Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
dari tahun 2016 yaitu dari 699 orang yang mengalami phlebitis menjadi
365 orang pada tahun 2017. Insiden phlebitis akan meningkat sesuai
dengan lamanya pemasangan jalur intravena. Komplikasi cairan atau obat
yang di infuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat
kanula dimasukkan. Kejadian phlebitis yang terjadi pada pasien
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain prosedur tetap pemasangan
infus, jenis cairan intravena yang digunakan, lamanya pemasangan dan
perawatan infus setelah pemasangan(14).
B. Rumusan Masalah
C. Pertanyaan penelitian
D. Hipotesis Penelitian
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
F. Manfaat penelitian
1. Manfaat Keilmuan
1. Sistematika penulisan
Bab I menjelaskan tentang hal-hal yang melatar belakangi, tujuan, dan
manfaat penelitian ini dilakukan.
6
2. Organisasi Penulisan
a. Penulisan proposal
b. Seminar proposal, pada akhir semester II dan akhir semester V
c. Mengurus izin penelitian di kantor Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tengah
d. Mengirim surat izin penelitian ke kantor Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat di Jakarta
e. Mengurus surat izin penelitian di Kantor Badan Kesatuan Bangsa,
Politik dan Perlindungan Masyarakat (KESBANG) Kota Palu
f. Mengantar surat izin penelitian di Kantor Dinas Kesehatan Kota Palu
g. Mengurus surat izin penelitian di Rumah Sakit Anutapura Palu
h. Meminta izin kepada penanggung jawab ruang perawatan di RSU
Anutapura Palu
i. Pengurusan Rekomendasi Etik pada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
di Universitas Alkhairaat Palu
j. Melakukan penelitian di RSU Anutapura Palu
k. Penulisan skripsi
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI
1. Infus Intravena
a. Definisi
b. Epidemiologi
Lanjutan Tabel
8. Agustus 7.539
9. September 7.254
10. Oktober 7.687
11. November 7.536
12. Desember 6.897
(Ruang PPI RSU Anutapura Palu, 2017 )
ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui
mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di rumah sakit dengan infeksi
bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan. Obat tersebut memiliki
bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui
mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena
(sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang
susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat
diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke
dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah
langsung. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang
tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada
keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain
seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah
kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot). Kesadaran menurun dan
berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke pernapasan), sehingga
pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam
darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus
(suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya pada orang yang
mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita
diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian
antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak
antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai
kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi
intravena: Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi
pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal,
karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-
V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang
11
2) Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan utama yang paling sering digunakan
dalam terapi intravena. Kristalaoid adalah larutan air dengan elektrolit
yang mengandung micro molekul. Kristaloid mengandung elektrolit
12
2) Cairan Hipotonis
Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh
darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari
dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
3) Cairan Isotonis
Osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
1) Baksteril
2) Kapas alcohol
3) Abocath
4) Infuset tiang infus
5) Plester/hypafix
6) Cairan infus
7) Kasa steril
8) Betadin
9) manset
14) Memeriksa label pasien sesuai dengan instruksi cairan yang akan
diberikan
15) Mengalirkan cairan infus melalui selang infus sehingga tidak ada
udara di dalamnya
16) Mengencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan
kesterilan sampai pemasangan pada tangan disiapkan
17) Mengencangkan tourniquet/manset tensi meter (tekanan di bawah
sistolik)
18) Menganjurkan pasien untuk mengepal dan membukanya beberapa
kali, palpasi dan pastikan tekanan yang akan ditusuk
19) Membersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alcohol, arah
melingkar dari dalam keluar lokasi tusukan
20) Menggunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena di atas/di
bawah tusukan
21) Memegang pada posisi 30 derajat pada vena yang akan ditusuk,
setelah pasti masuk lalu tusuk perlahan dengan pasti
22) Merendahkan posisi jarum sejajar pada kulit dan tarik jarum sedikit
lalu teruskan plastic IV ke dalam vena
23) Menekan dengan ujung jari plastik IV
24) Menarik jarum infus keluar
25) Menyambungkan plastik IV kateter dengan ujung selang infus
26) Melepaskan manset
27) Membuka klem infus sampai cairan mengalir lancar
28) Mengoleskan dengan salep betadine di atas penusukan, kemudian
ditutup dengan kasa steril
29) Mengatur tetesan infus sesuai ketentuan, pasang stiket yang sudh
diberi tanggal
30) Melepas sarung tangan
31) Mencuci tangan/mendokumentasikan
18
Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan
untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien. Teknik
dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan
infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok
dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan
kuat dan ringkas yang kemudian di bilas di bawah aliran air. Tujuannnya
untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel di tangan.
Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan
infeksi. Cuci tangan merupakan sebagai salah satu kewaspadaan standar
yang harus dilakukan, sehingga penularan penyakit dari pasien melalui
perawat, ataupun penularan keperawat sendiri dapat dihindari jika setiap
perawat ataupun petugas kesehatan melakukan tindakan mencuci tangan
sebelum maupun sesudah kontak untuk meminimalkan terjadinyan infeksi
nosokomial.
Pemilihan Alat Pelindung Diri (APD) yang akan dipakai harus didahului
dengan penilaian risiko pajanan dan sejauh mana antisipasi kontak
dengan patogen dalam darah dan cairan tubuh. Penggunaan sarung
tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen kunci dalam
meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu
lingkungan bebas infeksi(22).
Selain itu, komponen yang sangat penting dalam kewaspadaan
standar adalah desinfeksi dan sterilisasi. Desinfeksi adalah suatu tindakan
21
a. Definisi
b. Epidemiologi
Angka Kejadian
Tahun
Phlebitis
2013 165
2014 605
2015 674
2016 699
2017 365
c. Etiologi
c) Iritasi Bakterial
29
e. Gambaran klinik
1) Rubor (Kemerahan)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan kejadian pertama yang
ditemukan di daerah yang mengalami peradangan. Pada reaksi
peradangan arteriola yang mensuplai darah tersebut mengalami
pelebaran sehingga darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal lebih
banyak.
2) Kalor (Hipertermi)
31
- Kemerahan
- Pembengkakan
3 Semua tanda jelas : Stadium 3
- Nyeri sepanjang kanula moderat
- Eritema phlebitis
- Indurasi
4 Semua tanda jelas : Stadium lanjut 4
- Nyeri sepanjang kanula dan awal
- Eritema thrombophlebitis
- Indurasi
- Teraba venous cord
5 Semua tanda jelas : Stadium lanjut 5
- Nyeri sepanjang kanula thrombophlebitis
- Eritema
- Indurasi
- Venous cord teraba
- Demam
f. Pencegahan Phlebitis
g. Status Gizi
Pada pasien dengan status gizi buruk mempunyai vena yang tipis
sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya
kurang sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
Menurut Mustika (2012) status gizi adalah keadaan tubuh yang
merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke
dalam tubuh dan penggunaannya. Ada beberapa faktor yang sering
merupakan penyebab gangguan gizi, baik langsung maupun tidak
langsung. Sebagai penyebab langsung gangguan gizi khususnya
gangguan gizi pada bayi dan balita adalah tidak sesuai jumlah gizi yang
mereka peroleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh mereka.
Beberapa faktor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya
gangguan gizi terutama antara lain pengetahuan, prasangka buruk
terhadap makanan, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan
tertentu, jarak kelahiran yang terlalu rapat, tingkat pendapatan dan
penyakit infeksi(35-36).
B. KERANGKA TEORI
C. KERANGKA KONSEP
Status Gizi
Ukuran Kateter
intravena
Lama pemasangan
infus
Lokasi pemasangan
infus
Perawatan infus
setelah pemasangan
Phlebitis
Teknik pemasangan
infus
Penyakit penyerta
Keterangan:
Diteliti
Tidak ditelitti
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Phlebitis
Yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peradangan pembuluh
darah vena yang diakibatkan oleh tindakan pemberian cairan infus pada
penderita yang dirawat di RSU Anutapura Palu pada tahun 2018 yang
memenuhi 2 dari 7 kriteria.
Adapun kiteria phlebitis adalah sebagai berikut :
1. Nyeri pada tempat suntikan
2. Eritema
3. Pembengkakan
4. Nyeri sepanjang kanula
5. Panas di sekitar tempat tusukan
6. Indurasi
7. Venous Cord teraba
diperoleh dari hasil observasi dan dicatat dalam case report dengan
kriteria objektif(32) :
1. Lama Pemasangan ≥ 3 hari
2. Lama Pemasangan < 3 hari
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Design Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional
dengan pendekatan case control dimana sampel yang diambil yaitu case
sebagai pasien yang mendapat perawatan infus lalu terjadi phlebitis,
sedangkan control sebagai pasien yang mendapat perawatan infus tetapi
tidak terjadi phlebitis.
b. Tempat
Penelitian dilakukan di semua ruang perawatan Interna di RSU
Anutapura Palu.
7. Kriteria Eksklusi
A. Besar Sampel
Z𝑎√2𝑃𝑄 +Zβ√P1Q1+P2Q2
𝑅𝑢𝑚𝑢𝑠: 𝑛 = P1−P2
Keterangan
N = besar sampel
Zα = deviat baku dari kesalahan tipe I
Zβ = deviat baku dari kesalahan tipe II
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 = 1-P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement
peneliti
Q1 = 1-P1
P1-p2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total = (P1+P2)/2
Q = 1-P
Penyelesaian
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
47
Jadi,
2
Zα√2PQ + Zβ√P1 Q1 + P2Q2
n1 = n2 = ( )
P1 − P2
2
1,96√2x0,5x0,5 + 0,84√0,65x0,35 + 0,35x0,65
=( )
0,3
1,39 + 0,55 2
=( )
0,3
= (6,46)2
= 41,81(dibulatkan menjadi 42)
C. Alur Penelitian
Cara Pengambilan
Sampel:
Consecutive Sampling
Subjek penelitian
Pengambilan daya:
Pengumpulan data
Analisis data
Penulisan hasil
Penyajian hasil
D. Prosedur Penelitian
a. Pengolahan data
Data pada penelitian ini diolah menggunkan perangkat lunak computer
program SPSS 22.0
b. Analisa data
1. Variabel status gizi menggunakan uji Kruskal wallis
2. Variabel jenis cairan intravena menggunakan uji Fisher’s
3. Variabel ukuran kateter intravena menggunakan uji chi square
4. Variabel lama pemasangan menggunakan uji chi square
5. Variabel lokasi pemasangan menggunakan uji chi square
BAB IV
A. Hasil
a. karakteristik sampel
Pada tabel berikut menunjukan status gizi, jens larutan infus, ukuran
kateter intravena, lokasi pemasangan dan lama pemasangan infus. Status
gizi dibedakan menjadi gizi lebih, gizi normal dan gizi kurang. Jenis larutan
dibedakan menjadi larutan isotonis dan hipertonis. Ukuran kateter
intravena dibedakan menjadi sesuai vena dan tidak sesuai vena. Lokasi
pemasangan dibedakan menjadi berisiko dan tidak berisiko. Lama
pemasangan dibedakan menjadi lebih dari sama dengan (≥) 3 hari dan < 3
hari.
53
Kejadian Phlebitis
Status Gizi Ya Tidak P
(n %) (n %)
Gizi Lebih 1 2
(33,3%) (66,7%)
Gizi Normal 12 22
(35,3%) (64,7%) 0,056
Gizi Kurang 29 18
(61,7%) (38,3%)
Total (50,0%) (50,0%)
54
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
p value 1,000 (p>0,05) antara jenis larutan infus dengan terjadinya
phlebitis. Pasien dengan jenis cairan infus hipertonis dan mengalami
phlebitis sebanyak 57,1% sedangkan pasien dengan jenis cairan infus
isotonis dan mengalami phlebitis sebanyak 42,9%. Odd ratio menunjukan
jenis cairan infus hipertonis mempunyai risiko mengalami phlebitis 1,4 kali
dibandingkan jenis cairan infus isotonis.
55
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
p value 0,558 (p>0,05) antara ukuran kateter intravena dengan terjadinya
phlebitis. Pasien dengan ukuran kateter intravena tidak sesuai dengan
usia dan mengalami phlebitis sebanyak 42,9% sedangkan pasien dengan
ukuran kateter intravena sesuai dengan usia dan mengalami phlebitis
sebanyak 51,4%. Odd ratio menunjukan ukuran kateter intravena tidak
sesuai usia mempunyai risiko mengalami phlebitis 0,6 kali dibandingkan
ukuran kateter intravena sesuai usia.
Kejadian
Lokasi Phlebitis P OR CI
Pemasangan Ya Tidak lower Upper
Infus (n %) (n %)
Berisiko 19 6
(76,0%) (24,0%)
Tidak 23 36 0,002 4,957 1,723 14,256
Berisiko (39,0%) (61,0%)
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna p
value 0,002 (p<0,05) antara lokasi pemasangan infus dengan terjadinya
phlebitis. Pasien dengan lokasi pemasangan infus berisiko dan mengalami
phlebitis sebanyak 76,0% sedangkan pasien dengan lokasi pemasangan
infus tidak berisiko dan mengalami phlebitis sebanyak 39,0%. Odd ratio
menunjukan lokasi pemasangan infus yang berisiko 4,9 kali lebih
mempunyai peluang untuk terjad phlebitis dari pada pemasangan infus
pada lokasi yang tidak berisiko.
5. Hubungan lama pemasangan infus dengan kejadian phlebitis
Untuk mengidentifikasi hubungan lama pemasangan infus dengan
kejadian phlebitis, dilakukan crosstabulasi dan dihitung nilai P
berdasarkan uji chi-square yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 13. Hubungan lama pemasanga infus dengan kejadian phlebitis
Kejadian
Lama Phlebitis P OR CI
Pemasangan
Infus Ya Tidak lower Upper
(n %) (n %)
≥ 3 hari 38 30
(55,9%) (44,1%)
< 3 hari
4 12 0,026 3,800 1,112 12,983
(25,0%) (75,0%)
Total 42 42
(50,0%) (50,0%)
57
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang bermakna p
value 0,026 (p<0,05) antara lama pemasangan infus dengan kejadian
phlebitis. Pasien yang mendapat perawatan infus ≥ 3 hari dengan lokasi
yang tetap mengalami phlebitis sebanyak 55,9% sedangkan pasien yang
mendapat terapi infus < 3 hari mengalami phlebitis sebanyak 25,0%. Odd
ratio menunjukkan bahwa lama pemasangan infus ≥ 3 dengan lokasi yang
tetap berisiko 3, 9 kali lebih memungkinkan terjadi phlebitis dari pada lama
pemasangan < 3 hari.
58
B. Pembahasan
1. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan hasil akhir dari
keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan
penggunaannya(35,38). (Hartanto B, 2014; Mustika, 2012).
Dari hasil penelitian berdasarkan status gizi terhadap kejadian phlebitis
diketahui bahwa sebagian besar pasien mempunyai status gizi yang
kurang (underweight). Berdasarkan hasil analisis statistik data
menggunakan program SPSS versi 22, diperoleh hasil yang tidak
bermakna dimana P=0,056 (p>0,05) sehingga diperoleh kesimpulan
bahwa status gizi tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian phlebitis pada pasien yang mendapatkan perawatan infus.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan (Deya Prastika dkk, 2014) di
RSUD Majalaya Jawa Barat, yang menyatakan bahwa adanya hubungan
status gizi pasien dengan kejadian phlebitis, yang cenderung terjadi pada
pasien dengan status gizi kurang yaitu sebesar 46,7%.
2. Jenis larutan intravena
Pembagian jenis cairan infus tergantung pada konteks apa cairan
tersebut yang akan dibedakan, bisa berdasarkan tonisitas suatu larutan,
besar molekul suatu cairan, atau dibedakan pada komposisi atau
kandungan dalam suatu larutan infus. Pembagian cairan infus menurut
tonisitas suatu larutan, berdasarkan pada tekanan osmotik yang terdapat
dalam larutan tersebut, antara lain larutan isotonik, larutan hipotonik dan
larutan hipertonik.
Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar
280–310 mOsm/L, larutan yang memiliki osmolalitas kurang dari itu
disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan
hipertonik(7).
Hasil ini tidak sejalan dengan (Sepvi Fitriyanti, 2015) di Rumah Sakit
Bhayangkara Surabaya, yang menyatakan bahwa kejadian phlebitis
59
sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena
radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis)
Hasil penelitian ini sejalan dengan (Dede Dwi Lestari, dkk. 2016) yang
dilakukan di RSU Pancaran kasih GMIM Manado. Hasil tersebut
mengatakan bahwa pasien yang mendapat pemasangan infus pada lokasi
berisiko mempunyai presentasi kejadian sebesar 77,7 % dan lokasi
pemasangan infus yang tidak berisiko sebesar 22,2 %.
5. Lama pemasangan infus
Menurut INS (2006) salah satu faktor yang berperan dalam kejadian
phlebitis bakteri antara lain adalah pemasangan kateter infus yang terlalu
lama. Lama pemasangan kateter akan mengakibatkan tumbuhnya bakteri
pada area penusukan. Semakin lama pemasangan tanpa dilakukan
perawatan optimal maka bakteri akan mudah tumbuh dan berkembang.
Mikroorganisme yang menyebabkan infeksi pada tempat penusukan bisa
berasal dari perawat oleh karena pemasangan infus yang tidak steril atau
penusukan yang berulang-ulang dan dapat berasal dari faktor pasien.
Infus set sebaiknya di ganti setiap 3 hari sekali. Pemasangan lebih dari
3 hari meningkatkan resiko terjadi phlebitis. Infus dapat digunakan selama
72 jam, tetapi apabila terjadi phlebitis kurang dari 72 jam maka sebaikya
infus di lepas atau dipindahkan lokasinya.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan (Sepvi Fitrianti, 2015), di
RS.Bhayangkara TK II.H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya. Hasil tersebut
menyatakan bahwa sebagian besar kejadian phlebitis terjadi pada pasien
yang mendapatkan infus ≥ 3 hari sebanyak 22,1% dan 8,8% tidak
menderita phlebitis.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA