You are on page 1of 44

Bab ini menjelaskan mengenai Pendekatan & Metodologi Pekerjaan, meliputi:

1. Pendekatan Pekerjaan
2. Tahap Pengumpulan Data
3. Toll/unit Analisis
4. Tahap Perumusan Rencana

4.1 PENDEKATAN PEKERJAAN


4.1.1 Pendekatan OVOP
4.1.1.1 Konsep OVOP
OVOP mengacu pada pendekatan GNS (Gross National Satisfaction) yang
menitikberatkan kualitas atau “isi mengungguli bentuk”. Yang dimaksud isi adalah
sumber-sumber daya potensial setempat yang dapat mengangkat harkat dan martabat
masyarakat lokal atas upaya-upaya riil yang telah mereka usahakan untuk memenuhi
hajat hidupnya. Inilah yang menjadi alasan utama munculnya gerakan OVOP.
OVOP (One Village One Product) sendiri diartikan adalah suatu program berbasis
community development, dengan pendekatan pembangunan ekonomi berdasarkan
pasar yang diinisiasi Dr. Morihiko Hiramatsu, seorang Gubernur dari Oita Prefecture di
Jepang tahun 1979 mantan pejabat MITI, Jepang. Inisiatif OVOP dimaksudkan untuk
membantu pengembangan kemampuan masyarakat desa pada produk tertentu dan
meningkatkan ekonomi pedesaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat pada
level grassroot.
Kekhasan pendekatan ini adalah pencapaian pembangunan ekonomi regional melalui
peningkatan nilai tambah produk dengan menggunakan sumberdaya lokal yang tersedia

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 1


Kabupaten Sukabumi
melalui pengolahan, kontrol mutu dan pemasaran. Dengan demikian, OVOP merupakan
upaya strategis untuk mengidentifikasi produk lokal dan perluasan pasar.
OVOP juga dapat dikatakan dalam bentuk konsep SAKA SAKTI (Satu
Kabupaten/Kota Satu Kompetensi Inti) yaitu suatu konsep yang dikembangkan dalam
rangka membangun daya saing suatu daerah dengan menciptakan kompetensi inti bagi
daerah tersebut agar dapat bersaing di tingkat global. Model SAKA SAKTI difokuskan
pada usaha menggali dan mengidentifikasi kompetensi yang dimiliki (atau seyogyanya
dimiliki) suatu daerah dengan mempertimbangkan kekayaan sumber daya yang ada
pada suatu daerah. Pengertian sumber daya hanya pada sumber daya alam semata tapi
mencakup sumber-sumber daya lain, termasuk kreativitass dan daya inovasi manusia.
Konsep ini sangat diperlukan agar sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh
daerah diarahkan untuk menciptakan kompetensi inti. Ada dua konsep dalam
membangun kompetensi inti melalui pendekatan Gerakan OVOP. Pertama, konsep
membangun produk unggulan yaitu mengembangkan produk lokal yang memiliki
keunggulan dari sisi keunikan, kekhasan, kemanfaatan yang lebih besar bagi pengguna
produk serta memberikan keuntungan yang besar penghasil produk tersebut. Kedua,
konsep membangun kompetensi inti daerah, dalam hal ini daerah harus memilih
kompetensi inti daerah yang bersangkutan dilihat dari keunikan, kekhasan daerah,
kekayaan sumberdaya alam, peluang untuk menembus pasar internasional dan
dampaknya.
Dengan demikian, konsep OVOP mengutamakan produk unik yang terdapat pada
daerah, bahkan produk tersebut menjadi ikon atau lambang daerah tersebut. Keunikan
tersebut menyangkut kultur budaya, lingkungan, bahan baku, pengerjaan, dan proses
produksinya. Sementara produk OVOP adalah produk suatu daerah dengan keunikan
yang tidak dimiliki daerah lain. Karena keunikannya dan proses produksinya yang langka,
sehingga akan memberikan nilai tambah produk tersebut. Selanjutnya daerah OVOP
menjadi menarik, dan bisa dijadikan tujuan wisata bagi turis asing. Tentu ini menjadi
peluang bisnis baru, yang juga akan memberikan kontribusi bagi daerah tersebut.
Pengembangan ekonomi daerah dengan menggunakan program OVOP begitu populer
di dunia. Hal ini disebabkan karena dengan konsep OVOP, suatu daerah dapat
menetapkan satu produk yang memiliki keunikan untuk dikembangkan sehingga akan
memberikan nilai tambah pada produk tersebut dan memberikan kontribusi
pendapatan cukup besar bagi daerah tersebut, karena produknya memiliki keunggulan
dan masuk di pasar internasional.
Hal ini ditunjukkan oleh berbagai fakta bahwa pendekatan OVOP merupakan
pendekatan yang strategis dalam pengembangan ekonomi pada suatu daerah. Hal ini
terbukti bahwa banyak negara di dunia telah melakukan pengembangan ekonomi
daerahnya yang berbasiskan pendekatan OVOP. Penerapan konsep OVOP di beberapa
negara lainnya antara lain adalah One Factory One Product (Shanghai, China), One City

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 2


Kabupaten Sukabumi
One Product (Shanghai, China), One District One roducy (Shanghai, China), One Village
One Treasure (Wuhan, China), One Barangay One Product (Phillipines), One Region One
Vision (Phillipines), Satu Kampung Satu Produk (Malaysia), One Tamboen One Product
Movement (Thailand), One Village One Product Movement (Cambodia), Neuang Muang
Neuang Phalittaphan Movement (Laos), Neg Bag Neg Shildeg Buteegdekhuun
(Mongolia), One Village One Product Day (USA) dan One Parish One Product Movement
(USA).

4.1.1.2 Prinsip Gerakan OVOP


Gerakan OVOP mempunyai tiga prinsip yang harus dimiliki oleh daerah-daerah yang
akan menerapkan gerakan OVOP untuk mengembangkan produk-produk unggulan lokal
yang dimiliki oleh daerah, antara lain sebagai berikut :
1. Lokal Tapi Global (Local yet global)
Lokal tapi global (Local yet global) yakni komoditas yang bersifat lokal dapat
menjadi komoditas global. Biasanya orang menilai bahwa komoditas lokal tidak
mempunyai sifat universal dan komoditas global mempunyai sifat kosmopolitan.
Pada kenyataannya bukan demikian, semakin tinggi keaslian dan kekhasan lokal
suatu daerah, semakin tinggi nilai dan perhatiaan secara global terhadap produk
daerah tersebut. Namun, komoditas lokal itu sendiri harus dipatenkan dan
kualitas mutunya harus ditingkatkan. Dengan usaha ini, komoditas lokal dapat
memperoleh penilaian dunia dan dapat dipasarkan secara global.
Pada mulanya masyarakat mengembangkan produk khas/unik yang baik dengan
kualitas unggul, kemasan baik, manfaat luar biasa yang tidak dapat digantikan
dengan produk lain/product differential. Lambat laun produk tersebut dapat
memiliki konsumen yang fanatik di dalam negeri yang selanjutnya berkembang
ke pasar ekspor/luar negeri. Dengan demikian, pengembangan gerakan OVOP
ditujukan membuat kekhususan produk lokal yang dapat dipasarkan bukan saja
di Indonesia, tetapi juga di pasaran global dan dapat menjadi sumber
kebanggaan masyarakat setempat.
2. Mandiri, Kreatif dan Inovatif
Merupakan suatu prinsip yang dicanangkan untuk mengantisipiasi adanya
pemodalan dan sumberdaya dari pemerintah yang kemungkinan akan berhenti
pada kalkulasi risiko dan untung-rugi sehingga sulit berkelanjutan. Pemodalan
dan sumberdaya mandiri akan mendorong masyarakat untuk sungguh-sungguh
karena inisiatif masyarakat akan membuat masyarakat merasa nyaman dan
bergairah. Pemerintah cukup memberikan dukungan infrastruktur jalan dan
kemudahan dalam manajemen supply chain. Dalam jangka panjang, gerakan ini
akan membentuk budaya yang sangat luar biasa.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 3


Kabupaten Sukabumi
Disini diperlukan peran Pemerintah untuk memberikan berbagai fasilitas guna
pengembangan produk dengan program program yang kompetitif yang
terseleksi secara ketat. One Village One Product (OVOP) dimaksudkan bukan satu
desa satu produk melainkan setiap desa terpilih satu produk yang difasilitasi oleh
pemerintah untuk dikembangkan. Program yang mencerminkan kemandirian,
kreativitas dan inovatif dari masyarakat yang diprioritaskan untuk difasilitasi.
Sebaliknya, program OVOP yang difaslitasi menghindari bantuan-bantuan yang
akan mencederai semangat kemandirian, kreativitas dan inovasi masyarakat
yang menghalangi keberhasilan program OVOP jangka panjang. Studi APEC
menyimpulkan bahwa subsidi pemerintah menciptakan ketergantungan
masyarakat dan menurunnya semangat berwirausaha. Sebaiknya pemerintah
fokus pada penciptaan iklim kondusif berusaha seperti regulasi, R&D, capacity
building, dan promosi produk.
Dengan demikian, sebagai penghela dari gerakan OVOP adalah warga sendiri dan
yang harus menentukan produk spesifik lokal yang harus dipilih dan
dikembangkan sebagai pilihan masyarakat itu sendiri, Gerakan OVOP merupakan
kampanye untuk memfasilitasi pembangunan regional melalui penyadaran akan
potensi lokal untuk dikembangkan semangat kemandirian/self help akan
menyebabkan self reliant dan self respect, dan kreativitas dengan spirit
kemandirian.
3. Pengembangan SDM
Pengembangan SDM harus senantiasa dilakukan untuk mengikuti
perkembangan jaman, perubahan teknologi, dan perubahan permintaan yang
selalu dinamis. Berkaitan dengan penentuan kebijakan publik, badan-badan
usaha yang mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan sumber
daya manusia lokal semisal melalui program CSR terarah layak diberi insentif.
Demikian juga dengan perguruan tinggi yang konsisten melakukan kegiatan
penelitian ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat berkait dengan
pengembangan sumber daya manusia lokal
Pengembangan SDM merupakan komponen terpenting dari kampanye gerakan
ini. Agar warga masyarakat dapat menghasilkan produk khas dan berkualitas.
Dan mendorong terwujudnya sumberdaya manusia yang kreatif dan inovatif
yang mampu menghadapi tantangan baru dan memanfaatkan peluang bisnis di
sektor pertanian, pemasaran, pariwisata dan bidang lainnya.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 4


Kabupaten Sukabumi
4.1.1.3 Pendekatan Srategis Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis OVOP
a. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Percepatan Sektor Riil dan
Pembangunan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
Gerakan OVOP di Indonesia telah menjadi prioritas pembangunan nasional. Hal ini
didukung dengan ditetapkannya Inpres No. 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program
Ekonomi Tahun 2008-2009 sebagai kelanjutan dari Ipres No. 6 Tahun 2007 Tentang
Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM). Inpres tersebut ditujukan untuk mendorong
efektifitas pengembangan One Village One Product (OVOP). Sasaran Gerakan OVOP
di Indonesia adalah berkembangnya sinerji produksi dan pasar. Melalui Inpres ini
semua Kementerian, Gubernur dan Bupati/Walikota berkorodinasi dan secara
bersama mensukseskan Gerakan OVOP.
b. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 Tahun 2007
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78 Tahun 2007 tentang
Peningkatan Efektifitas Pengembangan IKM Melalui Pendekatan OVOP di Sentra,
OVOP adalah suatu pendekatan pengembangan potensi daerah di suatu wilayah
untuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik khas daerah dengan
memanfaatkan sumber daya lokal.
OVOP bertujuan untuk menggali dan mempromosikan produk inovatif dan kreatif
lokal yang bersifat unik khas daerah serta meningkatkan daya saingnya. Sedangkan
sasaran pengembangan IKM dengan pendekatan OVOP adalah meningkatnya
jumlah produk IKM yang bernilai tambah tinggi yang berdaya saing global.
Produk, khususnya produk IKM yang dipilih untuk dikembangkan dengan
pendekatan OVOP harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Produk unggulan daerah dan/atau produk kompetensi inti daerah;
b. Unik khas budaya dan keaslian lokal;
c. Bermutu dan berpenampilan menarik;
d. Berpotensi pasar domestik dan ekspor; dan
e. Diproduksi secara kontinyu dan konsisten.
Strategi pengembangan IKM dengan pendekatan OVOP dilakukan melalui :
a. Kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan
masyarakat local
b. Pemanfaatan pengetahuan, tenaga kerja dan sumber daya lokal lainnya yang
memiliki keunikan khas daerah
c. Perbaikan mutu dan penampilan produk

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 5


Kabupaten Sukabumi
d. Promosi dan pemasaran pada tingkat nasional dan global
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,
Kecil Dan Menengah
Program OVOP yang akan dikembangkan pada suatu daerah di Indonesia tentunya
harus sejalan dengan berbagai peraturan lainnya, seperti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah. Hal ini
berguna untuk memberikan batasan mengenai pendekatan OVOP sehingga
pengembangan ekonomi daerah dengan pendekatan OVOP dapat terfokus dan
berjalan secara optimal.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berasaskan: a. kekeluargaan; b. demokrasi
ekonomi; c. kebersamaan; d. efisiensi berkeadilan; e. berkelanjutan; f. berwawasan
lingkungan; g. kemandirian; h. keseimbangan kemajuan; dan i. kesatuan ekonomi
nasional.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan
usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan
demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Sedangkan Prinsip pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah, diantaranya yaitu:
1) Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
2) Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
3) Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai
dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
4) Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
5) Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara
terpadu.
Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yaitu:
a. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang,
dan berkeadilan;
b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan
daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 6


Kabupaten Sukabumi
d. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Koperasi
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan
hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal
untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
Koperasi berdasar atas asas kekeluargaan.
Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.
Nilai yang mendasari kegiatan Koperasi yaitu: a. kekeluargaan; b. menolong diri
sendiri; c. bertanggung jawab; d. demokrasi; e. persamaan; f. berkeadilan; dan g.
kemandirian.
Koperasi melaksanakan Prinsip Koperasi yang meliputi:
a. Keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka;
b. Pengawasan oleh Anggota diselenggarakan secara demokratis;
c. Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi;
d. Koperasi merupakan badan usaha swadaya yang otonom, dan independen;
e. Koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Anggota, Pengawas,
Pengurus, dan karyawannya, serta memberikan informasi kepada masyarakat
tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan Koperasi;
f. Koperasi melayani anggotanya secara prima dan memperkuat Gerakan Koperasi,
dengan bekerja sama melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal, nasional,
regional, dan internasional; dan
g. Koperasi bekerja untuk pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan dan
masyarakatnya melalui kebijakan yang disepakati oleh Anggota.
Koperasi melaksanakan Prinsip Koperasi yang meliputi:
a. keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka;
b. pengawasan oleh Anggota diselenggarakan secara demokratis;
c. Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi;
d. Koperasi merupakan badan usaha swadaya yang otonom, dan independen;
e. Koperasi menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Anggota, Pengawas,
Pengurus, dan karyawannya, serta memberikan informasi kepada masyarakat
tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan Koperasi;

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 7


Kabupaten Sukabumi
f. Koperasi melayani anggotanya secara prima dan memperkuat Gerakan Koperasi,
dengan bekerja sama melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal, nasional,
regional, dan internasional; dan
g. Koperasi bekerja untuk pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan dan
masyarakatnya melalui kebijakan yang disepakati oleh Anggota.

4.1.2 Pendekatan Desa Wisata


4.1.2.1 Konsep Desa Wisata
Desa Wisata dapat dipahami dengan pengertian bahwa di desa itu dapat terjadi kegiatan
pariwisata karena adanya daya tarik kehidupan desa dengan karakteristik yang terdapat
di dalamnya, termasuk masyarakat yang ada di desa itu. Daya tarik obyek (atraksi), akses
dan amenitas menjadi yang melingkupi di desa wisata. Potensi daya tarik budaya,
potensi daya tarik alam, dan potensi daya tarik buatan dengan karakteristiknya masing-
masing akan memiliki peluang guna menarik wisatawan untuk menikmati daya tarik itu
dalam upaya untuk memperoleh pengalaman dan kenangan yang menyenangkan, dan
mengesankan.
Ketika suatu desa telah mencanangkan diri untuk menjadikan “Desa Wisata”, maka
tindakan pengembangannya akan meliputi: menemukenali potensi yang akan
dikembangkan sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat, aspek perekonomian,
demikian pula aspek pemberdayaan masyarakat sebagai pihak yang akan mengelola
produk-produk yang dikembangkan secara tepat dan bermanfaat. Namun, yang tidak
kalah pentingnya adalah penerimaan, kesediaan, atau kesanggupan partisipasi
masyarakat terhadap kegiatan pariwisata yang akan diselenggarakan di desa dimana
masyarakat itu tinggal.
Dari pengamatan yang selama ini dilakukan tidaklah mudah mengajak, lalu mendidik
masyarakat di desa yang telah terbiasa dengan kehidupan pedesaan, bercocok tanam,
bertani, berkebun, mengolah lahan sawah atau kebun menjadi pengelola
fasilitas/pelayanan yang dibutuhkan oleh wisatawan. Tidaklah mudah pula mengajak
masyarakat dari tidak pernah atau jarang melihat wisatawan dengan segala
preferensinya. Permasalahan lain adalah kaum terpelajar yang berasal dari desa itu tidak
tertarik mengelola desanya, termasuk mengelola kegiatan wisata. Persoalan berikutnya
adalah ketika desa itu memang potensial untuk dikembangkan menjadi “Desa Wisata”,
bagaimanakah dengan “investasi” untuk pengelolaan atraksi, akses, dan amenitas? Dan
sumber daya manusianya? Belum lagi persoalan pengemasan produk dan
pemasarannya. Upaya untuk membuat identifikasi permasalahan lalu menemukan jalan
keluar sangatlah penting untuk dilakukan apabila memang menginginkan eksistensi
Desa Wisata berkembang secara dinamis, berdaya dan berhasil guna. Sebab apabila
tidak, bisakah dimungkinkan adanya faktor “eksternal” yang bisa mempengaruhi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 8


Kabupaten Sukabumi
keberadaan Desa Wisata itu termasuk bidang investasi atau Desa Wisata itu tidak
berkembang.
Untuk membangun desa wisata yang berkelanjutan diperlukan peran penting dari
masyarakat sehingga dipelrukan pelatihan masyarakat dari berbagai tingkat pendidikan,
karena jenis pariwisata ini memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan
profesional dalam pengelolaannya. Unsur penting lainnya adalah yang erat kaitannya
dengan pembentukan kelompok pengusaha setempat, pembinaan kelompok
pengusaha lokal dapat membentuk suatu fungsi yang bermanfaat dan sungguh dapat
memunculkan usaha-usaha baru.
Nilainya dapat diperoleh dengan memajukan/menampilkan produk lokal seperti barang
kerajinan makanan khas, minuman dan produk-produk lainnya yang memberikan cita
rasa kepada wisatawan tentang daerah tersebut dan dapat digunakan untuk
mempromosikan kekhasan tersebut kepada wisatawan. Semua itu adalah produk yang
dapat dimanfaatkan oleh usaha pariwisata lokal sendiri, dengan demikian memajukan
ciri lokal mereka sendiri dan mengembalikan lebih banyak uang ke ekonomi daerah
tersebut. Pembentukan kelompok pengusaha lokal juga dapat memperkuat kedudukan
pengusaha kecil yang perlu banyak berpegangan tangan agar menjadi kuat dan mapan.
Keaslian memberikan manfaat bagi produk wisata, termasuk desa wisata. Keaslian yang
utama adalah kualitas, asli, keorsinilan, keunikan, khas daerah dan kebanggaan daerah.
Keaslian itu dapat terwujud pula melalui gaya hidup dan kualitas hidup masyarakat dan
secara khusus berkaitan dengan perilaku integritas, keramahan dan kesungguhan
penduduk yang tinggal dan berkembang menjadi masyarakat daerah tersebut. Keaslian
juga dipengaruhi oleh keaslian ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut
misalnya warisan budaya, pertanian, bentangan alam, jasa dan yang paling penting
adalah peristiwa sejarah dan budaya dari daerah itu.
Dengan demikian dalam proses perencanaan pemodelan desa wisata tidak dapat
dipisahkan dari partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat
muncul secara partisipatif sebagai alternatif terhadap pendekatan pembangunan serta
sentralisasi dan bersifat bottom up. Munculnya proses partisipasi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat mendasarkan atas dua perspektif. Pertama : Pelibatan
masyarakat, setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan
program yang akan mewarnai kehidupan masyarakat, sehingga dengan demikian
dapatlah dijamin bahwa persepsi setempat, pola sikap, dan pola pikir serta nilai-nilai
pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh. Kedua : membuat umpan balik
yang pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan
pembangunan.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 9


Kabupaten Sukabumi
Manfaat Pengembangan Desa Wisata
Jika desa wisata akan dikembangkan, maka desa wisata harus memiliki manfaat
terhadap:
a. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Desa wisata perlu dukungan melalui kelancaran dan efektivitas pemberdayaan
ekonomi rakyat, terutama untuk mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan
KOPERASI (UMKK) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) agar masyarakat desa
mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk itu perlu adanya pengembangan
usaha ekonomi dan mata pencaharian berkelanjutan yang dapat ditempuh
dengan cara :
(1) Usaha Ekonomi Rakyat (usaha kecil, mikro dan koperasi) yang
memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal dan lestari,
(2) Dikembangkan badan usaha milik rakyat yang dapat berdampingan,
kemitraan dengan Koperasi,
(3) Pengembangan klaster-klaster usaha ekonomi rakyat yang menampilkan
produk-produk unggulan bernilai tambah tinggi sebagai sentra-sentra
kemandirian ekonomi rakyat.
Dukungan bagi kelancaran dan efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat
tersebut di atas dapat dikembangkan secara partisipatif sesuai dengan prioritas
masyarakat seperti, prasarana fisik yang memperlancar transportasi dan
komunikasi, pelayanan dasar, perluasan ruang publik pada tingkatan
masyarakat yang mendukung berbagai lapisan masyarakat, pengembangan
tenaga kerja dan lingkungan kerja bagi tenaga kerja usia muda.
b. Pemberdayaan Sosial Budaya
Pendekatan integratif dalam menata kehidupan sosial dapat dikaitkan melalui
kearifan lokal yang terdiri dari pemerintah daerah, sebagai regulator dan
fasilitator melakukan identifikasi dan kegiatan atas bentuk, mekanisme dalam
pemecahan masalah ke pendudukan, perbaikan pelayanan dan peningkatan
kualitas pendidikan, perbaikan pelayanan masyarakat, Unsur-unsur tersebut
perlu menjadi pertimbangan utama dalam mengkaji kawasan desa wisata,
mengingat pengembangan kepariwisataan secara umum tidak terlepas
kaitannya dengan pariwisata sebagai suatu kegiatan yang secara langsung
menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak
terhadap masyarakat setempat.
Disamping itu beberapa pendapat menunjukkan adanya berbagai dampak yang
tidak diharapkan, seperti memburuknya kesenjangan pendapatan antara
kelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antara daerah, hilangnya
kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi. Pentingnya kajian

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 10


Kabupaten Sukabumi
sosiologi terhadap penerapan pemodelan pariwisata semakin jelas, karena tipe
pariwisata yang dikembangkan adalah desa wisata, dimana desa wisata
mempunyai beberapa ciri, seperti; desa wisata melibatkan masyarakat lokal
secara lebih luas dan lebih intensif karena dasarnya adalah berkaitan dengan
kehidupan sosial budaya yang menjadi daya tarik wisata melekat pada
masyarakat itu sendiri, oleh karena itu pentingnya mengidentifikasi dampak
terhadap sosial budaya pariwisata yang menurut Fiquerola (dalam Pitana,
2005:117) terdiri dari enam kategori, yaitu :
1) Dampak terhadap struktur demografi
2) Dampak terhadap bentuk dan tipe mata pencaharian
3) Dampak terhadap transportasi nilai
4) Dampak terhadap gaya hidup tradisional
5) Dampak terhadap pola konsumsi, dan
6) Dampak terhadap pembangunan masyarakat yang merupakan manfaat
sosial budaya pariwisata.
c. Pemberdayaan Lingkungan Desa wisata
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya menyangkut tiga dimensi penting
yaitu, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Budiharsono (2006:10)
mengemukakan dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta merubah
pola produksi dan konsumsi ke arah yang seimbang, sedangkan dimensi sosial
bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah ke pendudukan perbaikan
pelayanan masyarakat, peningkatan pendidikan dan lain-lain. Adapun dimensi
lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan
terhadap polusi pengelolaan limbah serta konservasi/preservasi sumber daya
alam.
d. Pemberdayaan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia
Pemodelan kelembagaan dan sumber daya manusia pada desa wisata lebih
menekankan kepada: Pertama; investasi pada modal manusia (human capital)
yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan, Ke-dua; peningkatan kapasitas
organisasi di pedesaan, disamping organisasi pemerintahan desa yang secara
bersama-sama memiliki keinginan untuk mengembangkan desa wisata sebagai
upaya pembangunan yang berkelanjutan, Ke-tiga; memperluas dan
mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa
tercapai, Ke-empat; memperbaiki budaya kerja, kerja keras, tanggung jawab
dan hemat, Ke-lima; menghilangkan sifat dan mental negatif, boros, konsumtif
yang dapat merusak produktivitas. Sedangkan melalui pendidikan lebih
diarahkan kepada peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 11


Kabupaten Sukabumi
dalam bentuk pekerjaan yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Pendidikan
pelatihan tidak hanya memberikan keilmuan yang lebih penting adalah
kesadaran untuk tumbuhnya sikap menerima, bekerja sama, dan menimbulkan
prilaku baru dalam upaya mengentaskan kemiskinan, keterbelakangan dan
ketergantungan.

4.1.2.2 Prinsip-Prinsip Dalam Pengembangan Desa Wisata


Prinsip-prinsip sistemik dalam pengembangan desa wisata mencakup keanekaragaman,
kemitraan dan partisipasi strategi yang dapat ditempuh dalam perencanaan kawasan
desa wisata antara lain :
1) Kawasan desa wisata harus berdasarkan prinsip pembangunan yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan pembangunan bernuansa lingkungan memiliki
keterkaitan dengan pencegahan kerusakan sumber daya alam sebagai akibat dari
satu perkembangan kepariwisataan dan merupakan dampak baik terhadap
lingkungan hidup bigeofisik dan sumber daya alam, sosial ekonomi dan budaya
penduduk setempat. Karena itu kewaspadaan terhadap dampak lingkungan dalam
pemodelan desa wisata yang akan diakibatkan oleh kunjungan wisatawan massal
menjadi amat penting guna memelihara kelanjutan kualitas lingkungan
hidup/sumber daya alam yang tersedia di pedesaan.
2) Kawasan desa wisata harus sudah mengantisipasi secara terpadu, kemungkinan
terjadinya dampak lingkungan hidup/sumber daya alam sejak dini, yang digarap
sejak tahap perencanaan, sehingga upaya untuk mencegah dan mengarungi serta
mengendalikan dampak lingkungan hidup/sumber daya alam sebagai bagian dari
pengembangan desa wisata tidak terpisahkan dan dapat dilaksanakan.
3) Studi pra-rencana untuk mendukung desa wisata dalam pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan tersebut, sekaligus akan memberikan
masukan yang berharga akan tersedianya potensi desa wisata.
4) Pengembangan desa wisata lebih diarahkan dan dipacu guna menuju upaya
pengembangan ekowisata yang berpola pada upaya pemanfaatan dan
menyelamatkan lingkungan biogeofisik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya
serta memelihara sumber daya alam pedesaan, dari perusakan lingkungan hidup
dan pemborosan sumber daya alam pedesaan.
5) Dalam rangka pengendalian dampak sosial ekonomi dan budaya, pengembangan
kawasan desa wisata harus ditujukan kepada upaya meningkatkan pemerataan
kesempatan, pendapatan, peran serta dan tanggung jawab masyarakat setempat
yang terpadu dengan upaya pemerintah (daerah) dan dunia usaha yang relevan.
6) Pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat dilepaskan dari desa pusat,
pemerintah desa, desa tempat masyarakat desa sebagai tempat hidup mereka dan
desa tempat berekreasi masyarakat, hal ini penting untuk mencegah beralihnya

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 12


Kabupaten Sukabumi
aset desa dan kepemilikan lahan masyarakat desa kepada pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab serta tersisihkannya masyarakat oleh berkembangnya
pendatang.
Sejalan dengan strategi tersebut di atas maka dalam pengelolaan sumber daya alam
pedesaan melalui pelibatan masyarakat desa dalam mengelola dan memanfaatkan
sumber daya alam di pedesaan adalah mencakup peningkatan efisiensi dan
produktivitas, pemerataan hasil dan kesejahteraan secara profesional dan pencapaian
sumber daya berkelanjutan. Ketiga tujuan ini merupakan tiga pilar yang secara bersama
dan seimbang mendukung, keberadaan satu sumber daya alam bagi kepentingan
masyarakat di desa.

4.1.2.3 Pendekatan Pengembangan Desa Wisata


Pentingnya suatu pendekatan dalam proses pembangunan pemodelan agar dalam
upaya pembangunan tetap berorientasi kepada kepentingan masyarakat setempat,
lingkungan dan peletakan/pembagian zonasi yang tepat dan penataan. Lanskap yang
didasarkan kepada kondisi, potensi alam serta karakter sosial, budaya serta ekonomi
masyarakat setempat. Adapun pendekatan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Pendekatan kualitas lingkungan masyarakat, dasar utama yang senantiasa harus
dijaga keutuhannya, sehingga situasi konflik tidak akan timbul bila langkah-langkah
pendekatan dengan segala kearifan untuk memenuhi fungsi-fungsi timbal balik,
estetika, rekreatif, ilmiah dan konservasi.
2. Pendekatan perencanaan fisik yang meliputi daya tampung ruang, pemilihan daya
tampung ruang, pemilihan lokasi yang tepat serta peletakan zonasi yang seimbang
antara zona inti, zona penyangga, dan zona pelayanan, fisik, tanah, air dan iklim
biotis.
3. Pendekatan terhadap unsur-unsur pariwisata yang dapat dibangun dalam
hubungan dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas bagi wisatawan.
4. Pendekatan dasar rencana tapak yang berkaitan dengan peletakan fisik, sistem
transportasi, sistem utilitas tipologis, pola penghijauan, pola disain/arsitektural,
tata bangunan, topografi, iklim, desain lanskap.
5. Pendekatan struktur geo-klimatologis dan geo-morfologis setempat harus
mendukung kesuburan dan keindahan seperti karakter, pegunungan/perbukitan
yang indah, udara yang sejuk serta kondisi hidrologis yang memungkinkan, budi
daya pertanian berkembang.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 13


Kabupaten Sukabumi
A. Pengembangan Atraksi Wisata
Maksudnya adalah pengembangan atraksi wisata “Desa Wisata”. Dengan maksud
agar Desa Wisata tidak kehilangan nuansa pedesaan, ke”local”an dan keasliannya,
maka pengembangan atraksi wisatanya haruslah tidak menyimpang dari perihal ini.
Pengembangan itu dapat meliputi :
a. Pengembangan atraksi wisata yang ada hubungannya dengan mata
pencaharian penduduk desa. Misalnya: menikmati aktivitas wisata bercocok
tanam, menikmati aktivitas wisata berkebun, seperti menderes pohon karet,
dan menikmati aktivitas wisata berkenaan dengan perikanan dan peternakan.
b. Pengembangan atraksi wisata yang ada hubungannya dengan kebudayaan
masyarakat setempat. Misalnya : menikmati aktivitas wisata yang ada
hubungannya dengan kesenian, seperti : seni tari, musik, bela diri dan kriya,
dan menikmati aktivitas wisata yang ada hubungannya dengan tradisi, adat-
istiadat, ritual/upacara, seperti : tradisi ziarah makam leluhur, upacara bersih
desa.
c. Pengembangan atraksi wisata yang ada hubungannya dengan pelestarian alam.
Misalnya : Menikmati aktivitas wisata menanam pohon dan menikmati
aktivitas wisata bersih desa, bersih lingkungan.
d. Pengembangan atraksi wisata yang ada hubungannya dengan “adventure” dan
olahraga. Misalnya : menikmati aktivitas wisata mendaki gunung, jelajah wisata
dengan jalan kaki atau dengan moda transport local, dan Menikmati aktivitas
wisata bermain sepakbola, gasing, layang-layang.
B. Sistem Pengelolaan Desa Wisata
Bentuk pengelolaan desa wisata pada dasarnya adalah milik masyarakat yang
dikelola secara baik, dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting dalam
pengelolaan seperti; (1) aspek sumber daya manusia, (2) aspek keuangan, (3) aspek
material, (4) aspek pengelolaan dan (4) aspek pasar. Dalam satu wadah organisasi
masyarakat yang berbentuk kemitraan, manajemen korporasi, yayasan atau badan
pengelola desa wisata yang unsur-unsur pengelolaannya direkrut dari kemampuan
masyarakat setempat dan lebih mendahulukan peranan para pemuda yang
memiliki latar belakang pendidikan atau keterampilan yang dibutuhkan.
Sebagaimana yang diharapkan oleh pengelolaan “Desa Wisata” yang selalu
mengutamakan keberlangsungan lingkungan atas tindakan kepariwisataan di desa
itu dengan tidak meninggalkan nuansa pedesaan, kelokalan dan keasliannya-
kehadiran lembaga pengelola dan sistem pengelolaannya adalah sangat diperlukan.
Ketekunan dan kesabaran “lembaga” dalam menghadapi setiap problema aktual
kegiatan kepariwisataan “Desa Wisata” merupakan salah satu persyaratan dan
kondisi yang harus dipenuhi. Berikutnya adalah penguasaan pengetahuan,

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 14


Kabupaten Sukabumi
keterampilan (sosial, komunikasi) dan etika yang diperlukan oleh tindakan
pengelolaan Desa Wisata. Lembaga pengelola itu akan memiliki identitas diri,
alamat dan contact person yang bisa dihubungi. Sedangkan beberapa hal di bawah
ini akan melingkupi sistem pengelolaannya:
 Investasi/pengadaan dana pengelolaan
 Pengemasan dan pemasaran produk
 Lokasi kegiatan dan setting tata ruang
- Arena atraksi, “rest area”
- Pengemasan route
- Tempat parkir
- Tempatkedatangan/keberangkatan
- Area belanja
- Toilet
- Layanan kesehatan (P3K)
 Sistem pengamanan/keamanan
 Sumber daya manusia yang mumpuni :
- Pemandu wisata
- Pramusaji, penyaji
- Pengelola produk
- Tour operator
- Petugas “Tourist Information Services”
Tidak kalah pentingnya dari kelembagaan dan sistem pengelolaannya adalah peran
masyarakat lokal yang senantiasa terpandu agar bersikap ramah, “welcomed” dan
penuh dengan “hospitality”.
C. Perencanaan Kawasan Desa wisata
Hal yang sangat penting diketahui dalam setiap kerja sama individu dalam
kelompok, ialah maksud dan tujuan kerja sama tersebut, dan harus jelas
mengetahui metode pencapaiannya. Bila usaha kelompok itu ingin efektif, orang-
orang dalam kelompok itu harus mengetahui apa yang diharapkan untuk
menyelesaikannya, inilah yang dimaksud dengan fungsi perencanaan. Berdasarkan
fungsi perencanaan tersebut, maka perencanaan adalah keputusan untuk waktu
yang akan datang, apa yang akan dilakukan, bilamana akan dilakukan dan siapa yang
akan melakukan. Jelasnya perencanaan dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu
dalam waktu yang akan datang, dan usaha/cara yang efektif untuk pencapaiannya.
Oleh karena itu perencanaan adalah suatu keputusan apa yang diharapkan dalam
waktu yang akan datang.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 15


Kabupaten Sukabumi
Dalam penyusunan perencanaan kawasan desa wisata merupakan suatu proses
kesinambungan. Sebagai satu proses dalam penyusunan perencanaan kawasan
desa wisata dibutuhkan suatu tindakan pemeliharaan yang terbaik/menguntungkan
dari berbagai alternatif dalam usaha pencapaian tujuan. Mengingat perencanaan
kawasan desa wisata lebih banyak melibatkan peran, partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat, maka bentuk perencanaannya lebih menitik beratkan kepada
Community Based Tourism.
Pariwisata berbasis komunitas (community based tourism) adalah sebuah konsep
yang menekankan masyarakat untuk mampu mengelola dan mengembangkan
objek wisata oleh mereka sendiri. Menurut Garrod (2001:4), definisi CBT yaitu : 1)
bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk
mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pari wisata, 2)
masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga
mendapat keuntungan, 3) menuntut pemberdayaan secara politis dan demokra-
tisasi dan distribusi keuntungan kepada communitas yang kurang beruntung di
pedesaan. (Garrod 2001:4).
Selain yang dikemukakan oleh Garrod, dalam pandangan Hausler CBT merupakan
suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat
lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam
bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan
pariwista yang berujung pada pemberdayaan politis melalaui kehidupan yang lebih
demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegitan pariwisata yang
lebih adil bagi masyarakat lokal. Hausler menyampaikan gagasan tersebut sebagai
wujud perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali
mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata.
Sementara itu, menurut Suansri (2003:14) mendefinisikan CBT sebagai wujud
perhatian yang kritis pada pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan
hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata. Suansri (2003:14) mendefinisikan CBT
sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial
dan budaya. CBT merupakan alat pembangun-an komunitas dan konservasi
lingkungan, atau dengan kata lain CBT merupakan alat untuk mewujudkan
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.
Menurut Timothy (1999:373), ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism adalah
berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan
pendampingan yang membela masyarakat lokal serta lain kelompok memiliki
ketertarikan/minat, yang memberi kontrol lebih besar dalam proses sosial untuk
mewujudkan kesejahteraan. Sedangkan Murphy (1985:153) menekankan strategi
yang terfokus pada identifikasi tujuan masyarakat tuan rumah dan keinginan serta
kemampuan mereka menyerap manfaat pariwisata. Menurut Murphy setiap
masyarakat harus didorong untuk mengidentifikasi tujuannya sendiri dan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 16


Kabupaten Sukabumi
mengarahkan pariwisata untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat lokal. Untuk
itu dibutuhkan perencanaan sedemikian rupa sehingga aspek sosial dan lingkungan
masuk dalam perencanaan dan industri pariwisata memperhatikan wisatawan dan
juga masyarakat setempat.
Wujud dari konsep community based tourism adalah dikembangkannya desa-desa
wisat, dimana dalam desa wisata, masyarakat desa yang berada di wilayah
pariwisata mengembangkan potensinya baik potensi sumber daya alam, budaya,
dan juga potensi sumber daya manusianya (masyarakat setempat). Keberadaan
desa wisata di Indonesia saat ini sudah semakin berkembang pesat. Hanya dalam
kurun waktu tiga tahun, jumlah kunjungan ke desa wisata bertambah lima kali lipat.
Mengacu data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, saat ini di Indonesia
terdapat 987 desa wisata. Jumlahnya semakin meningkat sejak pertama
diselenggarakannya desa wisata pada tahun 2009.
Pengembangan desa wisata dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat
desa itu sendiri, diantaranya adalah akan adanya lahan pekerjaan baru bagi
masyarakat sehingga dapat menurunkan angka pengangguran di desa tersebut,
selain itu desa wisata yang mengusung konsep ekowisata akan membuat suatu desa
dapat mempertahankan kelestarian alam dan budaya desanya. Hal lainnya adalah,
desa wisata dapat membuat suatu desa menjadi desa yang mandiri karena dapat
menyediakan alternatif pekerjaan yang dapat dimasuki oleh masyarakat setempat.
Desa wisata saat ini memiliki kecenderungan menggunakan konsep ekowisata,
dimana pariwisata yang ditawarkan adalah segala potensi yang dimiliki oleh
masyarakat pedesaan. Pariwisata pedesaan menjadikan masyarakat lebih menjaga
keaslian budaya dan alam di desanya untuk dapat mempertahankan minat
wisatawan dalam berwisata di desa wisata. Konsep yang digunakan dalam CBT
sangat erat kaitannya dengan pemberdayaan, dimana masyarakat diberdayakan
terlebih dahulu agar mampu mengembangkan potensinya sendiri, dengan
pemberdayaan masyarakat dilatih untuk bisa menolong dirinya sendiri (self help),
sehingga, pada pembangunan desa wisata, masyarakat dikembangkan dan
diberdayakan untuk mampu mengelola desa wisatanya sendiri.

4.1.2.4 Aspek-Aspek dalam Pengembangan Desa Wisata


Disamping berbagai aspek dari rumah masyarakat Sunda yang sangat penting untuk
dijadikan bahan pertimbangan dalam kawasan desa wisata, aspek lainnya yang
berkaitan dengan aspek geografis, biologis, fisis, tipologis, tata ruang, budaya, nilai-nilai
tradisi semacan cerita rakyat, kesenian, kerajinan, merupakan aspek-aspek yang
melatarbelakangi ciri identitas lokal dari kawasan desa wisata yang dibentuk oleh
lingkungan alam, dan masyarakat setempat. Adapun aspek-aspek tersebut dapat
diuraikan seperti berikut:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 17


Kabupaten Sukabumi
1. Aspek fisik yang meliputi elemen:
a. Elemen tanah, elemen tanah dalam membangun kawasan desa wisata harus
memiliki kesuburan penuh dengan tumbuhan hijau atau buah-buahan yang
beraneka ragam.
b. Elemen air, desa wisata harus kaya/melimpah dengan air, air merupakan
konsep berseka masyarakat Sunda, bersih dan sehat melambangkan kesuburan
khas parahyangan yang “cur-cor-cai”. Disamping fungsinya untuk mengairi
persawahan, pancuran balong dan sebagainya.
c. Elemen iklim, suasana sejuk dengan aroma dan panorama pegunungan yang
khas, pantai yang indah, kehijauan tanah perkebunan dengan teh yang
menghampar hijau, suasana persawahan, memberikan nuansa kesejukan.
2. Aspek sosial
a. Penduduk, kehidupan penduduk sebagai layaknya mereka hidup di alam
pedesaan dengan tata cara, sistem, budaya masyarakat perlu terus
dipertahankan sebagai bagian penting untuk kelengkapan atraksi wisata.
b. Pola usaha, pola usaha berkaitan dengan komposisi ekonomi yang dapat
berkembang dari berbagai potensi, produksi yang tersedia di wilayah pedesaan
seperti : menggarap sawah, mengolah kebun, bercocok tanam, membuat
kerajinan tangan dan usaha ekonomi lainnya yang memungkinkan
terbentuknya kebutuhan ekonomi masyarakat.
c. Lembaga masyarakat, masyarakat pedesaan memiliki emosional yang tinggi
dalam membentuk kerukunan dan kehidupannya. Prinsip yang harus dimiliki
adalah desa yang memiliki pemerintahan, desa adalah tempat berkumpulnya
orang desa dan desa tempat dimana masyarakat desa menggunakan waktu
luang untuk mengenal dan menghargai potensi desanya (rekreasi), untuk
tercapainya kerukunan masyarakat desa, maka lembaga masyarakat di
pedesaan harus bersifat lembaga kerukunan desa yang dibentuk berdasarkan
bottom up dan memiliki kekuatan gotong royong.
3. Aspek biotis
Biotis lebih memberikan ciri tersendiri bagi pemodelan desa wisata, oleh karena
aspek biotis tidak saja berkaitan dengan tumbuhan dan kehidupan, akan tetapi
mencakup pola kehidupan masyarakat desa yang pada dasarnya memiliki
kesenangan memelihara berbagai jenis hewan, seperti domba, ayam, itik, bebek,
kerbau, kuda, dan sebagainya. Dalam pemodelan desa wisata, hewan harus menjadi
pertimbangan sendiri terutama dalam masalah kebersihan dan kesehatan hewan.
Karena desa wisata akan banyak menarik banyak pengunjung, suasana bersih dan
sehat harus tetap dipertahankan. Aspek flora, tumbuhan merupakan aspek yang
dapat berkembang ke arah pemanfaatan dan kegunaan yang berguna tidak hanya

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 18


Kabupaten Sukabumi
untuk masyarakat di sekitar atau pemilik desa tetapi bermanfaat dan berguna untuk
masyarakat luar, seperti tumbuhan yang bermakna bagi obat-obatan yang serius
disebut herbal, dapat dikembangkan menjadi pola usaha masyarakat, mengingat
tumbuhan herbal saat ini memiliki nilai yang tinggi. Tanaman obat dari berbagai
jenis spesies akan mendorong kekuatan dan daya tarik wisata, sekaligus wisata
kesehatan.
4. Aspek tipologis
a. Aspek letak, letak desa wisata sangat tergantung dari potensi yang dimiliki satu
desa. Potensi tersebut harus menjadi kajian utama untuk menentukan lokasi
dan letak desa wisata. Pada dasarnya, letak desa wisata harus menghindari
daerah urban di sekitarnya, diusahakan jauh dari daerah urban, atau
pemukiman padat penduduk.
b. Aspek luas, luas wilayah desa wisata sangat tergantung dari kepemilikan lahan.
Lahan untuk desa wisata dapat dikembangkan dengan melihat kepada
kedudukan geografis, tipologis dan kedudukan pemerintahan desa. Luas desa
wisata dapat menggabungkan antara potensi satu desa dengan desa yang lain.
5. Aspek tata ruang
Tata ruang adalah sistem pemanfaatan lahan antar wilayah yang memiliki
keteraturan yang didasarkan kepada sumber daya yang menjadi penentu bagi
peruntukan lahan tersebut. Lahan/wilayah yang peruntukan harus sudah
ditetapkan sebagai peruntukan desa wisata dengan pengembangan dan berbagai
aturan hukum yang melindunginya.
6. Aspek kebudayaan
Aspek kebudayaan pada dasarnya meliputi bahasa, seni dan adat istiadat,
sedangkan ruang lingkup kebudayaan meliputi seni rupa/arsitektur, seni
musik/karawitan, seni tari dan padalangan, seni teater, kepurbakalaan dan
permuseuman, seni sastra. Potensi kebudayaan tersebut perlu dikaji secara cermat
di desa atau wilayah yang dijadikan desa wisata. Bilamana Unsur-unsur tersebut
merupakan karakter yang kuat yang dimiliki desa/wilayah tersebut, maka akan
menjadi bagian penting untuk membangun desa wisata yang berkarakter budaya.
Elemen yang termasuk dalam aspek kebudayaan adalah pola hidup masyarakat
yang mencerminkan melalui cara berpakaian dengan khas Sunda, misalnya
menggunakan ikat kepala, celana pangsi, sedangkan pola hidup yang
mencerminkan keanekaragaman jenis makanan khas setempat, merupakan sajian
yang dapat mendorong ekonomi masyarakat berkembang dan menjadi identitas
dari satu desa.
Kesenian adalah Unsur yang akan memperkuat terhadap keberadaan desa wisata.
Kesenian yang disajikan, disamping sebagai hiburan, terkandung pula makna

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 19


Kabupaten Sukabumi
apresiasi masyarakat setempat yang memiliki, melindungi dan mengembangkan
kesenian yang bertujuan untuk pemahaman generasi muda dimasa yang akan
datang dan pemahaman kepada wisatawan.
7. Aspek cerita rakyat dan upacara tradisional
Cerita rakyat dan upacara tradisional, sering kali berkaitan satu sama lainnya. Dalam
pemodelan desa wisata kedua Unsur tersebut perlu digali dan dikembangkan serta
dipublikasikan dan dipertunjukkan kepada masyarakat sebagai contoh : cerita
rakyat “Nyai Roro Kidul” yang menjadi dominasi penguasa laut selatan, secara turun
temurun menjadi cerita setiap orang yang berada di pantai selatan, cerita rakyat ini
sering pula dijadikan satu kebiasaan masyarakat untuk memberikan kegiatan yang
bersifat “persembahan” dengan acara spesifik para nelayan yaitu upacara hajat
laut. Banyak lagi cerita rakyat dan upacara lainnya yang dikembangkan dalam
pemodelan desa wisata, seperti upacara seren taun/pesta panen yang sering kali
dikaitkan dengan cerita rakyat “Dewi Sri” dikesankan sebagai Dewi Padi yang
memberikan kesuburan dan keberhasilan panen padi.
8. Aspek kerajinan
Masyarakat pedesaan pada umumnya dilatarbelakangi oleh kehidupan yang serba
ada, yang dihasilkan dari alam dan lingkungan yang dapat dimanfaatkan tanpa harus
banyak mengeluarkan banyak uang seperti kayu, merupakan bahan yang mudah
untuk dijadikan kerajinan, tanah yang dapat digunakan untuk membuat kerajinan
keramik, batok kelapa untuk aneka macam peralatan dapur dan seni ukur batok
kelapa termasuk sabut kelapa dan lain-lain. Dalam pemodelan desa wisata, potensi
atau bahan-bahan tersebut perlu diupayakan untuk disajikan sebagai salah satu
daya tarik wisata melalui penyajian cara membuatnya atau keikutsertaan
pengunjung dalam pembuatannya.
9. Aspek pola ruang
Dasar perhitungan standar kebutuhan ruang, terdiri dari kebutuhan ruang luar
(tapak, bentangan alam) dan kebutuhan ruangan dalam (bangunan). Rasio
perbandingan antara kebutuhan ruang luar (bentangan alam) dan bangunan
bervariasi melatarbelakanginya. Sebagai contoh, ada yang menggunakan standar 7
(tujuh) berbanding 3 (tiga), atau 70 % digunakan untuk lahan terbuka dan 30 %
untuk bangunan, dengan memperhitungkan Pola orientasi dimaksud adalah untuk
memperhitungkan posisi dan kedudukan bangunan-bangunan sebagai elemen-
elemen usaha pariwisata terhadap sinar matahari, view ke arah laut, angin, cuaca
dan lanskap mengikuti bentuk fisik seperti terdapat pohon pelindung, pohon perdu
pembatas, pohon tanaman hias, serta tanaman penutup tanah, disamping itu corak
lingkungan lanskap alami seperti bukit-bukit kecil, sungai (selokan) dipertahankan
sebagai harmonisasi alam.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 20


Kabupaten Sukabumi
Dalam membangun dan mengembangkan desa wisata, dasar utama dan penting
yang harus dipahami oleh para pengembang adalah; (1) desa tempat dimana
pemerintah desa dilaksanakan, dengan demikian adanya pembangunan desa wisata
tidak menjadi pesaing atau mempengaruhi sistem pemerintahan desa yang telah
berjalan, (2) desa tempat dimana masyarakat desa mengolah kehidupan dan
menjalankan kehidupan beragama, dengan demikian setiap bentuk pembangunan
sosial ekonomi yang masuk tidak merusak pola ekonomi desa, tetapi menunjang
terhadap struktur ekonomi pedesaan, (3) desa tempat masyarakat memanfaatkan
waktu luang, rekreasi dan bercengkerama dengan alamnya, dengan demikian bagi
wisatawan akan mendorong terjelmanya keharmonisan dengan masyarakat
setempat. Adapun struktur perencanaan dan pengembangan kawasan desa wisata
diawali secara bottom up dengan mengkaji berbagai kekuatan masyarakat desa baik
dari sisi budaya sosial, lingkungan, ekonomi, sumber daya yang menjadi landasan
kehidupan masyarakat desa.
Dengan perencanaan dan pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat
dipisahkan ari pembangunan wilayah kecamatan maupun pembangunan desa baik
dari segi kebijakan strategi maupun program. Oleh karena desa wisata merupakan
salah satu bentuk keterkaitan pembangunan antar sektor yang tercermin pada
perencanaan dan pengembangan integrasi dalam bentuk prasarana, sarana dan
pemberdayaan masyarakat. Untuk tercapainya optimalisasi unsur-unsur tersebut
maka pendekatan zonasi dalam kawasan desa wisata merupakan sistem yang dapat
memadukan kebutuhan fasilitas dan perlindungan atau konservasi.

4.1.2.5 Pengembangan Desa Wisata Kedepan


Seiring dengan perubahan “trend” pariwisata yang lebih mengarah pada “non-mass
tourism” (pariwisata non massal), maka seiring dengan itu pula keberadaan Desa Wisata
dengan segala produk wisatanya yang bernuansa pedesaan dan karakteristiknya serta
orisinalitas yang melingkupi desa itu akan memiliki peluang pasar yang tidak kecil,
walaupun uang yang dibelanjakan wisatawan termasuk kecil tetapi dapat diterima
langsung oleh masyarakat setempat melalui berbagai produk yang dapat dijual. Salah
satu upaya untuk meningkatkan “expenditure” (pengeluaran) wisatawan adalah melalui
upaya meningkatkan lama tinggal wisatawan di desa itu. Hal ini menuntut adanya
diversifikasi produk dan daya tarik yang makin variatif, dan keunikan serta otentisitas
yang tidak rendah. Dengan maksud agar tindakan pengembangan Desa Wisata tidak
menimbulkan hal-hal yang bersifat “destruktif”, sangatlah disarankan untuk
memperhatikan :
a. Ciri khas, keaslian yang bersifat lokal
Antara lain dapat ditandai dengan arsitektur bangunan, pola hidup sehari-hari, sikap
dan perilaku masyarakat setempat yang mencirikan keaslian-lokal.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 21


Kabupaten Sukabumi
b. Tidak merubah kondisi fisik
Artinya tidak merubah kondisi fisik apapun yang sudah ada di desa itu. Akan tetapi
apabila harus ada penambahan pembangunan fisik yang dibutuhkan oleh tindakan
pengelolaan kepariwisataan di desa itu hendaknya bersifat sekedar melengkapi
saja, misal: toilet, tempat untuk istirahat (rest area), jalan setapak, penampungan
air, tempat parkir, gardu pintu masuk/gardu pintu keluar.
c. Tata cara/tata tertib dan adat-istiadat setempat
Dalam pengembangan Desa Wisata perihal akan tata cara atau tata tertib dan adat-
istiadat baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, haruslah diindahkan dan
ditaati baik oleh masyarakat maupun wisatawan dalam upaya untuk memandu
aktivitas wisata di desa agar dampak-dampak negatif dapat diminimalkan atau
bahkan ditiadakan. Mengindahkan menaati perihal dimaksud akan dapat menjadi
daya tarik wisat di desa itu.
d. Keterlibatan masyarakat
Hendaknya masyarakat menjadi obyek dan sekaligus subyek bagi pengelolaan Desa
Wisata dengan segala upaya pengembangannya. Masyarakat harus memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya atas keterlibatannya dalam kegiatan “Desa Wisata”
dalam bentuk, misal : pengelolaan obyek dan atraksi wisata, jasa penyediaan
kebutuhan makan/minum (meals), pemandu wisata, souvenir khas desa, transport
di desa dan lain-lain.
e. Aspek Lingkungan
Bagaimanapun desa tidak boleh kehilangan “desa”-nya. Artinya dalam
pengembangan Desa Wisata harus memperhatikan daya dukung dan daya
tampung, termasuk kesiapan masyarakat. Pengembangan yang melampaui daya
tampung dan daya dukung akan menimbulkan dampak yang merugikan
“lingkungan” baik fisik maupun sosial, budaya, yang pada gilirannya akan merusak
daya tarik desa itu sendiri.
Dengan demikian, maka dalam mengembangkan desa wisata, maka diperlukan
pengembangan berbagai unsur meliputi :
1. Karakteristik
Ketika suatu desa telah disepakati, dicanangkan sebagai “Desa Wisata” mestinya di
desa itu memiliki potensi daya tarik dengan karakteristik pedesaan yang non-urban.
Karakteristik itu akan terwakili oleh kehidupan tradisional dan keunikan-keunikan
yang melingkupinya. Penilaian mendasar untuk pengembangan suatu desa atau
kawasan menjadi “Desa Wisata” hendaknya memperhatikan beberapa hal, antara
lain:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 22


Kabupaten Sukabumi
a. Melestarikan warisan budaya masyarakat lokal.
b. Pengembangan wisata harus dapat memberi manfaat bagi masyarakat
setempat.
c. Memberi pengalaman dan kenangan yang menyenangkan, mengesankan
kepada wisatawan.
d. Pengemasan potensi desa sebagai produk wisata yang dapat laku dijual.
Pendekatan karakteristik mensyaratkan adanya tindakan identifikasi dan
pengkajian berbagai hal yang melekat pada desa itu yang memiliki kekhasan yang
dapat dikemukakan, seperti:
a. Karakteristik budaya
Berbagai hal yang terkait dengan kehidupan budaya, tradisi, adat, kesenian,
tata cara kehidupan yang diwarisi secara turun-temurun.
b. Karakteristik yang ada hubungannya dengan mata pencaharian masyarakat di
kawasan atau desa itu yakni kehidupan sehari-hari masyarakat setempat atas
pola mata pencaharian yang dilakukannya, misal: sebagai petani, pengrajin,
bekerja di kebun.
c. Karakteristik alam.
Ciri khas berkenaan dengan lingkungan alam, apakah sungai, gunung, lembah,
danau yang memiliki karakteristik yang dapat disampaikan.
d. Karakteristik bangunan fisik
Daya tariknya dapat diwakili oleh kondisi fisik bangunan tradisional, seperti:
tempat tinggal, fasilitas umum, tempat ibadah, atau bangunan-bangunan fisik
lainnya yang tidak ada duanya di tempat atau daerah lain karena keunikannya.
Mengembangkan daya tarik suatu desa tidak diikuti dengan mempertimbangkan
karakteristik di atas akan sama dengan memaksakan kehendak sebuah desa
menjadi Desa Wisata, disamping akses dan amenitas serta peran masyarakatnya.
2. Budaya
Seperti telah mengemuka di depan bahwa merubah kebiasaan masyarakat dari
menjadi petani, pekerja di kebun, atau pengrajin menjadi pengelola produk wisata
tidaklah mudah. Diperlukan berbagai upaya dengan segala ketekunan dan
kesabaran untuk membuat masyarakat mampu dan mau mengelola potensi budaya
yang ada padanya menjadi produk wisata “laku dijual” tanpa menimbulkan dampak
negatif yang akan merusak budaya itu.
Barangkali dijumpai beberapa potensi budaya dalam pengembangan Desa Wisata,
seperti: tarian, upacara, tradisi atau ritual. Dan mungkin asset budaya lain yang
hanya disajikan dan dipresentasikan pada kesempatan dan kalangan tertentu

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 23


Kabupaten Sukabumi
karena kesakralannya atau sebab lain yang menjadikannya tidak boleh dijual maka
hendaknya hal itu dihormati. Namun demikian mestinya ada yang lain yang boleh
diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata. Alasannya, ketika potensi budaya hanya
sebagai daya tarik akan berhenti sebagai potensi saja. Keberadaannya tidak
menghasilkan perolehan ekonomis apapun. Memposisikan asset budaya hanya
sebagai potensi daya tarik tidaklah tepat, pun kurang dianjurkan. Akan tetapi ketika
pariwisata melibatkan asset budaya dibaca secara bisnis, maka anjurannya adalah
agar tidak dieksploitasi secara ekonomis belaka tanpa memperhatikan “lingkungan”
dalam arti yang seluas-luasnya. Di sinilah pentingnya tindakan mengelola dan
mengembangkan asset budaya untuk pariwisata. Di satu sisi perolehan materi
berjalan, di sisi lain lingkungan berkelanjutan.
3. Lingkungan
Dalam upaya pengembangan suatu desa menjadi Desa Wisata, pemahaman
mengenai wisata berwawasan lingkungan sangatlah mutlak diperlukan. Hal ini lebih
diarahkan untuk memenuhi kriteria pengelolaan Desa Wisata, yaitu: tidak
meninggalkan aspek otentisitas, orisinalitas, dan karakteristik daya tarik yang
dimiliki. Pengelolaannya harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung
demi keberlangsungan lingkungan. Untuk itulah pengelolaan Desa Wisata dengan
kemasan produk-produk wisatanya harus berwawasan lingkungan.
Wisata berwawasan lingkungan secara sederhana bisa diartikan sebagai perjalanan
ke suatu kawasan alam yang relatif masih asli dan tidak tercemar dengan minat
untuk mempelajari, mengagumi, menikmati pemandangan alam, flora/fauna dan
manifestasi budaya setempat. Kegiatan wisata berwawasan lingkungan bisa
dilakukan secara perorangan (free individual traveler) atau kelompok (group
inclusive tour). Apabila dilihat dari segi daya tarik wisata yang dinikmatinya,
terdapat dua jenis daya tarik wisata yaitu:
a. Berhubungan dengan alam (nature related attraction)
b. Daya tarik wisata didasarkan atas alam (nature based tourist attraction)
Di bawah ini adalah beberapa hal mengenai kegiatan wisata berwawasan
lingkungan:
a. Kegiatan wisata berwawasan lingkungan adalah pariwisata berkelanjutan.
b. Kegiatan wisata konvensional hendaknya diupayakan untuk memenuhi
persyaratan lingkungan yang memadai.
c. Keberhasilannya harus memberi manfaat ekonomi, sosial, budaya masyarakat
local agar mereka mempunyai “greget” karena tergugah untuk melindungi
sumber-sumber alam, budaya dalam upaya mengkreasi daya tarik/atraksi yang
dapat dikemas menjadi produk wisata.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 24


Kabupaten Sukabumi
d. Wisatawan tidak hanya belajar tentang destinasi tetapi juga belajar bagaimana
membantu keberlangsungan karakteristik destinasi sembari melakukan
pendalaman pengalaman.
e. Pariwisata berkelanjutan dapat memberi kesadaran kepada semua pihak
termasuk wisatawan untuk meminimalisir polusi, menghemat energi, air, listrik
dan memberi respek pada budaya dan tradisi lokal.
f. Keberhasilan pariwisata tidak ditentukan oleh jumlah pengunjung saja tetapi
juga oleh lama tinggal, ekspenditure, kualitas pengalaman.
Beberapa batasan mengenai wisata berwawasan lingkungan yang telah
diungkapkan oleh Low Choy (1998 : 180) mengemukan bahwa wisata berwawasan
lingkungan itu memiliki 5 (lima) prinsip utama, yaitu :
1) Lingkungan
Bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang relatif belum tercemar dan
terganggu.
2) Masyarakat
Dapat memberi manfaat pada lingkungan sosial, ekonomi, budaya langsung
kepada masyarakat – tuan rumah.
3) Pendidikan dan pengalaman
Dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya terkait,
ada pengalaman dan kesan yang menyenangkan.
4) Berkelanjutan
Dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan lingkungan tempat
kegiatan, tidak merusak dan tidak menurunkan mutu baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
5) Manajemen
Dikelola agar dapat menjamin daya hidup jangka panjang bagi lingkungan alam
dan budaya terkait di daerah tempat kegiatan, menerapkan cara mengelola
yang terbaik untuk menjamin kelangsungan hidup ekonominya.

4.2 METODOLOGI PEKERJAAN


4.2.1 Tahap Awal
Tahap persiapan meliputi studi pustaka dan pengumpulan bahan-bahan yang relevan,
berupa peta tata ruang wilayah kabupaten Sukabumi, peraturan perundangan, laporan
atau dokumen RPJPN, RPJMN, MP3EI (apabila ada), RPJPD kabupaten Sukabumi, RPJPD
dan RPJMD wilayah tetangga, data kondisi lingkungan, data produksi dan data kondisi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 25


Kabupaten Sukabumi
makro ekonomi, data kemiskinan, data demografi, dan data-data lainnya yang dianggap
relevan.
Penelitian diawali dengan sinkronisasi arah pembangunan dengan memperbandingkan
dan kemudian menyesuaikan arah pembangunan dengan arah pembangunan di level
pusat serta provinsi dan juga menyelaraskan dengan arah pembangunan wilayah
tetangga. Dari hasil sinkronisasi ini maka akan diperoleh variable-variabel inti yang
kemuidian akan dijadikan sebagai dasar melakukan simulasi kebijakan pada tahapan
analisis dan pengolahan data.
Bentuk sinkronisasi arah pembangunan dan program kerja dalam konteks
pembangunan ekonomi akan disajikan dalam bentuk matriks perbandingan sebagai
berikut :
Tabel 4.1 Matriks Sinkronisasi Arah Pembangunan Ekonomi
Kab Sukabumi Sektor pertumbuhan ekonomi Kebijakan lain
Pusat A B C D E Ke-n RPJPN dan RPJMN
pertumbuhan
1
2
Ke-n
Nawacita Jokowi
RPJPD dan RPJPMD Provinsi
RPJPD dan RPJPMD
Wilayah tetangga

Pengerahan
Tenaga Ahli

Kerangka Acuan Studi Literatur


Kerja

Penyempurnaan
Desain Penelitian

Metode Analisis Metode


Pengumpulan data

Tersusun Alat dan


Disain Survey

Gambar 4.1 Bagan Tahap Awal

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 26


Kabupaten Sukabumi
4.2.2 Alur Pikir Pekerjaan
Secara umum alur kerja dari setiap tahapan akan disajikan secara lebih sederhana
dengan menggunakan diagram berikut ini:

Model
Penentuan Sektor
Unggulan

ROAD MAP EKONOMI


KABUPATEN SUKABUMI
2019-2023

Road map arah pembangunan


ekonomi Kabupaten Sukabumi
2019-2023

Gambar 4.2 Alur Pikir Penyusunan Roadmap Perekonomian Kabupaten Sukabumi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 27


Kabupaten Sukabumi
Gambar 4.3 Metodologi Roadmap Ekonomi Perdesaan Kabupaten Sukabumi

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 28


Kabupaten Sukabumi
4.2.3 Metode Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder
berdasarkan desain penelitian dan desain survey yang telah disempurnakan. Data
sekunder diperoleh melalui dokumen resmi yang telah dipublikasikan yang bersumber
dari:
- Data BPS
- Data Laporan kegiatan Instansi atau SKPD Terkait, mengenai pengembangan
ekonomi daerah baik yang berbasis OVOP maupun bukan OVOP serta potensi
produk unggulan daerah yang dapat dikembangkan.
Sementara Data Primer diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan berbagai
stakeholder terkait. Instrumen wawancara yang digunakan yaitu menggunakan
kuesioner sebagai panduan. Berbagai Stakeholder yang dimaksud yaitu Pemerintah
Kabupaten Sukabumi, Badan Usaha, Pemerintah Kec. dan Desa, dan Pelaku
Usaha/Bisnis. Wawancara tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan data dan
informasi yang dibutuhkan guna pengembangan ekonomi daerah berbasis OVOP di
Kabupaten Sukabumi.
Data yang dihasilkan pada tahap ini akan ditabulasi dilakukan analisis deskriptif untuk
menghasilkan gambaran dan pemetaan produk unggulan berbasis OVOP di setiap
daerah yang dilaporkan dalam bentuk Laporan Antara.

Desain dan Alat


Survey yang telah
disempurnakan

Survey data Primer Survey Data


Sekunder

Tabulasi dan
Analisis Deskriptif

Gambar 4.4 Bagan Tahap Pengumpulan Data

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 29


Kabupaten Sukabumi
Tabel 4.2 Ceklist Kebutuhan Data
Lingkup
No Sumber Data Cakupan Data Instansi Keterangan
Data
1 RPJP Nasional Program, Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Nasional BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
2 RPJM Nasional Program, Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Nasional BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
3 RKP Nasional Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Nasional BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
4 RTRW Provinsi Jawa Barat Kebijakan Pengembangan dan Pembangunan Kabupaten Sukabumi Provinsi BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
5 RPJP Provinsi Jawa Barat Program, Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Provinsi BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
6 RPJM Provinsi Jawa Barat Program, Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Provinsi BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
7 RPJPD Kabupaten Sukabumi Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Kota BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
8 RPJMD Kabupaten Sukabumi Arahan dan Rencana Pembangunan Bidang Ekonomi Kota BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
9 RTRW Kabupaten Sukabumi Luas Wilayah, Batas Administrasi, Kota BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
Kependudukan ( Jumlah dan perkembangan penduduk, kepadatan dan Kota
distribusi penduduk, ketergantungan terhadap angkatan kerja, struktur
penduduk berdasarkan mata pencaharian, struktur penduduk
berdasarkan jenis kelamin, struktur penduduk menurut kelompok umur)
Pola pergerakan Orang dan Barang Kota
Penggunaan Lahan (Penggunaan Lahan Eksisting, Rencana Penggunaan Kota
Lahan)
Perekonomian (PDRB, Pertumbuhan Ekonomi, Struktur Perekonomian, Kota
Pendapatan per Kapita)
Sarana dan Prasarana Perekonomian Kota
10 Rencana Kerja Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah Kabupaten Sukabumi Kota BAPPEDA Kabupaten Sukabumi
Daerah (RKPD) Kabupaten
Sukabumi Terbaru
11 Peta Digital Peta Dasar Kabupaten Sukabumi Kota Dinas Pertanahan/ BAPPEDA
12 Monografi Kecamatan (Time Luas Wilayah, Batas Administrasi Kecamatan BPS Kabupaten Sukabumi dan
Series 5 Tahun Ke belakang) Kependudukan (Jumlah Penduduk Menurut jenis kelamin, Jumlah Kecamatan Kantor Kecamatan
penduduk, Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia, Jumlah Penduduk Usia
Angkatan Kerja)
PRDB Kecamatan
Sarana dan Prasarana Perekonomian Kecamatan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 30


Kabupaten Sukabumi
Lingkup
No Sumber Data Cakupan Data Instansi Keterangan
Data
Ekonomi ( jumlah Objek Wisata, Jumlah dan Jenis serta Produktivitas Kecamatan
perikanan, Jumlah dan Jenis serta Produktivitas pertanian, industri,
perdagangan, koperasi, UKM, investasi)
13 Kabupaten Sukabumi Dalam Luas Wilayah, Batas Administrasi Kota BPS Kabupaten Sukabumi
Angka 2017/2018 Kependudukan (Jumlah Penduduk Menurut jenis kelamin, Jumlah Kota
penduduk, Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia, Jumlah Penduduk
Berdasarkan Agama yang Dianut, Jumlah Penduduk Usia Angkatan Kerja)
PRDB Kota
Sarana dan Prasarana Perekonomian Kota
Ekonomi ( jumlah Objek Wisata, Jumlah dan Jenis serta Produktivitas Kota
perikanan, Jumlah dan Jenis serta Produktivitas pertanian, industri,
perdagangan, koperasi, UKM, investasi,)
Jumlah dan Status Perusahaan Kota
14 Profil Ketenagakerjaan Jumlah Penduduk Usia Angkatan Kerja Kota Dinas Ketenagakerjaan, BPS
Kabupaten Sukabumi Jumlah Pengangguran Terbuka Kota Kabupaten Sukabumi
Jumlah Total Pencari Kerja Kota
Gambaran Kondisi Kesempatan Kerja Kota
Jumlah Kasus PHK Kota
Jumlah Tenaga Kerja yang Terkena PHK Kota

15 Profil Kependudukan Kabupaten Jumlah Penduduk berdasarkan Angka Migrasi, Kota Dinas Kependudukan dan
Sukabumi Jumlah Penduduk berdasarkan Angka Kelahiran Kota Catatan Sipil, BPS Kabupaten
Jumlah Penduduk berdasarkan Angka Kematian Kota Sukabumi
Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Kelahiran Hidup/Mati Bayi Kota

16 Profil Peluang dan Investasi Sektor unggulan Kota Dinas Pengelola Keuangan dan
Kabupaten Sukabumi Tahun Sektor Prioritas Kota Aset Daerah
2008 Total Jumlah Nilai Investasi (dari Berbagai Sektor) Kota
Jumlah dan Status Perusahaan (Swasta dan Pemerintah) Kota

17 Data Base Industri Kecil dan Jumlah Unit Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar Menurut Sektor Kota
Menengah Kabupaten Sukabumi Ekonomi (Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; Industri

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 31


Kabupaten Sukabumi
Lingkup
No Sumber Data Cakupan Data Instansi Keterangan
Data
Pengolahan; Listrik, Gas dan air bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel Dinas Perindustrian,
dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan & Perdagangan, dan Koperasi,
jasa Perusahaan; Jasa - Jasa lainnya) Kantor Kecamatan
Distribusi Penyebaran Jumlah Unit Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Kota
Besar
18 Rencana Induk Pengembangan Arahan, Kebijakan, Strategi Pengembangan Kota Dinas Perindustrian,
Industri Kecil dan Menengah Pengembangan IKM Penggerak Perekonomian Daerah Per Kelompok Kota Perdagangan, dan Koperasi
Komoditi
Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Pendukung Kota
Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Ekspor Kota
Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Inisiatif Baru Kota
19 Buku Produk Domestik Bruto Nilai PDRB Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar Menurut Sektor Kota BPS Kabupaten Sukabumi
Kabupaten Sukabumi Menurut Ekonomi (Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan;
Lapangan Usaha Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan air
bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan
Komunikasi; Keuangan, Persewaan & jasa Perusahaan; Jasa - Jasa lainnya)
Nilai PDRB Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar Menurut Sektor Kota
Ekonomi (Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan;
Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan air
bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan
Komunikasi; Keuangan, Persewaan & jasa Perusahaan; Jasa - Jasa
lainnya)Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
20 Kebijakan Umum APBD Kebijakan-kebijakan mengenai APBD, Prioritas dan Plafon Anggaran APBD Kota BAPPEDA
Kabupaten Sukabumi
21 Renstra Dinas Pertanian Rencana Pengembangan Pertanian Kota Dinas Pertanian
22 Renstra Dinas Ketenagakerjaan Rencana Pengembangan Tenaga Kerja Kota Dinas Ketenagakerjaan
23 Renstra Dinas Kependudukan Rencana Pengembangan Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Dinas Kependudukan dan
dan Catatan Sipil Catatan Sipil
24 Rencana Strategis Dinas Fasilitas perekonomian (Jumlah, sebaran dan kondisi Perdagangan dan Kota Dinas Perindustrian,
Perindustrian, Perdagangan, dan Jasa, Koperasi, Lembaga Keuangan Lainnya) serta Rencana Perdagangan, dan Koperasi
Koperasi Pengembangannya

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 32


Kabupaten Sukabumi
Lingkup
No Sumber Data Cakupan Data Instansi Keterangan
Data
25 Renstra Bappeda Kabupaten Fasilitas ( Fasilitas Umum, Fasilitas Sosial, Sarana Pemerintahan, Kota BAPPEDA
Sukabumi Terbaru Pelayanan Umum serta Rencana Pengembangannya)
26 Renstra PD Pasar Jumlah Pasar dan Ketersediaan Pasar (Tradisional maupun modern) Kota PD Pasar
27 Renstra Tahun Dinas Pengelola Struktur Pendapatan Daerah (PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, Kota Dinas Pengelola Keuangan dan
Keuangan dan Aset Daerah dll), Aset Daerah
Struktur Pengeluaran Daerah Kota
Pengelolaan Aset/Barang Daerah (Jumlah, Nilai, dan Nilai Penyusutan) Kota
Pajak Kota
28 Studi-Studi Terdahulu Berkaitan dengan Kabupaten Sukabumi, Khususnya Masterplan Ekonomi BAPPEDA
Daerah

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 33


Kabupaten Sukabumi
4.2.4 Metode Analisis
Analisis dan pengolahan data meliputi kegiatan entry data dan interpretasi hasil olehan
data. Pada tahapan entry data dilakukan dua tahapan yang berbeda, yang pertama
adalah melakukan pemodelan dari kondisi makro dan mikro ekonomi yang mengikuti
model mikro dan makroekonomi. Model ekonomi ini kemudian akan dianalisa dengan
menggunakan

4.2.4.1 Loqation Quetiont (LQ)


Untuk mengidentfikasi produk unggulan daerah digunakan analisis LQ (Loqation
Quetient). Metode LQ digunakan untuk mengidentifikasi konoditas unggulan. Loqation
Quetient sendiri adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederaha dengan
segala kelebihan dan keterbatasnya. Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang
umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahi
sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relative
atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

4.2.4.2 Analisis Shift Share


Analisis shift-share merupakan teknik dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi
daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional maupun provinsi/regional. Tujuan
analisis ini adalah untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian
daerah dengan daerah yang lebih besar (regional atau nasional).
Teknik ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu wilayah/daerah
dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional/regional (provinsi) serta sektor-
sektornya, dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan-
perbandingan itu. Bila penyimpangan itu positif, hal itu disebut keunggulan kompetitif
dari suatu sektor dalam wilayah tersebut. Berdasarkan hasil analisis shift-share (S-S)
tentang keunggulan.

4.2.4.3 Tipologi Klasen


Metode tipologi klasendigunakan untuk menentukan tipologi daerah Kabupaten
Sukabumi. Dengan analisis ini dapat ditentukan tipologi masing-masing sektor yang
dapat digunakan sebagai acuan pendukung untuk menentukan prioritas dalam
pengembangan daerah.
Tipologi Klassen membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan
ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah dengan menentukan rata-rata
pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita
sebagai sumbu horizontal. Daerah yang diamati dibagi menjadi empat kuadaran yaitu:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 34


Kabupaten Sukabumi
a. Kuadran I, Daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income)
adalah laju pertumbuhan PDRB dan kontribusi PDRB di daerah lebih tinggi dari rata-
rata pertumbuhan dan kontribusi PDRB rata-rata Provinsi. (Gij > Gin) ; Sij > Sin).
b. Kuadran II, Daerah maju tapi tertekan (high income but low growrth) yaitu daerah
yang relatif maju, tapi dalam beberapa tahun terakhir laju petumbuhan menurun
akibat tertekannya kegiatan utama daerah yang bersangkutan. Daerah ini
merupakan daerah yang telah maju, tapi dimasa mendatang pertumbuhannya tidak
akan begitu cepat walaupun potensi pengembangan yang dimiliki pada dasarnya
sangat besar. Daerah ini mempunyai pendapatan perkapita lebih tinggi dari
pendapatan rata-rata perkapita kabupaten, tapi tingkat pertumbuhan ekonominya
lebih rendah dibandingkan rata-rata Provinsi (Gij > Gin ; Sij < Sin).
c. Kuadran III, Daerah berkembang cepat (high growth but low income) adalah daerah
yang dapat berkembang cepat dengan potensi pengembangan yang dimiliki sangat
besar tapi belum diolah sepenuhnya secara baik. Tingkat pertumbuhan ekonomi
daerah sangat tinggi, namun tingkat kontribusi PDRB yang mencerminkan dari
tahap pembangunan yang telah dicapai sebenarnya masih relatif rendah. Daerah ini
memiliki tingkat pertumbuhan tinggi tetapi tingkat kontribusi PDRB lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata Provinsi (Gij < Gin ; Sij > Sin).
d. Kuadran IV, Daerah relatif tertinggal (low growth and low income) adalah daerah
yang masih mempunyai tingkat pertumbuhan dan kontribusi PDRB lebih rendah dari
pada rata-rata Provinsi (Gij < Gin ; Sij < Sin).

4.2.5 Penyusunan Strategi Dan Arah Pembangunan Ekonomi


Pada tahapan penyusunan strategi, maka pendekatan yang dilakukan menggunakan
teknik swot. Pada tahapan ini data primer dan juga data sekunder digunakan untuk
mengisi faktor eksternal dan internal di dalam matriks swot.
Prioritas kompetitif adalah upaya untuk merumuskan langkah-langkah strategis yang
perlu dilakukan sebuah perusahaan. Teknik analisis yang dilakukan menggunakan swot.
Unit analisis adalah kondisi internal dan eksternal perusahaan. Faktor-faktor internal
dan eksternal perusahaan diberi bobot dan rating. Hasil perkalian bobot dan rating
dijumlahkan untuk mendapatkan nilai skor internal dan eksternal.
Matrik profil kompetitif dipergunakan untuk mengetahui posisi relatif pembangunan
ekonomi kabupaten Sukabumi yang dianalisis dibandingkan dengan pembangunan
nasional, provinsi dan juga daerah lain. Wilayah yang dianalisis diberikan rating yang
berbeda tergantung pada kondisi relatif pembangunan ekonomi nasional atau wilayah
lain. Ketetapan nilai rating adalah jika pertumbuhan ekonomi wilayah yang diamati
kondisinya sangat lemah, jika pertumbuhan ekonomi wilayah yang diamati lebih lemah
dibandingkan pembangunan ekonomi nasional atau wilayah lain, kondisi pertumbuhan
ekonomi wilayah yang diamati sedikit lebih kuat dari pembangunan ekonomi nasional

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 35


Kabupaten Sukabumi
atau wilayah lain, dan kondisi pertumbuhan ekonomi wilayah yang diamati paling kuat
dibandingkan pembangunan ekonomi nasional atau wilayah lain.
Dalam membuat profil kompetitif terlebih dulu ditentukan faktor-faktor strategis yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah yang diamati yang selanjutnya akan
menjadi perbandingan untuk pertumbuhan ekonomi wilayah yang diamati terhadap
pembangunan ekonomi nasional atau wilayah lain. Faktor-faktor strategis yang perlu
dipertimbangkan adalah indikator makroekonomi, potensi sumberdaya, permasalahan
ekonomi, dan juga sektor-sektor pertumbuhan ekonomi. Tahap berikutnya yaitu
menentukan bobot untuk masing-masing faktor tersebut. Nilai bobot diperoleh dari
data kuisioner dengan responden para pakar.
Setelah diperoleh nilai bobot dan rating masing-masing kriteria dan masing-masing
perusahaan, maka dibuat matrik profil kompetitif. Matrik profil kompetitif diperoleh
dari hasil kali bobot dengan rating. Total skor yang diperoleh untuk setiap indikator
menunjukkan kualitas pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut tersebut. Tahap
berikutnya adalah memasukan indikator-indikator tersebut ke dalam setiap bagian swot
sehingga diperolh rumusan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, yang
kemudian disajikan ke dalam bentuk matriks SWOT.
Analisis SWOT dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1. Penentuan Variabel dalam Penilaian SWOT
Variabel ditentukan berdasarkan lingkup kajian yang diidentifikasi yang juga
merupakan masukan (input) dalam proses Analisis SWOT. Penentuan variabel
dalam penilaian SWOT dilakukan sesuai dengan cakupan bidang pengembangan
ekonomi daerah berbasis OVOP yang menjadi fokus kajian.
2. Perumusan Parameter Berdasarkan Variabel Penilaian SWOT
Setelah variabel dalam penilaian SWOT dirumuskan, maka akan dilanjutkan dengan
proses perumusan parameter terhadap masing-masing variabel yang akan dijadikan
acuan dalam penilaian SWOT. Dari parameter-parameter inilah diidentifikasi
kekuatan atau kelemahan maupun peluang atau ancaman. Variabel dan parameter
dalam Analisis SWOT disusun sesuai dengan skema sebagai berikut.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 36


Kabupaten Sukabumi
Tabel 4.3 Skema Penyusunan Variabel dan Parameter dalam Penilaian SWOT
LINGKUP HASIL PENILAIAN PARAMETER
VARIABEL PARAMETER
KAJIAN KEKUATAN KELEMAHAN
A. Analisis A.1 A.1.1
Lingkungan A.1.2
Internal A.1.n
A.2 A.2.1
A.2.2
A.2.n
A.n A.n.1
A.n.2
A.n.n
PELUANG ANCAMAN
B. Analisis B.1 B.1.1
Lingkungan B.1.2
Eksternal B.1.3
B.n B.n.1
B.n.2
B.n.n

3. Penilaian dan Pengelompokan ke dalam Komponen SWOT


Setelah variabel dan parameter dalam penilaian SWOT dirumuskan, maka akan
dilanjutkan dengan proses penilaian masing-masing parameter berdasarkan hasil
identifikasi terhadap kondisi eksisting dari masing-masing variabel (lingkup kajian)
yang telah distrukturkan menurut Lingkungan Internal dan Lingkungan Eksternal.
Tabel 4.4 Skema Pengelompokan Hasil Penilaian SWOT Menurut Komponen-komponennya
HASIL PENILAIAN PARAMETER
LINGKUP KAJIAN VARIABEL LINGKUNGAN INTERNAL LINGKUNGAN EKSTERNAL
KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN
A. (Analisis A.1 ……………. ……………..
Lingkungan A.2 ……………. ……………..
Internal) A.n ……………. ……………..
B. (Analisis B.1 ……………. …………….
Lingkungan B.2 ……………. …………….
Eksternal) B.n ……………. …………….

4. Mengkombinasikan Hasil Penilaian Komponen SWOT


Kegiatan mengkombinasikan hasil penilaian komponen SWOT merupakan langkah
dalam merumuskan Isu-isu Strategis yang akan digunakan sebagai landasan dalam
penyusunan arah (strategi) pembangunan daerah. Kombinasi antara keempat unsur
SWOT tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip berikut :
a. Penggunaan unsur-unsur Kekuatan untuk meraih/memanfaatkan Peluang yang
ada (Strategi S-O),
b. Penggunaan unsur-unsur Kekuatan yang ada untuk menghadapi Ancaman yang
akan datang (Strategi S-T),

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 37


Kabupaten Sukabumi
c. Pengurangan Kelemahan yang ada dengan memanfaatkan Peluang yang ada
(Strategi W-O) dan,
d. Pengurangan Kelemahan yang ada untuk menghadapi Ancaman yang akan
datang (Strategi W-T).
Proses kombinasi masing-masing komponen SWOT akan dijabarkan melalui Matrik
Kombinasi Analisis Lingkungan Internal dan Analisis Lingkungan Eksternal dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 4.5 Matrik Kombinasi Analisis Lingkungan Internal Dan Analisis Lingkungan Eksternal
ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL
KOMPONEN SWOT
KEKUATAN KELEMAHAN
ANALISIS PELUANG Strategi S-O Strategi W-O
LINGKUNGAN ANCAMAN Strategi S-T Strategi W-T
EKSTERNAL

4.2.5.1 Pengembangan Desa Berbasis Desa Wisata


Pada dasarnya basis konsep pengembangan desa wisata yaitu alam, budaya, dan
buatan. Dari jenis wisata itu terbagi lagi menjadi wisata budaya, sejarah, dan religi,
wisata kota dan desa, dan wisata kuliner dan belanja. Wisata perkotaan biasanya seperti
fotografi, arsitektural visit, reunion, clubbing, dan belanja, sedangkan wisata perdesaan
meliputi kehidupan di desa, tradisionalitas di desa, dan berbagai aktivitas di desa
lainnya.

Nature Culture Man Made

Wisata Budaya, Wisata Kota dan Desa Wisata Kuliner dan


Sejarah, dan Religi Belanja

Wisata Perkotaan : Wisata Perdesaan :


Fotografi, arsitektural visit, Liven in, tradisional viilage,
reunion, clubbing, belanja dll

Gambar 4.5 Konsep Pengembangan Desa Wisata

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 38


Kabupaten Sukabumi
PP RI No. 50 Tahun 2011 Sejarah dan Religi
Tentang Rencana Induk (Daya Tarik wisata
Pembangunan
budaya yang berbasis
Kepariwisataan Nasional
Tahun 2010-2025
potensi sejarah dan
religi)

Daya Tarik Wisata


Budaya (dayA Perkotaan dan
tarik wisata yang Perdesaaan
berupa hasil olah (Daya Tarik desa
Perdesaan
cipta, rasa dan wisata budaya yang
(Desa Wisata)
karsa manusia berbasis potensi
sebagai makhluk perkotaan dan
budaya) perdesaan)

Kuliner, Seni dan


Tradisi (daya Tarik
Wisata Budaya yang
berbasis potensi
kuliner, seni dan
tradisi

Gambar 4.6 Basis Pengembangan Desa Wisata

1. Skema Pengembangan Desa Wisata


Skema pengembangan desa wisata sangat penting dalam menunjang keberhasilan
pengembangan desa wisata. Hal ini disebabkan karena pengembangan desa wisata
memerlukan peran dari beberapa unsur seperti yang terlihat pada gambar berikut
ini.
2. Strategi Pengembangan Desa Wisata
Untuk melakukan pengembangan desa wisata di Kabupaten Sukabumi, maka
diperlukan berbagai strategi yang terlihat pada gambar berikut ini.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 39


Kabupaten Sukabumi
Desa Wisata

Desa Berbasis Desa Berbasis Desa Berbasis


Budaya Alam Buatan

Atraksi, Branding,
Aksebilitas, Advertising, SDM
Amenitas Selling

Masyarakat Pemerintah Industri

Gambar 4.7 Skema Pengembangan Desa Wisata

Gambar 4.8 Strategi Pengembangan Desa Wisata

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 40


Kabupaten Sukabumi
Strategi Pengembangan Desa Wisata yang akan dilakukan untuk mengembangkan
perekonomian desa di Kabupaten Sukabumi dengan 2 tahap antara lain yaitu :
Tahap I :
1. Atraksi. Pada bagian ini, strategi yang akan dilakukan yaitu memotret kondisi atraksi
yang ditawarkan di dalam desa wisata seperti hidup seperti masyarakat desa, tata
cara bercocok tanam dan beternak, outbound, dan berbagai jenis atraksi lainnya.
Strategi ini memiliki beberapa indikator yakni :
- Keunikan / ciri khas daerah
- Keamanan
- Dan lain-lain
2. Akses. Strategi pada tahap ini yaitu akan melihat kondisi aksebilitas/kemudahan
menuju desa wisata. Kriteria penilaian aksebilitas yakni :
- Keberadaan transportasi umum
- Waktu operasional transportasi umum
- Biaya penggunaaan
- Jarak
- Kondisi jalan
- Dan lain-lain
3. Amenitas. Pada tahap ini akan melihat kondisi infrastruktur di tempat wisata.
Infrastruktur yang akan di potret seperti keberadaan home stay (penginapan), toko
souvenir, berbagai jenis fasilitas, dan lain-lain. Adapun kriteria dalam penilaian ini
yakni :
- Ketersediaan infrastruktur
- Kondisi infrastruktur
- Dan lain-lain
Tahap II :
Pada tahap ini yakni adalah upaya perbaikan terhadap permasalahan yang ada mulai
dari atraksi, aksebilitas, dan amenitas. Selain itu juga, akan merekomendasikan terkait
dengan harga, promosi, pelayanan dan SDM yang harus dilakukan oleh pengelola desa
wisata nantinya.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 41


Kabupaten Sukabumi
Gambar 4.9 Formulasi Strategi Pengembangan Desa Wisata

Faktor Kunci Keberhasilan Pengembangan Desa Wisata


Berdasarkan pendapat dari berbagai pakar, ada beberapa faktor kunci untuk
keberhasilan dalam pengembangan desa wisata yakni :
1. Pembangunan
2. Pendanaan
3. Pengelolaan
Sehingga ketiga hal tersebut akan tertuang dalam road map pengembangan
ekonomi perdesaan.

Pembangunan

Pendanaan

Pengelolaan

Gambar 4.10 Tahapan Dalam Pengembangan Desa Wisata

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 42


Kabupaten Sukabumi
4.2.5.2 Pengembangan Ekonomi Perdesaan Berbasis OVOP (One Village One Product)
Pada tahap ini dilakukan dilakukan penyusunan rencana dimana kebijakan akan
diturunkan dari strategi pengembangan ekonomi daerah berbasis OVOP yang dihasilkan
dalam analisis SWOT. Strategi yang dihasilkan dalam analisis SWOT terlebih dahulu akan
dikelompokan berdasarkan kategori arahan pengembangan ekonomi daerah berbasis
OVOP sebagai berikut:
1. Berupa arahan pengembangan lokasi Pembangunan Ekonomi Daerah berdasarkan
kesesuaian tata ruang
2. Berupa arahan pengembangan Pembangunan Ekonomi Daerah dengan dukungan
berbagai program bantuan untuk mengembangkan produk unggulan berbasis
OVOP.
3. Berupa arahan dukungan Infrastuktur guna pengembangan ekonomi daerah
berbasis OVOP.
4. Berupa arahan dukungan kelembagaan baik usaha maupun sistem OVOP guna
pengembangan ekonomi daerah berbasis OVOP.
5. Berupa arahan iklim usaha dan investasi yang kondusif guna pengembangan
ekonomi daerah berbasis OVOP.
6. Berupa arahan Pengembangan Ekonomi Daerah dengan pemanfaatan Sumberdaya
Ekonomi Lokal.
7. Berupa berbagai regulasi pendukung lainnya dalam pengembangan ekonomi
daerah berbasis OVOP.
Dari arah kebijakan yang dihasilkan kemudian akan disusun program yang akan
dilaksanakan pada 5 tahun ke depan yang dipetakkan menurut prioritas atas dasar
pertimbangan kebutuhan waktu pencapaian dan urutan kesinambungan program.
Program kegiatan akan diarahkan sesuai dengan kategori program pengembangan
ekonomi daerah berbasis OVOP sebagai berikut :
1. Kategori pembangunan ekonomi daerah berdasarkan tata ruang.
2. Kategori dukungan program bantuan
3. Kategori pembangunan infrastruktur
4. Kategori dukungan kelembagaan
5. Kategori dukungan iklim usaha dan investasi
6. Kategori pengembangan sumberdaya lokal
7. Kategori regulasi pendukung

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 43


Kabupaten Sukabumi
Untuk setiap program akan ditentukan juga penanggung jawabnya sesuai kewenangan
masing-masing SKPD.
Hasil analisis dan penyusunan kebijakan dan program yang dihasilkan pada tahap Tahap
Analisis Data dan Penyusunan Strategi dan Tahap Penyusunan Kebijakan dan Program,
akan dilaporkan dalam bentuk Laporan Akhir. Laporan Akhir tersebut sesuai dengan
KAK, berisikan analisis pelaksanaan pekerjaan dan hasil survey, strategi pengembangan
kawasan OVOP, pemodelan dan bahan rumusan kebijakan, program dan kegiatan dalam
upaya pengembangan ekonomi daerah berbasis OVOP

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4- 44


Kabupaten Sukabumi

You might also like