You are on page 1of 35

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga saya bisa menyelesaikan tugas referat berjudul ABSES PARU ini.
Tugas ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Paru.

Bersamaan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya


kepada:

1. dr Jan Parlin Sitanggang Sp. P.

2. Para teman sejawat dokter muda yang telah memberikan masukan


serta membantu dalam penyelesaian referat ini, dan semua pihak
yang tidak mampu penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu terwujudnya referat ini.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala masukan serta
kritik yang membangun demi sempurnanya tulisan ini.Akhirnya penulis
berharap semoga referat ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait.

Tebing Tinggi, Desember 2015

Penulis
DAFTAR ISI .................................................................................................

KATA PENGANTAR ..................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................

1.1 Latar belakang .......................................................................................

1.2 Tujuan .....................................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................

2.1. Anatomi dan fisiologi .............................................................................

2.2. Definisi ...................................................................................................

2.3 Epidemiologi ...........................................................................................

2.4 Etiologi ....................................................................................................

2.5 Patofisiologi ............................................................................................

2.6 Diagnosis ................................................................................................

2.7 Penatalaksanaan ......................................................................................

2.8 Komplikasi ..............................................................................................

2.9 Prognosis .................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Gambar 4

Gambar 5

Gambar 6

Gambar 7

Gambar 8

Gambar 9

Gambar 10

Gambar 11

Gambar 12

Gambar 13

Gambar 14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua lesi di parenkim paru dengan proses supurasi yang disebabkan oleh
mikroorganisme piogenik disebut abses paru. Berdasarkan jenis kelamin, abses
paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Abses paru lebih
sering terjadi pada pasien usia lanjut karena peningkatan kejadian penyakit
periodontal dan peningkatan prevalensi disfagia dan aspirasi.1,2

Kejadian abses paru yang paling sering adalah sebagai komplikasi


pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh mikroorganisme anaerob, yaitu
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus
,Streptococcus pneumonia, spesies Nocardia dan spesies jamur. Proses abses paru
pertama terjadi obstruksi pada parenkim paru, infeksi, proses supurasi, kemudian
nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari supurasi dan thrombosis
pembuluh darah lokal yang menimbulkan nekrosis.1,3

Gejala awal abses paru adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa
disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4°C atau lebih. Tidak ada
demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa
menjadi purulent dan dapat mengandung darah. Pemeriksaan fisis yang ditemukan
adalah suhu badan meningkat sampai 40°C, pada paru ditemukan kelainan seperti
nyeri tekan lokal, pada daerah terbatas perkusi terdengar redup dengan suara
napas bronkial.2

Gambaran radiografi yang spesifik berupa kavitas yang bentuknya


irregular dengan air-fluid level di dalamnya. Abses paru akibat pneumonia
aspirasi biasanya terletak pada segmen posterior lobus atas atau segmen superior
lobus bawah paru kanan.1
Untuk mendapatkan bahan pemeriksaan mikroorganisme penyebabnya,
dilakukan aspirasi pus dengan jarum transtrakeal ataupun transtorakal. Komplikasi
pengambilan bahan pemeriksaan ini adalah penyebaran ke daerah yang belum
terinfeksi. Dengan pemberian obat antibiotik yang tepat, abses paru tidak menjadi
masalah lagi. Prognosis abses paru terutama tergantung dari keadaan umum
pasien, letak abses serta luasnya kerusakan abses yang terjadi, dan respons
pengobatan yang kita berikan.2

1.2 Tujuan

Tujuan referat ini adalah untuk mengetahui bagaimana diagnosis abses


paru yangdisertai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi,
komplikasi serta prognosis dari abses paru
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah


hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus.7

Gambar 1. Anatomi Paru-Paru Normal Tampak Anterior8


Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring, dihangatkan, dan
dilembabkan.Udara mengalir dari faring menuju laring. Laring terdiri dari
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung
pita suara. Ruang berbentuk segitiga diantara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke
dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernapasan atas dan bawah.
Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah.
Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya
sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring
ke atas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk
daun pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan
masuk ke dalam esophagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui
glotis, fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan
sekret keluar dari saluran pernapasan bagian bawah.7

Paru terletak dalam rongga toraks. Mediastinum sentral yang berisi


jantung dan beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap
Paru mempunyai apeks dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronkial, bronkus,
saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk
akar paru. Paru kanan lebih besar dari pada paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus
oleh fisura interlobaris.1 Fissura oblik memisahkan lobus inferior dengan lobus
medius dan lobus superior. Fissura minor memisahkan lobus superior dengan
lobus medius, terletak horizontal, ujung dorsal bertemu dengan fissura oblik,
ujung ventral terletak setinggi pars cartilaginis costa IV. Pada facies mediastinalis
fissure horizontal (fissure minor) melampaui bagian dorsal hilus paru. Lobus
medius adalah lobus yang terkecil dari lobus lainnya dan berada di bagian
ventrocaudal, bentuk paru kanan bentuknya lebih kecil tetapi lebih berat dan total
kapasitasnya lebih besar9

Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen bronkusnya.


Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri dibagi menjadi 9.10
Sirkulasi darah ada hubungannya dengan fungsi respirasi. Sirkulasi
pulmonal adalah aliran darah dari ventrikulus dekstra, melalui arteri pulmonalis,
berakhir pada atrium dekstra. Pada sirkulasi pulmonal terjadi pergantian
karbondioksida dengan oksigen, yang berlangsung melalui dinding alveolus,
disebut respirasi eksterna. Respirasi interna adalah penggunaan oksigen di
jaringan, yang menghasilkan karbondioksida. Peredaran darah yang berkaitan
dengan nutrisi parenkim paru dilakukan oleh arteri dan vena bronkialis.9

Ramus dekstra dan ramus sinistra arteri pulmonalis adalah percabangan


dari arteri pulmonalis yang membawa darah dari paru kanan dan paru kiri,
selanjutnya bercabang-cabang mengikuti percabangan bronkus dan kapiler-
kapilernya mencapai alveolus. Paru kanan menerima sebuah cabang dari arteri
bronkialis, dan paru kiri menerima dua buah cabang dari arteri bronkialis. Arteri
ini dipercabangkan dari dinding ventral aorta thoracalis proksimal.9

Persarafan paru berasal dari serabut saraf simpatis dan parasimpatis


(nervus vagus) yang membentuk pleksus pulmonalis anterior dan pleksus
pulmonalis posterior.11,

Gambar 2. Pembagian Segmen pada Lobus Paru12


2.2 DEFINISI

Abses paru adalah suatu daerah lokal nekrosis supuratif di dalam parenkim
paru, yang menyebabkan terbentuknya satu atau lebih kavitas besar .4

2.3 EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan jenis kelamin abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Abses paru lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut
karena peningkatan kejadian penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi
disfagia dan aspirasi. Namun, serangkaian kasus abses paru di pusat perkotaan
dengan prevalensi tinggi alkoholisme dilaporkan rata-rata penderita abses paru
berusia 41 tahun.2,5

Insidensi abses paru tidak diketahui, meskipun terlihat pertumbuhannya


tidak fluktuatif dan insidensinya juga terlihat menurun sejak diperkenalkannya
antibiotik (khususnya penisilin). Sejak 1943-1956, Massachusetts General
Hospital melaporkan sebanyak 10-11 kasus abses paru per 10.000 penderita yang
masuk rumah sakit pada masa pre antibiotik dibandingkan dengan 1-2 kasus per
penderita yang masuk rumah sakit pada masa post-antibiotik. Pada tahun 1984-
1986 kasus yang ditangani The Beth Israel Deacones Medical Center’s
menunjukkan bahwa abses paru mewakili kira-kira 0,2% dari seluruh kasus
pneumonia membutuhkan perawatan rumah sakit. Penurunan kasus abses
paruberhubungan dengan penggunaan dini dan luas antimikroba yang efektif,
peningkatan manajemen perawatan pasien yang tidak sadar, dan peningkatan
manajemen perawatan pasien yang dianestesi.6

Proses fisiologi pernapasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke


dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang
harus ditinjau dari beberapa aspek: (1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler
paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2)
distribusi darah dalam sirkular pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus-alveolus; dan (3) reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2
dengan darah. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir
respirasi, yaitu zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk
sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.7

Suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan elastis,
dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan
menyelubungi setiap paru (pleura viseralis). Diafragma merupakan otot
berbentuk kubah yang membentuk dasar rongga toraks dan memisahkan rongga
tersebut dari rongga abdomen.2

Gambar 3.Struktur Di sekitar paru12


Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda
yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus
dianalogikan dengan sebuah pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon
trakeobronkial. Permukaan posterior trakea agak pipih dibandingkan sekelilingnya
karena cincin tulang rawan di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di
depan esofagus. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan
dikenal sebagai karina.7

Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan
bronkus utama kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir
vertikal. Sebaliknya bronkus utama kiri lebih panjang dan lebih sempit
dibandingkan dengan bronkus utama kanan dan merupakan kelanjutan dari trakea
dengan sudut yang lebih tajam.7

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus
menjadi bronkus yang semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus
terminalis.7

Setelah bronkus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit


fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1) bronkiolus
respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara atau alveoli pada
dindingnya; (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveolus, dan (3) sakus
alveolaris terminalis yang menyerupai anggur membentuk sakus terminalis.
Alveolus dipisahkan dari alveolus didekatnya oleh dinding tipis atau septum.
Lubang kecil pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn.7
2.4 ETIOLOGI

Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu:

a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi

1. Bacteriodes melaninogenus

2. Bacteriodes fragilis

3. Peptosireptococcus species

4. Bacillus Intermedius

5. Fusobacterium nucleatum

6. Microaerophilic streptococcus2

Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari
specimen yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.2

b. Kelompok bakteri aerob:

1. Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi

‐Staphylococcus aureus

‐Streptococcus microaerophilic

‐Streptococcus pyogenes

‐Streptococcus pneumonia2
2. Gram negatif: biasanya merupakan sebab infeksi nosokomial

-Klebsiella pneumonia

-Pseudomonas aeruginosa

-Escherichia coli

-Haemophilus Influenza

-Actinomyces Species

Gram negative bacilli2

c. Kelompok:

-jamur: mucoraceae, aspergilus species

-parasit, amuba

-mikobakterium2

Terdapat 46% abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob,


sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.2 Spektrum kuman patogen
penyebab abses paru pada pasien immunocompromised sedikit berbeda. Pada
pasien AIDS kebanyakan kumannya adalah bakteri aerob, P. carinii dan jamur
termasuk Cryptococcus neoforman dan mycobacterium tuberculosis.2
2.5 PATOFISIOLOGI

Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi kemudian
proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai dari
supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis dan
likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses, melokalisir
proses abses dengan jaringan fibrotik.3 Bermacam-macam faktor yang berinteraksi
dalam terjadinya abses paru seperti daya tahan tubuh dan tipe dari
mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses paru biasanya
melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai
adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis
sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan
obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan
terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini banyak
terjadi pada pasien bronchitis kronis karena banyaknya mukus pada saluran napas
bawahnya yang merupakan kultur media yang sangat baik bagi organisme yang
teraspirasi.2

Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain
tubuhnya seperti tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini
umumnya akan terbentuk abses multipel dan biasanya disebabkan oleh
stafilokokus. Secara umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm
sampai dengan 5 cm atau lebih.2

Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia


yang terjadi pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi
pada orang yang sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi,
bronkiektasis dan gangguan imunitas. 2

Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus
aureus, Klabsiella pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi
biasanya multiple dan berukuran kecil (<2 cm).2

Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.
Kista bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media
kultur untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi
oleh mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah abses paru.2

Abses paru biasanya satu (singel), tapi bisa multipel yang biasanya
unilateral pada satu paru, yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang
jelek atau pasien yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis
hati, gangguan imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau
penggunaan sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen
posterior lobus atas dan segmen apikal lobus bawah, dan sering terjadi pada
parukanan, karena bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri.2

Abses bisa mengalami rupture ke dalam bronkus, dengan isinya


diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara.
Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empyema yang
bisa diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura.2

Faktor predisposisi terjadinya abses paru:

a. Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:

1. Gangguan kesadaran: Alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain,


Gangguan serebrovaskular, anestesi umum, penyalahgunaan obat
intravena, koma, trauma, sepsis.

2. Gangguan esophagus dan saluran cerna lainnya: Gangguan


motilitas.

3. Fistula trakeoesopageal.

b. Sebab-sebab Iatrogenik
c. Penyakit-penyakit periodontal

d. Kebersihan mulut yang buruk

e. Pencabutan gigi

f. Pneumonia akut

g. Immunosupresi

h. Bronkiektasis

i. Kanker paru

j. Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi. Pasien HIV
yang terkena abses paru pada umumnya mempunyai status
immunocompromised yang sangat jelek (kadar CD4<50/mm3), dan
kebanyakan didahului oleh infeksi terutama infeksi paru.2

2.6 DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut.Disebut abses


akut bila terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai
riwayat perjalanan penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa
lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam,
demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4°C
atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah
beberapa hari dahak bisa menjadi purulent dan bisa mengandung darah.2

Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa
jam sampai dengan beberapa hari yang masih mengandung jaringan paru yang
mengalami ganggren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy
menunjukkan penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses,
tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri di atas tidak menyingkirkan
kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan keterlibatan
pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang masif.2

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat sampai 40°C,
pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan lokal, pada daerah terbatas
perkusi terdengar redup dengan suara napas bronkial. Bila abses luas dan letaknya
dekat dengan dinding dada kadang kadang terdengar suara amforik. Suara napas
bronkial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih tetap
dalam keadaan terbuka disertai adanya konsolidasi sekitar abses dan drainase
abses yang baik. Biasanya juga akan terdengar suara ronkhi.2

Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal pada tempat lesi, fremitus vokal menghilang, perkusi redup/pekak,
bunyi napas menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum
terutama pendorongan jantung ke arah kontra lateral tempat lesi.2 Pada abses paru
dijumpai jari tabuh, yang proses terjadinya berlangsung cepat.2

3. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto X-ray

Foto dada PA dan lateral sangat membantu untuk melihat lokasi lesi dan bentuk
abses paru. Pada hari-hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan
gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran
densitas homogeny yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran
radiolusen dalam bayangan infiltrat yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut
mengalami ruptur sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna kedalam
bronkus, maka baru akan tampak kavitas irregular dengan batas cairan dan
permukaan udara (air fluid level) di dalamnya. Gambaran spesifik ini tampak
dengan mudah bila kita melakukan foto dada PA dengan posisi berdiri. Khas pada
abses paru anaerobic, kavitasnya single (soliter) yang biasanya ditemukan pada
infeksi paru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobic, nosocomial atau
hematogen) lesinya bisa multipel. Sepertiga kasus abses paru bisa disertai dengan
empiema. Empiema yang terlokalisir dan disertai dengan fistula bronkopleura
akan sulit dibedakan dengan gambaran abses paru. Untuk suatu gambaran abses
paru simple, noduler dan disertai limfadenopati hilus maka harus dipikirkan
sebabnya adalah suatu keganasan paru.2
Gambar 4. (A) Abses paru yang besar dengan air-fluid level di bagian distal pada
suatu karsinoma hilus. Lobus kanan atas kolaps disertai dengan emfisema sebagai
kompensasi. (B) Tampak penebalan pada fissura obliq yang bersebelahan dengan
abses (panah). 13
Gambar 5.Abses Paru Foto Postero-Anterior13
Gambar 6. Abses Paru Foto Lateral
Gambar 7.Foto Thorax Posisi Lateral, tampak adanya cavitas dengan air-fluid
level yang merupakan karakteristik dari abses paru. Pada foto PA dan lateral abses
paru biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi dapat juga multi-kavitas berdinding
tebal, dapat pula ditemukan permukaan udara dan cairan di dalamnya.10
b. CT-Scan

CT scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi


endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan
kavitas sentral berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak didaerah jaringan paru
yang rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak
pada dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak. CT scan juga bisa
menunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim paru yang membedakannyadari
empyema. Gambaran empyema karakteristik, yaitu tampak pemisahan pleura
parietal dan visceral (pleura split) dan kompresi paru. Lokalisasi abses paru
umumnya 75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.1,2

Gambar 9.CT-Scan Abses Paru14


Gambar 10.Potongan aksial dari CT-Scan Thorax, menggambarkan multilokular
abses dengan double air-fluid level pada pasien pria usia 39 tahun dengan abses
paru dan penanganan yang tidak berhasil.5

Lesi-lesi yang bisa mengakibatkan terjadinya abses paru bakterial meliputi


karsinoma bronkogenik dengan kavitas, bronkiektasis, empiema sekunder dari
fistula bronkopleura, tuberkulosis paru, cocciodomycosis dan infeksi jamur pada
paru, bulla atau kista udara yang mengalami infeksi, perlunakan/skuesterisasi
paru, nodul silikat dengan sianosis sentral, abses hepar atau subfrenik akibat
amuba atau hidatid yang menembus ke bronkus dan Wagener’s granulomatosis.
Pemeriksaan diagnostik secara seksama seperti yang disebutkan di atas harus
dilakukan untuk membedakannya dari abses paru biasa (simpel).2 Klinisi harus
tetap waspada bahwa kavitas paru yang ada bukan suatu abses paru.2
Diagnosa banding dari abses paru antara lain sebagai berikut:

1. Penyebab infeksi: tuberculosis, bulla infeksi, emboli septik,


2. Penyebab bukan infeksi: kavitas oleh karena keganasan,
Wagener’sgranulomatosis, nodul rheumatoid, vaskulitis, sarkoidosis,
infark paru, kongenital (bulla, kista).2

4. Laboratorium

Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm³ dengan


hitung jenis bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama
netropil yang immature. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya
anemia. Pemeriksaan dahak dapat membantu dalam menemukan mikroorganisme
penyebab abses, namun dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi
transtrakheal, transtorakal atau bilasan/sikatan bronkus, karena dahak yang
dibatukkan akan terkontaminasi dengan organisme anaerobik normal pada rongga
mulut dan saluran napas atas. Prosedur invasif ini tidak bisa dilakukan, kecuali
bila respons terhadap antibiotik tidak adekuat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
dari dahak adalah pewarnaan langsung dengan teknik gram, biakan,
mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, Nokardia, basil mikobakterium
tuberculosis dan mikobakterium lain. Dahak bisa mengandung Spirochaeta
,fusiform bacilli atau sejumlah besar bakteri baik yang pathogen maupun flora
manusia seperti Streptococcus viridian.Klostridium dapat ditemukan dari aspirasi
transtrakeal. Kultur darah dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan
pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit.2
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Gambar 11. Gambaran histopatologis dari abses paru menunjukkan reaksi


inflamasi.10

6. Pemeriksaan Melalui Aspirasi Jarum Perkutan

Cara ini mempunyai akurasi tinggi untuk diagnosis bakteriologis, dengan


spesifisitas melebihi aspirasi transtrakeal.2

Diagnosis Banding

1. Karsinoma Bronkogen

Pemeriksaaan radiologik untuk membantu diagnosis karsinoma paru


bermacam-macam, antara lain bronkografi invasif, CT-Scan, serta pemeriksaan
radiologik konvensional (thorax PA, lateral, fluoroskopi). Beberapa kelainan
seperti emfisema setempat, atelektasis, pembesaran hilus unilateral, serta kavitas
dapat dicurigai sebagai suatu keganasan. Berdasarkan histologinya, karsinoma
bronkogen terdiri atas 4 jenis sel, yakni: adenocarcinoma, squamous cell
carcinoma, undifferentiated large cellcarcinoma, dan small cell carcinoma.
Squamous cell carcinoma merupakan jenis sel yang paling sering memberikan
gambaran radiologik berupa kavitas, yakni pada sekitar 10% dari kasus.
Sedangkan karsinoma bronkioloalveolar (adenocarcinoma) adalah jenis
karsinoma bronkogen kedua terbanyak setelah squamous cell carcinoma yang
pada gambaran radiologiknya menunjukkan kavitasi.9

Gambar 12.Bronchioloalveolar carcinoma pada pria 39 tahun dengan sputum


darah dan nyeri dada pleuritik.(a) Foto Thorax PA yang menggambarkan
konsolidasi dan kavitas pada paru kiri. (b) CT-Scan Thorax (window paru)
menunjukkan gambaran kavitas dengan konsolidasi pada parenkim paru. Nampak
air bronchogram pada sekitar kavitas. Pada pembedahan, ditemukan kavitas 8,4 x
6,4 x 3,5 cm pada bronchioloalveolar carcinoma dengan perluasan langsung ke
pleura visceralis. Meskipun tampak tanda-tanda demikian, gambaran paling sering
pada bronchioalveolar carcinoma adalah nodul soliter pada paru.16

2. Tuberkulosis Paru dengan kavitas

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical


lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat pula mengenai lobus
bawah atau di daerah hilus (misalnya pada tuberkulosis endobrakial). Pada awal
penyakit, lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, dengan gambaran
radiologik berupa bercak berawan dengan batas yang tidak tegas. Bila sudah
diliputi jaringan ikat maka terlihat bayangan berupa bulatan dengan batas tegas.9
Lesi ini lebih dikenal dengan tuberkuloma. Selain itu, nampak pula kavitas, yakni
bayanganberupa cincin. Dinding kavitas dapat tipis dan halus hingga tebal dan
noduler, air-fluid level dilaporkan terjadi pada 9-21% dari kavitas pada TB. Pada
proses lanjut dapat terlihat bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat,
garis fibrosis, kalsifikasi, kavitas, maupun atelektasis dan emfisema.17,18

Gambar 13.Distribusi atipic postprimer TB pada seorang pria 62 tahun.(a) Foto


thorax menunjukkan massa kavitas 5 cm dengan dinding tebal tidak teratur (panah
besar) dan dikelilingi oleh noduler opacity yang saling berdekatan pada lobus kiri
atas. Suatu nodul 5 mm dengan densitas (panah kecil) terdapat di kontralateral,
lobus kanan atas.(b) CT-Scan yang didapatkan dengan collimation 7-mm
menunjukkan lokasi kavitas (panah) di segmen anterior lobus kiri atas.18
2.7 PENATALAKSANAAN

1. Non-operatif

Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya


dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat
dari empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.2

Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada
foto dada menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap.
Posisi berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada
di atas supaya gravitasi drainase lebih baik.Bila segmen superior lobus bawah
yang terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh pasien/kepala berada di bagian
terbawah (posisi trendelenberg). Diet biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori
tinggi protein. Bila abses telah mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa.2

Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotik


yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan
darah diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru yang
disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti,
sehingga pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan pasien mengalami
perbaikan hanya dengan antibiotik dan postural drainage, sedangkan kira-
kira10% harus dilakukan tindakan operatif.2

Kemudian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas. Abses


paru yang disebabkan stafilokokus harus diobati dengan penicilinase-resistant
penicillin atau sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk
Staphylococusaureus yang methicillin resistant seperti yang disebabkan oleh
emboli paru septik nasokomial, pilihannya adalah vankomisin. Abses paru yang
disebabkan nocardia pilihannya adalah sulfonamide 3x1 gram oral. Abses paru
amubik diberikan metronidazol 3x750 mg, sedangakan bila penyakitnya serius
seperti terjadi rupture dari abses harus ditambahkan emetin parentral pada 5 hari
pertama.2
Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami resolusi
dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi sisa yang kecil dan stabil dalam waktu
lebih dari 2-3 minggu.Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu
pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral sebagai pasien rawat
jalan. Pemberian antibiotik yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan
kekambuhan dengan melibatkan organisme yang resisten terhadap antibiotic
yangdiberikan sebelumnya.2

Perbaikan klinis berupa berkurang atau hilangnya demam tercapai dalam


3-4 minggu sampai dengan 7-10 hari.2

Bronkoskopi juga mempunyai peranan penting dalam penanganan abses


paru seperti pada kasus yang dicurigai karsinoma bronkus atau lesi obstruksi,
pengeluaran benda asing atau untuk melebarkan striktur. Di samping itu dengan
bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan pengosongan abses yang tidak
mengalami drainase yang adekuat, serta dapat diberikannya larutan antibiotik
melewati bronkus langsung ke lokasi abses.2

Drainase dengan tindakan operasi jarang diperlukan karena lesi biasanya


respons dengan antibiotik. Bila tidak respons, apalagi bila kavitasnya besar maka
harus dilakukan drainase perkutan untuk mencegah kontaminasi pada rongga
pleura.2

2. Tindakan Operatif

Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi


operasi adalah sebagai berikut:

a. Abses paru yang tidak mengalami perbaikan.2

b. Komplikasi : empiema, hemoptysis masif, fistula bronkopleura.2

c. Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi primer/metastasis,


pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan motilitas gastroesopageal,
malformasi atau kelainan congenital.2
Abses paru yang berkembang cepat antara lain yang terjadi pada pasien
immunocompromised dengan etiologi seperti mucoraceae membutuhkan reseksi
paru dengan segera disamping pemberian antibiotik. Reseksi paru juga
diindikasikan pada abses paru yang responnya minimal dengan antibiotik, abses
paru dengan ukuran yang besar dan infark paru.2

Lobektomi merupakan prosedur paling sering, sedangkan reseksi


segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan
terhadap abses multipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan
dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5%-10%.2

Pasien dengan risiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat
dilakukan drainase perkutan via kateter secara hati-hati untuk mencegah
kebocoran isi abses ke dalam rongga pleura.2

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi melewati


bronkus atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang
drainasenya kurang baik, bisa mengalami ruptur kesegmen lain dengan
kecenderungan penyebaran infeksi staphylococcus, sedang yang rupture ke rongga
pleura menjadi piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses
otak, hemoptysis masif, ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks
dan fistula bronkopleura.2
Gambar 14.Komplikasi utama dari abses paru meliputi (a) fistula bronchopleural,
menyebabkan nanah dapat masuk ke dalam cavum pleura,

(b)intrabronchial hemorrhage yang masif bahkan dapat membanjiri paru pasien,


(c)isi abses dapat memasuki bronkus, (d) penyebaran menyeluruh dari bakteri ke
otak dan bagian tubuh lainnya. (Dikutip dari Kepustakaan 9)

Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan
selama 6 minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan
mungkin akan menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal, dan amiloidosis.
Abses paru kronik bisa menyebabkan anemia, malnutrisi, kakeksia, gangguan
cairan dan elektrolit serta gagal jantung terutama pada manula.2

2.9. PROGNOSIS

Prognosis abses paru simpel terutama tergantung dari keadaan umum


pasien, letak abses serta luasnya kerusakan abses yang terjadi, dan respons
pengobatan yang kita berikan.2Angka mortalitas pasien abses paru pada era
antibiotik kurang dari 10%, dan kira-kira 10-15% memerlukan operasi. Di zaman
era antibiotik sekarang angka penyembuhan mencapai 90-95% . Bila pengobatan
diberikan dalam jangka waktu cukup lama angka kekambuhannya rendah.2

Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang


besar (lebih dari 6 cm), panyakit dasar yang berat, status immunocompromised
,umur yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi obstruktif,
abses yang disebabkan bakteri aerobik (termasuk Staphylococcus aereus dan basil
gram negatif), dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka
waktu yang lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75%
dan bila sembuh maka angka kekambuhannya tinggi.2

PENCEGAHAN

Perhatian khusus ditujukan kepada kebersihan mulut. Kebersihan mulut yang


jelek dan penyakit-penyakit periodontal bisa menyebabkan kolonisasi bakteri
patogen orofaring yang akan menyebabkan infeksi saluran napas sampai dengan
abses paru. Setiap infeksi paru akut harus segera diobati sebaik mungkin terutama
bila sebelumnya diduga ada faktor yang memudahkan terjadinya aspirasi seperti
pada pasien manula yang dirawat di rumah, batuk yang disertai muntah,adanya
benda asing, kesadaran yang menurun dan pasien yang memakai ventilasi
mekanik. Menghindari pemakaian anestesi umum pada tonsilektomi, pencabutan
abses gigi dan operasi sinus para nasal akanmenurunkan insiden abses paru.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmanto R. Respirologi. Edisi:I. Jakarta; EGC; 2009.Hal.143.

2. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata


KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2009. hal.2323-2327.

3. Haryadie R. Lung abscess. [online] 2012 June 11 [cited 2012 Juli 30]. Avai
lable from: URL:http://dokterbook.com/

4. KumarR, Cotran S, Robbind L. Buku Ajar Patologi. Vol.2. Edisi 7.


Jakarta:EGC; 2007. hal. 556

5. Yunus M. CT guided transthoracic catheter drainage of intrapulmonary abscess.


J Pak Med Assoc. 2009; 59 (10): 703-8

6. Koziel H. Lung abscess. [online] 2006 [cited 2011 April 20]. Available from:
URL: http://www.scribd.com/doc/28978474/Lung-Abscess

7. Price A,Wilson M. Patofisiologi. Vol. 2.Edisi 6. Jakarta: EGC;2005. hal.737

8. Leung A.N. Pulmonary tuberculosis: the essentials. Radiology.1999; 210:307-


22.

Diposkan oleh Nasriyadi Nasir di 23:20 Label: Health, Internal Medicine,


Radiology .

9. Luhulima JW. Systema respiratorium. Makassar: Bagian Anatomi FK Unhas;


2004. hal.1, 159

10. Kamangar N, Sather CC, Sharma S. Lung abscess. [online] 2009 Aug 19
[cited 2011 April7]. Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview
11. Eisenberg RL, Johnson NM.Lung abscess. In: Comprehensive radiographic
pathology. USA: Mosby Elsevier; 2007. p.48-50

12. Faiz O, Moffat D. The Lungs. In: Anatomy at a glance. UK: Blackwell
Science Ltd; 2002. p.15-7.

13. Jardins TD. The cardiopulmonary system. In: Cardiopulmonary Anatomy and
physiology, essentials in respiratory care. Fourth edition. USA: Delmar; 2002.
p.45, 47.

14. Murfitt J, Robinson PJA, Jenkins JPR, Whitehouse RW, Wright AR.
Thenormal chest: Methods of infestigations and differential diagnosis. In:Sutton
D, editor. Textbook of radiology and imaging. UK: ElsevierSience; 2003. p.20.

15. BudjangN. Radang Paru Yang Tidak Spesifik. Dalam: Ekayuda I.


RadiologiDiagnostik. Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. Hal. 101.

16. Palmer PES, Cockshott WP, Hegedus V, Samuel E, editors. Abses


parubakterial. Dalam: Petunjuk membaca foto untuk dokter umum (Manual
ofradiographic interpretation for general practitioners). Jakarta: PenerbitBuku
Kedokteran EGC; 1995. hal.56.

17. Hagan JL, Hardy JD. Lung abscess revisited. Ann. Surg. 1983; 197 (6).756-60

18. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,Alwi
I, Simadibrata KM, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.Jilid II. Edisi
IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2006. hal.988-93

You might also like