You are on page 1of 9

A.

HAKIKAT PERS

1.PENGERTIAN PERS

a.Pengertian pers secara umum


kata pers berasal dari bahasa belanda, yang dalam bahasa inggris berarti perss. Pers
dalam bahasa latin, pressareyang berarti tekan atau cetak. Secara harfiah pers berarti
cetak dan secara ilmiah berarti penyiaran yang dilakuan secara tercetak. Dalam
perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yaitu pers dalam pengertiaan luas
dan pers dalam pengertian sempit. Dalam arti luas pers meliputi segala penerbitan,
bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan telivisi siaran. Adapun pers
dalam pengrertian sempit hanya terbatas pada media cetak, yaitu surat kabar
majalah dan bulletin. Pengertian pers menurut ilmu komunikasi yaitu usaha
percetakan atau penrbitan, usaha pengumpulan dan penyiaran berita, penyiaran
berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan telivisi, orang-orang yang
bergerak dalam penyiaran berita, serta media penyiaran berita, yaitu surat
kabar, majalah, radio, dan telivisi

b.Pengertian menurut para ahli


 Menurut L. Taufik, seorang ahli jurnalistik, pers adalah usaha-usaha dari
alat komunikas massa untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggota masyarakat
terhadap penerangan, hiburan, keinginan, mengetahui peristiwa-peristiwa, atau
berita-berita yang telah atau akan terjadi disekitar mereka khususnya dan
didunia umumnya
 Menurut Weiner, seorang ahli jurnalistik, pers memiliki tiga arti.
Pertama, wartawan media cetak. Kedua, publisitas atau peliputan. Ketiga,
mesin cetak-naik cetak

2.CIRI-CIRI PERS
a. Periodesitas, artinya pers terbit secara teratur dan periodic. Periodesitas
mengedepankan irama terbit, jadwal terbit, dan konsistensi atau keajekan.
b. Publisitas, artinya pers ditujukan atau disebarkan kepada khalayak
dengan sasaran yang sangat heterogen, baik dari segi geografis maupun
psikografis.
c. Akutualitas, artinya informasi apapun yang disuguhkan media pers harus
mengandung unsur kebaruan, menunjuk pada peristiwa yang benar-benar baru atau
sedang terjadi.

1
d. Universilitas, artinya memandang pers dari sumbernya dan keanekaragaman materi
isinya.
e. Objektivitas, merupakan nilai etika dan moral yang harus dipegang teguh
oleh surat kabar dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.

3.FUNGSI PERS
Fungsi pers menurut menurut undang-undang nomor 40 tahun 1999
tentang pers antara lain sebagai media informasi, media pendidikan, media
hiburan, dan media control social. Pers nasional dapat berfungsi pula sebagai
lembaga ekonomi komersial. Pada pasal 4 undang-undang nomor 40 tahun 1999
disebutkan hak-hak pers sebagai berikut:
 Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi Negara.
 Pers nasional tidak dikenakan sensor, pemberedalan, dan pelarangan
penyiaran.
 Pers nasioanal mempunyai hak mencari, menyampaikan „gagasan, dan
informasi kepada masyarakat.

Pada pasal 5 undang-unadang nomor 40 tahun 1999 tentang pers dijelaskan


bahwa kewajiban pers adalah memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati:
a. Norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat.
b.Asas praduga tidak bersalah, pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.

Secara umum, fungsi pers meliputi hal-hal berikut:


a.Fungsi menyiarkan infomasi ( to infrom )
Menyiarkan informasi merupakan fungsi pers yang utama. Indicator
penyiaran informasi adalah adanya informasi dari sumber informasi melalui media keoada
konsumen atau penikmat informasi
b.Fungsi mendidik ( to educate )
Proses pendidikan atau mendidik bukan sebatas pada transfer ilmu atau
menyalurkan ilmu, melainkan mencakup proses mengajarakan dan menanamkan nilai-
nilai. Sebagai sarana pendidikan massa, surat kabar dan majalah memuat
tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga khalayak pembaca
bertambah pengetahuannya.
c.Fungsi menghibur ( to intertain )
Menghibur berarti memberikan atau menyuguhkan sesuatu yang menyenangkan
bersifat ringan dan menyegarkan untuk menghilangkan kejenuhan. Tidak jarang
berupa berita yang mengandung minat insane (human interest) dan tajuk rencana.
d.Fungsi memengaruhi ( to influence )
Fungsi memengaruhi menyebabkan pers memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat, yaitu sebagai fungsi control sosial. Fungsi control sosial
pers mempunyai banyak tujuan seperti beikut

2
 Menjaga agar undang-undang yang telah dibuat oleh wakil-wakil rakyat
dijalankan sebaik-baiknya oleh semua pihak
 Melindungi hak-hak asasi manusia
 Melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat
 Menjaga agar jalannya pemerintahan sesuai dengan undang-undang dasar dan
undang-undang
 Mewujudkan agar perencanaan Negara, baik perencanaan politik, ekonomi,
sosial, maupun budaya.

Dalam fungsi control sosial pers, terkandung makna demokratis yang


didalamnya terdapat unsur- unsur sebagai berikut:
 Sosial participation, yaitu keikutsertaan rakyat dalam pemerintah
 Sosial responsibility, yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap
rakyat
 Sosial support, yaitu dukungan rajyat terhadap pemerintah
 Sosial control, yaitu control masyarakat terhadap tindakan-tindakan
pemerintah

e.Fungsi menghubungkan atau menjembatani ( to mediate )


Di Indonesia kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Akan tetapi
dengan rakyat yang snagat banyak tadaklah mungkin satu per satu rakyat
mendatangi gedung perwakilan untuk menyampaikan asprasinya. Dalam hal ini pers
mempunyai fungsi sebagai penghubung atau jembatan antara masyarkat dan pemerintah
atau sebaliknya. Komunikasi yang tidak dapat tersalurkan melalui jalur
kelembagaan yang ada dapat disalurkan melalui pers.

4. Peran pers
Pada pasal 6 undang-undang nomor 40 tahun 1999 disebutkan peran
pers meliputi hal-hal berikut:
 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Hal ini dilakukan melalui
transfer informasi dalm bebagai bidang (ekonomi, poltik, sosial dan
budaya)
 Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi. Berkaitan dengan penyampaian
aspirasi rakyat guna mewujudkan pemerintahan dari rakyat sesuai dengan Negara
demokrasi yang mngedepankan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat
 Mendorong terwujudnya supremasi hokum dan hak asasi manusia (HAM). Hal ini
berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat dan persamaan dihaapan
hokum atau menjunjung tinggi hokum
 Menghormati kebhinekaan. Kebhinekaan mengundang pengertiaan
walaupun berbeda tetapi tetap satu jua. Dalam hal ini pers
mengadepankan persatuan dengan menyampaikan informasi yang

3
memperlihatkan norma agama, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat, dan asas
praduga yang tak bersalah
 Pers menitikberatkan kepada prinsip objektivitas dalam menyampaikan
informasi kepada khalayak banyak.
 Melalukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum. Pers dalam hal ini memerankan
fungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat dengan pemerintah
atau sebaliknya
 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Peran pers dalam mewujudkan keadilan
dan kebenaran adalah dengan cara menyampaikan kebenaran kepada publaik
berwujud berita atau informasi dan mengajak masyarakat berfikir kritis
dalam menanggapi masalah-masalah yang terjadi di Indonesia

5. Prinsip-prinsip pers
a. Idialisme artinya cita-cita, obsesi, atau sesuatu yang terus dikejar untuk
dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma
profesi yang berlaku serta diakui masyarakat dan Negara
b. Komersialisme artinya pers harus mempunyai mempunyai kekuatan untuk
mencapai cita-cita dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi
yang diyakininya
c. Profesionalisme artinya paham yang menilai tinggi keahlian professional
khususnya atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat utama untuk
mencapai keberhasilan.

B.PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA


1. Pers di Era Kolonial (1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya
pemerintahan kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda yaitu
Memories. Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en
politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta)
merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar
ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang
dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 surat kabar berbahasa Indonesia, satu surat
kabar berbahasa Jawa yaitu surat kabar Bromartani di Surakarta (1855) dan
surat kabar berbahasa Melayu yaitu Soerat Kabar Bahasa Meajoe di Surabaya
(1856) dan di Jakarta (1858).

2. Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)


Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908,
surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat
perjuangan. Masa pergerakan ditandai dengan adanya :
4
 Munculnya wadah persatuan wartawan Indische Journalisten Bond
(1919)
 Munculnya Perkoempoelan Kaoem Indonesia (1931)
 Munculnya Persatuan Djoernalis Indonesia (1933)
 Berdirinya kantor berita ANTARA Pers saat itu merupakan “terompet”
dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Pers menjadi pendorong
bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan
bangsa. Contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain:
 Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di
Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920
 Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
 Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
 Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
 Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir.
Soekarno.
 Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
Hingga menjelang berakhirnya masa kekuasaan kolonial, terdapat 33
suratkabar dan majalah berbahasa Indonesia dengan tiras keseluruhan
sekitar 47.000 eksemplar. Dalam era ini juga tercatat bahwa 27 surat
kabar kaum nasionalis dibreidel pemerintah pada tahun 1936 karena
adanya ordonansi pers untuk membatasi kebangkitan gerakan nasionalis.

3. Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)


Era ini berlangsung dari 1942 hingga 1945, yakni selama penjajahan
Jepang. Selam periode ini situasi politik Indonesia mengalami perubahan yang
radikal. Dalam era ini juga pers Indonesia belajar tentang kemapuan media
massa sebagi alat mobilisasi massa untuk tujuan tertentu. Pada era ini pers
Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai
diberlakukannya izin penerbitan pers. Dalam masa ini surat kabar berbahasa
Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru diterbitkan meskipun
dikontrol ketata oleh Jepang. Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun
Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita
yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara. Selama masa ini, terbit beberapa
media (harian), yaitu:
 Asia Raya di Jakarta
 Sinar Baru di Semarang
 Suara Asia di Surabaya
 Tjahaya di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan
pengekangan lebih dari zaman Belanda, Namun begitu, hal ini justru
memberikan banyak keuntungan bagi pers Indonesia, diantaranya adalah
Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah, Adanya pengajaran bagi
5
rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi
Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.

4. Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)


Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia
berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus
1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang
mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan
yaitu:
 Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda
yang dinamakan Pers Nica (Belanda).
 Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers
Republik.
Kedua golongan pers ini sangat berlawanan. Pers Republik yang disuarakan
kaum Republik berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang
usaha pendudukan sekutu. Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat agar
menerima kembali Belanda. Contoh koran Republik yang muncul antara lain:
harian Merdeka, Sumber, Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional, dan
Pedoman. Pers Nica antara lain: Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di
Bandung, Suluh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di
Medan. Pada masa ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat.
Pengusaha Surat Kabar (SPS) lahir, kedua organisasi ini mempunyai kedudukan
penting dalam sejarah pers Indonesia. Untuk menangani pers, pemerintah
mcmbentuk Dewan Pers tanggal 17 Maret 1959. Dewan terdiri dari orang-orang
persuratkabaran, cendekiawan, dan pejabat pemerintah, dengan tugas:
Penggantian undang-undang pers kolonial.
a. Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers Indonesia
(artinya fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan pemerintah)
b. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia.
c. Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi
wartawan Indonesia (tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum,
etika jurnalistik, dll).

5. Pers dimasa Orde Lama (1957 – 1965)


Perkembanagan pers masa orde lama sebagai berikut :
 Pada tahun 1950-1956 dianut system pers liberal
 Pada tahun 1956-1960 dianut system pers otoriter dalam demokrasi
terpimpin dibawah kekuasaan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Terdapat empat surat kabar yang dioplah tertinngi sebagai berikut:
a. Harian Rakyat (organ PKI)
b. Pedoman (organ PSI)
c. Suluh Indonesia (organ PNI)

6
d. Abadi (organ Masyumi)

 Dekret Presiden pada tanggal 5 Juli 1959


 Departemen mengeluarkan aturan tentang norma-norma pokok
pengusahaan pers tanggal 26 maret 1965
 Dalam ulang tahun ke-19 PWI
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke
UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan
terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita
Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini
tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam
menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14, antara lain: “Hak
kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa
dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana
dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan negara, kepentingan
bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa”.

Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan


Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap
surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati
peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”.
Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan
terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan
oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian
Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan
ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor
tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.

6.Pers di masa Orde Baru


Era ini terjadi pada akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai
berubah. Faktor yang melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah
kaenyataan bahwa Soeharto akan mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga
muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru hanya soal waktu.
Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers karean lembaga SIUPP yang
mengontrol pers dengan ketat tidak dihapus.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional
dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak
menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan
kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu
pemerintah juga ikut campur tangan dalam keredaksian.

7
Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang
digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari
pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan
tersurat. Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari
suatu pemberitaan.. Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh
pers dengan ungkapan yang sopan. Jurnalisme rekaman adalah budaya
wartawan untuk mentranskrip setepat tepatnya apa yang dikatakan sumber
berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat
wartwan Indonesia semakin malas. Jurnalisme amplop adalah budaya
pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini
dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.

Pada masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh
keluraga para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan
yang hampir sama dan sangat berhati-hati karena takut menyinggung pemilik
saham.

Pada awal tahun 1990-an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan
pers meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan
pengaruh dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca
kelas menengah yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.

Pada 21 Juni 1994 pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka


yaitu Tempo, Ediotr dan Detik. Ada tiga teori tentang pembreidelan tersebut
yakni teori permusuhan Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan
rencana produksi pesawat terbang dan pembelian bekas kapal perang yang
mengkritik habibie, teori intrik politik yang berspekulasi bahwa ketiga
penerbitan itu bekerjasam dengan Benni Moerani dan pengikutnya di ABRI
untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan teori Intimiasi yang
berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin memperlambat laju
perubahan masayrakat dan media yang semkain bergerak menuju kebebasan
yang lebih lebar. Pembreidelan ini mengakibatkan terjadinya protes dan demo
di kalangan wartawan Indonesia.

Sebagai penyelesaian kasus pembreidelan ini menteri penerangan


mengelurakan dua izin penrbitan baru untuk menmpung wartawan yang
kehilangan pekerjaannya yakni mingguan Gtra untuk ex-Tempo dan Tiras untuk
wartawan eks Editor. Pasca pembreidelan inilah yang merupakan titik balik

8
kondisi per Indonesia karena wartawan-wartawannya mulai cenderung
memberontak pada pemerintah meskipun dengan cara yang berbeda-beda.
Meski demikian SIUPP tetap merupakan ganjalan terbesar dalam kehidupan
pers Indonesia saat itu.

7. Pers di masa pasca Reformasi


Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era
reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk
sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun
di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di
bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan
pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang
diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak
bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era
reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat
beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya,
yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers
(UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers
sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi
disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana
tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers
nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
 Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan
informasi.
 Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
 Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat,
dan benar.
 Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
 Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi
sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber
informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat
penyidik atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.

You might also like