You are on page 1of 69

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri. Kata anesthesia diperkenalkan oleh
Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi
terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri
dari premedikasi, induksi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca
anestesi. 1,2
Trauma pada mata atau trauma okuli merupakan kejadian yang sering terjadi
pada era industrialisasi saat ini. Insidensi trauma okuli khususnya trauma kelopak
mata masih sangat tinggi, dalam beberapa tahun terakhir. Di dunia, sekitar 1,6 juta
mengalami kebutaan, 2,3 juta mengalami penurunan visus, dan 19 juta mengalami
penurunan penglihatan unilateral akibat trauma okuli. Penanganan dini yang
ditujukan pada trauma palpebral secara tepat dapat mencegah terjadinya kebutaan
maupun penurunan ungsi penglihatan. Penanganan trauma okuli secara komprehensif
dalam waktu kurang dari 6 jam dapat memberikan prognosis yang baik.
Salah satu gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh
dunia adalah skizofrenia. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin
modern dan industrial suatu masyarakat, semakin besar pula stressor psikososialnya,

1
yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu
mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir 1%
penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika. Skizofrenia
lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak populasi urban dan
pada kelompok sosial ekonomi rendah. Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang
di Amerika Serikat, skizofrenia seringkali ditemukan di gawat darurat karena
beratnya gejala, ketidakmampuan untuk merawat diri, hilangnya tilikan dan
pemburukan sosial yang bertahap. Kedatangan diruang gawat darurat atau tempat
praktek disebabkan oleh halusinasi yang menimbulkan ketegangan yang mungkin
dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun orang lain, perilaku kacau, inkoherensi,
agitasi dan penelantaran.
Diagnosis skizofrenia lebih banyak ditemukan dikalangan sosial ekonomi
rendah. Beberapa pola interaksi keluarga dan faktor genetik diduga merupakan salah
satu faktor penyebab terjadinya skizofrenia.5 75% penderita skizofrenia mulai
mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang beresiko
tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stressor. Kondisi penderita sering terlambat
disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri.
Salah satu pembagian skizofrenia adalah skizofrenia hebefrenik. Skizofrenia
hebefrenik disebut juga disorganized type atau “kacau balau” yang ditandai dengan
inkoherensi, affect datar, perilaku dan tertawa kekanak-kanakan, yang terpecah-
pecah, dan perilaku aneh seperti menyeringai sendiri, menunjukkan gerakan-gerakan
aneh, mengucap berulang-ulang dan kecenderungan untuk menarik diri secara
ekstrim dari hubungan sosial (Dadang Hawari, 2001:64-65).
Intubasi endotrakeal merupakan “gold standard” untuk penanganan jalan
nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami
penyumbatan jalan nafas, kehilangan refleks proteksi, menjaga paru-paru dari sekret
agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas.2,4 Tindakan intubasi

2
endotrakeal selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan
oksigen ke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi yang mudah
menguap.1 Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-
8,1% dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat terjadi
akibat komplikasi bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain operasinya
sendiri adalah pengambilan keputusan dan teknik yang dilakukan dalam
pelaksanaannya.1
Tujuan dari laporan kasus ini adalah mendiskusikan penatalaksanaan anastesi
dengan menggunakan OTT. OTT dapat membantu mengubah kondisi pasien yang
tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi.

1.2. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan dari laporan ini adalah untuk memberikan
gambaran ringkas mengenai penggunaan General Anastesi Endotracheal Tube
pada pasien dengan diagnosis Laserasi dan Soft Tissue Tumor Palpebra Inferior
Oculi Dextra dengan Skizofrenia Hebefrenik, terutama tujuan pemasangan, teknik
pemasangan serta membahas gejala klinis, diagnosis, penanganan yang tepat pada
pasien tersebut, dan untuk mengetahui adakah hubungan antara penggunaan obat-
obatan Antipsikotik pada pasien yang dikaitkan dengan pengobatan anastesia.

1.3. Manfaat Penulisan


Laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis serta
pembaca mengenai penggunaan General Anastesia Endotracheal Tube pada
pasien dengan diagnosis Laserasi dan Soft Tissue Tumor Palpebra Inferior Oculi
Dextra dengan Skizofrenia Hebefrenik. Selain itu, makalah ini juga akan
dijadikan untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik di bagian Anastesi
dan Reanimasi Rumah Sakit Umum Daerah Bangli, Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Al-Azhar.
BAB II
LAPORAN KASUS

3
2.1 IDENTITAS
Nama : Sang Made Wirawan
Umur : 45 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
BeratBadan : 50 kg
Alamat : Tampak siring, Gianyar
Agama : Hindu
Diagnosis pre operasi : Laserasi + Soft Tissue Tumor Palpebra Inferior Oculi
Dextra + Skizofrenia Hebefrenik
Jenis pembedahan : Repair + Excisi Palpebra
Jenis anestesi : General Anestesi - Orotracheal Tube
Tanggal masuk : 13 Desember 2018
Tanggal Operasi : 14 Desember 2018
No.RekamMedis : 212188

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama : luka robek pada kelopak mata kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien sadar datang diantar oleh Petugas Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
dan keluarga ke IGD RSU Bangli dengan keluhan terdapat luka robek pada
kelopak mata kanan bawah.Keluhan dirasakan sejak ±30 menit sebelum masuk
rumah sakit.Luka terjadi setelah pasien bertengkar dengan teman sesama pasien
RSJ, karena memperebutkan rokok.Menurut petugas, pasien langsung dibawa ke
RSU Bangli dan tidak mendapatkan pengobatan sebelumnya.Keluhan lain seperti
penurunan kesadaran akibat pemukulan disangkal oleh petugas RSJ dan
keluarga, mual, muntah, dan nyeri kepala juga disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

4
- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Penggunaan zat anestesi (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Sakit Jantung (-)
- Pasien mengalami skizofrenia hebefrenik sejak 22 tahun yang lalu, dan
saat ini sedang dalam masa perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB Paru (-)
- Riwayat stroke ibu pasien riwayat mengalami
stroke
- Riwayat keluarga mengalami keluhan yang sama seperti pasien saat ini,
disangkal oleh keluarga
Riwayat Pengobatan
Pasien sedang dalam masa perawatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, dan
mendapat pengobatan rutin stelosi 2x5mg dan injeksi sikzonoat 1x25mg
setiap tanggal 11
Riwayat sosial : merokok (+), alkohol (-), gigi lubang (+), gigi goyang (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


B1 (Brain) : GCS tidak dapat dievaluasi, sesuai status psikiatri
B2 (Breath) :Vesikuler +/+, rhonci -/- wheezing -/-. RR : 18 x/menit,
Malampati tidak dapat dievaluasi, obstruksi jalan nafas (-).
B3 (Blood) : Tekanan Darah :120/80 mmHg, Nadi: 84x/menit, S1S2
tunggal reguler, murmur (-), gallop (-), Tax : 36°C
B4 (Blader) : Urine Spontan
B5 (Bowel) : Distensi (-), bising usus (+) normal

5
B6 (Bone) : Akral hangat, fraktur (-), tiromental distance >3 jari, leher
panjang, gerakan leher bebas, gigi tidak maju, rahang tidak
besar.
Lain-lain : VAS tidak dapat dievaluasi

Status lokalis :
Regio palpebra inferior ocular dextra
- Inspeksi : terdapat luka robek dengan ukuran 3cm x 1cm x 1cm, tepi tidak
rata, dengan dasar jaringan berwarna merah muda, perdarahan aktif (-).
Terdapat massa bertangkai dengan ukuran ± 2cm x 1cm, berbentuk bulat
dengan warna merah muda, permukaan licin.
- Palpasi : massa dengan konsistensi kenyal, permukaan licin, nyeri tekan
tidak dapat dievaluasi.

Status psikiatri
Kesan umum : Penampilan tidak wajar, kontak verbal
dan visual kurang
Sikap terhadap pemeriksa : Pasien tidak kooperatif selama
pemeriksaan
Sensorium dan kognisi

Kesadaran : Berkabut
Orientasi : Baik terhadap waktu, orang, dantempat
Daya ingat : Tidak dapat dievaluasi
Berpikir abstrak : Tidak dapat dievaluasi
Intelegensi : Tidak dapat dievaluasi
Konsentrasi dan perhatian : Buruk
Proses pikir
Bentuk pikir : Tidak dapat dievaluasi
Arus pikir : Tidak dapat dievaluasi

6
Isi pikir : Tidak dapat dievaluasi
Mood / Afek : Tidak dapat dievaluasi
Persepsi
Halusinasi : tidak dapat dievaluasi
Ilusi : tidak dapat dievaluasi
Dorongan instingtual
Insomnia : (-)
Hipobulia : (+)
Raptus : (-)
Psikomotor : Normal
Tilikan : Tidak dapat dievaluasi

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Darah Lengkap : tanggal 13 Desember 2018 jam 14.04
• WBC : 9,8
• RBC : 5,10
• HGB : 13,3 g/dl
• HCT : 42,7%
• PLT : 264
• BT : 2’00”
• CT : 8’00”

2.5 PERSIAPAN PRAANASTESI


a. Persiapan psikis :
- KIE sesuai Surat Izin Operasi (SIO)
- Berdoa
b. Persiapan fisik
- Puasa minimal 8 jam pre operasi untuk makanan padat, makanan lunak
minimal 6jam, air putih minimal 2 jam pre operasi
- Mandi bersih
- Obat-obatan dari bagian psikiatri dilanjutkan

7
2.6 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
maka didapatkan:
- Diagnosis pre operatif : Laserasi + Soft Tissue Tumor Palpebra Inferior
Oculi Dextra + Skizofrenia Hebefrenik
- Status operatif : ASA II
- Jenis operasi : Repair + Excisi Palpebra
- Jenis anestesi : General Anastesi Orotracheal Tube

2.7 PENATALAKSANAAN
Pada pasien dengaan status fisik ASA II dilakukan tindakan anestesi dan
diberikan terapi anestesi yaitu :

a. Pramedikasi :
Analgetik : Ketorolac 0,5mg/KgBB  30 mg (IV)
Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/KgBB  4 mg (IV)
Ranitidine 1-2 mg/KgBB 50 mg (IV)
b. Induksi :
Fentanyl 1-2 µg/KgBB  100 µg (IV)
Propofol 2-2,5mg/KgBB200 mg (IV)
Atracurium 0,5-0,6mg/KgBB25 mg (IV)
c. Intubasi :
Laringoskop Blade no 4
Endotracheal Tube kinking no 7
d. Maintenence :
N2O : O2 : Sevofluran : 40: 60 : 2 vol%
Terapi cairan
Jam 1 = 50%PP + 1 x M + SO

= 50%PP + 8 x 90 + 100

= 50%PP + 720 + 100


= 50%PP + 820
= 410 cc
e. Pemantauan Selama Anestesi

8
Melakukan monitoring secara kontinue tentang keadaan pasien yaitu
reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setiap 5 menit.
Respirasi : Inspeksi pernapasan & saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi


Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)

10.30  Pasien masuk ke kamar 120/70 70 99


operasi, dan dipindahkan ke
meja operasi

 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi
O2

 Infuse RL terpasang pada


tangan kiri

 Premedikasi

 Ketorolac 30 mg IV

 Ondancentron 4 mg IV

 Ranitidine 50 mg IV

10.45  Obat induksi dimasukkan 120/70 70 99


secara IV:

9
 Fentanyl 100 µg

 Propofol 200 mg

Kemudian mengecek apakah


reflex bulu mata masih ada
atau sudah hilang.

 Jika tidak ada, lalu dilakukan


tindakan face mask dengan
sungkup no. 4, dengan teknik
jaw thrust dan diberikan:

 O2: 2 L

 N2O: 2 L

 Sevoflurane: 2 vol%

10.48  Diberikan injeksi atracurium 120/70 70 99


25 mg

10.51  Dilakukan tindakan 120/70 70 99


pemasangan laringoskop No.
4 dengan bantuan jari tangan
membuka mulut

 Dilakukan tindakan
pemasangan Orotracheal Tube
no. 7

 Mata pasien sebelah kiri


diberikan ophthalmic
ointment (salep mata) dan

10
ditutup dengan kassa

11.00  Operasi dimulai 110/70 60 99

 Kondisi terkendali

11.15  Kondisi terkendali 110/70 60 99

 Repair pada laserasi palpebra


inferior berhasil pada mata
kiri

11.40  Kondisi terkendali 110/70 70 99

 Excisi tumor berhasil pada


palpebra inferior

 Operasi selesai

 Melakukan ekstubasi 110/70 80 100

 Memasang goedel (oral


airway)

 Melihat saturasi pasien,


melihat dada pasien baik atau
tidak dalam bernapas.

 Gas N2O dan Sevoflurane


dimatikan, dan gas O2
dinaikkan menjadi 6%
(oksigenasi) dengan
menggunakan face mask.

 Gas O2 dihentikan

11
 Pelepasan alat monitoring
(saturasi dan tensimeter)

 Pasien dipindahkan ke
Recovery Room

11.50  Setelah pasien masuk di 120/80 80 100


Recovery Room, selanjutnya
dilakukan pemasangan alat
monitoring

 Pasien dapat dibangunkan dan


memonitoring keadaan pasien

2.8 ANALGETIK POST OP


Paracetamol tablet 4 x 500mg setiap 6 jam

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. PEMBAHASAN
Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik
akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.
Pasien SMW 45 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi excici +
repair palpebra pada tanggal 14 Desember 2018 dengan diagnosis pre operatif
Laserasi palpebral inferior ocular dextra dengan skizofrenia hebefrenik.
Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 14 Desember 2018. Dari anamnesis
terdapat keluhan luka robek pada kelopak mata kanan bawah, yang disertai
dengan perdarahan aktif. Luka terjadi setelah pasien dipukul oleh teman sesame
pasien RSJ. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg; nadi 84x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36OC. Dari pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan tanggal 13 Desember 2018 dengan hasil dalam
batas normal. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA II.
Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan
puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-
obat anastesi. Aspirasi isi lambung, penyebab, akibat dan gejalanya dapat
dibedakan oleh 3 bahan aspirat yaitu berupa asam, partikel (sisa makanan) dan
bakteri. Secara umum aspirasi dapat dicegah dengan menjaga isi lambung agar
tidak masuk ke esophagus dan faring, aspirat yang di faring dijaga tidak masuk
trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung menentukan
keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah yang cairan masuk paru diupayakan
menjadi lebih sedikit. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera
setelah kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung

13
terjadi 2 fase yaitu trauma pada jaringan dan reaksi keradangan. Dalam waktu 5
detik, asam akan bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu
15 detik telah terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan sel
superfisial yang bersilia dan yang tidak bersilia. Regenerasi terjadi dalam waktu
3 hari, dan dalam waktu 7 hari terjadi regenerasi yang sempurna pada sel yang
mengalami kerusakan. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap asam hidroklorid
dan mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya aspirasi.
Peningkatan lisophophosphatidyle choline yang cepat dalam 4 jam setelah
aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permiabilitas alveolar dan cairan paru
(lung water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan menurunkan compliance
paru, menurunkan kemampuan perfusi-ventilasi paru. Pada fase kedua, ditandai
dengan pelepasan sitokin sitokin inflamasi yag terangsang dengan adanya zat
asam seperti TNFα dan interleukin-8. Hal ini akan merangsang ekspresi sel
adhesion molecule L-selectin dan beta-2 integrins pada neutrofil, and
intercellular adhesion molecules (ICAM) pada endothel paru yang selanjutnya
merangsang reaksi peradangan (neutrophilic inflammatory response).
Akibatnya memicu reaksi peradangan yang menyeluruh yang
memungkinan terjadinya kegagalan kardiopulmoner. Aspirasi isi lambung secara
bersamaan menyebabkan terjadi fokus peradangan dan reaksi tubuh terhadap
benda asing dengan kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel
dan asam lambung bekerja sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler
alveolar. Aspirasi partikel besar dari isi lambung, akan menimbulkan gejala
obstruksi jalan napas, dan dalam waktu pendek dapat terjadi kematian pasien,
oleh karena itu partikel tersebut harus segera dikeluarkan, dan dilakukan
oksigenasi dan ventilasi untuk menghindari hipoksia, dan segera dilakukan
intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya. Isi lambung tidak steril sehingga
aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri. 60-100% terdiri dari kuman anaerob.
Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada aspirasi pneumoni
yang terjadi di rumah sakit. Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella dan Escheresia

14
colli merupakan kuman gram negatif yang banyak dijumpai sebagai penyebab
pneumonia nosokomial. Staphylococcus aureus merupakan kuman gram positif
yang patogen. Kuman gram negatif yang dijumpai pada pemakaian ventilator,
34% berasal dari aspirasi isi lambung dan sekret orofaring, dan diduga
merupakan penyebab kematian pneumonia pasca bedah. Penggantian puasa juga
harus dihitung dalam terapi.
Pemilihan teknik anestesi pada pasien adalah anastesi umum dengan
pemasangan intubasi endotrakhea. Alasan pemilihan teknik anestesi ini
berdasarkan indikasi sebagai berikut :
- Lokasi pembedahan pada daerah kepala
- Posisi pasien saat operasi adalah terlentang
- Induksi dan pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat
- Manipulasi yang dilakukan minimal
- Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui baha keadaan pasien
cukup baik

Pasien masuk ke ruang operasi pada pukul 10.30 WITA dilakukan


pemasangan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi, dengan hasil tekanan darah
120/70 mmHg, nadi 70x/menit, dan SpO2 99%. Pada pasien ini, urutan tindakan
anastesi dimulai dari preoperatif, intraoperatif, dan postoperative.
Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:
a. Premedikasi
- Analgesik : ketorolak injeksi 30 mg (IV)
Konsentrasi 30 mg/ml dalam dalam 1 Ampul 1 ml
Diberikan secara intravena. Dosis untuk bolus intravena harus
diberikan selama minimal 15 detik. Mulai timbulnya efek analgesia
setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan
maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median
analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis awal yang dianjurkan adalah
10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan
dosis maks 90mg/hari, pada manula, gangguan faal ginjal, dan BB

15
<50kg dibatasi maks 60mg/hari. Efek pemberian obat ini yaitu
menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu
reseptor opioid di sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya
menghambat enzim siklooksogenase (COX 1). Selain menghambat
sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2 sehingga
memiliki efek anti inflamasi.
Pada pasien ini diberikan ketorolac injeksi 30 mg IV dengan tujuan
untuk mendapatkan efek analgesia yang terkandung dalam ketorolac
sehingga dapat mengurangi nyeri pada pasien.
- Antiemetik : ondancentron injeksi 4 mg (IV)
Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01 mg/kgBB
Ondansentron, sebagai anti emetik, suatu antagonis selektif 5-
HT3, menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme sentral
dan perifer. Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang rangsang
muntah di chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer dengan
menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral yang
menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah.Onset 30
menit, dengan durasi 3 jam.
- Ranitidine injeksi 50 mg (IV)
Konsentrasi 50 mg/2 ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 1-2 mg/kgBB
Efek pada Gastrointestinal, ranitidine bekerja dengan
menghambat secara kompetitif reseptor histamin H2 menghambat kerja
histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi
asam lambung.Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada
dewasa adalah 50 mg setiap 6-8 jam.Jika perlu dosis dapat dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak
boleh melebihi 400 mg perhari.
Pada pasien ini diberikan ondancentron 4 mg (IV) dan ranitidine injeksi
50 mg (IV) untuk mendapatkan efek emetic sehingga pasien tidak

16
merasakan mual ataupun muntah saat dilakukan induksi operatif
ataupun pasca operatif serta dapat menimbulkan rasa nyaman, selain itu
juga dapat mencegah agar tidak terjadinya aspirasi ke paru-paru.

Berdasarkan teori premedikasi seharusnya pasien diberikan obat


golongan sedatif yaitu midazolam dengan dosis 0,05-0,1 mg/KgBB
dengan tujuan untuk mendapatkan efek sedatif dari obat tersebut
sehingga pasien akan merasa nyaman dan tidak takut saat berada di
ruang operasi, dimana juga untuk mencapai tujuan dari premedikasi
tersebut. Pemberian sedatif ini perlu diberikan pada pasien yang akan
dilakukan tindakan anastesi mengalami kecemasan atau ketakutan akan
mempengaruhi tekanan darah, nadi, dan proses anastesi yang akan
dilakukan. Namun, pada pasien di atas tidak diberikan sedatif
(midazolam), karena sebelumnya pasien sudah mendapatkan obat
golongan antipsikotik yaitu stelosi 25mg, dan injeksi sikzonoat 5mg,
yang mana obat-obatan golongan antipsikotik tersebut memiliki efek
sedatif.
b. Induksi
- Fentanyl injeksi 100 mcg (IV)
Konsentrasi 0,05 mg/ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 12mcg/kgBB
Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama
bekerja sentral pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan
meningkatnya ambang batas nyeri, mengurangi persepsi nyeri
menghambat serabut saraf nyeri ascending, menyebabkan depresi nafas
dan sedasi.Pada dosis lazim kesadaran pasien menurun dan khasiat
analgetiknya yang kuat. Onset 30-120 detik dengan durasi 30-60 menit.
Dosis 1-2 mcg/kgBB IV. Tujuan dari pemberian fentanyl adalah untuk
meningkatkan kualitas analgesia intraoperative dan dapat menghasilkan
onset sangat cepat dari analgesia durasi pendek.

17
- Propofol injeksi 100 mg (IV)
Konsentrasi 10 mg/ml dalam 1 ampul berisi 20 ml, dosis pemberian 2-
2,5mg/kg/BB.
Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui
interaksinya dengan reseptor GABA dengan cara meningkatkan GABA.
Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan kesadaran
berlangsung cepat, pasien akan bangun 4-5 menit tanpa disertai efek
samping. Khasiat farmakologinya adalah hipnotik murni, tidak
mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Walaupun terjadi
penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan oleh efek sentralnya
Induksi anestesia 2,0-2,5 mg/kgBB. Pada bayi dan lansia dosis
disesuaikan.Pasien tua memerlukan dosis induksi lebih rendah 25% -
50% dari dosis lazim.
- Terapi fasilitasi intubasi
Pelumpuh otot : atracurium 25mg (iv)
Konsentrasi 25mg/2,5ml dalam 1 ampul 2,5 ml, dosis 0,4-0,5 mg/kgBB
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot-saraf non-
depolarisasi dari golongan benzylisoquinolinium bisquaternary dengan
lama kerja sedang. Memiliki mula kerja 3-5 menit dan durasi kerja 20-
35 menit. Tempat kerja atracurium seperti halnya obat-obat pelumpuh
otot-saraf non depolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik
prasinaps dan pascasinaps. Atracurium juga menyebabkan
penghambatan otot-saraf secara langsung dengan mempengaruhi aliran
ion yang melalui kanal reseptor-reseptor kolinergik nikotinik.
Diperkirakan 82 % atracurium terikat dengan plasma protein terutama
albumin. Atracurium didegradasi dengan eliminasi Hoffman (autolisis)
dan dengan hidrolisis ester, sehingga tidak memerlukan penyesuaian
dosis pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati. Asidosis dan
hipotermia berat dapat menurunkan metabolisme obat, sehingga perlu

18
penurunan dosis. Efek samping utama atracurium adalah hipotensi
karena pelepasan histamin.
Induksi fentanyl 100 mcg dan propofol 200 mg intravena pada
pasien di atas bertujuan untuk mendapatkan efek berupa hipnotik,
analgesia, dan relaksasi otot yang dimana merupakan trias anastesi.
Pemasangan OTT pada pasien dilakukan berdasarkan indikasi yang
telah disebutkan di atas. Untuk melakukan intubasi membutuhkan
kedalaman anastesi yang lebih besar, dan obat pelumpuh otot untuk
failitasi intubasi. Pada pasien tersebut diberikan propofol dengan dosis
200mg untuk mencapai kedalaman anastesi yang optimal, dan diberikan
obat pelumpuh otot 25mg dengan dosis 0,5-0,6 mg/KgBB.
Pada pasien ini diberikan maintanance O2 : N2O : sevofluran = 40 : 60 :
2vol% tujuannya yaitu untuk pemakaian salah satu kombinasi obat
seperti tersebut diatas secara inhalasi dalam kasus ini yaitu face mask
dengan komponen trias anestesia yang dipenuhinya adalah hipnotik
analgesia dan relaksasi otot.
c. Terapi analgetik post operasi pada pasien ini paracetamol 4 x 500mg
setiap 6 jam, dengan Ringer Laktat 20 tetes permenit. Pemberian analgetik
post operasi diberikan atas dasar manipulasi operasi yang ringan dan tidak
menimbulkan nyeri yang berat sehinga pemberian paracetamol cukup untuk
mengatasi nyeri pasca operatif. Paracetamol bekerja dengan mengurangi
produksi prostaglandins dengan mengganggu enzim cyclooksigenase
(COX). Paracetamol menghambat kerja COX pada sistem syaraf pusat yang
tidak efektif dan sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan
peroksida tinggi. Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang
dihasilkan otak inilah yang membuat paracetamol dapat mengurangi rasa
sakit.
BAB IV

19
TINJAUAN PUSTAKA

4.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan

Gambar 1. Anatomi saluran napas

Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring,


laring, trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua
bagian, yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah.
Setelah melalui saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan
dihangatkan dan dilembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni
trakea, melalui bronkiolus, bronkiolus respiratorius, dan duktus alveolaris
sampai alveolus.
Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh kapiler paru. Di sebagian
besar daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh epitel alveolus dan

20
endotel kapiler sehingga keduanya hanya terpisah sejauh 0,5 μm. Tiap
alveolus dilapisi oleh 2 jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel tipe 2. Sel tipe 1
merupakan sel gepeng sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel tipe 2
(pneumosit granuler) lebih tebal, banyak mengandung badan inklusi lamelar
dan mensekresi surfaktan. Surfaktan merupakan zat lemak yang berfungsi
untuk menurunkan tegangan permukaan.
 Faring

Gambar 2. Aanatomi faring

Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan
masuk ke dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung
yang menghubungkannya melalui nares posterior.Udara masuk ke bagian
faring ini turun melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.5
Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan
membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring
dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan
waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan
harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke
dalam laring dan rongga hidung posterior.5

21
Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan dan
sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.
Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping
muskulus intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya.

 Laring

Gambar 3. Anatomi laring

Laring terletak di antara akar lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9
kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang
mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring
membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami
kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ
pengeluaran suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.
Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan
berbentuk silinder.5
Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang
selanjutnya mengatur suara.Laring juga menerima udara dari faring diteruskan

22
ke dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhea.
Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat
dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring namun akan menutup
pada saat menelan.5
Epiglotis yang berada di atas glottis selain berfungsi sebagai penutup
laringjuga sangat berperan pada waktu memasang intubasi, karena dapat
dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang.

 Trakea

Gambar4. Anatomi trakhea

Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai setinggi


Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid. Trakea mendatar
pada bagian posterior, panjang sekitar 10-15 cm, didukung oleh 16-20 tulang
rawan yang berbentuk tapal kuda sampai bercabang menjadi dua atau

23
bifurkasio menjadi bronkus kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna
vertebaralis. Luas penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150-
300 mm2. Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus
mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang berlokasi pada
otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate dan dalamnya
pernafasan, tetapi jugamenimbulkan dilatasi pada bronkus melalui penurunan
aktivitas afferen nervus vagus. Respon cepat resptor iritan yang berada pada
seluruh permukaan trakea berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung
reflek bronkokontriksi.

 Pulmo

Gambar 5. Anatomi pulmo

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m 2


untuk pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung
sternal kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada,
basis yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang
menempel dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya.
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura
obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga
tidak ada lobus tengah. Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura

24
berdinding ganda yang membrannya melapisi bagian dalam toraks dan
menyelubungi permukaan luar paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis
jaringan ikat elastik dan mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura
tersebut terdapat cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan
pleura. Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru
di dalam rongga.
Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri
bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis,
yang juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena
azigos dan vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari
cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi
mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena
pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung.
Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal
paru. Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan
serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi
otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli
dan alveoli.
 Otot Pernapasan
Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks
sebesar 75% selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling
bagian dasar rongga toraks, yang membentuk kubah diatas hepar dan bergerak
ke arah bawah seperti piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan
diafragma berkisar antara 1,5 cm sampai 7 cm saat inspirasi dalam.

25
Gambar 6. Anatomi otot bantu pernafasan

Otot inspirasi utama lainnya adalah musculus interkostalis eksternus,


yang berjalan dari iga ke iga secara miring ke arah bawah dan ke depan. Poros
iga bersendi pada vertebra sehingga ketika musculus intercostalis eksternus
berkontraksi, iga-iga dibawahnya akan terangkat. Gerakan ini akan
mendorong sternum ke luar dan memperbesar diameter anteroposterior rongga
dada. Diameter transversal juga meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih
kecil. Musculus interkostalis eksternus dan diafragma dapat mempertahankan
ventilasi yang adekuat pada keadaan istirahat. Musculus scalenus dan
musculus sternocleidomastoideus merupakan otot inspirasi tambahan yang
ikut membantu mengangkat rongga dada pada pernapasan yang sukar dan
dalam.

Mekanisme Respirasi
 Inspirasi dan ekspirasi
Inspirasi merupakan proses aktif. Kontraksi otot inspirasi akan
meningkatkan volume intratoraks. Tekanan intrapleura di bagian basis paru
akan turun dari sekitar - 2,5 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada

26
awal inspirasi, menjadi - 6 mmHg. Jaringan paru akan semakin teregang.
Tekanan di dalam saluran udara menjadi sedikit lebih negatif dan udara akan
mengalir ke dalam paru. Pada akhir inspirasi, daya recoil paru mulai menarik
dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi sampai tercapai keseimbangan
kembali antara daya recoil jaringan paru dan dinding dada. Tekanan di saluran
udara menjadi lebih positif dan udara mengalir meninggalkan paru. Ekspirasi
selama pernapasan tenang merupakan proses pasif yang tidak memerlukan
kontraksi otot untuk menurunkan volume intratoraks. Namun, pada awal
ekspirasi, sedikit kontraksi otot inspirasi masih terjadi. Kontraksi ini bertujuan
untuk meredam daya recoil paru dan memperlambat ekspirasi.
Pada inspirasi kuat, tekanan intrapleura turun menjadi - 30 mmHg
sehingga pengembangan jaringan paru menjadi lebih besar. Bila ventilasi
meningkat, derajat pengempisan jaringan paru juga ditingkatkan oleh
kontraksi aktif otot ekspirasi yang menurunkan volume intratoraks.

 Volume dan kapasitas paru


Volume paru dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi
sistem pernapasan. Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas fungsi
paru dapat diketahui besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya
kelainan fungsi paru.

Volume paru

Empat macam volume paru tersebut jika semuanya dijumlahkan, sama


dengan volume maksimal paru yang mengembang atau disebut juga total lung
capacity, dan arti dari masing - masing volume tersebut adalah sebagai
berikut:

- Volume tidal merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap
kali inspirasi atau ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata
pada kondisi istirahat = 500 ml.

27
- Volume cadangan inspirasi merupakan jumlah udara yang masih dapat
masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal setelah inspirasi biasa dan
diatas volume tidal, digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume cadangan
inspirasi dicapai dengan kontraksi maksimal diafragma, musculus
intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 ml.
- Volume cadangan ekspirasi merupakan jumlah udara yang dapat
dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi
secara maksimal, setelah ekspirasi biasa. Nilai rerata = 1000 ml.
- Volume residual merupakan udara yang masih tertinggal di dalam paru
setelah ekspirasi maksimal. Volume ini tidak dapat diukur secara langsung
menggunakan spirometri. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak
langsung melalui teknik pengenceran gas yang melibatkan inspirasi
sejumlah gas tertentu yang tidak berbahaya seperti helium. Nilai rerata =
1200 ml

Kapasitas paru

Kapasitas paru merupakan jumlah oksigen yang dapat dimasukkan ke


dalam paru seseorang secara maksimal. Jumlah oksigen yang dapat
dimasukkan ke dalam paru akan ditentukan oleh kemampuan compliance
sistem pernapasan. Semakin baik kerja sistem pernapasan berarti volume
oksigen yang diperoleh semakin banyak.

- Kapasitas vital yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari
paru dalam satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal. Kapasitas vital
mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi di paru.
Kapasitas vital merupakan hasil penjumlahan volume tidal dengan volume
cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi. Nilai rerata = 4500 ml.
- Kapasitas inspirasi yaitu volume udara maksimal yang dapat dihirup pada
akhir ekspirasi biasa. Kapasitas inspirasi merupakan penjumlahan volume
tidal dengan volume cadangan inspirasi. Nilai rerata = 3500 ml.

28
- Kapasitas residual fungsional yaitu jumlah udara di paru pada akhir
ekspirasi pasif normal. Kapasitas residual fungsional merupakan
penjumlahan dari volume cadangan ekspirasi dengan volume residual.
Nilai rerata = 2200 ml.
- Kapasitas total paru yaitu jumlah udara dalam paru sesudah inspirasi
maksimal. Kapasitas total paru merupakan penjumlahan dari keseluruhan
empat volume paru atau penjumalahan dari kapasitas vital dengan volume
residual. Nilai rerata = 5700 ml.

4.2. Anestesi
Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Pada

prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat

beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari

persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan

prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap

penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, induksi dan

pemeliharaan.Dengan anestesi akan diperoleh trias anestesia, yaitu:6,7

a. Hipnotik (tidur)
b. Analgesia (bebas dari nyeri)
c. Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

4.3. Pembagian Anestesi


1. Anestesia Umum : suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang

diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat

anestesia. Teknik anestesia umum terdiri dari:

29
a. Anestesia umum intravena : merupakan salah satu teknik anestesia

umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia

parenteral langsung dalam pembuluh darah vena.


b. Anestesia umum inhalasi : merupakan salah satu teknik anestesia

umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat

anestesia inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah

menguap melalui alat atau mesin anestesia langsung ke udara inspirasi.

Berbagai teknik anestesia umum inhalasi, yaitu:


 Inhalasi dengan Respirasi Spontan:
 Sungkup wajah
 Intubasi endotrakeal
 Laryngeal mask airway (LMA)
 Inhalasi dengan Respirasi kendali
 Intubasi endotrakeal
 Laryngeal mask airway
c. Anestesia imbang : merupakan teknik anestesia dengan

mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena

maupun obat anestesia inhalasi atau kombinasi teknik anestesia umum

dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara

optimal dan berimbang.


2. Anestesia Lokal : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat

anestesia lokal pada daerah atau disekitar lokasi pembedahan yang

menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.


3. Anestesia Regional : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestesia lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu,

yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.

4.4. Penilaian dan Persiapan Pra Anastesi

30
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
Penilaian pra bedah
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi
berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang
kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan
ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua system organ tubuh pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa

31
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
- Kelas I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
- Kelas II : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan atau sedang.
- Kelas III : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
sedang atau berat, yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi
tidak mengancam kehidupan.
- Kelas IV : Pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik sedang atau
berat yang secara langsusng mengancam kehidupannya.
- Kelas V : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sisetmik
berat yang tidak mungkin ditolong, dioperasipun dalam 24 jam pasien
akan meninggal.
e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3

32
jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh
1 jam sebelum induksi anestesia.

4.5. Obat-Obat Anestesi


1. Obat Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan
memberikan obat obatan pendahuluan yang terdiri dari obat obatan
golongan antikholinergik, sedatif, dan analgetik. Dengan tujuan
sebagai berikut :6,7,8
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien.
2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
3. Memperlancar induksi
4. Mengurangi dosis obat anestesia
5. Mengurangi rasa sakit dan gelisah
 Obat Antikholinergik
1. Sulfas Atropin
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang
berkhasiat menekan aktivitas kholinergik atau parasimpatis.8
Mekanisme kerja:9
Menghambat mekanisme kerja asetil kolin pada organ yang
diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau serabut
saraf yang mempunyai neurotransmitter asetilkholin.
Obat ini juga menghambat muskarinik secara kompetitif
yang ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ
terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.
Cara pemberian dan dosis

Intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit
sebelum induksi.

Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 10-15
menit sebelum induksi.7
 Obat Sedative
1. Midazolam
Mekanisme kerja:

33
Sebagai agonis benzodiazepin yang terikat dengan
spesifitas yang tinggi pada reseptor benzodiazepin, sehingga
mempertinggi daya hambat neurotransmiter susunan saraf pusat
diresptor GABA sentral. Mempunyai efek sedasi dan anticemas
yang bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS serta bisa
menimbulkan amnesia anterograd.8,9
Cara pemberian dan dosis :
Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2
mg/kgBB. Pada dosis intravena diberikan 2 mg disusul setelah 2
menit meningkatkan 0,5-1 mg bila sedasi tidak memadai.7
 Obat anti emetik
1. Ondancentron
Mekanisme Kerja :
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin
(5-HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan
serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan
menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa
enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-
HT3 dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah.
Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen
vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga
dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang
merangsang distensi gastrointestinal.7
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3
mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan
orang tua lebih lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan
protein 70-76%, metabolisme di hepar, diekskresi melalui ginjal
dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari 30 menit,
lama aksi 6-12 jam.7
Cara pemberian dan dosis :

34
Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau
intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan
melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum tindakan
operasi.
Dosis premedikasi : 4-8 mg IV9
2. Ranitidin
Mekanisme Kerja
Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung
sehingga pada pemberian ranitidine sekresi asam lambung
dihambat, Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan
perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.9
Cara pemberian dan dosis :
Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa
adalah 50 mg setiap 6-8 jam.Jika perlu dosis dapat dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun
tidak boleh melebihi 400 mg perhari.8,9
 Obat Analgetik
1. Ketorolak
Mekanisme Kerja
Ketorolak menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya
menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase).
Selain menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat
tromboksan A2. ketorolak tromethamine memberikan efek anti
inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh
darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke
tempat peradangan.9

35
Gambar 2.1 Mekanisme Kerja NSAID
Cara pemberian dan dosis :
Untuk injeksi intravena :
 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg
Ketorolak /dosis.
 Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal
ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15
mg/dosis.
Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun
oral maksimal:

Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari. Bila
diberikan dengan injeksi intravena, maka diberikan setiap 6 jam
sekali.

Pasien dengan umur >65 tahun maksimal 60 mg/hari.7,8

2. Obat Anestesi Intravena


1. Fentanyl
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang
bekerja terutama pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada
reseptor δ dan κ. Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat.
Sistem transdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir dengan
jumlah yang hampir konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi
yang timbul antara larutan jenuh obat di dalam reservoir dan

36
konsentrasi yang rendah di dalam kulit mendorong pelepasan obat
fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang lebih rendah dengan
kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas kopolimer dan
difusi fentanil melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual
penghantaran fentanil ke kulit berbeda selama periode pemakaian 72
jam, tiap sistim dilabel dengan fluks nominal yang mencerminkan
jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke sirkulasi sistemik melalui
kulit. Metabolit utama dari fentanil adalah norfentanil, sedangkan
metabolit minornya adalah hidroksipropionil-fentanil dan
hidroksipropionil-norfentanil, yang tidak mempunyai aktivitas
farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang tergabung dalam sistem
peningkatan kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer yang
membatasi kecepatan dan meningkatkan permeabilitas kulit terhadap
fentanil
Farmakodinamik
Sebagai dosis tunggal, fentanyl memiliki onset kerja yang cepat
dan durasi yang lebih singkat dibanding morfin.Disamping itu juga
terdapat jeda waktu tersendiri antara konsentrasi puncak fentanil
plasma, dan konsentrasi puncak dari melambatnya EEG. Jeda waktu
ini memberi efek waktu Equilibration antara darah dan otak selama 6,4
menit. 8,9
Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat
mengakibatkan Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin,
yang memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah
otak.Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang cepat,
mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih
cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi
dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.8,9
Metabolisme

37
Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi
Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi
fentanil pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah
dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan kurang
lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya
10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.8,9
Farmakokinetik
Fentanyl adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan
sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan
anastetik.Fentanyl memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang
lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100mcg. Fentanyl bergantung
dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot,
euforia, miosis dan bradikardi.9
Eliminasi dan paruh waktu
Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi
dari paruh waktu lebih panjang dari morfin.Ini dikarenakan fentanyl
mempunyai Lipid solubility yang lebih baik yang menyebabkan
perjalanan cepat menuju jaringan.Konsentrasi plasma fentanil
dipertahankan oleh uptake dari jaringan yang lambat, yang
memberikan hitungan dari efek obat yang persisten dan paralel dengan
eliminasi paruh waktunya.
Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang ,
dikarenakan klirens opiodi berkurang, disebabkan menurunnya aliran
darah hepatik, aktifitas enzym microsome atau produksi albumin
( fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).
Cara pemberian dan dosis :
Untuk suplemen analgesia ,1-2 mcg/kgBB. Intravena
Untuk induksi anestesia, 100-200 mcg/kgBB intravena
2. Propofol

38
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profenol
yang banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Obat ini relatif
baru dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan, dikemas dalam
bentuk ampul, berisi 20ml/ampul, yang mengandung 10mg/ml.
penurunan kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara
intravena.8,9
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma
aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-
gate ion channel lainnya.Propofol dianggap memiliki efek sedative
hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah
salah satu neurotransmitter penghambat di SSP. 8,9
Ketika reseptor GABA diaktifasi, penghantar klorida
transmembaran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di
membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post
sinaps.Interaksi propofol dengan reseptor komponen spesifik reseptor
GABA menurunkan neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA
meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui
chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.8,9
Propofol dengan cepat diabsorbsi tubuh dan didistribusikan
dari darah ke jaringan.Distribusi propofol melalui 2 fase.Dengan fase
kedua merupakan fase yang lebih lambat karena terjadi metabolisme di
hati yang signifikan (konjugasi) sebelum diekskresi lewat urin.Lebih
kurang 2% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui feses.Propofol
dapat menembus plasenta dan diekskresi melalui susu.Setelah dosis
bolus diberikan, terjadi keseimbangan dengan cepat antara plasma dan
otak yang menggambarkan kecepatan onset anestesi.8,9
Farmakodinamik
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif
hepatik oleh cytochrome P-450.Namun metabolisme tidak hanya

39
dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.Metabolisme hepatik
lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut
air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui
ginjal.Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom
P450.Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide
menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3
efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin.
Waktu paruh propofol adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting
sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama
8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time
adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme
propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari
tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.8,9
Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.
Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum
alkohol dan yang tidak. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi
metabolisme bersihan propofol dan selama pengamatan lebih dari 34
tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam
pertama. 8,9
Farmakokinetik
Efek pada Susunan Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap
oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intrakranial (TIK).Pada
pasien dengan TIK normal terjadi penurunan TIK (30 %) yang
berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10
%). Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis
suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal.8,9
Efek pada Sistem Respiratorik

40
Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronik.Terdapat resioko apnea sebesar 25%-
35% pada pasien yang mendapat propofol.Pemberian agen opioid
sebagai premedikasi meningkatkan resiko apnea.Infus propofol
menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan.Respon
pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon dioksida
dan hipoksemia.Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan
menurunkan resiko terjadinya wheezing pada pasien asma.Konsentrasi
sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapneia akibat
efek terhadap kemoreseptor sentral.8,9
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik dari pada
thiopental.Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan
volume kardiak dan resistensi pembuluh darah.Relaksasi otot polos
pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi.
Efek pada fungsi hepar dan ginjal
Propofol tidak mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai
dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin.Infus propofol
yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis
laktat.Infus propofol yang lama menyebabkan urin berwarna kehijauan
akibat adanya rantai phenol.Namun perubahan warna urin ini tidak
mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada
pasien yang mendapatkan propofol yang ditandai dengan urin yang
keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek
ini menandai gangguan ginjal akibat propofol.8,9
Cara pemberian dan dosis :
Induksi anestesia, dosisnya 2-2,5 mg/kgBB.8
3. Pentotal

41
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih
dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton
Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat
short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki
onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah
mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi
mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis
yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek
sedasi dan hilangnya kesadaran.8,9
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana
barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada
sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu
jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa
fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat
secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson.8,9
Farmakodinamik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan
secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan
anak – anak.Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau
metoheksital untuk induksi pada anak – anak.Sedangkan phenobarbital
atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua
kelompok umur.8,9
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan
lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami
difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak.8,9

42
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.8,9
Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi
terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.8,9
Farmakokinetik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan
hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan
metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang
tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.8,9
Mata
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi
thiopental atau methohexital.Biasanya diberikan suksinilkolin setelah
pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke
nilai sebelum induksi.8,9
Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat
meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat
tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung
turun, dan dilatasi pembuluh darah.8,9
Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap
CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal
bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.8,9
Dosis dan cara pemakaian :
Untuk induksi, dibuat larutan dalam akuades atau NACL 0,9 %
dengan kosentrasi 2,5% atau 5,0%. Dosis untuk induksi adalah 4-

43
5ml/kgBB, diberikan IV pelan.Pada anak, orang tua dan pasien
malnutrisi, dilakukan modifikasi dosis.
3. Obat Anestesia Umum Inhalasi
1. Isofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik
untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya relatif cepat
dari semua obat – obatan anesthesia inhalasi yang ada pada saat ini tapi
masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.9
Sama seperti halotan, isofluran digunakan terutama sebagai
komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.Disamping
efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot
ringan. 9
Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat
mirip dengan metoksifluran dan sevofluran.Rentang keamanan
isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran.
Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi
menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan
meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga
menjadi pilihan pada pembedahan otak.9,
Isofluran yang terhirup dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
melalui paru-paru. Sedikit hasil penguraian isofluran yang dihasilkan
tidak cukup untuk menimbulkan toksisitas pada ginjal, hati atau organ
lain. Isofluran tidak menunjukkan sifat mutagen, teratogen atau
karsinogen.9,
Isofluran memiliki Minimal Alveolar Concentration (MAC)
dalam oksigen sebesar 1,15% atm dan dalam 70% oksida nitrosa
sebesar 0,5%. MAC adalah konsentrasi agen inhalasi minimal yang

44
dapat mencegah gerakan pada 50% pasien terhadap respon timulus
standar (irisan operasi pertama). 9,
Induksidengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran dapat
mengiritasi jalan nafas biladigunakan pada awal induksi dengan
masker pada konsentrasi tinggi.Induksilambat direkomendasikan untuk
mengurangi efek iritatif saluran nafas dan untuk menghindari tahan
nafas dan batuk.9
Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output)
sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan
kelainan jantung.Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan
karena mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan.
Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan
konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen.9
Koefisien partisi darah atau gas adalah 1,4. Kelarutan yang
menengah dalam darah ini dikombinasikan dengan potensi yang tinggi
berarti suatu induksi anestesia yang cepat. Setelah pemberian 30 menit,
rasio konsentrasi alveolar terhadap konsentrasi yang diinspirasi adalah
0,73. 9

45
Gambar 2.2 MAC
Isofluran menyebabkan peningkatan sedang dalam
PaCO2(sekitar 20%) mencerminkan peningkatan dalam kecepatan
pernapasan yang tidak cukup untuk mengimbangi penurunan dalam
volume tidal.Tidak seperti anestetik inhalasi lainnya, di atas
konsentrasi 1 MAC isofluran tidak menghasilkan peningkatan lebih
lanjut dari kecepatan pernapasan.Isofluran menimbulkan penurunan
tekanan darah arteri terkait dosis terutama melalui vasodilatasi perifer.
Isofluran juga meningkatkan nadi 20% di atas kadar terjagan di atas
MAC tidak tergantung dosis. 9
Dosis

Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah
2.0-3.0% bersama – sama dengan N2O.

Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya berkisar
antara 1.0-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0,5-
1,0%.9

2. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak
berwarna, tidak eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik
untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cept
dari semua obat – obatan anesthesia inhalasi yang ada pada saat ini. 9
Farmakokinetik
Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi
dengan fluorine.Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi
daripada desflurane (0.65 vs 0.42).Sevoflurane merupakan agen
inhalasi yang wangi dengan peningkatan konsentrasi di alveolar yang

46
cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna sebagai obat induksi
pada pasien pediatrik dan dewasa.Bahkan, induksi inhalasi dengan 4-
8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside
dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit.9
Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah yang
mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah
dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan
dengan isoflurane.Namun fase pulih sadar yang cepat ini telah
dihubungkan dengan insidensi delirium yang tinggi paska pembedahan
yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB. MAC Sevoflurane
terlihat pada tabel di bawah ini. MAC sevoflurane untuk pasien yang
berumur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%. Sedangkan untuk
pasien yang berumur dibawah 6 bulan MAC sevoflurane adalah 3,2-
3,3%.9

Gambar 2.3. MAC


Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler dan Sistem Pernapasan
Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard
yang ringan.Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial
lebih sedikit menurun jika dibandingkan dengan isoflurane atau
desflurane.Karena sevoflurane memiliki efek yang minimal pada nadi,

47
maka jika terjadi peningkatan nadi, curah jantung tidak dapat terjaga
dengan sebaik pada pemberian isoflurane ataupun desflurane.
Sevoflurane mungkin dapat memperpanjang interval QT. pada sistem
pernafasan evoflurane mendepresi pernafasan dan mengakibatkan
bronkodilatasi hampir sama halnya seperti isoflurane.8,9
Otak dan Neuromuskular
Pada penelitian secara klinis, perubahan-perubahan pada
neurohemodinamik (CBF, CMRO2 dan CPP) sebanding antara
sevoflurane dan isoflurane.Sevoflurane mempunyai efek minimal pada
ICP dan reaksi terhadap CO2 tetap dipertahankan.8,9
Ginjal dan Hepatik
Sevoflurane sedikit menurunkan aliran darah ke
ginjal.padahepatik Sevoflurane menurunkan aliran darah vena porta,
namun ,meningkatkan aliran darah arteri hepatik sehingga tetap
menjaga aliran darah ke hati dan suplai oksigen.8,9
Metabolisme
Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL
sebanyak 2-5% dengan metabolik produk utama fluoride inorganic dan
hexafluoroisopropanolol (HFIP).HFIP tidak diikat oleh protein hepar
dan tidak menunjukkan bukti adanya toksisitas pada hati.HFIP dengan
cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan kemudian
diekskresi.Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP
tidak dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi
HFIP dikeluarkan melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam
24 jam. Metabolit sevoflurane yang paling penting adalah fluorida
inorganik. 9
Dosis

48

Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi
adalah 3.0-5.0% bersama – sama dengan N2O.

Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya
berkisar antara 2.0-3%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar
antara 0,5-1,0%.9
3. Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak
iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah
terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber
(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh
karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan
zat relaksasi otot.8,9
Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas
terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida
mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi
dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam
anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai
berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.8,9
Walaupun N2O dikatakan sebagai obat anestetik non toksik an
mempunyai pengaruh yang sangat minimal pada system organ seperti
tersebut diatas, kadang – kadang terjadi juga efek samping seperti
berikut :8,9
1. N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton
terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.

49
2. Kehilangan pendengaran pasca anestesi, hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi
perubahan tekanan pada rongga telinga tengah.
3. Pemanjangan proses pemulihan anestesi akibat difusinya ketubuh
seperti misalnya pneumothoraks.
4. Pemakain jangka panjang menimbulkan depresi sum – sum tulang
sehingga bias menyebabkan anemia aplastik.
4.Obat-obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh
otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi
(kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat
menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor
asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini
tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya
tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan
depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan depolarisasi ini
menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium bawah
tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah
kanal natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai
repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi
selama obat pelumpuh otot depolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I block. Setelah beberapa
lama depolarisasi end plate yang memanjang akan menyebabkan
perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang
mengakibatkan phase II block, yang secara klinis menyerupai obat
pelumpuh otot nondepolarisasi. 9
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor
asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan
kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan
reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat

50
pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari
neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim
pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun
pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya, metabolisme,ekskresi
oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya
(kolinesteraseinhibitor).
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di
celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan
cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan
fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini
adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena,
suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat
kerja pseudokolinesterase.8,9
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.
obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of
action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin
memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat
efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,
seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan,

51
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa
orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang.8,9
1) Interaksi obat
a) Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh
otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat
kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka
depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan
menghambat pseudokolinesterase.
b) Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi
merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi,
karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh
suksinilkolin sebagian dicegah.8,9
Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang
pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih
merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis
yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.
Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest
pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih
dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek
samping dari suksinilkolin adalah :
 Nyeri otot pasca pemberian
 Peningkatan tekanan intraokular
 Peningkatan tekakana intrakranial
 Peningkatan tekakanan intragastrik
 Peningkatan kadar kalium plasma
 Aritmia jantung
 Salivasi
 Alergi dan anafilaksis
2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi

52
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai
kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek
akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus
dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi
otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah
dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan
ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.8,9
b. Atracurium
1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal,
tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.8,9
2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative
0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8 OC,
potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan.
Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
3) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
1) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang
berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini
tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.8,9
2) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka
panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena

53
akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi
polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama
dan sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi
dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.8,9
3) Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01
mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada
pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.8,9
d. Rekuronium
1) Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih
cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,
sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek
kerja yang lebih lama.8,9
2) Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi
tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan
hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di
ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.8,9
3) Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45
– 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan.
Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1
mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan
paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat
kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat
memanjang pada pasien orang tua.8,9
4) Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.

54
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi
sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.8,9

4.6. General Anastesi Orotracheal Tube


Intubasi orotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan yang terbuat
dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau waktu
memberikan anestesi secara inhalasi.1,3
OTT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung
ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan
kekerasan OTT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara
tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang tabung
dan kurvatura.3,4

Gambar 2.4. Pipa Orotrakea


4.6.1 Pipa Orotrakea
Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea
dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran
diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang
trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang
trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat
sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil
digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff
supaya tidak bocor. 10

55
Gambar 2.5. Berbagai Jenis Pipa OTT
Ukuran pipa trakea dapat dihitung menggunakan rumus 4+ N
(usia) : 4. Sering ukuran pipa trakea yang digunakan pada wanita
dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria
dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.10

Gambar 2.6. Tabel Ukuran Pipa OTT


4.6.2 Laringoskop

56
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.
Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan
benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:1,10
1. Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
2. Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.7. Laringoskop


4.6.3 Indikasi Pemasangan OTT
Pemilihan pemasangan OTT dalam bidang anestesi
berdasarkan indikasi berikut, antara lain:1,10
1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan
tenggorokan
5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tak ada ketegangan
6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
7. Untuk mencegah kontaminasi trakea
8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal
dengan pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
9. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord.10

4.6.4 Kontraindikasi Pemasangan OTT


Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian
edema jalan napas bagian atas yang buruk atau fraktur dari wajah dan
leher dapat menjadi kontraindikasi.1

57
4.6.5 Prosedur pemasangan OTT
Sebelum memulai induksi anestesia, selayaknya disiapkan
peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya
terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:10
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade)
yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction Penyedot lendir, ludah danlain-lainnya.
Pemasangan pipa trakea dalam anestesia inhalasi dengan
menggunakan obat pelimpuh otot non depolarisasi, selanjutnya
dilakukan nafas kendali. Adapun prosedur dalam tatalaksana tindakan
sebagai berikut:10
1. Pasien telah dipersiapkan sesuai pedoman dan pemberian
premedikasi (Midazolam 0.01-0.1 mg/KgBB, Ketorolac 0.5

58
mg/KgBB, Sulfas Atropin 0.005 mg/KgBB, Ondancentron 4 mg
dan Ranitidine 25 mg)
2. Posisikan pasien dengan baik dan nyaman
3. Pasang alat pantau yang diperlukan
4. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi
5. Siapkan mesin anestesia dengan sistem sirkuitnya dan gas
anestesia yang dipergunakan
6. Induksi pasien dengan menggunakan fentanyl 1-2 mcg/KgBB dan
propofol 2-2.5 mg/KgBB atau hipnotik jenis lain
7. Berikan obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti atracurium
0.5-0.5 mg/KgBB lalu tunggu 3 menit
8. Berikan napas bantuan melalui sungkup muka dengan oksigen
100% menggunakan fasilitas mesin anestesia sampai fasikulasi
hilang dan otot rahang relaksasi
9. Lalu pasang laringoskop sesuai ukuran dan pasang OTT sesuai
ukuran yang dibutuhkan
10. Fiksasi OTT dan hubungkan dengan sirkuit mesin anestesia
11. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi N2O : O2 : Sevofluran
= 2L : 2L + 2%
12. Kendalikan napas pasien secara manual atau mekanik dengan
volume dan frekuensi napas disesuaikan dengan kebutuhan pasien
13. Pantau tanda vital secara kontinyu dan ketat
14. Apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas atau obat
anestesia inhalasi dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit)
selama 2-5 menit
15. Berikan neostigmin dan atropin (jika diperlukan)
16. Ekstubasi pipa trakea dilakukan apabila pasien sudah bernapas
spontan dan adekuat serta jalan napas (mulut, hidung, dan pipa
endotrakea) sudah bersih, jika belum bersih lakukan suction.

59
Gambar 2.8. Teknik Pemasangan Laringoskop

Gambar 2.9. Teknik Pemasangan OTT


4.6.6 Ekstubasi
Mengeluarkan pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan
tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan
gangguan nafas, hipoksia sianosis.10
Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakeal.
Ekstubasi dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk
menghindari terjadinya reintubasi dan komplikasi lain. Tindakan
ekstubasi harus dikerjakan ketika kesadaran pasien belum pulih atau
setelah kesadaran pasien pulih. Tidak boleh dilakukan dalam keadaan

60
setengah sadar karena bisa menyakiti pasien. Adapun kriteria
dilakukan ekstubasi yaitu: 10
1. Kesadaran yang adekuat untuk mempertahankan reflex
protektif jalan napas dan reflex batuk untuk mempertahankan
jalan napas.
2. Cadangan paru yang adekuat seperti: laju paru <30 kali/menit,
FVC >15 ml/ka, PaO2/FiO2 >200.
3. Pada pasien pasca pembedahan jalan nafas atas atau edema
jalan nafas atas. Edema jalan nafas telah minimal atau ditandai
dengan adanya kebocoran udara yang adekuat setelah cuff pipa
endotrakeal dikosongkan.
4. Pasien bedah plastik atau THT bila memungkinkan dibicarakan
terlebih dahulu dengan dokter bedah plastik atau THT sebelum
ekstubasi.
5. Pasien-pasien khusus seperti pasien PPOK, pasien dengan
kesadaran yang tidak baik membutuhkan diskusi dengan
konsultan yang bertugas untuk melakukan ekstubasi.10
4.6.7 Kesulitan tindakan pemasangan OTT
Dalam tindakan pemasangan OTT, ada beberapa hal yang
dapat mempengaruhi keberhasilan tindakan, yaitu:1
1. leher yang pendek
2. Kesulitan membuka mulut
3. Uvula tidak terlihat (malapati 3 dan 4)
4. Abnormalitas pada daerah servikal
5. Kontraktur jaringan leher
4.6.8 Komplikasi Pemasangan OTT
Adapun komplikasi dari tindakan pemasangan OTT yang tidak
diinginkan seperti:10
1. Memar & oedem laring
2. Strech injury
3. Non specific granuloma larynx
4. Stenosis trakea
5. Trauma gigi geligi
6. Laserasi bibir, gusi dan laring

61
7. Aspirasi
8. Spasme bronkus

4.7. Pemeliharaan Anastesi (maintenance)


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan
nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya
menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan
campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol%
atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung
apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
4.8. Laserasi Palpebra
Laserasi palpebra merupakan rudapaksa pada palpebra akibat benda
tajam atau tumpul yang mengakibatkan luka robek/laserasi.
Laserasi pada palpebra memerlukan jahitan untuk menghindari tepi luka
yang tidak baik. Banyak teknik – teknik sudah diperkenalkan tapi pada prinsip
pentingnya adalah aproksimasi tarsal harus dibuat dalam garis lurus

4.9. Soft Tissue Tumor


Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan
tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak adalah
yang berasal dari jaringan embrional mesoderm yaitu jaringan ikat,
otot,pembuluh darah dan limfe, jaringan lemak, dan selaput saraf.

62
Tumor jaringan lunak atau Soft Tissue Tumor (STT) adalah suatu
benjolan atau pembengkakan abnormal yang disebabkan pertumbuhan sel
baru.
4.9.1 Etiologi
1. Kondisi genetic
Ada bukti tertentu pembentukan gen dan mutasi gen adalah faktor
predisposisi untuk beberapa tumor jaringan lunak, dalam daftar
laporan gen yang abnormal, bahwa gen memiliki peran penting
dalam diagnosis.
2. Radiasi
Mekanisme yang patogenik adalah munculnya mutasi gen
radiasi-induksi yang mendorong transformasi neoplastik.
3. Lingkungan karsinogen
Sebuah hubungan antara eksposur ke berbagai karsinogen dan
setelah itu dilaporkan meningkatnya insiden tumor jaringan lunak.
4. Infeksi
Infeksi virus Epstein-Barr dalam orang yang kekebalannya
lemah juga akan meningkatkan kemungkinan tumor jaringan lunak.
5. Trauma
Hubungan antara trauma dan Soft Tissue Tumors nampaknya
kebetulan. Trauma mungkin menarik perhatian medis ke pra-luka
yang ada.
4.9.2 Epidemiologi
Kanker jaringan lunak termasuk kanker yang jarang ditemukan,
insidensnya hanyasekitar 1% dari seluruh keganasan yang ditemukan
pada orang dewasa dan 7-15 % dariseluruh keganasan pada anak. Bisa
ditemukan pada semua kelompok umur. Pada anak-anak paling sering
pada umur sekitar 4 tahun dan pada orang dewasa paling banyak
padaumur 45-50 tahun. Lokasi yang paling sering ditemukan adalah

63
pada anggota gerakbawah yaitu sebesar 46% dimana 75%-nya ada di
atas lutut terutama di daerah paha.Di anggota gerak atas mulai dari
lengan atas, lengan bawah hingga telapak tangan sekitar13%. 30% di
tubuh bagian di bagian luar maupun dalam, seperti pada dinding perut,
danjuga pada jaringan lunak di dalam perut maupun dekat ginjal atau
yang disebut daerahretroperitoneum. Pada daerah kepala dan leher
sekitar 9% dan 1% di tempat lainnya,antara lain di dada.
4.9.3 Eksisi
Eksisi disebut juga ectomy, yaitu membuang tumor dengan cara
memotong. Eksisi mengeluarkan atau menghilangkan sebagian atau
seluruh bagian organ atau struktur lain. Contoh eksisi :
1. Eksisi intracapsular : pembuangan tumor dengan dengan melakukan
insisi langsung pada kapsul tumor, hanya bernilai diagnostik karena
bagian ini membiarkan sebagian besar massa tumor tetap utuh.
2. Eksisi marginal : operasi pengangkatan lesi keseluruhan dengan
mengangkat sedikit jaringan di sekitar lesi.
3. Eksisi radical: pengangkatan seluruh struktur anatomis yang
mengandung tumor.
4. Eksisi wide: dalam penganglatan neoplasma, pengangkatan tumor
sekaligus jaringan yang tampak normal di sekitar tumor
Indikasi dilakukan Eksisi :
a) Diagnositik
b) Kosmetik (lipoma , melanoma)
c) Setiap lesi yang di duga ganas (pada kulit)

4.10. Skizofrenia hebefrenik


a. Definisi Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan
perubahan prilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat
diramalkan,ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan prilaku
menunjukkan hampa prilaku dan hampa perasaan, senang menyendiri,dan
ungkapan kata yang di ulang – ulang, proses pikir mengalami disorganisasi

64
dan pembicaraan tak menentu serta adanya penurunan perawatan diri pada
individu. ( Rusdi Maslim, Dr.PPDGJ- III 2001: 48).
b. Etiologi Skizofrenia Hebefrenik
Etiologi Skizofreni Hebefrenik pada umumnya sama seperti etiologi
skizofrenia lainnya. Dibawah ini beberapa etiologi yang sering ditemukan:
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi yang berkontribusi pada munculnya
respon neurobiologi seperti pada harga diri rendah antara lain :
a. Faktor Genetis
Telah diketahui bahwa secara genetis skizofrenia diturunkan melalui
kromosom-kromosom tertentu. Tetapi kromosom yang ke berapa
menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam
tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia ada dikromosom no. 6
dengan kontribusi genetik tambahan no. 4, 8, 15 dan 22. Anak kembar
identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50%
jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizigot
peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang tuanya
mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofreia
maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor Neurologis
Ditemukan bahwa korteks prefrotal dan korteks limbik pada klien
skizofrenia tidak pernah berkembang penuh. Ditemukan juga pada
klien skizofrenia terjadi penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmiter yang ditemukan tidak normal khususnya
dopamine, serotonine, dan glutamat.
c. Studi Neurotransmiter
Skizofrenia diduga juga disebkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmiter dopamine yang berlebihan.
d. Teori Virus
Paparan virus influenza pada trimester 3 kehamilan dapat menjadi
factor predispossisi skizofrenia.
e. Psikologis

65
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu pencemas,
terlalu melindungi, dingin dan tidak berperasaan, sementara ayah yang
mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Prespitasi
Faktor-faktor pencetus respon neurobiologis meliputi :
a. Berlebihannya proses inflamasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di saraf terganggu
c. Gejala-gejala pemicu seperti kondisi kesehatan, lingkungan, sikap dan
perilaku.

66
BAB V
KESIMPULAN

Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU)


adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat reversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu hipnotik,
analgesia, dan relaksasi otot. Prosedur anastesi umum dan monitoring pasien tidak
hanya dilakukan pada saat operasi tetapi juga mencakap persiapan pra anastesia
(kunjungan dan premedikasi) dan pasca anastesia. Pemilihan teknik intubasi pada
anastesi umum didasarkan pada jenis operasi yang akan dilakukan, usia, jenis
kelamin, status fisik pasien, keterampilan pelaksana anastesi, ketersediaan alat, serta
permintaan pasien.
Pada kasus di atas, pasien laki-laki, usia 45 tahun dengan berat badan 50 kg
datang dengan luka robek pada kelopak mata kanan bawah. keluhan dirasakan kurang
lebih sejak ±30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pada kelopak mata juga terdapat
massa bertangkai, berwarna merah muda. Pasien direncanakan tindakan Eksisi dan
repair palpebra. Pemilihan tindakan anestesi pada pasien ini adalah General Anestesi
Orotrakeal Tube (GA OTT) dengan jenis napas kendali dan hasil pemeriksaan
didapatkan status fisik ASA II. Dasar pemilihan tindakan anastesi pada pasien
tersebut adalah lokasi, durasi, manipulasi dari pembedahan, dan posisi.

67
DAFTAR PUSTAKA

1. Rosari, Bella. 2016. General Anestesi dengan Endotrakeal Tube.


https://www.scribd.com/document/336681596/38245-Case-referat-Anestesi-
GA-Aulia-1-docx
2. F.S. Ratna, Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care. Jakarta: FKUI RSCM
3. Goodman and Gilman’s.1985. The pharmacological bases of therapeutics. 7th
edition. New York : Mac Millian Publishing Co. Inc
4. Hurford, William E, et all. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of the
Massachusetts General Hospital 6th edition. Massachusetts General Hospital
Dept. Of Anesthesia and Critical Care. Lippincott williams & Wilkins
Publishers.
5. Miller, Ronald D. 2000. Anesthesia. Fifth ed. Churchill Livingstone. Elsevier:
Espana
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Patient monitors. In : Lange
Medical Books Clinical Anesthesiology. 4th eds. New York
7. Ting, H. Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 19 Desember 2018

8. Latief S, A., Suryadi K, A., Dachlan M, R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi Edisi Kedua. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI: Jakarta.
9. Munazat, Irham. 2015. Ekstubasi Endotrakeal Tube.
https://dokumen.tips/documents/ekstubasi.html

68
10. Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda, Gde, Agung. 2017. Buku Ajar
IlmuAnestesi dan Renimasi. Penerbit PT. Macan Jaya Cemerlang: Jakarta.

11. Farmakologi Ebook.diakses Tanggal 18 Desember 2018


Wira, Catharina. 2016. Pemasangan Endotrakeal Tube.
http://fk.unsoed.ac.id/sites/default/files/img/modul%20labskill/genap
%20II/Genap%20II%20-%20Pemasangan%20Endotracheal%20Tube.pdf

69

You might also like