
yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dapat
diwujudkan. Berdasarkan undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial ini telah ada peradilan khusus yang menangani penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, yaitu PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Pengadilan khusus ini dibentuk di
lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial. Walaupun ada Pengadilan Hubungan Industrial
tapi fungsi juru damai untuk berperan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial
tetap diperlukan.
Perselisihan atau sengketa para pihak biasanya terjadi jika salah satu pihak menghendaki
pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, tetapi pihak lainnya menolak untuk
berbuat atau berlaku demikian. Begitu juga dalam hubungan industrial, hanya saja ruang
lingkupnya sekitar kepentingan pekerja/ buruh, pengusaha, dan pihak pemerintah, karenanya
ketiga subjek hukum ini merupakan pilar pendukung suksesnya pelaksanaan hukum ketenaga
kerjaan termasuk pula untuk suksesnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Subjek utama dalam hubungan industrial adalah pekerja/ buruh dengan pengusaha/ majikan,
kedua pihak terikat dalam hubungan industrial dikarenakan perjanjian kerja dan atau
perjanjian kerja bersama. Berdasarkan pandangan strukturan fungsional baik pekerja/ buruh
maupun pengusaha/ majikan adalah pihak-pihak yang sebenarnya sama-sama mempunyai
kepentingan dengan kelangsungan usaha perusahaan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan
adalah dambaan bersama antara pekerja/buruh juga pengusaha/ majikan. Untuk kepentingan
bersama ini secara ideal menghendaki agar ke dua pihak saling memberikan kontribusi
optimal untuk produktivitas kegiatan usaha. Karenanya keserasian hubungan antara mereka
menjadi sangat diperlukan, dan hal ini dicerminkan oleh adanya kepuasan para pihak dalam
pemenuhan hak dan kewajiban. Apabila terjai ketidak puasan, maka timbulah kegoncangan-
kegoncangan yang bermuara pada perselisihan hubungan industrial. Sebagai gejala biasanya
pekerja/ buruh tampil dengan berbagai pengaduan atau serangkaian demo atau atau aksi
mogok, untuk reaksinya maka pengusaha/ majikan tidak segan-segan untuk melakukan loc-
out atau pemutusan hubungan kerja. Dari pengamatan atau kasus-kasus perselisihan
hubungan industrial yang paling banyak kepermukaan adalah kasus PHK (pemutusan
hubungan kerja).

Bagi pekerja/ buruh yang umumnya tidak mudah untuk mendapat kerja baru, masalah
pemutusan hubungan kerja adalah awal penderitaan panjang. Dari berbagai media sering
diperoleh informasi tentang adanya perusahaan-perusahaan yang melakukan rasionalisasi
manajemen perusahaan yang merugikan kepentingan pekerja/ buruh, dimana perusahaan
perusahaan yang melakukan kebijaksanaan manajemen atau rasionalisasi perusahaan dengan
cara pemutusan hubungan kerja masal dengan melepas tanggungjawabnya untuk memenuhi
hak-hak pekerja/ buruh terutama hak untuk mendapat pesangon yang memadai. Kebijakan
seperti ini diantaranya ada pada kebijakkan perusahaan untuk menerapkan sistim
“outsourcing” yang nyatanya melepas tanggung jawab suatu perusahaan yang
memperjerjakan pekerja/ buruh pada perusahaan lain.
Saat ini pekerja/ buruh umumnya berada dalam posisi yang lemah. Mereka umumnya miskin,
dan sulit untuk memperoleh jaminan kerja dengan imbalan penghasilan yang pantas.
Sehingga banyak angkatan kerja yang hingkang ke luar negeri untuk menjadi TKI walaupun
dengan risiko perlindungan keselamatan kerja yang sangat rawan. Kemiskinan melanda
sebagian besar pekerja/ buruh di Indonesia (sekitar 61, 4 %), dan hnya bagian kecil saja
pekerja/buruh yang menikmati upah atau penghasilan berkecukupan. Mereka umumnya
terdiri dari buruh pabrik, keadaannya sangat memprihatinkan, kadang perut mereka dalam
keadaan keroncongan, tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga termasuk untuk beli susu
untuk bayinya, tidak mampu menyekolahkan anaknya kejenjang yang lebih tinggi dari SD,
walaupun setiap hari tenaganya diporsir untuk perusahaan. Sementara disisi lain pengusaha/
majikan dengan modal yang dia miliki, dan dengan latar belakang melimpahnya angkatan
kerja yang berarti peluang begitu mudahnya untuk mendapatkan pekerja/ buruh baru
menjadikannya begitu besar dan begitu dominan dihadapkan pada keadaan pekerja/ buruh.
Dalam kondisi seperti ini aturan hukum harus punya kemampuan untuk terwujudnya
keseimbangan hak dan kewajiban antara pengusaha/ majikan dengan pekerja/ buruh.
Liberalisasi sepertinya telah membudaya di seluruh dunia, dan telah masuk di Indonesia
semenjak pemerintahan „Orde Baru‟ berlanjut hingga saat ini. Di bidang ekonomi liberalisasi
ada juga segi positifnya untuk pertumbuhan ekonomi, tapi disisi lain menimbulkan dampak
yang tidak menguntungkan bagi kelompok ekonomi lemah yang cenderung semakin
termarjinalkan. Hal ini ditandai semakin kompetitifnya lapangan kerja serta melemahnya
perlindungan hukum terhadap pekerja atau buruh sebagai kelompok ekonomi lemah.
Melemahnya perlindungan hukum terhadap pekerja/ buruh tidak hanya dalam hal
pelaksanaan hukum materil, tapi juga dirasakan dalam hal pelaksanaan hukum formal. Dari
segi hukum materil, walaupun telah diundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenaga Kerjaan tapi posisi pekerja/ buruh terutama pekerja/ buruh kwalifikasi non
skill seperti para tenaga operator/ pekerja pabrik masih sangat lemah perlindungan
hukumnya. Sedangkan pekerja/ buruh non skill ini bagian terbesar dari komunitas pekerja/
buruh di Indonesia. Begitu juga halnya dari segi hukum acara (hukum formal), walaupun
telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan nyatanya pihak pekerja/ buruh masih belum dapat
memenuhi harapannya untuk menikmati penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan/
perburuhan secara cepat, tepat, adil dan murah.
Salah satu masalah dari hukum formal yang mengatur penyelesaian perselisihan industrial
adalah disebabkan karena Hukum Acara yang berlaku di PHI (Pengadilan Hubungan
Industrial) adalah Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum , yang biasanya rumit dan
panjang. Biasanya untuk proses perkara di tingkat Pengadilan Negeri setidaknya pekerja/
buruh yang berperkara harus bersidang antara 8 hingga 10 hari.. Belum lagi dengan biaya
lainnya seperti untuk tranportasi ke tempat persidangan di PHI yang hanya ada di kota
provinsi.
Sejalan dengan semakin meluasnya opini masyarakat tentang pro dan kontranya terhadap
eksistensi dan aktifitas kinerja PHI (Pengadilan Hubungn Industrial) dan untuk antisipasi agar
pekerja/ buruh tidak menjadi pihak yang dirugikan dan mendapat peluang untuk menikmati
hasil pembangunan secara layak sesuai proporsinya dalam proses pembangunan perlu kiranya
langkah-langkah kongkrit pembenahan tatanan hukum khususnya yang mengatur hubungan
industrial.
Pembahasan

JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN PERINDUSTRIAN

Sesuai dengan tata hukum di Indonesia Pasal 1 angka I Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 memberikan pengertian tentang perselisihan hubungan industrial. Perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dari pengertian di atas, semakin jelas bahwa perselisihan hubungan industrial meliputi
perselisihan hak, perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan.2 Berikut ini adalah
beberapa pengertian perselisihan di dalam hubungan industrial: Pertama, Perselisihan Hak.
Perselisihan hak merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat
pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak. Pelanggaran tersebut termasuk di
dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan di dalam peraturan perusahaan serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.3 Oleh karena itu, perselisihan hak terjadi karena tidak
adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja; Kedua , Perselisihan
Kepentingan atau belangen geschil; hal ini terjadi karena ketidaksesuaian paham dalam
perubahan syarat-syarat kerja atau keadaan perburuhan. Dari pengertian di atas jelaslah
perbedaan antara kedua jenis perselisihan tersebut, yakni perselisihan hak objek sengketanya
adalah tidak dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena adanya perbedaan dalam
implementasi atau penafsiran ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang melandasi hak yang disengketakan.
Sementara itu, dalam perselisihan kepentingan, objek sengketanya karena tidak adanya
kesesuaian paham/pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perselisihan, atau perjanjian kerja
bersama, yang meliputi: Pertama, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal
1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004). Perselisihan mengenai PHK selama ini
paling banyak terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain

2
Bambang Yunarko, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrialmelalui Lembaga Arbitrase Hubungan Industrial: 53”
<http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/ 201207530921134643/5.pdf>.
3
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial MelaluiPengadilan dan di Luar Pengadilan. Jakarta: Radjawali Press,
2007:45.
tidak dapat menerimanya. Kedua, Perselisihan Antarserikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu
Perusahaan; Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan tersebut terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan
pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004). Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang
diwujudkan dengan kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, jumlah serikat
pekerja/buruh di suatu perusahaan tidak dapat dibatasi. Kebebasan berserikat bagi
pekerja/buruh merupakan hak dasar yang dilindungi dan dijamin secara konstitusional
(Nasution, 2004: 1) . Untuk mewujudkan hak tersebut, pekerja/buruh harus diberi kesempatan
yang seluasluasnya untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh. Pendirian
serikat pekerja/buruh berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan
membela kepentingan serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Pembentukan organisasi serikat pekerja harus dilakukan secara independen, demokratis,
mandiri, bertanggung jawab tanpa adanya campur tangan pihak manapun termasuk
pengusaha.

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI


PENGADILAN

Proses beracara di Perselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana disebutkan Pasal 57


UU No 2 Tahun 2004 adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan
peradilan umum. Perbedaannya hanya terletak pada pokok gugatan, yaitu perkara dalam surat
gugatan hubungan industrial khusus berhubungan dengan ketenagakerjaan. Selain itu,
perbedaannya dengan Hukum Acara Perdata, penyelesaian sengketa melalui PHI hanya
melalui dua tingkat pemeriksaan/persidangan, yaitu PHI sebagai Pengadilan Tingkat Pertama
dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tingkat Terakhir. Pengadilan Hubungan Industrial
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama mengenai
perselisihan hak; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan di
tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan.

Gugatan perdata yang diajukan dan diperiksa oleh Hakim PHI ini terutama merupakan kasus
perselisihan ketenagakerjaan yang tidak dapat diselesaikan di Tingkat Konsiliasi dan atau
Tingkat Mediasi. Timbulnya perselisihan sampai terjadi gugatan ke PHI, umumnya adalah
karena tidak terjadinya kesepakatan para pihak yang berperkara mengenai besarkecilnya uang
pesangon, uang jasa, ganti rugi perumahan dan pengobatan, dan sebagainya dalam
perundingan di Tingkat Konsiliasi atau Tingkat Mediasi. Atau mungkin juga karena salah
satu pihak beperkara ingkar terhadap Perjanjian Bersama/Akta Perdamaian yang disepakati di
Tingkat Bipartit, atau Tingkat Konsiliasi, atau Tingkat Arbitrase, atau Tingkat Mediasi.
Kalau yang terakhir terjadi, maka salah satu pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada Ketua PHI. Hakim Kasasi adalah Majelis Hakim di Mahkamah
Agung RI yang terdiri atas satu Hakim Agung dan dua Hakim Ad Hoc.

Hakim Kasasi berwenang memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hak dan PHK serta
Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan Arbitrase. Hakim Kasasi ini wajib mengeluarkan
putusan paling lambat 30 hari kerja setelah menerima permohonan kasasi atau PK. Kehadiran
PHI ini tidak hanya merupakan aset hukum bagi dunia peradilan kita, tetapi juga merupakan
kekuatan baru bagi pekerja dalam rangka mencari perlindungan hukum; terlebih adanya
putusan PHI berupa sita eksekusi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengusaha
yang berani bertindak semena-mena terhadap pekerjanya. Kita berharap bahwa UU No 2
Tahun 2004 dan PHI ini diimbangi peran serta konsiliator, arbiter, mediator, dan Hakim PHI
yang benar-benar menegakkan hukum dengan tegas, jujur, adil, bersih dari korupsi kroniisme
dan nepotisme (KKN), serta netral (tidak memihak).7 Semua anjuran tertulis dari konsiliator,
arbiter, dan mediator, maupun putusan PHI benar-benar berdasarkan atas hukum, keadilan,
dan kepatutan.

Sudah saatnya dan sudah seharusnya perselisihan perburuhan yang merupakan sengketa
perdata itu diadili oleh peradilan umum sejak awal. Namun, bagi pencari keadilan, pekerja
terutama, yang terpenting bukan pada institusi dan mekanisme penyelesaiannya, melainkan
bagaimana hak-hak mereka dapat diperoleh secara wajar tanpa harus bersentuhan dengan
keruwetan birokrasi dan calo keadilan. Kekhawatiran terhadap hal yang demikian adalah
wajar, karena walaupun telah dilakukan penyederhanaan institusi dan mekanisme, PHI masih
menggunakan Hukum Acara Perdata dalam pelaksanaan eksekusinya, baik eksekusi putusan
PHI sendiri maupun eksekusi hasil mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang tidak dilaksanakan
secara sukarela oleh para pihaknya. Masalah eksekusi ini merupakan masalah yang sangat
krusial, karena di sinilah penentuan dan letak akhir sebuah proses. Menjadi tidak bernilai
sebuah putusan jika sulit untuk dieksekusi. Dalam praktik peradilan kita, eksekusi bukanlah
sesuatu yang “pasti” mudah dilakukan meskipun sebuah putusan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Pada tahapan ini masih banyak ruang yang menggoda terjadinya permainan
yang memanfaatkan pihak yang bersengketa oleh oknum pengadilan.8 Oleh karena itu, sudah
seharusnya pula dibentuk hukum yang baru mengenai eksekusi putusan pengadilan,
setidaknya eksekusi putusan PHI, yang sekurang-kurangnya merupakan penyederhanaan
lama proses eksekusi. Selain itu, pembentukan PHI pada setiap peradilan umum dalam
wilayah yang padat industri harus menjadi perhatian Presiden agar tidak tertunda dan segera
diwujudkan. Dengan demikian keberadaan PHI yang diharapkan dapat mewujudkan
penyelesaian perselisihan perburuhan secara cepat, tepat, adil, dan murah, akan mampu
mengubah sikap pesimis dan anggapan masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan
identik dengan ketidakpastian dan biaya mahal, apalagi kekecewaan dan keraguan
masyarakat semakin menggunung dengan merebaknya kasus mafia peradilan yang seperti
tidak pernah berhenti. Oleh karenanya, jika penyelesaian perselisihan perburuhan masih tetap
tidak efektif melalui PHI, maka tentu tidak ada bedanya penyelesaian melalui Badan
Administasi Negara dengan Peradilan Umum (Yusman, 2005:1). Secara garis besar
penyelesaian Perselisihan

Penutup

Pengaturan mekanisme perselisihan hubungan industrial, dengan mengacu pada Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
kenyataannya masih ada kelemahan-kelemahannya yaitu :
a. Terlalu formal, sehingga pekerja/ buruh cenderung merasa berat untuk berperkara.
b. Memakan waktu, dan biaya tidak sedikit sehingga cenderung merepotkan pekerja/ atau
buruh.
c. Dengan mekanismi hukum acara perdata murni berarti menghadapkan pekerja/ buruh pada
sistim penyelesaian konflik yang cenderung mahal dan perlu keahlian serta keterampilan
khusus, sementara kondisi pekerja/ buruh umumnya dalam kondisi lemah.

Hal-hal yang menjadi kendala untuk terwujudnya keadilan dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial:
a. Adanya ketidakkonsistenan antara kaidah atau norma hukum dengan nilai-nilai Pancasila,
karena secara kemanusiaan pekerja/ buruh yang harus mendapat perlindungan justeru
dihadapkan pada berbagai kesulitan dalam proses berperkara.
b. Adanya ketidak konsistenan antara kaidah atau norma hukum dengan pelaksanaannya
dilapangan. Antaranya masalah waktu, menjadi lebih panjang dari waktu yang telah
ditentukan undang-undang, dan tidak adanya sanksi tegas bagi yang telah melakukan
pelanggaran terhadap apa yang telah ditentukan undang-undang.
c. Ketidak siapan para pihak untuk menerapkan idealisme hubungan industrial, yang
menjurus pada pengutamaan kepentingan masing-masing pihak. Landasan filosofis tidak lagi
untuk bermusyawarah mencari penyelesaian perkara. Tetapi berlandaskan filosofis dengan
tujuan untuk memenangkan perkara.
d. Dengan proses penyelesaian perkara seperti diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, peran organisasi pekerja
Daftar Pustaka

Jurnal Internasional

1. Dr. Shyam Bahadur Katuwal. Legal Provisions For The Settlement Of Industrial
Disputes In Nepal. International Journal of Research in Finance & Marketing.
Volume 1, Issue 4 (August, 2011).
2. Anyim Chukwudi Francis, Ph.D. Chidi, Odogwu Christopher. Ogunyomi, Olusiji
Paul. Trade Disputes and Settlement Mechanisms in Nigeria: A Critical Analysis.
Interdisciplinary Journal of Research in Business. Vol. 2, Issue. 2, (pp.01- 08) 2012.
3. Jhunjhunu, Rajasthan. Different Dimensions Of Industrial Disputes With Special
Reference To Their Settlement. Rexjournal ISSN 2321-1067 Renewable Research
Journal.
4. Dr Yogesh Maheswari. Industrial Dispute In Jute Mills. International Journal Of
Marketing, Financial Services & Management Research Vol.2 No. 7 July 2013.
5. Ajay Kumar Samantaray. Law Relating To Settlement Of Industrial Disputes.
International Journal Of Marketing, Financial Services & Management Research
Vol.2 No. 7 July 2013.

Buku
1. Husni, Lalu, SH.M.Hum., “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan dan Di luar Pengadilan” , Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Jakarta.
2. Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, 2011, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan
Industrial dalam Teori dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung.
3. Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dalam Hubungannya dengan Lembaga Peradilan, t.p, t.t.
4. Zaeni Asyhadie, 2009, Peradilan Hubungan Industrial, Penerbit Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
5. Maimun, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta.

Undang undang
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan
Industrial”, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Beserta
Penjelasannya”., Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2004

You might also like