You are on page 1of 36

PROLAPSUS UTERI GRADE IV

SISTOKEL GRADE IV
REKTOKEL GRADE IV

Ujian Sub Bagian Uroginekologi

Oleh :

dr. Wahyuridistia Marhenriyanto


PPDS Obstetri dan Ginekologi

Pembimbing :

dr. H. Bobby Indra Utama, Sp.OG (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG
2019
PPDS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

Lembar Pengesahan

Nama : dr. Wahyuridistia Marhenriyanto


Semester : VI

Telah melakukan Ujian Sub Bagian Uroginekologi dengan kasus


Nama Pasien : Ny. R
Umur : 79 tahun
No. Rekam Medik : 01.03.38.73
Diagnosis Awal : Prolapsus Uteri Grade IV + Sistokel Grade IV
+ Rektokel Grade IV
Diagnosis Akhir : Post Histerektomi Transvaginal ai Prolapsus
uteri grade IV + Sistokel grade IV + Rektokel
grade IV.

Pariaman, 2 Januari 2019


Mengetahui / Menyetujui Peserta PPDS
Pembimbing Obstetri dan Ginekologi

(dr. H. Bobby Indra U., Sp.OG (K)) (dr. Wahyuridistia Marhenriyanto)

Mengetahui
KPS PPDS OBGIN
FK UNAND RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

(dr. H. Syahredi S.A., Sp.OG(K))

2
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
OBSTETRI & GINEKOLOGI
FK. UNAND/ RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

Laporan Hasil Ujian Sub Bagian Uroginekologi

Nama : Wahyuridistia Marhenriyanto


No.CHS : 1550302014
Semester : VI

Telah melakukan Ujian Sub Bagian Uroginekologi dengan kasus :


Nama : Ny. R
Usia : 79 tahun
No. MR : 01.03.38.73
Diagnosa Pre-Op : Prolapsus Uteri Grade IV + Sistokel Grade IV +
Rektokel Grade IV
Jenis Tindakan : Histerektomi Transvaginal
Diagnosa Post op : Post Histerektomi Transvaginal ai Prolapsus Uteri
Grade IV + Sistokel Grade IV + Rektokel Grade IV
Tanggal : 2 Januari 2019

Hasil Penilaian : …………………………………………….

Padang, 2 Januari 2019


Pembimbing

dr. H. Bobby Indra Utama, Sp.OG (K)

3
LAPORAN UJIAN
UROGINEKOLOGI

A. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Ny. R
• MR : 01.03.38.73
• Umur : 79 th
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Alamat : Padang

B. ANAMNESIS
Seorang wanita usia 79 th masuk bangsal Ginekologi kiriman dari poli
uroginekologi RSUP M. Djamil Padang tanggal 10 Desember 2018 dengan
diagnosis Prolaps Uteri Grade IV + Sistokel Grade IV + Rektokel Grade IV pro
Histerektomi Transvaginal

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


• Keluar masa dari kemaluan sejak 6 bulan yang lalu, awalnya kecil semakin
lama semakin besar, masa sebesar telur ayam.
• Pasien mengeluh terasa mengganjal, terutama jika berjalan
• Nyeri (-)
• Perdarahan dari kemaluan (-)
• Dispareunia (-), riwayat post koital bleeding (-)
• BAK dan BAB tidak ada keluhan
• Pasien sudah tidak haid sejak 6 tahun yang lalu
• Pasien menikah, punya 5 orang anak, melahirkan normal dan paling kecil
usia 22 tahun

D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien tidak ada riwayat penuakit jantung, paru, hati, ginjal, diabetes
melitus, hipertensi dan alergi

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

4
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit menular, keturunan dan
kejiwaaan

F. RIWAYAT LAIN
Riwayat Pernikahan : 1x tahun 1985
Riwayat Kehamilan/keguguran/persalinan
1. 1986/laki-laki/3300gr/cukup bulan/spontan/bidan/hidup
2. 1988/perempuan/3500gr/cukup bulan/spontan/bidan/hidup
3. 1991/perempuan/3400gr/cukup bulan/spontan/bidan/hidup
4. 1994/laki-laki/3600gr/cukup bulan/spontan/bidan/hidup
5. 1996/laki-laki/3500/cukup bulan/spontan/bidan/hidup
• Riwayat kontrasepsi : IUD selama 8 tahun
• Riwayat pendidikan : SMP
• Riwayat pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
• Riwayat Kebiasaan : merokok (-), alkohol (-), narkoba (-)

G. PEMERIKSAAN FISIK
KU Kes TD Nd Nfs T
Sedang CMC 130/80 82 20 370C
BB : 57 kg
TB : 155 cm
BMI : 23,7 normoweight
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax : Paru dan Jantung dalam batas normal
Abdomen : Status Ginekologi
Genital : Status Ginekologi
Ekstremitas : Udem -/-

Abdomen
I : Tidak tampak membuncit, sikatriks (-)
P : NT (-), NL (-), DM (-), Massa (-)
Pe : Timpani
A : BU (+) Normal

Genital
I : V/U tenang, PPV (-), Tampak masa kemerahan sebesar genggaman
tangan dewasa, keluar dari introitus vagina, permukaan licin, OUE (+)
Sondase : ukuran 8 cm

Pemeriksaan VT bimanual
Vagina : Tumor (-)

5
Portio : MP, sebesar jempol kaki dewasa, tumor(-), nyeri goyang portio (-)
CUT : Ukuran sebesar telur ayam, AF
AP : Lemas kiri-kanan
CD : Tidak menonjol

H. PEMERIKSAAN LAB
• Hb : 12,8 gr/dl
• Leukosit : 4.870/mm
• Trombosit : 357.000/mm3
• Hematokrit : 39%
• PT / APTT : 11,0 detik / 32,8 detik
I. DIAGNOSIS
Prolapsus uteri grade IV
Rektokel grade IV
Sistokel grade IV

J. RENCANA
Histerektomi transvaginal

K. SIKAP
Informed Consent
Persiapan pre-Op
Kontrol KU, VS
Crossmatch 1 PRC
Puasakan 8 jam sebelum operasi
Konsul Anastesi
Lapor OK

L. LAPORAN OPERASI
• Dilakukan Histerektomi Transvaginal
• Perdarahan selama tindakan ±100 cc
Diagnosis : Post Histerektomi Transvaginal ai Prolaps Uteri grade IV, Sistokel
grade IV & Rektokel grade IV

M. TATALAKSANA POST OP
Kontrol KU, VS post operasi
Cek lab post op
IVFD RL 20 tts/i
Injeksi Ceftriaxon 2x1 gr IV
Ketoprofen supp K/P
N. DOKUMENTASI

6
TINJAUAN PUSTAKA
PROLAPSUS ORGAN PANGGUL

A. PENDAHULUAN
Prolaps organ panggul (POP) adalah turun atau menonjolnya dinding
vagina ke dalam liang vagina atau keluar introitus vagina yang diikuti oleh
organ-organ pelvik (uterus, kandung kemih, usus atau rektum).1

7
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2007
(SDKI 2007), usia harapan hidup wanita di dunia dan Indonesia pada
khususnya terus meningkat. Untuk itu, diperlukan adanya usaha untuk
menjaga kualitas hidup wanita yang dapat menurun akibat morbiditas jangka
panjang yang disebabkan oleh persalinan. Selain menyebabkan
ketidaknyamanan, POP juga memberikan dampak negatif pada fungsi
seksual, penampilan, dan kualitas hidup. Karena alasan kualitas hidup,
operasi POP menjadi salah satu indikasi yang sering untuk operasi
ginekologi.1,2Namun penatalaksanaan konservatif dan perubahan gaya hidup
tetap memiliki peran pada penatalaksanaan POP derajat ringan, pasien yang
masih ingin memiliki anak, atau yang tidak menginginkan operasi. 3 Selain
pengobatan, upaya pencegahan melalui pemahaman berbasis bukti
terhadap faktor risiko terjadinya POP juga perlu diprioritaskan. Untuk itu,
diperlukan suatu panduan formal dalam bentuk konsensus dengan tujuan
untuk memberikan pelayanan komprehensif berdasarkan bukti ilmiah yang
ada yang didukung oleh kesepakatan bersama untuk meningkatkan kualitas
layanan penanganan POP4.

B. EPIDEMIOLOGI
POP terjadi pada hampir setengah dari seluruh wanita. Walaupun
hampir setengah dari wanita yang pernah melahirkan ditemukan memiliki
POP melalui pemeriksaan fisik, namun hanya 5-20% yang simtomatik. .
1,5-7

Prevalensi POP meningkat sekitar 40% tiap penambahan 1 dekade usia


seorang wanita.8 Derajat POP yang berat ditemukan pada wanita dengan usia
yang lebih tua, yaitu, 28%-32,3% derajat 1, 35%-65,5% derajat 2, dan 2-6%
derajat 3.8
Saat ini, sebanyak 11-19% wanita di negara maju menjalani operasi
POP5, dan usia rata-rata wanita yang menjalani operasi POP adalah 60
tahun.9 Di Amerika Serikat sebanyak 200.000 operasi POP dilakukan per

8
tahun dengan angka rekurensi yang membutuhkan operasi ulang mencapai
30%. 10

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Etiologi POP bersifat multi-faktorial. Faktor risiko yang telah diteliti
antara lain adalah kehamilan, persalinan per vaginam, menopause, defisiensi
estrogen, peningkatan tekanan intra abdomen jangka waktu panjang
(konstipasi, mengangkat barang-barang berat, penyakit paru obstruktif
kronik, mengedan), ras, indeks massa tubuh (IMT)8,11,12, faktor genetik13,14,
faktor anatomi15, biokimiawi dan metabolisme jaringan penunjang, 16 dan
riwayat pembedahan (histerektomi dan kolposuspensi Burch).10
Persalinan per vaginam diduga sebagai penyebab utama POP, melalui
mekanisme kerusakan otot levator ani, nervus pudenda, dan fasia penyokong
organ panggul17. Risiko POP meningkat 1,2 kali pada setiap penambahan
jumlah persalinan per vaginam. Risiko relatif terjadinya prolaps berdasarkan
jumlah persalinan terdapat pada tabel 1.

POP terjadi pada 20-40% kehamilan, dan semakin berat dengan


meningkatnya gravida, paritas, jumlah persalinan per vaginam dan dengan
adanya kala II memanjang, persalinan dengan bantuan forsep dan berat bayi
lahir per vaginam lebih dari 4000 gram.8
Pada wanita yang telah menjalani histerektomi, prolaps puncak
vagina lebih sering terjadi secara signifikan terutama pada wanita yang
memiliki riwayat persalinan per vaginam yang banyak, persalinan lama, kerja

9
fisik yang berat, penyakit neurologis, histerektomi sebelumnya karena
indikasi POP, dan riwayat keluarga yang memiliki POP.18

D. ANAMNESIS
Gejala yang ditimbulkan oleh POP terdiri atas gejala vagina,
berkemih, buang air besar (BAB), dan seksual. (lihat tabel 2)

Beberapa hal yang menjadi catatan untuk gejala POP adalah :


• Gejala benjolan dipengaruhi oleh gravitasi sehingga makin berat pada
posisi berdiri.1
• Semakin lama, benjolan akan terasa semakin menonjol terutama setelah
adanya aktifitas fisik berat jangka panjang seperti mengangkat benda berat
atau berdiri.1
• Derajat prolaps tidak berhubungan dengan gejala urgensi, frekuensi atau
inkontinensia urin. 1

10
• Pada studi yang menilai korelasi antara gejala dengan lokasi dan derajat
prolaps, ditemukan bahwa korelasi antara gejala BAB dan prolaps posterior
lebih kuat dibandingkan korelasi antara gejala berkemih dengan prolaps
anterior.7
• Gejala seperti rasa tekanan, ketidaknyamanan, benjolan yang terlihat dan
gangguan seksual tidak spesifik untuk kompartemen tertentu. 7
• Klinisi perlu memberikan pertanyaan secara spesifik, karena kebanyakan
pasien tidak akan secara sukarela memberikan informasi mengenai gejala
yang dirasakannya. 1

Untuk menilai dampak gangguan dasar panggul terhadap kualitas


hidup maka digunakan 2 kuesioner yang telah divalidasi yaitu Pelvic Floor
Distress Inventpry (PFDI) dan Pelvic Floor Impact Questionnaires (PFIQ). 20

E. PEMERIKSAAN FISIK
Pasien dalam posisi terlentang pada meja ginekologi dengan posisi litotomi.
• Pemeriksaan ginekologi umum untuk menilai kondisi patologis lain
• Inspeksi vulva dan vagina, untuk menilai:
o Erosi atau ulserasi pada epitel vagina.
o Ulkus yang dicurigai sebagai kanker harus dibiopsi segera, ulkus yang
bukan kanker diobservasi dan dibiopsi bila tidak ada reaksi pada terapi.
o Perlu diperiksa ada tidaknya prolaps uteri dan penting untuk
mengetahui derajat prolaps uteri dengan inspeksi terlebih dahulu
sebelum dimasukkan inspekulum.
• Manuver Valsava.
o Derajat maksimum penurunan organ panggul dapat dilihat dengan
melakukan pemeriksaan fisik sambil meminta pasien melakukan manuver
Valsava.
o Setiap kompartemen termasuk uretra proksimal, dinding anterior
vagina, serviks, apeks, cul-de-sac, dinding posterior vagina, dan perineum
perlu dievaluasi secara sistematis dan terpisah.

11
o Apabila tidak terlihat, pasien dapat diminta untuk mengedan pada
posisi berdiri di atas meja periksa.
o Tes valsava dan cough stress testing (uji stres) dapat dilakukan untuk
menentukan risiko inkontinensia tipe stres pasca operasi prolaps.
• Pemeriksaan vagina dengan jari untuk mengetahui kontraksi dan kekuatan
otot levator ani
• Pemeriksaan rektovagina
o untuk memastikan adanya rektokel yang menyertai prolaps uteri.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Urin residu pasca berkemih 1
o Kemampuan pengosongan kandung kemih perlu dinilai dengan
mengukur volume berkemih pada saat pasien merasakan kandung kemih
yang penuh, kemudian diikuti dengan pengukuran volume urin residu
pasca berkemih dengan kateterisasi atau ultrasonografi.
• Skrining infeksi saluran kemih7
• Pemeriksaan urodinamik1, apabila dianggap perlu.
• Pemeriksaan Ultrasonografi
o Ultrasonografi dasar panggul dinilai sebagai modalitas yang relatif
mudah dikerjakan, cost-effective, banyak tersedia dan memberikan
informasi real-time. 24,25
o Pencitraan akan membuat klinisi lebih mudah dalam memeriksa pasien
secara klinis.25
o Pada pasien POP ditemukan hubungan yang bermakna antara
persalinan, dimensi hiatus levator, avulsi levator ani dengan risiko
terjadinya prolaps.26-29 Namun belum ditemukan manfaat secara klinis
penggunaan pencitraan dasar panggul.29

G. KLASIFIKASI

12
Untuk mengklasifikasikan POP telah dikembangkan beberapa sistem.
Untuk keperluan praktik klinis, sistem Baden-Walker telah digunakan secara
luas, sementara sistem Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q) mulai
banyak digunakan untuk keperluan praktik klinik dan penelitian. Beberapa
ahli berpendapat 9 poin yang dinilai pada sistem POP-Q lebiih cocok untuk
keperluan penelitian. Sistem Baden-Walker cukup adekuat digunakan dalam
praktik klinik selama penurunan atau protrusi dari semua kompartemen
panggul (anterior, apikal, dan posterior) diperiksa. 1

13
14
H. PENATALAKSANAAN
1. KONSERVATIF
Pilihan penatalaksanaan non-bedah perlu didiskusikan dengan
semua wanita yang memiliki prolaps. 1,30 Walaupun pesarium merupakan
penatalaksanaan non-bedah yang spesifik, rehabilitasi otot dasar panggul
dan symtom-directed therapy perlu dilakukan, walaupun data
pendukungnya untuk mencegah progresi prolaps masih belum
mencukupi.1
Symtom-directed therapy dengan observasi prolaps (watchful
waiting) dapat direkomendasikan pada wanita dengan prolaps derajat
rendah (derajat 1 dan derajat 2, khususnya untuk penurunan yang masih
di atas himen) dan gejala non-spesifik. Wanita yang memiliki prolaps
asimtomatik atau simtomaik ringan dapat diobservasi pada interval
reguler, misalnya pada pemeriksaan rutin tahunan. 1

PESARIUM
Pesarium dapat dipasang pada hampir seluruh wanita dengan
prolaps tanpa melihat stadium ataupun lokasi dari prolaps. Alat ini
digunakan oleh 75%-77% ahli ginekologi sebagai penatalaksanaan lini
pertama prolaps.1,31 Pesarium tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran,

15
serta dapat dikategorikan menjadi suportif (seperti pesarium ring) atau
desakruang (seperti pesarium donat). Pesarium yang biasa digunakan
pada prolaps adalah pesarium ring (dengan dan tanpa penyokong),
Gellhorn, donat, dan pesarium cube. Tipe pesarium yang bisa dipasang
berhubugan dengan derajat prolaps (Lihat Tabel 4).

Pesarium ring berhasil digunakan pada prolaps derajat 2 (100%)


dan derajat 3 (71%). Untuk derajat 4 lebih banyak berhasil bila
menggunakan pesarium Gellhorn (64%). 1 Namun demikian berdasarkan
Review Cochrane mengenai uji klinis yang membandingkan penggunaan
pesarium tipe ring dan Gellhorn, tidak didapatkan perbedaan yang
signifikan dalam skor gejala (PFDI dan PFQI) antara kedua jenis pesarium.
Pada studi ini didapatkan pula pesarium memberikan manfaat pada 60%
subjek penelitian.31 Sebagai tambahan, pesarium dapat digunakan
sebelum pembedahan pada wanita dengan prolaps yang simptomatik. 1

16
Komplikasi tersering dari pemasangan pesarium adalah iritasi dari
mukosa vagina yang bersifat hipoestrogen sehingga menimbulkan duh
tubuh, bau busuk, ulserasi atau perdarahan.32

SYMPTOM-DIRECTED THERAPY1
• Penurunan berat badan dan olah raga
o Latihan aerobik atau senam dasar panggul
o Belum terbukti secara signifikan untuk mencegah prolaps,
namun bermanfaat untuk kondisi kesehatan secara umum
• Terapi perilaku

17
o BAB terjadwal untuk pasien yang mengalami gangguan defekasi,
seperti BAB tidak lampias atau mengedan dapat dilakukan
o BAK terjadwal untuk pasien dengan keluhan inkontinensia urin
• Modfikasi diet
o Peningkatan kadar serat pada makanan atau pemberian
suplemen serat sesuai kebutuhan untuk pasien dengan gangguan
defekasi.
• Pembatasan cairan
• Laksatif atau enema
o Akan mempermudah BAB tanpa harus mengedan.
• Latihan otot dasar panggul
• Obat-obatan sesuai indikasi.

REHABILITASI OTOT DASAR PANGGUL


• Pada sebuah telaah sistematik disebutkan bahwa latihan dasar panggul
memberikan efek relatif terhadap kualitas hidup pada wanita yang
memiliki prolaps.33
• Pada telaah sistematik sebelumnya disebutkan bahwa tidak ada bukti
yang kuat untuk mendukung pelaksanaan otot dasar panggul pada
tatalaksana konservatif POP.7
• Sehingga disimpulkan, latihan dasar panggul tidak mengobati dan
mencegah POP, namun direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada
wanita yang memiliki prolaps dan gejala terkait (inkontinensia urin dan
fekal), bersamaan dengan symtomdirected therapy. 7,33

ESTROGEN
• Estrogen diduga dapat mencegah atau membantu penatalaksanaan POP
bila dikombinasikan dengan intervensi lainnya melalui mekanisme
penguatan struktur penunjang dan mencegah penipisan jaringan vagina
dan panggul. 34

18
• Penggunaan estrogen lokal bersamaan dengan latihan otot dasar
panggul sebelum operasi dapat menurunkan insidensi sistitis pasca-
operasi dalam 4 jam pasca operasi. 34
• Raloxifen oral dapat menurunkan kejadian operasi POP pada wanita di
atas 60 tahun, namun hal ini belum dapat dijadikan dasar rekomendasi
praktik. 34

2. OPERATIF
Berdasarkan sebuah telaah sistematis dan meta analisis terbaru
mengenai penatalaksanaan POP disebutkan bahwa pembedahan pada
wanita yang memiliki prolaps dapat meningkatkan kualitas hidup wanita. 33

PROLAPS UTERI ATAU PUNCAK VAGINA


• Pada saat melakukan histerektomi pada prolaps uteri, perlu dilakukan
penggantungan puncak vagina.1
• Pada sebuah studi kohort yang dilakukan pada 80 orang wanita yang
menjalani berbagai jenis operasi POP didapatkan efektifitas operasi
transvaginal sebesar 29% dan treans abdominal 58%. Sedangkan angka
re-operasi 33% pada kelompok vagina dan 16% pada kelompok
abdomen.35
• Pilihan pembedahan pada pasien dengan prolaps puncak vagina (terjadi
apabila telah dilakukan histerektomi sebelumnya) adalah Colpopexy
sakral abdominal dan suspensi transvaginal untuk fiksasi ligamen
sakrpspinosus, ligamen uterosakral, dan otot atau fasia iliokoksigeus. 1
• Angka kegagalan pada prosedur prolaps puncak vagina berkisar antara
0-20% untuk tiap tipe prosedur. 1
• Baik colpopexy sakral per abdominal maupun colpopexy sakrospinosus
per vaginal sangat efektif dalam penatalaksanaan prolaps puncak vagina.

19
Keduanya juga secara signifikan meningkatkan kualitas hidup pasien.
(Tabel 6) 36

• Pada studi lain, colpopexy sakral abdominal memiliki angka kegagalan,


dispareunia pasca operasi, dan inkontinensia tipe stres yang lebih rendah
dibandingkan dengan fiksasi ligamen sakrospinosus transvaginal, namun
memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi. Durasi operasi dan pemulihan
pasien ditemukan lebih lama pada colpopexy. Selain itu komplikasi
berupa adesi intraabdomen, obstruksi usus juga lebih sering ditemukan
pada colpopexy. Untuk itu diperlukan pertimbangan risiko komplikasi
pasien dan potensi terjadinya rekurensi prolaps. 1
• Belum ada uji klinis yang membandingkan superioritas antara suspensi
ligamen sakrospinosus dengan uterosakral. Pada suspensi ligamen
uretrosakral ditemukan cedera uretra sebanyak 11%. Sistoskopi intra-
operatif dapat dilakukan untuk memeriksa cedera uretra atau kandung
kemih yang berisiko terkena cedera. 1
• Angka keberhasilan suspensi ligamen sakrospinosus cukup baik, yaitu
berkisar antara 67% sampai 97%. Komplikasi hematoma ditemukan
sebanyak 2,3%, infeksi pasca-operasi 4,1%, masalah urologi 2,9%, dan
cedera organ pelvis 0,8%. Selain itu dapat terjadi perdarahan akibat
cedera pembuluh darah pudenda yang mengancam dan cukup sulit
ditangani. Nyeri pada bokong (nyeri isiadika) juga sesekali dapat terjadi
(1,8%) dan biasanya hilang dengan sendirinya. Nyeri kronik atau persisten

20
juga dapat terjadi (2%), dan bila terjadi mungkin diperlukan reoperasi
untuk pengangkatan jahitan. 1
• Pada sebuah uji klinis terandomisasi yang membandingkan efektifitas
high levator myorrhaphy (HLM) dengan suspensi ligamen uterosakral
(SLU) untuk fiksasi puncak vagina, didapatkan prolaps apeks yang
terkoreksi pada kelompok HLM sebanyak 96,5 % dan 98,3% pada
kelompok SLU. Prolaps dinding anterior ditemukan sebanyak 29,2% pada
kelompok HLM dan 35,4% pada kelompok SLU. Pada kedua kelompok
didapatkan perbaikan kualitas hidup, namun pada kelompok SLU
ditemukan indisensi komplikasi oklusi ureter intra operatif yang lebih
tinggi.37
• Rekurensi pada suspensi ligamen uterosakral dapat terjadi pada 4- 18%
pasien setelah follow up jangka pendek (4 tahun). Sebanyak 6,5% terjadi
pada periode follow up 6 bulan sampai dengan 3 tahun. Pada studi lain
dilaporkan 15,3% mengalami prolaps simtomatik stadium 2 atau lebih
pada periode follow up 5,1 tahun (rentang 3,5- 7,5 tahun). 1
• Penggantungan ligamen sakrospinosus atau fasia iliokoksigeus dapat
dilakukan apabila ligamen uterosakral sulit diakses atau tidak adekuat
untuk digunakan sebagai penggantung. 1
• Penatalaksanaan puncak vagina dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan operasi (tabel 7). Namun, proses konseling harus dilakukan
untuk mendapatkan masukan dari pasien mengenai mengenai rute
operasi, manfaat histerektomi, penggunaan sling, graft, dan kemampuan
hubungan seksual pasien setelah operasi.21

Tabel 7. Ringkasan rekomendasi penggunaan teknik operasi untuk


prolaps puncak vagina21

21
TATALAKSANA PADA PASIEN YANG TIDAK LAYAK OPERASI DAN PASIEN
YANG MEMILIKI EVERSI KOMPLIT VAGINA DENGAN ATAU TANPA
UTERUS.
• Pada wanita yang memiliko risiko komplikasi operasi atau anestesi yang
dikontraindikasikan untuk operasi, maka penatalaksanaan nonbedah
menjadi pilihan utama.1
• Berdasarkan studi retrospektif pada 267 wanita berusia di atas 75
tahun, ditemukan bawha faktor risiko independen untuk terjadinya
komplikasi operasi adalah durasi operasi, penyakit jantung koroner, dan
penyakit vaskular perifer.38
• Komplikasi perioperatif yang paling banyak terjadi adalah transfusi
darah atau perdarahan, edema paru dan gagal jantung kongestif pasca
operasi. 38

22
• Risiko mortalitas dan komplikasi meningkat berdasarkan usia pada
wanita yang menjalani operasi uroginekologi (tabel 8). 39

• Kolpokleisis (Kolpektomi) dapat ditawarkan pada wanita yang memiliki


risiko tinggi komplikasi dan tidak menginginkan hubungan seksual. Pada
sebuah seri retrospektif, dilaporkan kolpokleisis memiliki angka
keberhasilan mendekati 100%.1 Pada studi lain disebutkan bahwa
kolpokleisis meningkatkan kualitas hidup secara signifikan tanpa
morbiditas yang signifikan40,41Pada sebuah studi prosepektif yang
melibatkan 87 orang wanita yang menjalani kolpokleisis didapatkan
bahwa kolpokleisis memperbaiki penampilan tubuh dan keluhan dasar
panggul.42

PENATALAKSANAAN PADA WANITA YANG TIDAK MENGINGINKAN


HISTEREKTOMI1
• Pada wanita yang memilih penatalaksanaan bedah dan menginginkan
preservai uterus dapat dilakukan prosedur fiksasi ligamen sakrospinosus
atau uterosakral, atau dilakukan histeropexy per abdominal tanpa
dilakukan histerektomi.
• Idealnya seorang wanita tidak lagi melahirkan apabila memilih
pembedahan prolaps untuk mencegah terjadinya rekurensi pasca hamil

23
atau persalinan. Apabila seorang wanita hamil setelah pembedahan
prolaps, maka cara persalinan ditentukan kasus per kasus.

HISTEROPEXY1
• Rekurensi prolaps setelah histeropexy sakral atau colpopexy sakral
berkisar antara 6,5% sampai dengan 23,5%, dan mencapai 30% pada
histeropexy sakrospinosus.
• Komplikasi yang dapat terjadi mencakup perdarahan, hematoma, infeksi
luka operasi, obstruksi usus halus, hernia insisional dan erosi tandur.
• Histeropexy tidak boleah dilakukan dengan menggunakan dinding
abdomen ventral sebagai penyokoong karena berisiko tinggi untuk
terjadinya prolaps rekurens, terutama enterokel.

SUSPENSI LIGAMENTUM ROTUNDUM1


• Penggantungan ligamentum rotundum tidak efektif dalam menangani
prolaps uteri atau vagina. Pada sebuah studi dilaporkan bahwa sebanyak
90% pasien mengalami prolaps rekurens dalam waktu 3 bulan pasca
operatif.

KOLPOKLEISIS1
• Pada wanita yang tidak menginginkan fungsi vagina (aktifitas seksual
dan memiliki anak) yang tidak menginginkan histerektomi kolpokleisis
merupakan pilihan.

PROLAPS ANTERIOR
• Sistokel dapat ditatalaksana dengan kolporafi anterior tradisonal dengan
atau tanpa menambahan jaring sintetik (mesh) atau materi tandur (graft)1

24
• Selain itu dapat pula ditatalaksana dengan menggunakan pendekatan
paravaginal per vaginam atau retropubis dengan menggunakan akses
laproskopi terbuka (open-laparoscopy). Angka rekurensinya dari beberapa
laporan mencapai 15-37% dalam durasi follow up 3 tahun.
• Pada sebuah uji klinis yang dilakukan pada 83 pasien yang menjalani
kolporafi anterior dengan durasi follow-up rerata selama 23,2 bulan,
ditemukan teknik standar, teknik standar plus mesh dan teknik ultralateral
kolporafi anterior memiliki kesembuhan anatomis dan resolusi gejala yang
tidak berbeda bermakna, masing-masing adalah 30%, 42%, dan 46%. 43
• Prosedur site-specific juga dapat dilakukan apabila defek spesifik pada
tunika muskularis vagina atau adventisia dapat dilihat dan diperbaiki.
Angka rekuensinya lebih tinggi (33%) dibandingkan dengan teknik plikasi
garis tengah (midline) dalam waktu 1 tahun follow up. Dispareunia tetap
menjadi masalah pasca-operatif yang sering terjadi, walaupun
penyempitan introitus tidak dilakukan.
• Pendekatan abdominal dan laparoskopi juga dapat dilakukan bersamaan
dengan colpopexy sakral, dimana mesh dipasang disepanjang vagina
posterior, bahkan terkadang sampai ke badan perineum (sakral
kolpoperineopexy). 1

PROLAPS POSTERIOR
• Prolaps posterior ditatalaksana dengan menggunakan kolporafi
posterior, dengan plikasi garis tengah (mid-line) jaringan vagina subepitel. 1
• Apabila dibandingkan dengan pendekatan transanal, pendekatan
transvaginal lebih efektif untuk mengurangi gejala subjektif dan rekurensi
prolaps posterior (rektokel dan enterokel). 1,44
• Berdasarkan hasil defekografi, pendekatan transvaginal berhubungan
dengan rerata kedalaman rektokel dan kejadian enterokel pasca operasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan pendekatan transvaginal. Sehingga

25
kolporafi posterior transvaginal lebih direkomendasikan dibandingkan
dengan transanal.1

JARING SINTETIK (MESH) DAN MATERI TANDUR (GRAFT) • Bukti klinis


menunjukkan bahwa penggunaan vaginal mesh memberikan keberhasilan
yang lebih baik, namun juga mendatangkan risiko komplikasi yang lebih
besar.45 Angka kegagalan (erosi/exposure) mesh non-absorbable sintetik
berkisar antara 10- 20%.46 Tingkat operasi ulang penggunaan mesh
berkisar 10% dibandingkan pembedahan konvensional yang dapat
mencapai 30%. 45
• Sebuah uji klinik yang dilakukan oleh Nguyen dkk menyatakan bahwa
penggunaan mesh dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. 45 Meskipun
demikian, Cochrane Review menyatakan bahwa penggunaan mesh dalam
bedah rekonstruksi panggul tidak didukung oleh bukti klinis tingkat
pertama (no level evidence to support).
• Pada tahun 2011, United States Food and Drugs Administration (FDA)
mengeluarkan peringatan mengenai komplikasi penggunaan vaginal mesh
pada bedah POP. FDA menyatakan: (1) komplikasi penggunaan mesh pada
pembedahan POP tidaklah jarang (not rare). (2) Pemakaian mesh pada
pembedahan POP belum jelas apakah lebih efektif dibandingkan dengan
pembedahan tradisional non-mesh. 46
• FDA tersebut menyatakan bahwa komplikasi yang paling sering terjadi
meliputi erosi mesh yang menjadi penyebab utama terjadinya keluhan
perdarahan, nyeri panggul, dispareunia atau apareunia. 46 Pada sebuah uji
klinis ditemukan tingkat erosi pada 3 bulan pemakaian mesh
polypropylene untuk pembedahan prolaps cukup tinggi, yaitu 15,6%. 47
• Beberapa telaah literatur yang disimpulkan oleh FDA adalah (1) Mesh
yang digunakan untuk pembedahan POP transvaginal dapat menimbulkan
komplikasi yang tidak muncul pada pembedahan nonmesh, (2)

26
penggunaan mesh transabdominal memiliko komplikasi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan transvaginal, (3) tidak ada bukti yang menyatakan
pembedahan transvaginal dengan menggunakan mesh untuk perbaikan
apeks dan posterior lebih baik dibandingkan dengan pembdahan
tradisional, (4) pembedahan transvaginal untuk perbaikan anterior
dengan penggunaan mesh ditemukan lebih baik secara anatomis
dibandingkan dengan pembedahan tradisional, namun belum tentu lebih
baik dalam hal simtomatik. 46
• Komplikasi ini antara lain dipengaruhi oleh: karakteristik jaring yang
dipakai (berat, ukuran pori, kekuatan regang dan elastisitas), teknik
pembedahan yang dipakai, pengalaman operator dan riwayat
histerektomi sebelumnya.48
• Berdasarkan sebuah telaah sistematik mengenai pemilihan graft untuk
pembedahan POP transvaginal disimpulkan belum ada data yang adekuat
untuk menentukan efektifitas penggunaan graft untuk kompartemen
posterior dan apeks, maupun penggunaan graft sintetik dan biologis
untuk kompartemen anterior. 49

PENCEGAHAN INKONTINENSIA URIN PASCA OPERASI POP


• Wanita yang mengalami prolaps derajat berat, terutama prolaps
anterior, biasanya tidak memiliki gejala inkontinensia tipe stres akibat
mekanisme sfingter uretra yang kompeten atau karena prolaps derajat
berat menyebabkan obstruksi (kinking) pada uretra.
• Sebanyak 8-60% wanita stress-continent yang memiliki hasil uji stres
positif (prolaps tereduksi) dapat mengalami inkontinesia tipe stress pasca
operasi prolaps, bila tidak dilakukan prosedur anti inkontinnsia.
• Pada sebuah uji klinis yang dilakukan pada 50 wanita dengan uji stres
positif dan median follow up selama 2 tahun didapatkan kelompok yang

27
dilakukan tension-free vaginal tape (TVT) pada operasi prolaps akan
memiliki inkontinensia tipe stress yang lebih rendah dibandingkan dengan
yang tidak dilakukan TVT (keluhan subjektif: 96% VS 64%;keluhan objektif:
92% VS 56%). Sling TVT miduretra memberikan pencegahan inkontinensia
tipe stres pasca operasi prolaps.
• Pada uji klinis lain (Colpopexy and Urinary Reduction Efforts/CARE Trial)
yang dilakukan pada 332 wanita yang menjalani kolpopexy sakral per
abominal, setelah priode follow up singkat selama 3 bulan, didapatkan
inkontinensia tipe stress lebih sedikit (23,8%) pada subjek yang dilakukan
prosedur Burch dibandingkan dengan yang tidak dilakukan (44,1%).
• Pada wanita dengan uji stres negatif, kelompok yang dilakukan prosedur
Burch memiliki 20,8% gejala inkontinensia tipe stres dan 32,8% pada
wanita yang tidak menjalani prosedur Burch. 1

I. RINGKASAN REKOMENDASI DAN KESIMPULAN

Rekomendasi yang didasarkan pada buki ilmiah yang baik dan konsisten
(Tingkat A):
1. Satu-satunya gejala yang spesifik untuk prolaps adalah adanya benjolan
atau penonjolan pada vagina. Sedangkan perbaikan keluhan panggul
lainnya setelah dilakukan penatalaksanaan prolaps belum dapat
dibuktikan.
2. Pesarium dapat dipasang pada kebanyakan wanita yang memiliki prolaps,
tanpa memperhatikan derajat ataupun lokasi dari prolaps
3. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan dalam skor gejala (PFDI dan
PFQI) antara penggunaan pesarium tipe ring dan Gellhorn.
4. Latihan dasar panggul tidak mengobati dan mencegah POP, namun
direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada wanita yang memiliki
prolaps dan gejala terkait (inkontinensia urin dan fekal), bersamaan
dengan symtom-directed therapy.

28
5. Berdasarkan sebuah telaah sistematis dan meta analisis terbaru
mengenai penatalaksanaan POP disebutkan bahwa pembedahan pada
wanita yang memiliki prolaps dapa meningkatkan kualitas hidup wanita.
6. Fasia kadaverik tidak dapat digunakan sebagai material tandur (graft)
untuk kolpopexy sacral per abdominal karena lebih tingginya risiko
rekurensi prolaps bila dibandingkan dengan jaring sintetik.
7. Pemakaian mesh pada pembedahan POP belum jelas apakah lebih efektif
dibandingkan dengan pembedahan tradisional non-mesh.
8. Wanita stres-kontinens yang memiliki hasil uji stress positif (prolaps
berkurang) memiliki risiko tinggi untuk mengalami inkontinensia tipe
stres pasca operasi prolaps bila dibandingkan dengan wanita yang
memiliki hasil uji stres negatif.
9. Untuk wanita stres-kontinens yang akan menjalani colpopexy sakral,
tanpa memandang hasil uji stres pre-operatif, prosedur Burch akan
menurunkan kecendrungan terjadnya inkontinensia tipe stress
pascaoperasi tanpa meningkatkan gejala urgensi atau obstruksi.
10. Pada wanita dengan uji stres positif yang akan menjalani operasi prolaps
vagina, sling TVT miduretra (dibandingkan dengan plikasi fasia suburetra)
memberikan pencegahan yang lebih baik terhadap inkontinensia tipe
stres pasca operasi

Rekomendasi yang didasarkan pada buki ilmiah yang terbatas dan


inkonsisten (Tingkat B):
1. Klinisi harus mendiskusikan pilihan untuk pemasangan pesarium pada
seluruh wanita yang memiliki prolaps sebagai penatalaksanaan
berdasarkan gejala. Sebagai tambahan, pesarium dapat digunakan
sebelum pembedahan pada wanita yang memiliki prolaps simtomatik.
2. Operasi alternatif untuk preservasi uterus pada wanita yang memiliki
prolaps antara lain adalah fiksasi ligamen sakrospinosus atau uterosakral
per vaginam, atau histeropexy sacrum per abdominal.

29
3. Histerospexy tidak boleh dilakukan dengan menggunakan dinding
abdomen ventral sebagai pendukung karena berisiko tinggi untuk
terjadinya prolaps rekurensi, terutama enterokel.
4. Penggantungan Ligamentum rotundum tidak efektif dalam
peatalaksanaan prolaps vagina atau uteri.
5. Colpopexy sakral abdominal memiliki angka kegagalan untuk puncak
vagina, dispareunia pasca-operatif, dan inkontinensia tipe stress yang
lebih rendah dibandingkan dengan fiksasi ligamen sakrospinosus vaginal,
namun memiliki komplikasi yang lebih banyak.
6. Kolporafi posterior transvaginal direkomendasikan untuk prolaps vagina
posterior dibandingkan dengan pendekatan transnasal.

Rekomendasi yang didasarkan pada konsensus dan pendapat ahli (Tingkat


C):
1. Klinisi perlu mendiskusikan pada pasien mengenai potensi risiko dan
manfaat yang akan didiapatkan pada prosesur anti inkontinensia
profilaktik pada operasi prolaps.
2. Pada wanita dengan prolaps asimtomatik atau simtomatik ringan dapat
dilakukan observasi pada interval reguler kecuali bila didapatkan gejala
yang baru muncul.
3. Pada pasien POP ditemukan hubungan yang bermakna antara persalinan,
dimensi hiatus levator, avulsi levator ani dan risiko terjadinya prolaps.
Namun belum ditemukan manfaat secara klinis penggunaan pencitraan
dasar panggul.
4. Pada wanita yang memiliki risiko tinggi komplikasi prosedur rekonstruksi
dan tidak membutuhkan hubungan seksual, prosedur kolpokleisis dapat
ditawarkan.
5. Sitoskopi intraoperatif perlu dilakukan untuk memeriksa kerusakan uretra
atau kandung kemih setelah semua prosedur prolaps dan inkontinensa
selama kandung kemih dan ureter beriksiko untuk mengalami gejala.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Bulletins--Gynecology ACoP. ACOG Practice Bulletin No.


85: Pelvic organ prolapse. Obstetrics & Gynecology.
Vol 1102007:717-729.
2. Lowder JL, Ghetti C, Nikolajski C, Oliphant SS, Zyczynski
HM. Body image perceptions in women with pelvic organ
prolapse: a qualitative study. YMOB. Jun 01
2011;204(5):441.e441-441.e445.

31
3. Hagen S, Thakar R. Conservative management of pelvic
organ prolapse. Obstetrics, Gynaecology &
Reproductive Medicine. Jun 01 2012;22(5):118-122.
4. Rycroft-Malone J. Formal consensus: the development of
a national clinical guideline. Quality in health care : QHC.
Dec 2001;10(4):238-244.
5. Gyhagen M, Bullarbo M, Nielsen T, Milsom I. Prevalence
and risk factors for pelvic organ prolapse 20 years after
childbirth: a national cohort study in singleton
primiparae after vaginal or caesarean delivery. BJOG :
an international journal of obstetrics and gynaecology.
Nov 02 2012;120(2):152-160.
6. Ahmed F, Sotelo T. Management of pelvic organ prolapse.
The Canadian journal of urology. Dec 2011;18(6):6050-
6053.
7. Kovoor E, Hooper P. Assessment and management of
pelvic organ prolapse. Obstetrics, Gynaecology &
Reproductive Medicine. Sep 2008;18(9):241-246.
8. Tsikouras P, Dafopoulos A, Vrachnis N, et al. Uterine
prolapse in pregnancy: risk factors, complications and
management. Journal of Maternal-Fetal and Neonatal
Medicine. Jul 09 2013:1-6.
9. Glazener C, Elders A, MacArthur C, et al. Childbirth and
prolapse: long-term associations with the symptoms and
objective measurement of pelvic organ prolapse. BJOG :
an international journal of obstetrics and gynaecology.
Nov 27 2012;120(2):161-168.
10. Dietz HP. The aetiology of prolapse. International
Urogynecology Journal. Aug 02 2008;19(10):1323-1329.
11. Slieker-ten Hove MCP, Bloembergen H, Vierhout ME,
Schoenmaker G. Distribution of pelvic organ prolapse
(POP) in the general population. International Congress
Series. May 2005;1279:383-386.
12. Hove MCPS-t, Pool-Goudzwaard AL, Eijkemans MJC,
Steegers-Theunissen RPM, Burger CW, Vierhout ME.
Symptomatic pelvic organ prolapse and possible risk
factors in a general population. YMOB. Mar 01
2008;200(2):184-185.
13. Altman D, Forsman M, Falconer C, Lichtenstein P.
Genetic Influence on Stress Urinary Incontinence and

32
Pelvic Organ Prolapse. European Urology. Oct
2008;54(4):918-923.
14. Lemack GE. Editorial Comment on: Genetic Influence
on Stress Urinary Incontinence and Pelvic Organ
Prolapse. European Urology. Oct 2008;54(4):923.
15. Odell K, Morse A. It’s Not All About Birth:
Biomechanics Applied to Pelvic Organ Prolapse
Prevention. Journal of Midwifery & Women's
Health. Feb 2008;53(1):28-36.
16. Goepel C, Kantelhardt EJ, Karbe I, Stoerer S, Dittmer
J. Changes of glycoprotein and collagen
immunolocalization in the uterine artery wall of
postmenopausal women with and without pelvic organ
prolapse. Acta histochemica. Jun 01 2011;113(3):375-
381.
17.Dietz HP, Wilson PD. Childbirth and pelvic floor trauma.
Best Practice & Research Clinical Obstetrics &
Gynaecology. Dec 2005;19(6):913-924.
18. Lukanovič A, Dražič K. Risk factors for vaginal
prolapse after hysterectomy. International Journal of
Gynecology and Obstetrics. Jul 01 2010;110(1):27-30.
19. Reid F. Assessment of pelvic organ prolapse.
Obstetrics, Gynaecology & Reproductive Medicine.
Jul 01 2011;21(7):190-197.
20. Barber MD, Chen Z, Lukacz E, et al. Further validation
of the short form versions of the pelvic floor Distress
Inventory (PFDI) and pelvic floor impact questionnaire
(PFIQ). Neurourology and Urodynamics. Mar 22
2011;30(4):541-546.
21. Walters MD, Ridgeway BM. Surgical treatment of
vaginal apex prolapse. Obstetrics & Gynecology.
Mar 2013;121(2 Pt 1):354-374.
22. Barber MD, Lambers A, Visco AG, Bump RC. Effect of
patient position on clinical evaluation of pelvic organ
prolapse. Obstetrics & Gynecology. Jul
2000;96(1):18-22.
23. Ghoniem G, Stanford E, Kenton K, et al. Evaluation and
outcome measures in the treatment of female urinary
stress incontinence: International Urogynecological
Association (IUGA) guidelines for research and clinical

33
practice. International Urogynecology Journal. Nov 17
2007;19(1):5-33.
24. Santoro GA, Wieczorek AP, Dietz HP, et al. State of the
art: an integrated approach to pelvic floor
ultrasonography. Ultrasound in Obstetrics &
Gynecology. Apr 23 2011;37(4):381-396.
25. Dietz HP. Pelvic floor ultrasound in prolapse: what’s in
it for the surgeon? International Urogynecology Journal.
Jul 09 2011;22(10):1221-1232.
26. Abdool Z, Shek KL, Dietz HP. The effect of levator
avulsion on hiatal dimension and function. YMOB. Jul 01
2009;201(1):89.e81-89.e85.
27. Model AN, Shek KL, Dietz HP. Levator defects are
associated with prolapse after pelvic floor surgery.
European Journal of Obstetrics and Gynecology. Dec 01
2010;153(2):220-223.
28. Lone F, Thakar R, Sultan AH, Stankiewicz A.
Prospective evaluation of change in levator hiatus
dimensions using 3D endovaginal ultrasound before and
1 year after treatment for female pelvic organ prolapse.
International Urogynecology Journal. Sep 28 2012.
29. Tubaro A, Koelbl H, Laterza R, Khullar V, de Nunzio C.
Ultrasound imaging of the pelvic floor: Where are we
going? Neurourology and Urodynamics. Jul 09
2011;30(5):729-734.
30. Culligan PJ. Nonsurgical Management of Pelvic Organ
Prolapse. Obstetrics & Gynecology. May
2012;119(4):852-860.
31. Bugge C AEGDRF. Pessaries \(mechanical devices\) for
pelvic organ prolapse in women. Feb 01 2013:1-28.
32. Vierhout ME. The use of pessaries in vaginal prolapse.
European Journal of Obstetrics and Gynecology. Nov 10
2004;117(1):4-9.
33. Doaee M, Moradi-Lakeh M, Nourmohammadi A, Razavi-
Ratki SK, Nojomi M. Management of pelvic organ
prolapse and quality of life: a systematic review and
meta-analysis. International Urogynecology Journal. Jul
20 2013.

34
34. Ismail SI BCHS. Oestrogens for treatment or
prevention of pelvic organ prolapse in postmenopausal
women. Feb 01 2013:1-35.
35. Benson JT, Lucente V, McClellan E. Vaginal versus
abdominal reconstructive surgery for the treatment of
pelvic support defects: a prospective randomized study
with long-term outcome evaluation. YMOB. Dec
1996;175(6):1418-1421; discussion 1421-1412.
36. Maher CF, Qatawneh AM, Dwyer PL, Carey MP, Cornish
A, Schluter PJ. Abdominal sacral colpopexy or vaginal
sacrospinous colpopexy for vaginal vault prolapse: A
prospective randomized study. American Journal of
Obstetrics and Gynecology. Feb 2004;190(1):20-26.
37. Natale F, La Penna C, Padoa A, Agostini M, Panei M,
Cervigni M. High levator myorraphy versus uterosacral
ligament suspension for vaginal vault fixation: a
prospective, randomized study. International
Urogynecology Journal. Jun 2010;21(5):515-522.
38. Stepp KJ, Barber MD, Yoo E-H, Whiteside JL, Paraiso
MFR, Walters MD. Incidence of perioperative
complications of urogynecologic surgery in elderly
women. YMOB. Jun 2005;192(5):1630-1636.
39. Sung VW, Weitzen S, Sokol ER, Rardin CR, Myers DL.
Effect of patient age on increasing morbidity and
mortality following urogynecologic surgery. American
Journal of Obstetrics and Gynecology. Jun
2006;194(5):1411-1417.
40. Yeniel AÖ, Ergenoglu AM, Askar N, Itil İM, Meseri R.
Quality of life scores improve in women undergoing
colpocleisis: a pilot study. European Journal of
Obstetrics and Gynecology. Aug 01 2012;163(2):230-233.
41. Wheeler TL, Richter HE, Burgio KL, et al. Regret,
satisfaction, and symptom improvement: analysis of the
impact of partial colpocleisis for the management of
severe pelvic organ prolapse. American Journal of
Obstetrics and Gynecology. Dec 2005;193(6):2067-2070.
42. Crisp CC, Book NM, Smith AL, et al. Body image,
regret, and satisfaction following colpocleisis. YMOB. Jul
14 2013:1-7.

35
43. Weber A. Anterior colporrhaphy: A randomized trial of
three surgical techniques. American Journal of
Obstetrics and Gynecology. Dec 2001;185(6):1299-1306.
44. Nieminen K, Hiltunen K-M, Laitinen J, Oksala J,
Heinonen PK. Transanal or Vaginal Approach to
Rectocele Repair: A Prospective, Randomized Pilot
Study. Diseases of the colon and rectum. Oct
2004;47(10):1636-1642.
45. Swift S. To mesh or not to mesh? That is the question.
International Urogynecology Journal. May 02
2011;22(5):505-506.
46. Haylen BT, Freeman RM, Swift SE, et al. An
international urogynecological association
(IUGA)/international continence society (ICS) joint
terminology and classification of the complications
related directly to the insertion of prostheses (meshes,
implants, tapes) and grafts in female pelvic flo.
Neurourology and Urodynamics. Dec 22 2010;30(1):2-12.
47. Iglesia CB, Sokol AI, Sokol ER, et al. Vaginal mesh for
prolapse: a randomized controlled trial. Obstetrics
& Gynecology. Aug 2010;116(2 Pt 1):293-303.
48. de Tayrac R, Boileau L, Fara J-F, Monneins F, Raini C,
Costa P. Bilateral anterior sacrospinous ligament
suspension associated with a paravaginal repair with
mesh: short-term clinical results of a pilot study.
International Urogynecology Journal. Apr 2010;21(3):293-
298.
49. Sung VW, Rogers RG, Schaffer JI, et al. Graft use in
transvaginal pelvic organ prolapse repair: a systematic
review. Obstetrics & Gynecology. Nov
2008;112(5):1131-1142.
50. Ramm O, Gleason JL, Segal S, Antosh DD, Kenton KS.
Utility of preoperative endometrial assessment in
asymptomatic women undergoing hysterectomy for
pelvic floor dysfunction. International Urogynecology
Journal. Apr 08 2012;23(7):913-917.

36

You might also like