Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Handover adalah komunikasi yang terjadi pada saat pergantian shift, yang
bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang keadaan pasien pada asuhan
keperawatan sebelumnya. Apabila handover tidak dilaksanakan dengan baik dapat
mengakibatkan terjadinya hal yang tidak diinginkan (KTD) dan kejadian nyaris
cidera (KNC). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan supervisi
kepala ruangan dengan pelaksanaan handover. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
menggunakan metode kolerasi dengan desain pendekatan cross sectional. Jumlah
sampel penelitian ini adalah 40 orang yang diambil menggunakan teknik total
sampling. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Uji univariat seperti jenis
kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan bangsal menggunakan distribusi
frekuensi dan bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukan
85% responden berjenis kelamin perempuan, berpendidikan terbanyak adalah D III
sebanyak 57,5%, dan bekerja mayoritas > 5 tahun sebanyak 92,5%, dan belum
pernah mengikuti pelatihan bangsal 92,5%, 57,5% responden menyatakan supervisi
kepala ruangan baik, 60,0% responden melaksanakan handover tidak sesuai Standar
operasional Prosedur. Terdapat hubungan yang bermakna antara supervisi kepala ruangan
dengan pelaksanaan handover ( p = 0,013 < 0,05). Diharapkan kepala ruangan lebih
meningkatkan supervisi dalam handover terutama dalam pengarahan dan kepada
perawat pelaksana agar dapat melakukan handover sesuai dengan SOP rumah sakit.
1
2
ABSTRAK
Handover was a communication that accurred at the trun of shift, which had the
purpose of communicating infformation about the state of the patient on previouse
nursing care. If handover was not carried out properly it could lead to undesirable
things (KTD). This research aimed to know the supervisory relationship between
head of the room and handover practice. The study was quantitative research with
correlation method and cross sectional design. Samples of this study were 40
people that taken using total sampling technique. The data were analyzed in
univariat and bivariate, univariate used frequency distribution and bivariate used
chi square test. The results showed that 85% were female, 57,5% were D III, 92,5%
on 3rd level were (>5 years), 92,5% were absence of ward training, 57,5% of
respondents stated that supervisory relationship was good, 60,0% of respondents
handover implementation was not appropriate SOP and there was a significant
relationship between the head of the room with handover implementation (p
=0,013<0,05). It was expected that the hospital management paid more attention to
the nurse’s work to match the existing SOP.
Bibliography : 30 (2005-2017)
Kata kunci : Handover, Supervisory
BAB 1
3
PENDAHULUAN
pasien itu sendiri). KTD sebenarnya ada yang dapat dicegah dan ada pula yang
tidak dapat dicegah. KTD yang dapat dicegah yaitu preventable adverse event
yang berasal dari kesalahan dalam proses asuhan pasien, sedangkan KTD yang
tidak dapat dicegah adalah suatu kesalahan akibat dari komplikasi yang tidak dapat
dicegah (unpreventabe adverse event) walaupun dengan pengetahuan yang mutahir
(Triwibowo, 2013).
Menurut laporan Word Health Organization (WHO), terdapat 11% dari 25.000
sampai 30.000 kasus pada tahun 1995- 2006 terdapat kesalahan akibat komunikasi
pada saat serah terima pasien (handover). Sesuai dengan laporan yang diterbitkan
oleh Institut of medicine (IOM) Amerika Serikat (2000) ditemukan angka kejadian
tidak diharapkan terjadi di rumah sakit Utah dan Colorado sebesar 2,9% dan 6,6
diantaranya meninggal. Sedangkan untuk angka kematian akibat KTD berjumlah
33,6 juta per tahun yang berkisar antara 44.000 jiwa sampai dengan 98.000 jiwa
untuk pasien yang berada diruangan rawat inap. Sejalan dengan publikasi dari
WHO pada tahun 2004 menyebutkan berbagai negara seperti Amerika, Inggris,
Denmark dan Australia terjadi dengan rentang 3,2-16,6% angka kejadian tidak
diharapkan atau KTD (Ismainar, 2015).
Selain dengan istilah KTD adalagi istilah lain yaitu KNC, yang merupakan suatu
kejadian akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai
pasien, tetapi cedera yang terjadi tidak serius karena keberuntungan, seperti pasien
mendapatkan obat kontra indikasi tetapi tidak menimbulkan reaksi obat yang fatal.
KNC lebih dikenal sebagai awal sebelum terjadi KTD (Triwibowo, 2013). Menurut
Dewi (2012) berdasarkan hasil dari kajian data di rumah sakit penyebab utama
terjadinya KTD dan KNC adalah kesalahan dalam menyampaikan informasi atau
komunikasi. Kejadian nyaris cedera (KNC) di Indonesia yaitu sebanyak 53,33%,
untuk kejadian Tidak Diharapkan (KTD) 46,67% . Pada tahun 2010, Provinsi Jawa
Barat menempati angka yang paling tinggi yaitu berkisar 33,33% diantara Provinsi
lainnya seperti Banten 20,0%, Jawa Tengah 20,0%, DKI Jakarta 16,67%, Bali
6,67%, dan Jawa Timur 3,33% ( KKP-RS, 2010
5
Menurut Siemsen tahun (2012) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaharui keselamatan pasien dalam handover yaitu komunikasi, informasi,
organisasi, infrastruktur, kepribadian, kesadaran tim, dan budaya yang dapat
mencegahan kejadian yang tidak diharapkan (KTD) yang dilakukan oleh perawat
pelaksana. Menurut Triwibowo, 2013 mengatakan bahwa handover atau serah
terima pasien di pengaharui oleh peran kepemimpinan yaitu pemimpin harus
memiliki pemahaman yang konprehensip dari proses serah terima pasien, tindakan
akan segera dilakukan jika terjadi kesalahan yang memburuk atau dikenal dengan
istilah supervisi.
Supervisi adalah tindakan pengamatan yang dilakukan oleh atasan secara
langsung yang pelaksanaannya berkala, terhadap suatu pekerjaan yang dilakukan
oleh bawahan. Apabila ditemukan masalah, maka akan dicari penyelesaian secara
tepat yang akan dibantu oleh atasan. Penyelesaian biasanya berbentuk kegiatan
yang merencanakan, mengarahkan, membimbing, mengajar, mengobservasi,
mendorong, memperbaiki, mempercayai, dan mengevaluasi secara
berkesinambungan dan menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan
yang dimiliki anggota (Triwibowo, 2013). Supervisi bertujuan untuk memberikan
bantuan kepada bawahan secara langsung, guna dijadikan bekal yang cukup oleh
bawahan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan baik (Suarli & Yanyan,
2009). Peningkatan kepuasan kerja perawat pelaksana yang mendapatkan
pengarahan dari kepala ruangan berpeluang sangat tinggi terhadap kepuasan hasil
kerja sebesar 67,40% (Sigit, Keliat & Hariyati, 2011).
Supervisi dalam dunia keperawatan adalah suatu proses kegiatan dimana
seorang atasan seperti kepala ruangan memberikan dukungan berupa sumber-
sumber yang dibutuhkan perawat pelaksana dalam menyelesaikan asuhan
keperawatan guna untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan di suatu rumah
sakit (Triwibowo, 2013). Menurut penelitian Purnamasari, Erwin dan Jumaini
(2014) tentang supervisi kepala ruangan kepada kinerja perawat pelaksana di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau mengatakan bahwa pelaksanaan supervisi
kepala ruangan dinilai belum terlaksana secara optimal. Supervisi dilakukan oleh
atasan dan anggota supervisi, diantara keduanya memiliki level administratif yang
6
berbeda, tapi dalam kegiatan supervisi keduanya sama-sama memiliki peran yang
sangat penting. Pemimpin akan mengawasi sekaligus menilai seluruh kegiatan yang
telah direncanakan, sedangkan anggota atau bawahan mampu menjalankan
tanggung jawab dengan sebaik-baiknya (Bakri, 2017).
Menurut Nursalam (2013), supervisi memiliki dua manfaat apabila ditinjau dari
manajemenya yaitu, dapat meningkatkan efektivitas kerja yang berhubungan
dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta makin
terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dengan
bawahan. Penelitian yang dilakukan oleh Yennike (2015), Pengawasan atau
supervisi dari kepemimpinan dan perkembangan ilmu pengatahuan tentang
perawatan medis, terutama bagi perawat pelaksana sangatlah dibutuhkan untuk
menunjang kinerja perawat agar meningkatkan keselamatan pasien. Menurut
penelitian Anwar, Rochadi, Daulay, Yuswardi (2016) menunjukan ada hubungan
bermakna antara fungsi manajeman kepala ruangan dengan penerapan patient
safety cultur.
Supervisi sangat penting dalam meningkatkan kemampuan perawat pelaksana
dalam memberikan pelayanan keperawatan, supervisi juga sangat penting untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap para perawat pelaksana agar
program yang telah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan yang
telah direncanakan (Nursalam, 2013). Proses supervisi dilakukan setiap pertukaran
dinas (shift) di setiap ruangan. Proses pelaksanaan supervisi dilakukan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Proses supervisi yang dilakukan secara langsung
mengawasi kinerja perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan
salah satunya supervisi dalam pelaksanaan handover (Siswana, 2013).
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di tiga ruangan rawat inap RSUD
Petala Bumi Propinsi Riau, didapatkan hasil melalui observasi pelaksanaan
handover di rungan bangsal bedah dengan total perawat yang dinas malam dan pagi
yaitu 6 orang masih ditemukan tidak adanya pembacaan laporan shif sebelumnya,
dan 1 orang perawat pelaksana dinas malam tidak mengikuti overan dikarenakan
menemani visite dokter. Sedangkan di ruangan penyakit dalam dan anak yang
terdiri dari 5 perawat, pelaksanaan handover dimulai pembukaan oleh kepala
7
ruangan, perawat dinas pagi membacakan hasil laporan dinas pagi tentang
informasi pasien seperti identitas pasien, diagnosa pasien, program obat yang
didapatkan pasien, serta intervensi yang telah dilakukan atau yang belum dilakukan
baik mandiri ataupun kolaborasi. Tetapi masih ada perawat telat dan tidak
mengikuti pelaksanaan handover sama sekali. Sedangkan di ruangan VIP juga
seperti pada ruangan penyakit dalam dan anak, tetapi pada ruangan ini tidak lagi
ditemukan perawat yang telat atau tidak hadir saat overan. Hasil dari wawancara di
RSUD Petala Bumi kepada 7 orang perawat pelaksana didapatkan data bahwa
kepala ruangan sudah melakukan supervisi terhadap pelaksanaan handover, tetapi
pada saat dilakukan wawancara pada 3 kepala ruangan mengatakan tidak ada
jadwal khusus untuk melakukan supervisi terkait handover, bahkan kepala ruangan
tidak hadir, sebagaimana yang seharusnya seorang kepala ruangan ada saat
pelaksanaan handover sebagai pembuka dan pengarah.
Supervisi terkait pelaksanaan handover oleh kepala ruangan hanya sekedar
mengarahkan sekilas saja saat jam overan bahkan ada kepala ruangan yang tidak
hadir saat pelaksanaan overan, overan belum berjalan sesuai standar. Jika hal ini
terus berlangsung maka ini dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan komunikasi
dan informasi tidak jelas, sehingga menyebabkan kejadian yang tidak diharapakan.
Jika pelaksanaan overan tidak segera dilakukan pembaharuan dan dijalankan sesuai
dengan SOP yang baik maka akan mengancam keselamatan pasien sehingga akan
mempengarui kualitas pelayanan keperawatan di RSUD Petala Bumi Provinsi Riau.
Berdasarkan dari data diatas, maka peneliti tertarik ingin meneliti hubungan
supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan handover diruangan rawat inap anak-
anak penyakit dalam, bedah, VIP di RSUD Petala Bumi Provinsi Riau.
1.2 Rumusan Masalah
Handover bertujuan untuk menyampaikan informasi dari setiap pergantian shift
guna untuk memastikan keamanan dalam perawatan pasien sehingga pasien
terhindar dari hal-hal yang tidak di harapkan. KTD suatu kejadian yang dapat
dicegah, apabila dilakukan tindakan pencegahan yang baik dan benar oleh perawat
pelaksana, dengan keterlibatan kepala ruangan salah satunya melakukan supervisi.
Supervisi kepala ruangan terhadap kinerja perawat pelaksana dalam prosedur
8
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
kliem malpraktik atau tuntutan dari keluarga pasien jika terjadi hal-hal yang
tidak diharapkan.
pasien. Bukan sampai disitu saja perawat yang bersangkutan juga harus
memastikan bahwa dirinya harus hadir dan mendukung kegiatan serah terima
pasien.
c. Peserta yang mengikuti serah terima pasien
Selain dari atasan dan perawat pelaksana yang hurus ada sebagai anggota
handover, jika memungkinkan pasien dan keluarga harus dilibatkan dan
dimasukan sebagai peserta dalam kegiatan handover.
d. Waktu serah terima pasien.
Mengatur waktu serah terima harus ditentukan, baik itu durasi dan frekuensi
untuk serah terima pasien. Serah terima tidak hanya dilakukan pada saat
pergantian jam kerja saja, tapi juga dilakukan pada saat setiap kali ada
perubahan tanggung jawab misalnya: ketika pasien diantar dari bangsal ke
ruangan lain untuk pemeriksaan, maka sangat diperlukan pengaturan waktu yang
telah direncakan sesuai dengan yang dikerjakan untuk memastikan proses
keperawatan yang berkelanjutan tetap aman dan efektif.
e. Tempat serah terima pasien
Sebaiknya serah terima pasien dilakukan dengan tatap muka dan tempatnya
di sisi tempat tidur pasien dan nurse station. Untuk kelancaran atau keefektifan
perlu dipastikan tempat yang benar-benar kondusif bebas dari gangguan,
misalnya kebisingan (Triwibowo, 2013).
informasinya, ini akan membuat perawat menjadi jenuh. Selain itu jika
seandainya perawat selanjutnya tidak tepat waktu datang atau terlambat,
otomatis perawat sebelumnya akan menunggu lebih lama dan semua tanggung
jawab pasien masih ditangannya, seperti perawat tersebut akan segera beraksi
jika keadaan darurat terjadi sebelum handover dilakukan Padahal jam kerjanya
sudah habis.
b. Tape handover (rekaman)
Metode ini dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi yaitu dengan cara
merekam. Dengan metode ini akan melatih kualitas dan akan mengasah
kemampuan perawat untuk memberikan informasi secara ringkas dan relevan.
Metode rekaman ini jika perawat selanjutnya lupa akan informasi yang ada di
rekaman tersebut bisa ia ulangi lagi mendengarkannya. Namun kekurangannya
perawat tidak bisa bertemu secara face to face, dan tidak memenuhi kohesifitas
sosial (daya tarik) atau dukungan emosional sesama rekan kerja.
c. Bedside handover
Bedside handover memiliki tahapan mulai dari persiapan informasi pasien
setelah itu baru dilakukan serah terima berupa pelaporan, serta pengenalan staf
masuk kepada pasien dan pengamatan, terakhir ditulis dibuku catatan pasien
(Triwibowo, 2013).
e. Prolog
Dalam prolog disebutkan pada hari itu seluruh perawat yang dinas termasuk
karu berkumpul di nurse station untuk melakukan handover ini biasanya di
sebutkan oleh kepala ruangan.
f. Sesi I di Nurse station
Kepala ruangan akan memimpin dan membuka acara yang didahului dengan
membaca do’a bersama dan kemudian mempersilahkan perawat pelaksana yang
dinas pagi atau sebelumnya untuk melaporkan keadaan dan perkembangan pasien
selama bertugas ke pada perawat dinas sore yang akan berdinas selanjutnya.
Perawat sore akan mengklarifikasi keluhan, intervensi keperawatan yang sudah
atau belum dilaksanakan (secara umum), intervensi kolaboratif maupun mandiri
dan rencana umum pasien (persiapan operasi, pemeriksaan penunjang lainnya)
Setelah itu diteruskan ke ruang rawat pasien.
g. Sesi 2 di ruang rawat perawatan
Seluruh perawat dan kepala ruangan bersama-sama melihat ke tempat pasien.
Perawat pelaksana dinas selanjutnya akan mengklarifikasi dan memvalidasi data
secara lansung kepada pasien.
2.1.1.9 Prosedur Pelaksanaan Handover/overan
Ket :
PA : Perawat Pelaksana
PP : Perawat Ketua tim
KARU : Kepala Ruangan
17
e. Kepemimpinan
Peran pemimpin menjadi sangat penting untuk mengelola serah terima atau
handover. Pemimpin harus memiliki pemahaman yang komprehensif serta
mengatahui perannya sebagai pemimpin yaitu apabila ditemukan masalah atau
hal yang memburuk maka harus segera diberikan bantuan, hal ini yang dikenal
dengan istilah supervisi kepala ruangan. Menurut Nursalam (2013) mengatakan
bahwa dalam setiap handover kepala ruangan berkewajiban dalam membuka
terlebih dahulu overan yang dilakukan oleh semua anggota handover,selain itu
kepala ruangan juga memvalidasi kelengkapan sata pasien yang dioverkan.
Setelah kelengkapan kepala ruangan juga berkewajiban dalam menutup
handover di setiap pergantian dinas kecuali pada malam hari.
f. Tanggung jawab anggota
Saat stuasi serah terima pasien, mungkin anggota yang tidak jelas tanggung
jawabnya kepada pasien. Jika tanggung jawab anggota tidak ditanamkan atau
diharuskan overan hanya dianggap sebagai suatu rutinitas biasa saja.
2.1.2 Supervisi
2.1.2.1 Defenisi Supervisi
Supervisi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari kata super yang artinya di
atas dan videra yang memiliki arti melihat. Bila dilihat dari kata aslinya
supervisi berarti ”melihat dari atas”. Pengertian supervisi secara umum adalah
suatu tindakan yang melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh
atasan terhadap bawahan. Apabila ditemukan masalah, maka bantuan akan
diberikan bersifat langsung oleh atasan, untuk mengatasi masalah yang
ditemukan (Nursalam, 2013).
Supervisi keperawatan adalah suatu proses pemberian sumber-sumber baik
itu peraturan ataupun pembaharuan yang dibutuhkan oleh perawat untuk
menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Supervisi
akan memberikan informasi kepada seorang menejer keperawatan tentang
berbagai kendala yang dihadapi oleh perawat pelaksana dalam memberikan
asuhan keperawatan diruangan melalui analisis secara komprehensif, yang di
19
lakukan oleh seluruh anggota perawat secara efektif dan efisien. Supervisi bisa
membuat seorang menejer keperawatan akan mampu menghargai potensi setiap
anggotanya termasuk pasien (Kuntoro, 2010).
memang memberikan bantuan kepada bawahan guna mencapai hasil yang bagus,
bukan berarti atasan yang mengambil ahli tugas dari bawahan.
2.1.2.6 Peran Supervisi Kepala ruangan (KARU)
Peran supervisi yang harus dilakukan sebagai seorang kepala ruangan menurut
Sitorus (2011) dan Kuntoro (2010) antara lain :
a. Peran Supervisi Kepala Ruangan Sebagai Perencana
Kepala ruangan dituntut mampu membuat perencanaan sebelum
melaksanakan kegiatan supervisi. Kepala ruangan harus mampu merencanakan
dan mengembangkan prosedur perawatan pasien serta membuat perencanaan
untuk menurunkan lama hari rawat pasien (Sitorus, 2011).
b. Peran Supervisi Kepala Ruangan Sebagai pengarah
Kepala ruangan dalam melakukan supervisi sangat perlu memberikan arahan
yang baik, karena arahan yang diberikan KARU akan dijadikan pedoman oleh
perawat dalam memberikan layanan keperawatan pada pasien. Pada saat perawat
mengalami kesulitan, kepala ruangan berkewajiban memberikan arahan dan
tetap melibatkan perawat dalam penanganannya (Kuntoro, 2010).
c. Peran Supervisi Kepala Ruangan Sebagai Pelatih
Kepala ruangan saat melakukan supervisi harus dapat berperan sebagai
pelatih dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien. Kepala ruangan
harus mampu memperagakan kemampuan untuk memberikan latihan secara
benar (Kuntoro, 2010)
d. Peran Supervisi Kepala Ruangan Sebagai Pelatih.
Kepala ruangan saat melakukan supervisi harus dapat berperan sebagai
pelatih dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Pimpinan yang
menguasai kemampuan menajeral tidak seharusnya melupakan kemampuan
praktis yang dimilikinya (Kuntoro, 2010).
e. Peran Supervisi Kepala Ruangan Sebagai Penilai
Mengevaluasi hasil pengawasan biasanya dijadikan pedoman yang dapat
digunakan untuk mengkaji hasil kerja dalam mendapatkan informasi tentang
tujuan kerja, kegiatan, hasil, dan dampak serta harus secara sistematik dan
periodik (sitorus, 2011).
23
Skema 2.1
Kerangka teori
Handover
- 1. Komunikasi
- 2. Informasi
- 3. Gaya organisasi
- 4. Budaya
Pelaksanaan handover
- 5. Kesadaran tim
- 6. Tanggung jawab
tim
Ke 7. kepemimpinan
Skema 2.2
Kerangka konsep
2.5 Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan keaadaan dimana populai yang akan diuji
kebenaranya menggunakan data atau informasi yang dikumpulkan melalui sampel.
Hipotesis juga dikenal sebagai pernyataan yang masih lemah tingkat kebenerannya
sehingga dibutuhkan kebenaranya dengan dibuktikan dengan penelitian tersebut
(Mitra, 2015).
2.5.1 Hipotesis alternatif ( Ha)
Ada hubungan supervisi Kepala Ruangan dengan pelaksanaan handover.
27
BAB 3
METODE PENELITIAN
Tabel 3.1
Defenisi Operasional
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah data pendukung dari literatur
lain seperti buku-buku, jurnal, skripsi yang telah teruji serta berkaitan dengan
penelitian.
3.7.2 Cara Pengumpulan Data
3.7.2.1 Izin Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dengan memasukan surat izin dari Program
Studi Ilmu Keperawatan STIkes Hang Tuah Pekanbaru dan melaporkan kepada
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu tentang rekomendasi
untuk izin penelitian awal. Setelah itu peneliti langsung meminta izin kepada
Kasubag umum dan kepegawaian, setelah itu diteruskan kebagian Kepala Istalasi
rawat inap untuk izin penelitian ditiga ruangan rawat inap RSUD Petala Bumi
Provinsi Riau. Setelah izin didapatkan barulah peneliti melakukan penelitian.
3.7.2.2 Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah berupa
kuesioner dan lembar observasi. Pada kuesioner ini terdapat dari dua kuesioner,
dimana kuesioner yang pertama untuk mengetahui karakteristik responden yang
terdiri dari tanggal pengisian, nama atau inisial, tingkat pendidikan, pelatihan
bangsal. Bagian kedua berisikan supervisi kepala ruangan dan lembar observasi
untuk melihat pelaksanaan handover. Bagian kedua adalah kuesioner ini berisikan
tentang pernyataan untuk mengatahui supervisi kepala ruangan (perencana,
pengarah, pelatih, pengamat, dan penilai) melalui perawat pelaksana, sedangkan
untuk lembaran observasi pada penelitian ini untuk melihat pelaksanaan handover.
a. Supervisi Kepala Ruangan
Untuk mengatahui supervisi kepala ruangan peneliti menggunakan lembar
kuesioner dengan skala Liker dengan total 24 pertanyaan yang terdiri 18
pertanyaan positif yang terdapat di soal no 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8,9, 10, 11, 12, 13,
15, 16, 17, 23, 24, dan 7 pertanyaan negatif yang terdapat di no 4, 14, 18, 19,
20, 21, 22. Kuesioner ini dibuat oleh peneliti sendiri sesuai dengan teori-teori
yang ada dan sesuai dengan komponen konsep supervisi kepala ruangan yang
mengacu pada teori Kuntoro (2010) dan Sitorus (2011) yaitu kepala ruangan
sebagai pengarah, pelatih, pengamat, penilai. Masing-masing terdiri 4 point
31
(tidak pernah, cukup sering, sering, selalu). kemudian diubah nilainya dalam
angka jika pertanyaan positif nilainya yaitu, untuk tidak pernah (TP) nilainya 1,
terkadang (JR) nilainya 2, cukup sering (SR) nilainya 3, sering (SL) nilainya 4.
Sedangkan untuk pertanyan negatif kebalikanya (Suryani & Hendryadi, 2016).
Sedangkan untuk kuesioner yang telah selesai disusun, peneliti terlebih dahulu
melakukan Conten validity langsung kepada pakar manajemen keperawatan
RSUD Arfin Achmad Provinsi Riau yaitu Ns Asmiyati, S.Kep.,MM. Peneliti
melakukan Conten validity sebanyak 2 kali. Pada pertemuan pertama kuesioner
peneliti ada perubahan kata dan pengurangan jumlah pertanyaan yang awalnya
25 menjadi 24 pertanyaan. Pertanyaan yang dikurangi yaitu pertanyan no 1
(supervisi sebagai perencana) dikerenakan untuk supervisi sebagai perencaan
itu tidak bisa dinilai oleh perawat pelaksana. Perencanaan hanya diketahui oleh
pihak kepala ruangan dan manajemen saja, sehingga pertanyaan no 1
dihapuskan. Pada pertemuan kedua dengan total 24 pertanyaan di setujui untuk
penelitian tetapi untuk pola lembar kuesionernya juga diganti yaitu di tuliskan
dan dipisahkan antara supervisi kepala ruangan sebagai perencana, pengarah,
pelatih, pengamat, dan penilai
b. Pelaksanaan Handover
Untuk mengetahui pelaksanaan handover oleh perawat pelaksana peneliti
menggunakan lembar observasi. Lembar observasi ini didapatkan dari SOP
RSUD Petala Bumi Provinsi Riau untuk mengatahui pelaksanaan handover oleh
perawat ruangan, dimana ketika dikatakan baik apabila sesuai dengan SOP dan
dikatakan tidak baik apabila tidak sesuai dengan SOP yang terdiri enam poin
indikator yang telah ditetapkan rumah sakit lima tahun yang lalu. Untuk
menghindari terjadinya keakutan data dalam penelitian ini, maka observasi
terhadap subjek penelitian dilakukan observasi sebanyak tiga kali guna
mendapatkan hasil yang lebih optimal dan yang digunakan sebagai data olahan
yaitu hasil observasi yang ketiga. Observasi dilakukan hanya di dua shift saja
(pagi, siang) diruangan anak penyakit dalam, bedah, dan VIP).
3.8 Pengolahan Data
Dalam proses pengolahan data ini ada beberapa tahapan-tahapan sebagai berikut :
32
3.8.1 Editing
Editin adalah meneliti data yang terkumpul untuk mengataui atau melakukan
klarifikasi, keterbacaan, dan kelengkapan data untuk meningkatkan data yang
hendak diolah dan dianalisis.
3.8.2 Coding
Koding adalah memberikan penomoran pada data mentah secara sistematis
kedalam mesin pengolahan data agar dapat dikelompokan kedalam sejumlah kelas
atau penomoran 1,2,3, dan 4. Untuk mengatahui karakteristik responden bedasarkan
jenis kelamin data dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu laki-laki dan
perempuan 1 untuk kode laki-laki dan 2 untuk perempuan. Untuk mengatahui
karakteristik responden bedasarkan lama bekerja data dikempokan menjadi 3
kelompok yaitu : tingkat 1 (1-3 tahun) diberikan kode 1, tingkat 2 ( >3-5 tahun)
diberikan kode 2, dan tingkat 3(>5 tahun)diberikan kode 3.
Untuk mengatahui karekteristik responden bedasarkan tingkat pendidikan data
dikelompokan menjadi 4 kelompok yaitu SPK diberi kode 1, DIII diberi kode 2, S1
diberi kode 3 dan S2 diberi kode 4. Sedangkan untuk karakteristik responden
pelatihan bangsal dibagi menjadi 2 kelompok yaitu untuk yang ada diberi kode 2,
dan untuk yang tidak ada diberi kode 1. Pengkodean untuk karakteristik responden
lama bekerja dikelompokan menjadi 5 kelompok data bedasarkan klasifikasi
menurut Gillies (1994) yaitu tingkat 1 (0-3 bulan) diberikan kode 1, tingkat 2 (>3-
12 bulan) diberikan kode 2, tingkat 3 (>1-3 tahun) diberi kode 3, tingkat 4 (>3-5
tahun) diberikan kode 4, tingkat 5(>5 tahun) diberi kode 5.
Untuk pengimputan data supervisi kepala ruangan, kode diberikan adalah 1 tidak
pernah, 2 jarang, 3 sering, dan 4 selalu. Sedangkan untuk skor supervisi yang baik 1
dan skor supervisi yang tidak baik 2. Sedangkan untuk mengatahui pelaksanaan
handover kode diberikan kode 1 untuk tidak dilakukan dan 2 dilakukan. Untuk
hasil nya diberi kode 1 untuk sesuai SOP dan 2 untuk tidak sesuai SOP.
3.8.3 Entry
Proses pemasukan data yang telah diubah menjadi kode kedalam mesin
pengolah data yang siap secara sistem dengan aplikasi computer.
3.8.4 Cleaning
33
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Bab IV ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan
supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan handover di ruangan rawat inap RSUD
Petala Bumi Provinsi Riau. Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada
tanggal 15 Juni 2018 s/d 26 Juni 2018 terhadap 40 responden, selanjutnya dilakukan
analisis statistik melalui dua tahapan yaitu dengan menggunakan analisis univariat dan
bivariat dari penelitian diperoleh sebagai berikut :
4.1.1 Analisis Univariat
4.1.1.1 Karekteristik Responden
Berdasarkan hasil kuesioner yang telah dikumpulkan dari 40 responden diperoleh
data demografi dapat dilihat dari tabel 4.1
Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Bedasarkan Karakteristik Perawat Pelaksana di
Ruangan Rawat Inap RSUD Petala Bumi Provinsi Riau
Total
Karakteristik (N=40)
Frekuensi Presentase(%)
Jenis kelamin
- Laki-Laki 6 15%
- Perempuan 34 85%
Pendidikan
- S1 17 42,5%
- Diploma III 23 57,5%
Lama bekerja
- Tingkat 2(3-5 tahun) 3 7,5%
- Tingkat 3(>5 tahun) 37 92,5 %
Pelatihan Bangsal
- Pernah 3 7,5%
- Tidak Pernah 37 92,5%
Berdasarkan tabel 4.1 diatas, diperoleh bahwa mayoritas perawat pelaksana di tiga
ruangan rawat inap (anak penyakit dalam, bedah dan vip) RSUD Petala Bumi Provinsi
Riau berjenis kelamin perempuan sebanyak 34 orang (85%). Berdasarkan pendidikan
36
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa sebanyak 24 orang (60%) responden
melaksanakan handover tidak sesuai SOP.
4.1.2 Analisis Bivariat
Setelah diketahuinya karekteristik responden, supervisi kepala ruangan dan
pelaksanaan handover, dilanjutkan dengan pengolahan data dan anlisis data bivariat
yaitu untuk mengatahui hubungan supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan
handover di ruangan rawat inap RSUD Petala Bumi Provinsi Riau dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
37
Tabel 4.4
Supervisi Kepala Ruangan Dengan Pelaksanaan Handover di ruangan rawat inap RSUD
Petala Bumi Provinsi Riau
Pelaksanaan Handover di
Surpervisi Kepala ruangan rawat inap
Ruangan Total P
Sesuai Tidak Sesuai
Value
SOP SOP
N % N % N %
Baik 13 56,5 3 17,6 16 40,0 0,013
Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa dari 16 orang yang menyatakan supervisi
kepala ruangan baik, 13 orang (56,5%) melaksanakan handover sesuai SOP, 3 orang
(17,6%) melaksanakan handover sesuai SOP. Sedangkan dari 24 orang (60%)
menyatakan bahwa supervisi kepala ruangan tidak baik dan pelaksanaan handover
sesuai SOP sebanyak 10 orang (43,5%) dan 14 orang (82,4%) supervisi kepala ruangan
tidak baik dan pelaksanaan handover tidak sesuai SOP.
Dari hasil analisa bivariat menggunakan Chi Square yang telah dilakukan, diperoleh
hasil p value 0,013. Dari hasil tersebut diketahui p< α(0,05), sehingga H0 ditolak. Maka
dari itu dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara supervisi kepala
ruangan dengan pelaksanaan handover.
4.2 Pembahasan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka selanjutnya peneliti akan membahas
hasil penelitian tersebut.
4.2.1 Analisis Univariat.
4.2.1.1 Karakteristik Responden
a. Jenis Kelamin
Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Petala Bumi Provinsi Riau bahwa dari 40
orang sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 34 orang
(85,0%) dan 6 orang (15,0%) berjenis kelamin laki-laki. Purnamasari, Erwin dan
Jumaini (2014), tentang hubungan supervisi kepala ruangan dengan motivasi kerja
perawat di ruang rawat inap RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau mengatakan lebih
38
banyak perawat pelaksana jenis kelamin perempuan dibanding laki-laki yaitu sebanyak
38 orang (88,4%) dari 43 perawat yang diteliti.
Menurut Asmadi, (2008) mengatakan bahwa keperawatan lebih dikenal dengan
sebuah istilah yang melekat padanya sebagai mother instinct, karena berawal dari
dorongan naluriah seperti naluri keibuan, naluri dalam memberikan perlindungan dan
sosial yang tinggi. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan secara tabiat lebih intuitif
(lebih peka) atau lebih mengemukakan perasaan, sehingga sebagai suatu pekerjaan yang
didasarkan atas naluri keperawatan banyak dilakukan dan diminati oleh perempuan.
Wanita dalam bekerja akan lebih cenderung menggunakan perasaan dibandingkan laki-
laki. Hal ini sesuai dengan sejarah awal dari profesi keperawatan Florence Nighttingale
yang identik dengan pekerjaan yang didasari oleh kasih sayang, kelembutan seorang ibu
atau perempuan (Potter & Perry, 2010). Dunia keperawatan memiliki ciri khas mother
instinct yang artinya menuntut seseorang memiliki jiwa keibuan. Jiwa keibuan biasanya
dimilki oleh perempuan, sehingga dalam bekerja perempuan akan lebih mengutamakan
perasaan mereka dibandingkan dengan laki-laki yang biasanya cenderung bekerja
dengan logika.
b. Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 40 orang responden didapatkan
bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan Diploma III 23 orang
(57,5%) dan Sarjana sebanyak 17 orang (42,5%). Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Maulani & Dasuki (2017), mengatakan bahwa tingkat
pendidikan perawat pelaksana lebih banyak dijenjang pendidikan diploma (DIII)
keperawatan yaitu 58 orang (92,1%) dibandingkan dengan yang telah menempuh
jenjang SI keperawatan yaitu sebanyak 10 orang (22,7%).
Menurut Siagan (2005) dalam Purnamasari (2014), semakin tinggi pendidikan
sesorang maka semakin tinggi pula pemahaman terhadap tugas yang diemban, karena
dalam pendidikan akan memberikan wawasan yang luas kepada seseorang agar dapat
meningkatkan kemampuan kulitas kerja mereka. Menurut Triwibowo (2013) pendidikan
adalah salah satu faktor yang dapat mempengaharui baik buruk dari pelaksanaan
handover selain dari komunikasi, pengalaman, lingkungan yang tidak kondusif,
kepemimpinan, serta budaya organisasi yang tidak peduli atas keselamatan pasien,
39
Dari hasil penelitian mengatakan bahwa lebih banyak perawat yang masih dalam
jenjang pendidikan Diploma III keperawatan dibandingkan dengan program pendidikan
S1 ners. Tingkat pendidikan mempengaruhi baik buruknya dari pelaksanaan handover
tetapi berbeda dengan dua tingkatan ini karena telah diakui sebagai perawat di
indonesia. Menurut SK Mendikbud No.056/U/1994 program D III keperawatan
menghasilkan perawat vokasional (ahli madya keperawatan) yang memilki tingkah laku,
dan kemampuan profesional, akuntabel dalam melaksanakan asuhan keperawatan.
Sedangkan profesi keperawatan S1 ners lebih dikenal dengan perawat ilmuan ( sarjana
keperawatan profesional) yang dibekali dengan sikap, tingkah laku, kemampuan
profesional, serta akuntabel untuk melaksanakan asuhan keperawatan secara mandiri
dan memiliki landasan keilmuan yang kokoh dari pada lulusan D III.
Dari itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan D III dan S1 ners tidak memiliki
hubungan dengan pelaksanaan handover, karena banyak hal lain yang membuat D III
keperawatan mampu melaksanakan handover dengan baik seperti pengalaman bekerja
yang sudah lama. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan DIII dibentuk sebagai
perawat yang ahli dalam bekerja serta dengan terpaparnya pekerjaan handover yang
dijadikan rutinitas perawat setiap harinya dalam jangka waktu yang lama bisa membuat
pelaksanaan handover menjadi bagus bagi perawat DIII.
c. Lama Bekerja
Bedasarkan hasil penelitan mayoritas perawat bekerja lebih dari 5 tahun yaitu
sebanyak 37 (92,5%). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa hampir separuh dari
responden memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Purnamasari, Erwin dan Jumaini
(2014), telah melakukan penelitian bahwa sebanyak 26 orang (60,5%) perawat
pelaksana di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau telah bekerja selama lebih dari lima
tahun.
Pengalaman perawat pelaksana dapat mempengaruhi baik buruknya pelaksanaan
handover, perawat pemula dengan perawat ahli akan memilki kebutuhan atau
kemampuan yang berbeda. Seperti perawat pemula akan membutuhkan atau
memerlukan informasi tambahan yang lebih selama handover, dibandingkan dengan pe
rawat yang ahli. Informasi ini bisa didapatkannya melalui bimbingan, orientasi, dan
dukungan dari perawat ahli. Selain itu juga bisa didapatkan dengan program pendidikan
40
mengurangi kerugian yang dialami pasien akibat adanya ketidakpuasan dari pelayanan
yang diberikan seperti menurunya angaka KNC dan KTD.
4.2.1.2 Supervisi Kepala Ruangan
Berdasarkan hasil anilisis univariat terhadap 40 orang responden yang diteliti
didapatkan bahwa, yang menganggap supervisi kepala ruangan baik yaitu 23 orang
(57,5%). Supervisi adalah suatu proses pengawasan dari atasan terhadap pelaksanaan
kegiatan, guna untuk memastikan suatu kegiatan tersebut berjalan sesuai tujuan
organisasi dan standar yang telah ditetapkan (Keliat, 2012). Menurut Suarli dan Yanyan
(2009), supervisi akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja kinerja perawat
pelaksana akan menjadi lebih baik, apabila kegiatan supervisinya dilakukan dengan baik
juga. Supervisi harus dapat dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga terjalin kerja sama
yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada waktu melaksanakan upaya
penyelesaian masalah untuk lebih mengutamakan kepentingan bawahan (Triwibowo,
2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hastuti, (2014) mengatakan
bahwa presepsi perawat pelaksana terhadap supervisi kepala ruangan yang baik
sebanyak 52 orang (64,7%). Supervisi akan memiliki manfaat seperti, dapat
meningkatkan efektivitas kerja yang berhubungan dengan meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang
lebih harmonis antara atasan dengan bawahan apabila dilakukan secara berkala dan
tidak boleh dilakukan hanya satu kali saja (Nursalam, 2013). Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Marliwati (2016), dari 44 responden diketahui
24 responden (54,5%) menyatakan supervisi baik.
Menurut Sitorus (2011) dan Kuntoro (2010) mengatakan bahwa peran kepala
ruangan terdari dari sebagai Perencana, pengarah, pelatih, pengamat, dan penilai.
Bedasarkan hasil penelitian dari 40 responden yang diteliti, diketahui bahwa persentase
tertinggi responden yang menyatakan peran supervisi kepala ruanganan yang paling
baik adalah peran supervisi kepala ruang sebagai penilai yaitu sebesar 70%. penelitian
ini mengungkapkan bahwa peran supervisi kepala ruang sebagai penilai terhadap
pelaksanaan handover sudah baik tetapi masih ditemukan peran peran lain yang masih
tidak baik seperti peran kepala ruangan sebagai pengarah dan pengamat.
42
keluhan pasien yaitu 40%. Handover juga dilakukan di ruang rawat pasien, maka
seluruh perawat yang bertugas bersama-sama melihat ketempat tidur pasien untuk
mengklarifikasi dan menvalidasi data secara lansung kepada pasien agar data yang
didapatkan benar benar akurat dan pesian mengetahui perawat yang akan bertugas
selanjutnya (Nursalam, 2011). Menurut Alvarado (2008), ketidakakuratan informasi
tentang pasien atau tidak validnya data yang diterima bisa berdampak serius pada pasien
seperti kesalahan pemberian dosis obat, pasien akan berisiko jatuh dan kesalahan
pemberian tindakan karena salah pasien, hal ini yang tergolong dalam KTD dan KNC.
Jika pelaksanaan handover tidak dilakukan di tepi tempat tidur pasien dan tampa
memperkenalkan perawat yang akan dinas berikutnya kepada pasien ini akan memicu
hal hal yang tidak diinginkan yang akanmembuat keselahan terapi dan menurunkan
kualitas keselamatan pasien di ruangan rawat pasien.
Menurut peneliti pelaksanaan handover di ruangan rawat inap RSUD Petala Bumi
Provinsi Riau masih tidak sesuai SOP yang telah ditetapkan rumah sakit. Apabila hal ini
masih tidak dilakukan pembaharuan akan berefek pada keselamatan pasien. SOP telah
ditetapkan sejak lima tahun yang lalu tetapi ketersediannan SOP ini tidak
tersosilisasikan kepada masing- masing perawat yang dinas di tiga ruangan tersebut.
Dari hasil observasi didapatkan bahwa lembar SOP ini hanya dimiliki oleh satu kepala
ruangan saja yaitu pada bangsal bedah dan itu berada pada kepala ruangan saja bukan
pada perawat pelaksana, sedangkan pelaksanaan handover itu dilaksanakan oleh
perawat pelaksna juga, jadi wajar saja ditemukan pelaksanaan handover tidak sesuai
SOP yang telah ditetapkan. Dewi (2012), baik buruknya pelaksanaan handover dapat
mempengaharui patient safety. Keselamatan pasien akan meningkat dengan adanya
pelaksanaan handover yang baik.
4.2.2 Hubungan Supervisi Kepala Ruangan Dengan Pelaksanaan Handover
Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Petala Bumi Provinsi Riau
didapatkan hasil yaitu perawat yang mendapatkan supervisi baik dari kepala ruangan
melakukan pelaksanaan handover sesuai SOP yaitu 13 orang (56,5%) dan yang tidak
sesuai SOP pelaksanaan handover sebanyak 10 orang (43,5%). Sedangkan yang
mendapatkan supervisi tidak baik dari kepala ruangan namun pelaksanaan handover
sesuai SOP 3 orang (17,6%), yang mendapatkan supervisi dari kepala ruangan tidak
45
baik dan pelaksanaan handovernya tidak sesuai SOP sebanyak 14 orang (82,4%). Dari
uji statistik bivariat menggunakan Chi Square yang telah dilakukan, diperoleh hasil p
value 0,013. Dengan demikian p< α(0,05) berarti menunjukan ada hubungan antara
supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan handover oleh perawat pelaksana.
Penelitian ini menunjukan bahwa supervisi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
handover perawat pelaksana, dengan dilakukan supervisi oleh kepala ruangan, perawat
akan merasa diawasi dan didampingi dalam melakukan pelaksanaan handover.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istiningtyas dan
Wulandari (2018), menyatakan ada hubungan antara kepemimpinan (supervisi) kepala
ruangan dengan pelaksanaan handover. Menurut Nursalam (2010), Kepala ruangan
dalam pelaksanaan handover harus ikut berperan aktif terlibat didalamnya dimulai dari
tahap persiapan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pendokumentasian. Supervisi akan
mencapai kegunaan yang tinggi apabila kegiatannya dilakukan melalui tiga prinsip
hubungan kemanusian yaitu pengakuan dan penghargaan, objektivitas, serta
kesejawatan.
Hasil dari penelitian yang dilakukan peneliti juga menemukan bahwa supervisi telah
dilakukan tetapi masih ditemukan pelaksanaan handover tidak sesuai SOP rumah sakit
yaitu sebanyak 10 orang (43,5%). Menurut Nursalam, (2010) banyak faktor yang
mempengaharui pelaksanaan handover. Selain faktor kepemimpinan ada faktor lain
yang menyebabkan baik dan buruknya pelaksanaan handover yaitu komunikasi dalam
handover, pengetahuan dan pengalaman, lingkungan yang kondusif, budaya organisasi,
dan yang terpenting tanggung jawab dari anggota pelaksanaan handover. Adapun
pelaksanaan handover yang tidak dilakukan sesuai SOP yang ada yaitu handover tidak
dilakukan disamping tempat tidur pasien. Jika seandainya pelaksanaan handover tidak
mengikuti SOP yang telah ditetapkan akan menjadi pemicu terjadinya kesalahan
informasi yang akan mengakibatkan keselamatan pasien terancam sehingga pasien
merasa dirugikan dan kualitas pelayanan keperawatan rumah sakit bisa menjadi
menurun. Menurut Triwibowo, (2013) menurunnya kualitas pelayanan asuhan
keperawatan akan memicu peningkatan angka KTD dan KNC yang merupakan suatu
kejadian akibat dari melaksanakan suatu tindakan, atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera yang terjadi tidak serius
46
karena keberuntungan, seperti pasien mendapatkan obat kontra indikasi tetapi tidak
menimbulkan reaksi obat yang fatal.
Menurut JE Thompson, (2011) telah merekomendasikan beberapa hal yang bisa
meningkatkan handover di rumah sakit yaitu dengan melakukan setingan waktu dan
tempat yang nyaman untuk berdiskusi, sesi pelatihan, peralatan yang mendukung, dan
supervisi dari atasan. Supervisi sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan handover oleh
perawat pelaksana, dengan dilakukanya supervisi oleh kepala ruangan dengan itu
perawat pelaksana merasa lebih diawasi dalam pelaksanaan handover. Kemampuan
kepala ruangan dalam memberikan arahan yang baik sangat diperlukan saat melakukan
supervisi. Pengarah yang diberikan oleh kepala ruangan merupakan pedoman perawat
dalam bekerja sehingga perawat lebih terarah dalam memberikan tindakan keperawatan
pasien (Khadijjah, 2012).
Terkait dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh pelaksanaan handover tidak
sesuai SOP yang telah ditetapkan seperti masalah peningkatan KTD dan KNC. Maka
dengan adanya supervisi dari kepala ruangan akan membuat perawat pelaksana
melakukan handover sesuai dengan SOP yang ada, karena dalam melakukan supervisi
kepala ruangan hadir secara langsung dalam setiap kegiatan handover dan perawat
pelaksana juga merasa bahwa mereka diawasi langsung oleh kepala ruangan, sehingga
perawat pelakasana bekerja dengan penuh tangggung jawab. Menurut Sitorus (2011),
peran kepala ruangan dalam supervisi dibagi menjadi empat yaitu sebagai perencana,
pengarah, pelatih, pengamat dan penilai. Nursalam (2010), pelaksanaan supervisi salah
satunya secara langsung yaitu kepala ruangan langsung terlibat dalam proses
pelaksanaan kegiatan tersebut, agar proses pengarahan dan pemberian petunjuk dapat
dialakukan pada saat itu juga. Supervisor juga bisa melihat langsung keahlian dan
tingkat kemampuan yang dimiliki bawahan dan jika ditemukan maslah bisa segera
diberikan solusinya
4.3 Keterbatatasan penelitian
Peneliti menyadari terdapat banyak kekurangan dalam proses pelaksanaan penelitian
ini. karena setiap penelitian tidak akan terlepas dari keterbatasan yang dapat
mempengaharui kualitas hasil, hal ini dapat diperkecil dengan cara mengoptimalkan
kualitas dan kuantitas data. Pada penilitian ini terdapat keterbatasan antara lain :
47
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Bedasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa diruang rawat inap anak
penyakit dalam, bedah, VIP RSUD Petala Bumi Provinsi Riau mayoritas perawat
pelaksana berjenis kelamin perempuan, pendidikan diploma III keperawatan dengan
lama bekerja lebih dari 5 tahun, dan banyak yang belum pernah mengikuti pelatihan
bangsal. Perawat pelaksana menyatakan supervisi kepala ruangan baik dan pelaksanaan
handover tidak sesuai SOP. Hasil analisis bivariat menunjukan bahwa terdapat
hubungan antara supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan handover oleh perawat
48
pelaksana. Hasil penelitian menunjukan bahwa apabila supervisi kepala ruangan baik
akan membuat perawat pelaksana melakukan pelaksanaan handover sesuai SOP.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi RSUD Petala Bumi Provinsi Riau
Diharapkan manajemen rumah sakit untuk supaya bisa lebih menerangkan atau
mensosialisasikan isi SOP handover rumah sakit secara rinci kepada perawat
pelaksana.
5.2.2 Bagi Perawat
Kepala ruangan diharapkan dapat meningkatkan peran supervisinya terutama dalam
pelatihan agar dapat meningkatkan kinerja perawat pelaksana. Bagi perawat pelaksana
diharapkan dapat menjalankan dan mengikuti handover sesuai SOP yang telah
ditetapkan rumah sakit.
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk peneliti selanjutnya dapat melaksanakan penelitian dengan variabel yang
berbeda, hubungan pengakaman kepala ruangan dengan pelaksanaan supervisi.
5.2.4 Bagi STIkes Hang Tuah Pekanbaru
Bagi intitusi pendidikan diharapkan dapat, memperkaya referensi tentang ilmu
manajemen keperawatan dalam proses pembelajaran keperawatan. Seiring dengan itu
maka tingkat kualitas pendidikan di intitusi diharapkan semakin baik kedepannya.
Table 3.2
Jadwal Penelitian
5 Pengolahan data
6 Penulisan skripsi
7 Ujian skripsi