You are on page 1of 3

MENG-QODHO SHOLAT BAGI WANITA YANG TELAH SUCI DARI HAID

Al hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah- mengatakan: “Larangan sholat bagi wanita haid adalah perkara
yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam sholat dan wanita haid tidak dalam keadaan
suci. Adapun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi wanita haid
itu sifatnya adalah ta’abudi (hal yang bersifat ibadah semata-pen) sehingga butuh suatu nash
pelarangan berbeda dengan sholat.” (Fathul Bari Syarh hadits no 304)

Apakah ada keharusan menjamak dengan shalat yang sebelumnya?

Bila wanita haid telah suci pada waktu shalat ashar atau isya misalnya, apakah ia wajib mengerjakan
shalat sebelum ashar yaitu dhuhur atau shalat sebelum isya yaitu maghrib?

Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.

Pertama: selain wajib baginya mengerjakan shalat yang masih didapatkannya waktunya yaitu ashar
atau isya, ia juga wajib mengerjakan shalat fardhu yang sebelumnya, yaitu dhuhur dijamak dengan
ashar, atau maghrib dijamak dengan isya. Demikian pendapat yang dipegangi madzhab Malikiyah
(Al-Kafi, 1/162) Syafi’iyah (Al-Majmu’ 3/69), Hanabilah (Al-Mughni, Kitabush Shalah, fashl Man shalla
qablal waqt) dan pendapat Thawus, An-Nakha’i, Mujahid, Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Laits, Abu Tsaur,
Ishaq, Al-Hakm dan Al-Auza’i. (Al-Mughni Kitabush Shalah, fashl Man shalla qablal waqt, Al-
Ausath 2/244)

Namun kalau sucinya waktu subuh, atau dhuhur atau maghrib maka tidak ada kewajiban baginya
menjamaknya dengan shalat fardhu sebelumnya, karena tidak ada jamak dalam penunaian shalat
subuh dan tidak ada penjamakan dhuhur dengan shalat sebelumnya. Demikian pula maghrib dengan
shalat sebelumnya.

Mereka berdalil dengan:

1. Atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas c dan Abdurrahman bin Auf z tentang wanita haid yang
suci sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu subuh) dengan kadar satu rakaat (dia bisa
mengerjakan shalat sebelumnya -pent.), maka ia menunaikan shalat maghrib dan isya. Bila sucinya
sebelum matahari tenggelam, ia mengerjakan shalat ashar dan dhuhur bersama-sama (dijamak)[9].

2. Karena waktu shalat yang kedua (yaitu ashar bila dihadapkan dengan dhuhur, atau isya bila
dihadapkan dengan maghrib) merupakan waktu shalat yang pertama tatkala ada uzur, seperti ketika
dijamak dalam keadaan safar, atau saat hujan???, atau ketika di Muzdalifah. Misalnya ia menjamak
shalat saat safar dengan jamak ta’khir, maka berarti ia mengerjakan shalat dhuhur di waktu ashar,
atau shalat maghrib di waktu isya.

Kedua: Tidak ada kewajiban bagi si wanita untuk mengerjakan shalat yang sebelumnya. Bila ia suci di
waktu ashar berarti ia hanya mengerjakan shalat ashar dan tidak ada kewajiban mengerjakan shalat
dhuhur. Demikian pula bila ia suci di waktu isya, berarti ia hanya mengerjakan isya. Demikian
pendapat dalam madzhab Hanafiyah (Al-Mabsuth, 3/15), Zhahiriyah (Al-Muhalla), pendapat Al-
Hasan, Qatadah, Hammad ibnu Abi Sulaiman, Sufyan Ats-Tsauri (Al-Ausath 2/245, Al-
Mughni, Kitabush Shalah, fashl Man shalla qablal waqt ) dan pendapat yang dipilih oleh Ibnul
Mundzir (Al-Ausath, 2/245).

https://asysyariah.com/haid-dan-shalat/
Wanita Haidl Tidak Mengqadha Shalat Yang Ditinggalkannya

‫قوله ويجب قضاؤه ) أي الصوم لخبر عائشة رضي هللا عنها كنا نؤمر بقضاء الصوم وال نؤمر بقضاء الصالة أي للمشقة في قضائها‬
‫ألنها تكثر ولم يبن أمرها على التأخير ولو بعذر بخالف الصوم ( قوله بل يحرم قضاؤها ) أي الصالة وال يصح عند ابن حجر ويكره‬
‫قضاؤها عند الرملي فعليه يصح وتنعقد الصالة نفال مطلقا من غير ثواب‬

"Dan wajib mengqadha puasanya berdasarkan hadits riwayat ‘Aisyah, "Kami (para wanita)
diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” Hal ini karena dapat
menimbulkan masyaqqat (kesulitan) baginya bila diwajibkan mengqadha shalatnya sebab banyaknya
shalat dan karena tidak dijelaskan dalam dalil nash hukum saat menunda qadha shalat meskipun
karena halangan berbeda dalam hal qadha puasa. Bahkan menurut Ibn hajar mengqadha shalat
haram baginya, shalatnya juga tidak sah sedang menurut Imam ar-Romli bila ia mengqadha
shalatnya hukumnya makruh dan shalatnya menjadi shalat sunah muthlak tanpa pahala." (Kitab
I’aanah at-Thoolibiin juz I hal 70)

Diskusi Imam Syafi’i dan Sufyan ats-Tsauri soal Kulit Binatang

Selasa, 13 Maret 2018 15:30

Jika belajar kitab-kitab fiqih mazhab Imam Syafi’i, kita akan mendapatkan pembahasan yang
berkaitan tentang kebolehan menyamak kulit hewan kecuali anjing dan babi atau yang lahir dari
salah satu dari keduanya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh
Alfâdhit Taqrîb:

(‫كلها (تطهُر بالدباغ) سواء في ذلك ميتة مأكول اللحم وغيره )وجلود الميتة‬

Artinya: “Semua kulit bangkai dapat suci dengan proses penyamakan, entah dari hewan yang boleh
dimakan dagingnya maupun yang tidak. (Syekh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh
Alfâdhit Taqrîb, Beirut, Daar Ibn Hazm, 2005, halaman 28)

Pembahasan ini cukup masyhur dalam mazhab Imam Syafi’i karena letak pembahasannya pun di
awal, yaitu dalam bab bersuci (thaharah). Namun, meski demikian, ternyata pada awalnya Imam
Syafi’i adalah salah satu ulama yang berpendapat tidak dibolehkannya menyamak kulit hewan.
Konon beliau pernah berdiskusi dengan imam Sufyan ats-Tsauri tentang masalah ini.

Kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs karya Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri , Jedah, Darul
Minhaj, 2007, halaman 63) pernah memaparkan kisah tentang perbedaan argumentasi yang terjadi
di antara dua ulama besar tersebut.
Semula Imam Syafi’i berpendapat bahwa kulit hewan tidak bisa disucikan meskipun disamak. Beliau
menggunakan dalil pada surat yang dikirimkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Juhaimah:

‫ب‬ ٍ ‫م ِكتَابِي هَ َذا فَاَل تَ ْنتَفِعُوا ِمنَ ْال َم ْيتَ ِة بِإِهَا‬Uْ ‫ت لَ ُك ْم فِي ُجلُو ِد ْال َم ْيتَ ِة فَإِ َذا َجا َء ُك‬
َ ‫ب َواَل َع‬
ٍ ‫ص‬ ُ ‫إنِّي ُك ْن‬
ُ ْ‫ت َر َّخص‬

Artinya: “Sesunguhnya aku telah memberi kemudahan kepada kamu dalam hal kulit bangkai, maka
apabila surat ini sampai kepadamu maka jangan kamu ambil manfaat dari kulit bangkai, baik dengan
disamak atau dengan membalut .” (Mu'jam al-Ausath)

Sedangkan Imam Sufyan ats-Tsauri berpendapat bahwa kulit bangkai bisa disucikan dengan cara
disamak. Dalil yang beliau gunakan sebagai dasar pendapat tersebut adalah hadits Nabi shallallahu
'alaihi wasallam:

ُ ‫صلَّى هَّللا‬َ ‫ص َدقَ ِة فَقَا َل النَّبِ ّي‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم شَاةً َميِّتَةً أُ ْع ِطيَ ْتهَا َموْ اَل ةٌ لِ َم ْي ُمونَةَ ِم ْن ال‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل َو َج َد النَّبِ ُّي‬ ٍ ‫ع َْن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم هَاَّل ا ْنتَفَ ْعتُ ْم بِ ِج ْل ِدهَا قَالُوا إِنَّهَا َم ْيتَةٌ قَا َل ِإنَّ َما َح ُر َم أَ ْكلُهَا‬

Artinya: “Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemukan


bangkai domba yang diberikan kepada bekas budaknya Maimunah sebagai sedekah. Lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kenapa kulitnya tidak engkau manfaatkan?’ Mereka
berkata: Itu bangkai, wahai Rasulullah. Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang haram itu hanya
memakannya.” (Shahihul Bukhari)

Adapun kesimpulan dari diskusi kedua imam fiqih itu adalah masing-masing dari mereka mencabut
statemennya. Kemudian Imam Sufyan ats-Tsauri mengikuti pendapat Imam Syafi’i, yaitu tidak ada
bagian yang suci sama sekali dari bangkai hewan, sementara Imam Syafi’i mengikuti pendapat Imam
Sufyan ats-Tsauri yang berpendapat bahwa kulit dapat disucikan dengan cara disamak.

Baca: Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (1)


Baca: Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (2)

Dengan demikian, kita dapat melihat kedua ulama besar ini tidak fanatik terhadap pendapatnya
masing-masing. Mereka menggunakan pendapat teman diskusi untuk menyempurnakan kekurangan
pendapat sendiri. Demikianlah seharusnya orang berdebat: masing-masing berangkat dari motivasi
ingin mencari kebenaran, bukan sekadar pembenaran.

Begitupun pada masa ini, mencari pembenaran bukanlah suatu hal yang terpuji dalam memegang
suatu pendapat, apalagi sampai memaksakan pendapatnya agar diikuti orang lain, cukup kita tengok
tradisi ulama kita sejak dahulu kala, betapa mereka toleransinya terhadap perbedaan pendapat dan
tidak memonopoli kebenaran secara sepihak saja.Wallahu a’lam. (Amien Nurhakim)

http://www.nu.or.id/post/read/87158/diskusi-imam-syafii-dan-sufyan-ats-tsauri-soal-kulit-binatang

You might also like