You are on page 1of 63

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan


aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah
tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran
pasien.
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya tersebut
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya
perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih
besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu,
operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius
pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di
dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di
area itu.

Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.

Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien

1
yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal
juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi
tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian
bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun
perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok
simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia.
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial. Untuk mengetahui mengapa
dan bagimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui keadaan fisik
tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Kebanyakan
fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar dan
tarikan. Trauma yang dapat menyebabkan fraktur ada yang bersifat trauma langsung
dan trauma tidak langsung.
Fraktur dapat bersifat tunggal maupun multiple dimana pada fraktur ini dapat
mengenai beberapa tulang yang terjadi secara bersamaan dan dapat menimbulkan
beberapa macam masalah. Menurut Black dan Matasarin (1997), fraktur dibagi
berdasarkan dengan kontak dunia luar, yaitu meliput fraktur tertutup dan terbuka.
Pada laporan kasus ini akan membahas mengenai ROI (removele Of
Inplate)fraktur femur 1/3 proximal dextra, dimana merupakan suatu tindakan operasi
untuk melepas kembali implan yang sudah terpasang ditulang yang berfungsi sebagai
fiksasi waktu fraktur dan dilakukan riliase guna untuk membebaskan perlengketan
jaringan yang ada pada paha kanan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi Blok Subaraknoid (Anestesi Spinal)


1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal atau bloksubaraknoid disebut juga sebagai analgesi atau blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di daerah
antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.Jarum spinal hanya dapat
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis. Batas atas ini
dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
2. Anatomi Tulang Belakang
Untuk mempelajari kelainan Tulang Belakang atau Tulang Punggung
seperti scoliosis terlebih dahulu kita harus mengenal anatominya.

3
Tulang punggung atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan, terdapat 33 tulang punggung
pada manusia, 5 diantaranya bergabung membentuk bagian sacral, dan 4
tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tiga bagian di atasnya terdiri dari
24 tulang yang dibagi menjadi 7 tulang cervical (leher), 12 tulang thorax
(thoraks atau dada) dan, 5 tulang lumbal. Banyaknya tulang belakang dapat
saja terjadi ketidaknormalan. Bagian terjarang terjadi ketidaknormalan
adalah bagian punggung.

Struktur umum

Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior
yang terdiri dari badan dan tulang atau corpus vertebrae dan bagian posterior
yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua “kaki”
atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus
yakni procesus articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus.
Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut foramen vertebrale.
Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk saluran
sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua
tulang punggung dapat ditemui celah yang disebut foramen intervertebra.

4
Tulang punggung cervical
Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau
procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang tulang) yang pendek,
kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek. Diberi nomor
sesuai dengan urutannya dari C1-C7 (C dari cervical), namun beberapa
memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau aksis.
Tulang punggung thorax
Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk.
Beberapa gerakan memutar dapat terjadi. Bagian ini dikenal juga sebagai
”tulang punggung dorsal”. Bagian ini diberi nomor T1 hingga T12.
Tulang punggung lumbal
Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan
menanggung beban terberat dari yang lainnya. Bagian ini memungkinkan
gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan
derajat yang kecil.
Tulang punggung sacral
Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan
tidak memiliki celah atau diskus intervertebralis satu sama lainnya.
Tulang punggung coccygeal
Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa
celah.

3. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi :

 Bedah ekstremitas bawah


 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rektum perineum
 Bedah obstetrik-ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah

5
 Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikandengan anesthesia umum ringan.

Kontraindikasi absolut

 Pasien menolak
 Infeksi pada tempat suntikan
 Hipovolemia berat, syok
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
 Tekanan intrakranial meningkat
 Fasilitas resusitasi minim
 Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relatif

 Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)


 Infeksi sekitar tempat suntikan
 Kelainan neurologis
 Kelainan psikis
 Bedah lama
 Penyakit jantung
 Hipovolemia ringan
 Nyeri punggung kronis
4. Persiapan dan peralatan analgesia spinal

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan


pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent (izin dari pasien)

6
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia
spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, trombosit, PT (prothrombine time) dan APTT
(activated partial thromboplastine time)

Peralatan analgesia spinal


1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anestesi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil
point whitecare).

5. Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan


pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan
sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral


dekubitus. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista
iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

7
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

8
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.

6. Anestesi Lokal untuk Anastesi Spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah


1.003-1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS
disebut isobaric. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS
disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS
disebut hipobarik.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan


- Lidokain (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100 mg (2-5ml).
- Lidokain (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.003, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2 ml).
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20 mg
- Bupivakain (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)

Bupivakain

Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain,


tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi
spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik),
maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih
kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila
sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan.

9
Bupivakain adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam
golongan amino amida. Bupivakain diindikasi pada penggunaan anestesi
lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidura dan
anestesi intratekal. Bupivakain kadang diberikan pada injeksi epidural
sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa
digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan
efek obat mencapai 20 jam setelah operasi.
Bupivakain dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjang durasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan
fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi untuk pemberian
bupivakain adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko
untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat
tersebut.
Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan
natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan
rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki
selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa
proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf
lebih tebal.

7. Komplikasi Anastesi Spinal

Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi tindakan


dan komplikasi pasca tindakan.

Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat
Efek samping penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah
terjadinya hipotensi. Kejadian hipotensi pada tindakan anestesi spinal
merupakan manifestasi fisiologis yang biasa terjadi. Hal ini terjadi

10
karena : (1) Penurunan darah balik, penurunan secara fungsional
volume sirkulasi efektif karena venodilatasi, dan penumpukan darah.
(2) Penurunan tahanan pembuluh darah sistemik karena vasodilatasi
dan (3) Penurunan curah jantung karena penurunan kontraktilitas dan
denyut jantung.
Mekanisme utama penyebab hipotensi setelah anestesi spinal
adalah blok simpatis yang menyebabkan dilatasi arteri dan vena.
Dilatasi arteri menyebabkan penurunan tahanan perifer total dan
tekanan darah sistolik sampai 30%. Dilatasi vena dapat menyebabkan
hipotensi yang berat sebagai akibat penurunan aliran balik vena dan
curah jantung. Tetapi sebetulnya hal ini tidak boleh terjadi karena
ketika terjadi hipotensi, perfusi organ menjadi tidak adekuat sehingga
oksigenasinya tidak adekuat. Hal ini sangat berbahaya pada pasien
dengan kelainan pembuluh coroner (misalnya pada geriatri).
Dikatakan hipotensi jika terjadi penurunan tekanan darah sistolik,
biasanya 90 atau 100 mmhg, atau penurunan prosentase 20% atau 30%
dari biasanya. Dan lamanya perubahan bervariasi dari 3 sampai 10
menit.Oleh karena itu kejadian hipotensi harus dicegah.
Ada beberapa cara untuk mencegah atau mengatasi hipotensi
akibat spinal anestesi adalah dengan pemberian cairan prabeban yaitu
Ringer Laktat (RL) dan atau obat vasopressor salah satunya dengan
pemberian efedrin. Efedrin merupakan vasopresor pilihan yang
digunakan pada anestesi obstetric sebagai obat yang diberikan untuk
mencegah hipotensi akibat anestesi spinal. Efedrin adalah obat sintetik
non katekolamin yang mempunyai aksi langsung yang menstimuli
reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan
melepaskan nor-epinefrin endogen.
Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut
jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan
aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke

11
otak dan otot. Pemberian efedrin dapat secara subkutan, intra
muskuler, bolus intravena, dan infus kontinyu dan pada praktek sehari-
hari, efedrin diberikan secara bolus IV 5-10mg bila terjadi hipotensi
akibat anestesi spinal.

2. Bradikardia

Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan


bradikardi adalah perubahan fisiologis yang paling penting dan sering
pada anestesi spinal. Pemahaman tentang mekanisme homeostasis
yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan denyut jantung
penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan
anestesi spinal.

Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda


vital pada anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil
dapat menyebabkan bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi
denyut nadi yang berlebihan. Karena itu pemilihan obat anestesi spinal
merupakan hal yang penting mengingat adanya efek-efek yang
ditimbulkan. Apabila terjadi penurunan tekanan darah dan frekuesi
denyut nadi yang berlebihan dapat digunakan efedrin yang berfungsi
berdasarkan reseptor adrenergik yang menghasilkan respon simpatis.
Oleh karena efedrin dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer,
sehingga pada penggunaan klinis efedrin meningkatkan tekanan darah
dan frekuensi denyut nadi.

3. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4. Trauma pembuluh saraf


5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran

12
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Faktor yang mempengaruhi tinggi blok anestesi spinal:


 Volume obat analgetik lokal makin besar makin tinggi daerah
analgesia
 Konsentrasi obat makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan
batas daerah analgetik
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia
yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik
untuk 1 ml larutan.
 Manuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor
serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi : pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik
cenderung berkumpul kekaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau
L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan : hiper, iso atau hipo barik.
 Tekanan abdominal yang meningkat : dengan dosis yang sama
didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis
makin besar dosis yang diperlukan (berat badan tidak berpengaruh
terhadap dosis obat)
 Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi
diubah dengan posisi pasien.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,
motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin
mungkin terjadi.

13
Komplikasi pasca tindakan:
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
Sakit kepala pascaspinal anestesi mungkin disebabkan karena
adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal
yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin
tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila
duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospina l
sampai 1-2 minggu. Kehilangan CSS sebanyak 20 ml dapat
menimbulkan terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini
pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari postspinal, dan pada 80%
kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi postspinal
headache dapat dilakukan pencegahan dengan :
 Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).
 Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater
sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan
duramater.
 Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3
hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti
yang hilang.
Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
 Memakai abdominal binder
 Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di
ruang epidural tempat kebocoran.
 Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.
Kejadian post spinal headache10-20% pada umur 20-40 tahun; >10%
bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum
no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala
daripada laki-laki.

14
4. Retensio urine
5. Meningitis.

8. Persiapan dan Penilaian Pra Anastesia


Persiapan Tindakan Anestesi
 Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan
dirinya.
 Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi
operasi(misalnya, lutut kanan).
 Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali
 Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
 Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur
tekanantekanandarah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien
sebelum pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan,
dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah
mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit-penyakit sistemik,
saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik,
dilakukan pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah,
leher kaku dan pendek. Perhatikan juga hasil pemeriksaan laboratorium
atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan),
radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist
(ASA).

15
Kelas I : Pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
Melakukanaktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancamankehidupan setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat huruf E (E = EMERGENCY).

2.2 Femur

Femur atau tulang paha adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang
itu bersendi dengan asetabulum dalam formasi persendian panggul dan dari
sini menjulur medial ke lutut dan membuat sendi dengan tibia. Tulangnya
berupa tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan dua ujung yaitu ujung
atas, batang femur dan ujung bawah.

16
Defenisi Fraktur

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Rusaknya kontinuitas
tulang ini dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi
tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.

Jenis jenis fraktur

 Fraktur komplit: garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang.
 Fraktur tidak komplit: garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.
 Fraktur terbuka: bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit.
 Fraktur tertutup: bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur
dengan udara luar atau permukaan kulit .

Oblik /miring Kominuta Spiral Majemuk

Fraktur Femur

Fraktur Femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot , kondisi-kondisi tertentu seperti
degenerasi tulang/osteoporosis. Batang Femur dapat mengalami fraktur akibat trauma
langsung, puntiran, atau pukulan pada bagian depan yang berada dalam posisi fleksi
ketika kecelakaan lalu lintas.

17
Etiologi

Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu
lintas. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah
raga. Trauma bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung
apabila terjadi benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara
tidak langsung apabila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan).
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Cedera traumatik
 Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata
secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
 Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
 Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.

b. Fraktur Patologik
 Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
 Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
 Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

18
Patofisiologi

Tulang yang mengalami fraktur biasanya diikuti kerusakan jaringan


disekitarnya, seperti di ligamen, otot tendon, persyarafan dan pembuluh darah, oleh
karena itu pada kasus fraktur harus ditangani cepat, dan perlu dilakukan tindakan
operasi.

Tanda dan Gejala


 Nyeri hebat ditempat fraktur
 Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
 Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak,
sepsis pada fraktur.

Diagnosis

a. Anamnesis

Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus
diperinci kapan terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah
trauma, dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma).
Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari
kepala, muka, leher, dada, dan perut.

b. Pemeriksaan Umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel,
fraktur pelvis, fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang
mengalami infeksi.
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk fraktur adalah:
 Look (inspeksi): bengkak, deformitas, kelainan bentuk.
 Feel/palpasi: nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
 Movement/gerakan: gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi.

19
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan adalah “pencitraan”
menggunakan sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang, oleh karena itu minimayaitu antero posterior (AP)
atau AP lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) atau
indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena adanya superposisi.
Untuk fraktur baru indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan kedudukan fraktur
dan karenanya perlu tampak seluruh bagian tulang (kedua ujung persendian).

Penatalaksanaan Fraktur

Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah


tulang supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap
menempel sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal
4 minggu, tetapi pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama.
Setelah sembuh, tulang biasanya kuat dan kembali berfungsi.

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk


melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing),
dan sirkulasi (circulating), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak
ada masalah lagi , baru lakukan amnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci.
Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama
sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam , bila lebih dari 6 jam, komplikasi
infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat ,
singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan
untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat
pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. l diperlukan 2
proyeksi fraktur terbuka dan deformitas.
Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu
sepuluh tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai
banyak kerugian karena waktu berbaring lebih lama, meski pun merupakan

20
penatalaksanaan non-invasif pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu tindakan ini
banyak dilakukan pada orang dewasa.
Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat dimobilisasi
dengan salah satu cara dibawah ini:

A. Traksi

Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk
menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk
menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki
deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk
menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang digunakan.
Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi spasme
otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior untuk
mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur harus kurang
dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih besar.

B. Fiksasi interna

Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan


atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan
pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi.

C. Pembidaian

Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma sistem
muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang
mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang
ditempatkan di daerah sekeliling tulang.

D. Pemasangan gips atau operasi dengan orif

Gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus


secara keras daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk
menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat

21
menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah
tersebut.

E. Penyembuhan Fraktur

Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang ,


sehingga dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan beban secara lebih
awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan yang sederhana : reduksi,
mempertahankan dan lakukan latihan.

Jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di sekitarnya juga rusak,
periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang cukup berat dan bekuan
darah akan terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan darah akan membentuk jaringan
granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) dan
berdiferensiasi menjadi krodoblas dan osteoblas. Krodoblas akan mensekresi posfat,
yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi
fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus
Penyatuan dari kedua fragmen terus berlanjut sehingga terbentuk trebekula
oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.

Neglected

Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering terjadi
akibat penanganan fraktur pada extremitas yang salah oleh bone setter. Umumnya
terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang rendahNeglected
fraktur dibagi menjadi beberapa derajat, yaitu:

a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu


b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan ± 1 tahun
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun.

22
Pengobatan

Ceftriaxon

Cefriaxon adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang memiliki


aktivitas bakterisidal yang luas dengan cara menghambat sintesis dinding sel, dan
mempunyai masa kerja yang panjang. Secara in vitro memiliki aktivitas luas terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif, memiliki stabilitas yang tinggi terhadap β-
laktamase baik penisilase maupun sefalosporinase yang dihasilkan bakteri gram
positif dan gram negatif. dari fragmen tulang dan menyatu.

Cefriaxon diindikasikan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh


bakteri yang sensitif terhadap cefriaxon antara lain: infeksi saluran pernafasan bawah
(pneumonia), infeksi kulit dan struktur kulit, infeksi tulang dan sendi, infeksi
intraabdominal, infeksi saluran kemih dan meningitis.
Ceftriaxon memiliki waktu paruh 7-8 jam dapat diinjeksikan sekali tiap 24
jam pada dosis 15-50 mg/kg/hari. Dosis harian tunggal 1 g ceftriaxone cukup untuk
mengatasi infeksi yang serius, dengan dosis 4 g sekali perhari dianjurkan untuk
pengobatan meningitis. Ceftriaxon yang terikat pada protein plasma umunya sekitar
83-96%, diekskresikan sebesar 33–67% melalui ginjal dan sebesar 35–45% melalui
feses. Ceftriaxon dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat mencapai kadar
obat yang cukup tinggi dalam cairan cerebrospinal. Pemberian cefriaxon bersamaan
dengan aminoglikosida dapat meningkatkan efek nefrotoksik. Pemberian bersama
diuretik kuat seperti furosemida dapat mempengaruhi fungsi ginjal.
Serbuk steril cefriaxone dalam vial dapat disimpan pada suhu tidak kurang
300 C dan larutan cefriaxone natrium disimpan pada suhu -200 C. Serbuk steril untuk
injeksi dan larutan cefriaxone harus dikemas dalam wadah yang gelap dan terhindar
dari cahaya matahari. Larutan dapat tahan selama 24 jam jika disimpan pada
temperatur ruang dan 5 hari jika disimpan di lemari es suhu 50C dan 13 minggu jika
dibekukan.

23
Ketorolak

Ketorolak adalah salah satu dari obat anti inflamasi non steroid (NSAID),
yang biasa digunakan untuk analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PG2
terganggu. Ketorolak merupakan penghambat siklooksigenase yang non selektif.

Ketorolak dikontraindikasikan terhadap pasien angioedema atau


bronkospasme, pasien yang menderita tukak peptik aktif, perdarahan gastrointestinal,
dan pasien yang menggunakan NSAID yanKetorolak diserap dengan cepat dan
lengkap. Bioavaibilitasnya mencapai 100 %. Ketorolak dimetabolisme di hati dengan
waktu paruh plasma 3.5-9.2 jam pada dewasa muda dan 4.7-8.6 jam pada orang lanjut
usia (usia 72 tahun). Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6
jam dalam sehari. Ketorolak diekskresikan melalui ginjal rata-rata sebesar 91.4% dan
sisanya rata-rata sebesar 6.1% diekskresikan melalui feses .
Ketorolak akan berinteraksi bila diberikan bersamaan dengan warfarin yang
dapat menyebabkan pendarahan, ACE inhibitor dapat menyebabkan semakin
tingginya resiko gagal ginjal, diuretik dapat berkurang efeknya, pasien yang
menderita gangguan ginjal.

Ranitidin

Ranitidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 (antagonis H2)


menghambat kerja histamin pada semua reseptor H2 yang penggunaan klinisnya ialah
menghambat sekresi asam lambung, dengan menghambat secara kompetitif ikatan
histamin dengan reeseptor H2, zat ini mengurangi konsentrasi cAMP intraseluler
sehingga sekresi asam lambung juga dihambat.

Ranitidin diabsorbsi 50% setelah pemberian oral. Pada ginjal normal, volume
distribusi 1,7 L/Kg sedangkan klirens kreatinin 23-25 ml/menit. Konsentrasi puncak
plasma dicapai 2-3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. absorbsi tidak dipengaruhi
secara signifikan oleh makanan dan antasida. Waktu paruhnya 2,5 – 3 jam pemberian
oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui

24
tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan iv dan 30% yang diberikan secara oral
diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

Parasetamol

Parasetamol merupakan metabolit fenacetin yang berkhasiat sebagai analgetik


dan antipiretik tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran serta tidak
menyebabkan ketagihan.

Daya antipiretik parasetamol didasarkan pada rangsangan pusat penghantar


kalor di hipotalamus, menimbulkan vasodilatasi perifer (di kulit) sehingga terjadi
pengeluaran panas yang disertai banyak keringat.
Parasetamol diindikasikan untuk pengobatan demam (selesma, pilek), dan
nyeri ringan hingga sedang. Parasetamol tidak diberikan kepada pasien yang
mengalami kerusakan fungsi hati dan ginjal serta dengan ketergantungan akohol.
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar plasma
tertinggi dicapai dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, dengan waktu paruh plasma
1,2-5 jam. Parasetamol diabsorpsi secara cepat dan sempurna di saluran gastro
intestinal pada pemberian oral. Parasetamol terdistribusi secara cepat dan merata pada
kebanyakan jaringan tubuh. Sekitar 25% parasetamol di dalam darah terikat pada
protein plasma, dimetabolisme oleh sistem enzim mikrosomonal di dalam hati.
Memilki waktu paruh plasma 1,25-3 jam, dan mungkin lebih lama pada pasien
dengan kerusakan hati.
Sekitar 80-85% parasetamol di dalam tubuh mengalami konjugasi terutama
dengan asam glukoronat dan asam sulfat. Dieksresi melalui urin kira-kira sebanyak
85% dalam bentuk bebas dan terkonjugasi.Efek samping yang timbul akibat
penggunaan parasetamol antara lain, reaksi hipersensitifitas, ruam kulit dan kelainan
darah, kerusakan hati. Dalam keadaan overdosis, mual, muntah dan anoreksia

25
2.3 Anestesi Geriatri

Batasan lansia (lanjut usia) menurut WHO meliputi, usia pertengahan


(middle age) yaitu usia antara 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (eldery) yaitu usia
antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu usia antara 76 sampai 90
tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu usia diatas 90 tahun.

Pada tahun 2040, penduduk berusia 65 tahun atau lebih diperkirakan


mencapai lebih dari 24 % dari total populasi, setengah dari ini akan mengalami
pembedahan sebelum mereka meninggal, walaupun resiko kematian perioperatif
meningkat 3 x lipat dibandingkan dengan usia muda.Pembedahan Emergensi,
lokasi pembedahan dan status pasien (ASA) akan meningkatkan resiko dilakukan
anesthesia.Operasi dihubungkan dengan peringkatan resiko perioperatif terhadap
mortalitas dan morbiditas pada pasien-pasien tua termasuk operasi thoraks,
operasi intraperitonial (terutama bedah colon) dan bedah vaskular (pembuluh
darah besar).Seperti pada pasien pediatrik, penanganan anestesi yang optimal
pada pasien geriatric tergantung pada mengerti atau pahamnya terhadap
perubahan normal dari fisiologi, anatomi, dan respon terhadap farmakologi suatu
obat.
Pada kenyataannya, banyak sekali persamaan antara pasien tua dan pasien
pediatrik. yaitu :
1. Menurunannya kemampuaan untuk meningkatkan Heart Rate dalam
merespon terjadinya hipovolemi, hipotensi atau hipoksia.
2. Menurunyan komplain paru
3. Menurunnya Tekanan Oksigen di arteri
4. Kemampuan batuk terganggu
5. Menurunnya fungsi tubular ginjal.
6. Meningkatnya kelemahan terhadap hypotermi
- Dibandingkan dengan pasien pediatrik, bagaimanapun juga orang
yang telah tua mempelihatkan variasi range yang besar pada
parameter tersebut. Frekuensi yang relatif tinggi terhadap gangguan

26
fisiologi yang serius pada orang tua menjadi hal yang utama dalam
mengevaluasi preoperative.Perubahan fisiologis dapat
mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan
sebagaifaktor risiko. Secara umum pada usia lanjut terjadi
penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga
menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi
intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermi.
- Sistem saraf. Masa otak menurun sesuai dengan usia; neuron yang
berkurang menonjol di kortek cerebral, terutama lobus frontal. CBF
menurun sekitar 10 – 20% sesuai dengan berkurangnya sel saraf. Ini
berhubungan erat dengan metabolisme ; autoregulasi masih baik.
Neuron menurun dalam ukuran dan kehilangan beberapa
kompletisitas dari cabang-cabang dendrit dan jumlah sinaps.
Pembentukan beberapa neurontransmiter seperti dopamin dan
sejumlah reseptor berkurang. Ikatan Serotonergic, adrenergic dan γ
amino-buteric acid (GABA) juga berkurang. Jumlah sel Astrocyt
dan sel mikroglia meningkat.Degradasi sel-sel saraf perifer
mengakibatkan panjangnya kecepatan konduksi dan atropi dari otot
skeletal.Penuaan dihubungkan dengan peningkatan threshol /
ambang dari hampir semua sensorik, termasuk sentuh, sensasi
temperatur, propioseptif, pendengaran dan penglihatan.
- Pada kulit: terjadi reepitelisasi yang melambat dan juga
vaskularisasi berkurang sehingga penyembuhan luka lebih lama.
- Sistem kardiovaskular: pada jantung terjadi proses degeneratif
pada sistem hantaran, sehingga dapat menyebabkan gangguan irama
jantung. Katup mitral menebal, compliance ventrikel berkurang,
relaksasi isovolemik memanjang, sehingga menyebabkan gangguan
pengisian ventrikel pada fase diastolik dini, mengakibatkan
terjadinya hipotensi bila terjadi dehidrasi, takiaritmia atau
vasodilatasi. Compliance arteri berkurang, sehingga mudah terjadi

27
hipertensi sistolik. Sensitivitas baroreseptor berkurang sehingaa
menurunkan respons heart rate terhadap stres dan menurunnya
kadar renin, angiotensin, aldosteron sehingga mudah terjadi
hipotensi.
- Paru dan sistem pernafasan: elastisitas jaringan paru berkurang,
kontraktilitas dinding dada menurun, meningkatnya ketidak serasian
antara ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme
ventilasi, dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan
paru, meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit
dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap
hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas
yaitu batuk, pembersihan mucociliary berkurang, sehingga berisiko
terjadi infeksi dan aspirasi.
- Ginjal: jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus
(LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat.
Respons terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko
terjadi dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam dan air
berkurang, dapat terjadi overload cairan dan juga menyebabkan
kadar hiponatremia. Ambang rangsang glukosuria meninggi,
sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya. Produksi kreatinin
menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun
kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun.
- Saluran pencernaan: asam lambung sudah berkurang. Motilitas
usus berkurang.
- Hati: aliran darah dan oksidasi mikrosomal berkurang, sehingga
fungsi metabolisme obat juga menurun.
- Sistem imun: fungsi sel T terganggu dan terjadi involusi kelenjar
timus, dengan akibat risiko infeksi.
- Musculoskeletal : masa otot berkurang. Pada tingkat mikroskopis
neuromuscular junction menebal. Receptor acethylcholine

28
tampaknya juga tersebar dibeberapa extrajunctional.Kulit
mengalami atropi sesuai dengan umur dan mudah untuk terjadinya
trauma dari plester, Alas dari elektrocauter, electroda dari
EKG.Vena sering lemah dan mudah terjadi ruptur oleh karena
IVFD.Adanya Arthritis sendi mengganggu terhadap pengaturan
posisi (spt. Lithotomi) atau Anesthesi regional (spt. Subarachnoid
block / Spinal anesthesi).Adanya penyakit degenaratif pada tulang
servikal dapat membatasi ekstensi leher yang berpotensial
menyebabkan kesulitan dilakukannya intubasi.

HUBUNGAN USIA DAN PERUBAHAN FARMAKOLOGI

Penuaan menimbulkan perubahan terhadap farmakokinetik


(hubungan antara dosis obat dengan konsentrasi dalam plasma) dan
farmakodinamik (hubungan anatara konsentrasi dalam plasma dengan
efeknya secara klinik). Sayangnya, perubahan status penyakit dan
perbedaan antara individu yang cukup besar variasinya bahkan pada
populasi yang sama secara umum berbeda.

Penurunan yang progresif pada masa otot dan meningkatnya


lemak tubuh (lebih sering pada wanita) menyebabkan menurunnya
jumlah air dalam tubuh (total body water). Penurunan volume distribusi
dari obat yang larut dalam air dapat menyebabkan konsentrasinya dalam
plasma meningkat. Sebaliknya, meningkatnya volume distribusi obat-
obat yang larut dalam lemak dapat menyebabkan konsentrasi dalam
plasma menjadi sedikit. Perubahan volume distribuís ini mempengaruhi
eliminase – waktu paruh nya. Jika obat dengan volume distribusinya
bertambah maka eliminasi – waktu paruh akan memanjang, kecuali
clearence rata-ratanya juga meningkat. Tetapi, karena fungís ginjal dan
hati menurun sesuai dengan usia, penurunan clearence ini
memperpanjang durasi kerja dari banyak obat. Peneliti mengatakan
bahwa tak sama dengan orang sakit, orang sehat, aktif, pasien tua

29
mempunyai volume plasma yang bisa sedikit atau bahkan tidak ada
perubahan sama sekali.Distribusi dan eliminasi juga dipengaruhi oleh
perubahan protein binding dalam plasma. Albumin yang cenderung
berikatan dengan obat yang besifat asam (spt. Barbiturat, Benzodiazepin,
agonis opioit), biasanya menurun sesuai dengan usia. Peningkatan ikatan
α1-acid gycoprotein dengan bahan dasar obat (spt. Anesthesi local).
Ikatan obat – protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor di end-
organ dan tidak dapat dimetabolisme atau diekskresikan.
Prinsip perubahan farmakodinamik dihubungkan dengan
penuaan yang yang mengurangi kebutuhan anesthesi yang diperlukan,
yang ditunjukan dengan rendahnya MAC. Pemberian titrasi obat-obat
anesthesi yang hati-hati dapat membantu mencegah terjadinya efek
samping dan perpanjangan durasi obat; Short acting agent / obat dengan
cara kerja yang singkat seperti propofol, desfluran, remifentanyl, dan
suksinilkolin mungkin bermanfaat sekali pada pasien yang sudah tua.
Obat-obat yang tidak signifikan tergantung terhadap fungsi hati atau
ginjal atau aliran darah seperti mivacurium, atracurium dan cisatracurium
juga bermanfaat.

2.4 Hipertensi
1. Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan


adanya peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan
berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal
yang diijinkan adalah sebagai berikut :
Dewasa 140/90 mmHg
Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg
Anak usia prasekolah 85/55 mmHg
Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

30
Menurut The Joint National Committee 7 (JNC 7) on prevention,
detection, evaluation, and treatment of high blood pressure tahun 2003,
klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2.

Klasifikasi di atas untuk dewasa 18 tahun ke atas. Hasil pengukuran TD


dipengaruhi oleh banyak faktor,termasuk posisi dan waktu pengukuran,
emosi, aktivitas,obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD.
Kriteria ditetapkan setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap
kunjungan dan adanya riwayat peningkatan TD darah sebelumnya.
Di samping itu klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat
dibagi dalam 2 penyebab dasar, yaitu sebagai berikut:
1. Hipertensi primer (esensial, idiopatik).
2. Hipertensi sekunder:
a. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar:
Regurgitasi aorta, tirotoksikosis, PDA.
b. Hipertensi sistolik dan diastolik denganpeningkatan SVR:
 Renal: glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis,
polikistik ginjal, stenosis arteri renalis.

31
 Endokrin: Sindroma Chusing, hiperplasia adrenal congenital,
sindroma Conn (hiperaldosteronisme primer),
phaeochromacytoma, hipotiroidisme.
 Neurogenik: peningkatan TIK, psikis (White Coat
Hypertension), porfiria akut, tanda-tanda keracunan.
 Penyebab lain: coarctation dari aorta, polyarteritis nodosa,
hiperkalsemia, peningkatan volume intravaskuler (overload).
2. Manajemen Perioperatif Penderita Hipertensi

a. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Penderita Hipertensi

Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan


menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus
dicari, yaitu:
 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya.
 Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang
telah terjadi.
 Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita.
 Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik
hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik
hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis
riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin
dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh
adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan
penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan
diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan
hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia

32
miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya
diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim
ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya
hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk
evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya
retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah
mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk
penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat
penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%,
menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.

b. Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa


sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk
dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur
yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk
mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi
emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena
peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli
menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk
terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik.
Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi
yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya
stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik,
terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka
kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan

33
angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda
operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi
khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.
Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping
yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit
hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan
atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut
perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association /
American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa
TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi
yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai
beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid
acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai
respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang
harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.
Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan
respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi
preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan
mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak
dikontrol dengan baik.

Perlengkapan Monitor

Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta
maksud dan tujuan penggunaanya:

 EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multipel lead ST, karena
pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.

34
 TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-
Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF
atau MCI berulang.
 Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi
jaringan perifer.
 Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
 Suhu atau temperature.

Premedikasi

Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita


hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin
bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepin atau
midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari
pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel.
Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan
bisa terjadi hipotensi intraoperatif.

Induksi Anestesi

Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan


goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi
hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi
diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume
intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk
tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga
sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan
efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita,
seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang
terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan
intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan

35
laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa
durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan
terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari
terjadinya hipertensi.

 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten


selama 5-10 menit.
 Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
 Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
 Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5
mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Menggunakan anestesia topikal pada airway.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi
untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan
etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita
hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium
lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile,
sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.

c. Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring

Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan


anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral
jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat

36
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi ke kiri kembali ke
normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral
sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang


maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka
kejadian stroke.
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih
sama dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia
dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia
imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau
anestesia total intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anesthesia.
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun
perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi
akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan
hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang
direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan
penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan
monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung
diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload
dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi
terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk
penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan
kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena

37
sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada
penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan
end organ yang lain.

Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga


pada periode anestesia maupunsaat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif
yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan
antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel
atau bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau
hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,


penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya
penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari
pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut.
Berikut ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan
digunakan:
 Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien
dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
bronkospastik.
 Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
 Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang
mempunyai onset yang lambat.
 Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.
 Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai
terapi atau pencegahan iskemia miokard.
 Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga
fungsi ginjal.

38
 Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya
onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

d. Krisis Hipertensi

Dikatakan krisis hipertensi jika TD lebih tinggi dari 180/120 mmHg dan
dapat dikategorikan dalam hipertensi urgensi atau hipertensi emergensi,
berdasarkan ada tidaknya ancaman kerusakan target organ atau kerusakan
target organ yang progresif. Pasien dengan hipertensi sistemik kronis dapat
mentoleransi TDS yang lebih tinggi dibandingkan individu yang
sebelumnya normotensif dan lebih mungkin mengalami hipertensi yang
sifatnya urgensi dibandingkan emergensi. Hal-hal yang paling sering
menimbulkan krisis hipertensi adalah antara lain karena penggunaan obat
antihipertensi seperti clonidine, hiperaktivitas autonom, obat-obat penyakit
kolagen-vaskuler, glomerulonefritis akut, cedera kepala, neoplasia seperti
pheokromasitoma, preeclampsia dan eklampsia. Manifestasi klinis yang
timbul adalah sesuai dengan target organ yang rusak akibat hipertensi ini.
Krisis hipertensi terbagi atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi.
Hipertensi emergensi adalah pasien dengan bukti adanya kerusakan target
organ yang sedang terjadi atau akut (ensefalopati, perdarahan intra serebral,
kegagalan ventrikel kiri akut dengan edema paru, unstable angina, diseksi
aneurisme aorta, IMA, eclampsia, anemia hemolitik mikro angiopati atau
insufisiensi renal) yang memerlukan intervensi farmakologi yang tepat
untuk menurunkan TD sistemik. Ensefalopati jarang terjadi pada pasien
dengan hipertensi kronis sampai TDD melebihi 150 mmHg sedangkan
pada wanita hamil yang mengalami hipertensi dapat mengalami tanda-
tanda ensefalopati pada TDD < 100 mmHg. Sehingga walaupun tidak ada
gejala, wanita hamil dengan TDD > 109 mmHg dianggap sebagai
hipertensi emergensi dan memerlukan terapi segera. Bila TD diturunkan
secara cepat akan terjadi iskemia koroner akut, sehingga MAP diturunkan
sekitar 20% dalam 1 jam pertama, selanjutnya pelan-pelan diturunkan

39
sampai160/110 selama 2-6 jam. Tanda-tanda penurunan TD ditoleransi
dengan baik adalah selama fase ini tidak ada tanda-tanda hipoperfusi target
organ. Hipertensi urgensi adalah situasi dimana TD meningkat tinggi
secara akut, namun tidak ada bukti adanya kerusakan target organ. Gejala
yang timbul dapat berupa sakit kepala, epitaksis atau ansietas. Penurunan
TD yang segera tidak merupakan indikasi dan pada banyak kasus dapat
ditangani dengan kombinasi antihipertensi oral bertahap dalam beberapa
hari.

e. Manajemen Postoperatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia
miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga
menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya
disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada
daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi.
Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping
secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan
baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload
cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder
tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu faktor yang
paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga
untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat,
misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi
masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara
farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun
pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah

40
tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat
antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama
digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila
penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid
dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan
ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung
maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker
secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera
diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan
minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.

41
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. O.N
No. DM : 394041
Umur : 71 tahun
Alamat : Hamadi
BB :50 Kg
TB : 153 cm
Jenis kelamin :Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga
Suku bangsa : Papua
Ruangan : Bedah Wanita
Tanggal operasi : 20 Febuari 2018
Tanggal keluar rumah sakit : 24 Februari 2018

Anamnesis

Keluhan utama
Ingin operasi lepas pen

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan utama ingin operasi lepas pen. sekitar
tahun 2017 (Oktober) pasien kecelakaan lalu lintas dan patah di daerah paha
kanan. Pasien di operasi dan dilakukan pemasangan pen pada paha kanan pada
tahun 2017 setelah pasien mengalami kecelakaan dan patah tulang. Saat ini
pasien datang dengan keluhan ingin lepas pen. Keluhan lain seperti demam,
sesak, batuk disangkal oleh pasien. Buang air besar dan buang air kecil lancar,
makan dan minum juga baik.

42
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : (+) tidak pernah diterapi
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal
(Asma, TBC)
- Riwayat operasi sebelumnya : (+) tahun 2017
- Riwayat Obat yang diminum : tidak ada
- Riwayat Anestesi : (+) Subaracnoid Block

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwyata hipertensi : ayah kandung dari pasien

Riwayat Alergi

- Riwayat alergi makanan : disangkal


- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
3.2. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
TTV : Tekanan Darah = 140/90 mmHg, Nadi = 80 x/menit,
reguler, kuat angkat, terisi penuh Respirasi Rate = 20 x
/mnt, Suhu = 36,9oC

43
b. Status Generalis
Kepala : Norrmocephali, jejas (-), oedema (-)
Mata : Sekret (-/-), Conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-).
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
Telinga : Deformitas (-), darah (-)
Leher : Pembesaran KGB (-),JVP dalam batas normal, trakea
di tengah, malampati score 1.
Thorax
 Paru-paru
Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis & dinamis, retraksi
dinding dada (-), jejas (-)
Palpasi :vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas dasar : vesikuler Suara tambahan :
wheezing (-/-), ronkhi(-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke V, 1 cm ke medial
linea mid clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak
melebar.
Perkusi :
Batas atas :ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang :ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri :ICS V 2 cm ke lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan :ICS V linea parasternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-),
murmur (-)

44
 Abdomen

Inspeksi : Tampak datar , caput medusa (-), jejas (-)


Auskultasi : Peristaltic (+) normal 4x / menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor normal,
massa (-)
Hepar : tidak teraba membesar
Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)
 Ekstremitas
Superior : akral teraba hangat(+), sianosis (-/-),
oedem (-/-)
Inferior : akral hangat (+), sianosis (-/-), edem (-/-)
 Status Lokalis
Regio :femoralis dextra
 Look (inspeksi) : tampak luka bekas operasi, bengkak(-),
deformitas(-), kelainan bentuk(-).
 Feel/palpasi : nyeri tekan (-), arteri dorsalis pedis
dextra teraba.
 Movement/gerakan : gerakan aktif baik, gerakan pasif baik.

3.3. Pemeriksaan Penunjang


Hasil laboratorium darah lengkap tanggal 14 Februari 2018

Pemeriksaan Hasil

Hb 11,7 g/d
Leukosit 6660
Trombosit 193.000 /ult

45
Hasil laboratorium kimia lengkap tanggal 14 Februari 2018
Pemeriksaan Hasil
Gula darah sewaktu 95 mg/dL
Ureum 46 mg/dL
Kreatinin 1,0 mg/dL
Protein 7,9 g/dl
Albumin 4,3 g/dl
Globulin 3,6 g/dl
SGOT 15 U/L
SGPT 11 U/L
Kalium 3,8 mmol/L
Natrium 140 mmol/L
Clorida 105 mmol/L

Hasil laboratorium 14 Februari 2018


Pemeriksaan Hasil

CT 9’30’’
BT 3’00’’

Hasil pemeriksaan serologi

PITC : Non Reaktif

46
Hasil EKG

Gambaran EKG (14-02-2018)


Poto Thorax

(Poto thorax 14-02-2018)

3.4. Konsultasi yang Terkait


Jawaban Konsul Penyakit Dalam (14-2-2018)
 Diabetes Melitus (-)
 Hipertensi (+)
Hipertensi Grade I
 EKG kesan normal.
 Toleransi kardiologi baik.

47
Jawaban Konsul Anestesi (15-2-2018)

 Informed Consent
 Puasa Mulai Jam 24.00 WIT
 Jam 06.00 : Ukur tekanan darah
 Infus RL 20 tpm
 Sedia darah 2- 3 bag

3.5. Penentuan PS ASA


PS. ASA : PS. ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang). Pasien dengan Tekanan darah 140/90 mmHg,
Hipertensi Grade I dan Umur Pasien : 71 tahun, termasuk
kategori Geriatri.
3.6. Persiapan Anestesi
PS. ASA : II
Informed Consent : +
Hari/Tanggal : 20/02/2018
Diagnosa Pra Bedah : - Union remove of implant fraktur femur 1/3
proximal dextra.
Diagnosa Pasca Bedah : - Post remove of implant fraktur femur 1/3
proximal dextra.
Makan terakhir : 9 jam yang lalu
BB : 50 Kg
TTV : TD :140/70 mmHg, N: 86 x/m, SB: 36,70 C
SpO2 : 100 %
B1 : Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak
napas, RR:20 x/m, palpasi: Vocal Fremitus
D=S, perkusi: sonor, suara napas
vesikuler+/+,

48
ronkhi-/-, wheezing -/-,malampati score: I
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time< 2 detik, BJ: I-II murni regular,
konjungtiva anemis -/-
B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS:
15(E4V5M6), riwayat kejang (-), riwayat
pingsan (-)
B4 : Terpasang DC, produksi urin durante op
(+ 150 cc),
B5 : Perut tampak datar, palpasi: nyeri tekan (-),
perkusi: tympani,BU (+) normal
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-).

3.7. Laporan Durante Operasi


Laporan Anestesi
Ahli Anestesiologi : dr Mario Simomora Sp.An
Jenis Anestesi : Blok subaraknoid (blok spinal)
Anestesi Dengan : Buvipakain0,5% 15 mg
Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala
menunduk, dilakukan aseptic di sekitar
daerah tusukan yaitu di regio vertebra lumbal
3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi
Decain 0,5 %20 mg) dengan jarum spinal
pada regio vertebra antara lumbal 3-4,
Cairan serebro spinal keluar (+) jernih,
dilakukan blok.
Pernafasan : Spontan
Posisi : Tidur terlentang (Supine)
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G,

49
cairan RL
Penyulit : -
pembedahan
Tanda vital pada : TD: 127/77 mmHg, N:75 x/m, SB:
akhir pembedahan 36,7°C
RR: 22 x/m
Pre Medikasi : -
Induksi : - Bupivakain 0,5% 15 mg
Maintenance : - Fentanyl 10 mg
- Midazolam 25 mg
- Ranitidine 50 mg
- Ondansentron 4 mg
- Metamezole 500 mg
- Ceftriaxone 1 gr, skin test
dulu
- Furosemide 20 mg
Post operasi :

Laporan Pembedahan
Nama Pasien / Umur : Ny. O. N / 71 tahun
NO DM : 39 40 41
Ahli Bedah : dr. I. N .Sp Ot
Jenis Pembedahan : Remove of Implant
Lama Operasi : 11.55 –12.35 WIT (40 menit)
Teknik Pembedahan : - Informed Consent + Antibiotik Profilaksis
- Pasien posisi Supine dalam pengaruh SAB
- Desinfeksi lapangan operasi
- Incisi ± 10 cm diperdalam secara tumpul dan
tajam
- Plate and screw dilepaskan

50
- Cuci dengan NaCl 0,9 %
- Lapangan Operasi dijahit dan ditutup
- Operasi selesai.

3.8. Observasi Selama Operasi


160

140

120

100
Sistolic
80
Diastolic
60 Nadi
40

20

0
11.5011.5512.0012.0512.1012.1512.2012.2512.3012.35

3.9. Balance Cairan


Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam = Input : RL 1000 cc
Output : Urine : +
50 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 50 – 100 cc/jam
2. Pengganti puasa 9 jam
9 jam x kebutuhan cairan/jam=
9 x 50 – 100 cc/jam = 450 – 900 cc
3. Perdarahan = -

DURANTE OPERASI Input :


Kebutuhan cairan selama operasi 40 menit Gelafusal 500 cc
1. Maintenance NaCl 0,9% 100 cc

51
50 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 50 – 100 cc/jam PRC 350 cc
Untuk 40 menit = 2/3 x 50 – 100 cc/jam = 34 – 67 cc Output :
Urine = 150 cc
2. Replacement Total Perdarahan = 60

Perdarahan = ±60 cc cc
Suction : -
EBV = 60 cc x BB = 60 cc x 50 kg = 3000 cc
Kasa : 60 cc
EBL = 60 cc, dapat diganti dengan cairan kristaloid
(6 x 10 cc)
2 - 4 x EBL = 120–240 cc

3. Cairan yang terlokasi selama operasi bedah sedang


=
BB x jenis operasi = 50x 4-6 ml/kg = 200 – 300 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi


(34 – 67 cc) + (120 – 240 cc)+ 250 cc= 404 - 557 cc

POST OPERASI
*20 Feb 2018 jam 12.35 sd 07.35 221 Feb 2018 Input :
(19 jam menit) Volume cairan:
RL 1000 cc, D5 % 500
 Maintenance: cc
BB x Kebutuhan cairan/ jam x 19 jam =
50 kg x 1-2 cc/kgbb/jam x 19 jam = 950 - 1900 cc Kandungan elektrolit:
- Kalori : 1000-1500 kkal/24 jam  RL 1000 cc :
(Kalium 4 meq,
Natrium 130 meq,
kalori - )
 D5% 500 cc : (
Kalori 100 kkal,

52
Kalium -, natrium -
)

* 21 Februari 2018 jam 08.00 sd 22 Februari 2018 Output : Urin : 900 cc


jam 08.00 (24 jam)
28 Februari 2018 jam
 Maintenance: 08.00 sd 01 Maret
BB x Kebutuhan cairan/hari (24 jam)= 2018 jam 08.00 (24
50 kg x 40 – 50 cc/KgBB/hari = 2000 – 2500 cc /24 jam)
jam
Input :
Volume cairan:
*22 Februari sd 23 Februari RL 1000 cc, D5 % 500
50 kg x 40 – 50 cc/KgBB/hari = 2000 – 2500 cc /24 cc
jam Output : Urin : 1300 cc

Input :
Volume cairan:
RL 1000 cc, D5% 500
cc

Ouput : Urin 1200 cc

3.10. Instruksi post operasi


- IVFD RL : D5 2:1
- Ceftriaxone 2x1 gr (IV)
- Ketorolac 3% 3x30 mg (IV)
- Ranitidine 2x50 mg (IV)
- Mobilisasi
- GV 1x/2hari

53
3.12 Follow Up Post-Operasi

Hari/Tanggal : Rabu,21-02-2018
Jam: 16.30 WIT
S : Nyeri di daerah bekas operasi Planning
O :  IVFD RL 1000 cc : D5
Keadaan Umum = Tampak sakit sedang, 500 cc / 24 Jam
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.
 Ceftriaxone 2 x 1 gr
Tekanan Darah = 130/90 mmHg
(H.1) (iv)
Nadi = 78x/m
 Ketorolac 3% 3 x 30 mg
Respirasi = 20 x/m
(iv)
Suhu Badan = 36,5oC
 Ranitidine 2x50 mg (iv)
B1 : Bebas, gerak leher bebas,
 Amlodipin 1x5 mg
simetris +/+, suara napas
vesikuler, ronkhi -/-,  Losartan 1x60 mg
wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering,
merah. Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi 78x/m, kuat
angkat, regular. BJ: I-II
murni regular, murmur (-),
galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3
mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan,
warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
cembung,nyeri tekan (-),
timpani, BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-),
motorik aktif

A : Post ROI Fraktur 1/3 Proximal Femur


Dextra Hari ke I

54
Hari/Tanggal : Kamis,22 Februari 2018
Jam: 17.00 WIT

S : Nyeri di daerah bekas operasi Planning


O :  IVFD RL 1000 cc : D5 500
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan, cc / 24 Jam
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.  Cefriaxone 2 x 1 gr (H.II)
Tekanan Darah = 150/90 mmHg  Ketorolac 3% 3 x 30 mg
Nadi = 86x/m , (iv)
Respirasi = 18x/m,  Ranitidine 3x50 mg (iv)
 Metamezole 2x500 mg
Suhu Badan = 36,7oC (iv)
B1 : Bebas, gerak leher bebas,  Amlodipin 1x5 mg
simetris +/+, suara napas  Losartan 1x60 mg
vesikuler, ronkhi -/-,
 Meloxicam 2x7,5 mg
wheezing -/-, RR: 18 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering,
merah. Capilari Refill Time <
2 detik, Nadi 86x/m, kuat
angkat, regular. BJ: I-II
murni regular, murmur (-),
galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3
mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan,
warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
cembung,nyeri tekan (-),
timpani, BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-),
motorik aktif

A : Post ROI Fraktur 1/3 Proximal Femur Dextra


Hari ke II

55
Hari/Tanggal : Jumat, 23 Februari 2018
Jam: 16.45 WIT

Planning
S : Nyeri di daerah bekas operasi berkurang  IVFD RL 1000 cc : D5 500
O: cc / 24 Jam
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,  Cefriaxone 2 x 1 gr (H.III)
Kesadaran =pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm. (iv)
Tekanan Darah = 120/70 mmHg  Ketorolac 3%3 x 30 mg (iv)
Nadi = 80x/m ,  Metamezole 2x500 mg (iv)
Respirasi = 20x/m,  Amlodipin 1x5 mg
Suhu Badan = 36,6oC  Losartan 1x60 mg
B1 : Bebas, gerak leher bebas,  Meloxicam 2x7,5 mg
simetris +/+, suara napas
vesikuler, ronkhi -/-,
wheezing -/-, RR: 20 x/m.
B2 : Perfusi: hangat, kering,
merah. Capilari Refill Time
< 2 detik, Nadi 80x/m, kuat
angkat, regular. BJ: I-II
murni regular, murmur (-),
galop (-).
B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3
mm,riwayat pingsan (-),
riwayat kejang (-).
B4 : DC (+), BAK (+) spontan,
warna kuning jernih.
B5 : Abdomen supel,
cembung,nyeri tekan (-),
timpani, BU (+) normal
B6 : Fraktur (-), edema (-),
motorik aktif

A : Post ROI Fraktur 1/3 Proximal Femur


Dextra Hari ke III

56
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien seorang perempuan, 71 tahun, datang berobat ke rumah sakit tanggal


19 Februari 2018 dengan keluhan ingin operasi lepas pen. Setelah diperiksa dengan
pemeriksaan fisik ditemukan adanya bekas operasi di paha kanan, nyeri tidak ada,
oedema tidak ada, dan gerakannya aktif. Pasien didiagnosis union remove of implant
fraktur femur 1/3 Proximal dextra. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS.
ASA 2 (Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitasrutin terbatas).
Pasien dengan tekanan darah 140/90 mmHg, menurutu klasifikasi JNC VII termasuk
dalam kategori Hipertensi Grade I, dan umur pasien 71 tahun, termasuk kategori
geriatri.
Pada kasus ini dilakukan tindakan remove of implant dengan anestesi spinal
(blok subaraknoid). Hal ini sesuai dengan indikasi Anestesi blok subaraknoid yang
digunakan pada, bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum
perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada
bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikandengan anesthesia
umum ringan. Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena relatif murah,
pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan
mencegah respon stresslebih sempurna.
Pasien dianestesi spinal dengan Decain 0,5% 15 mg pada posisi duduk antara
vertebra L3–L4. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik
lokal ke dalam ruang sub araknoid di daerah antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4 atau
L4 - L5. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas
vertebra sakralis. Batas atas ini dikarenakan pada batas atas adanya ujung medula
spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis yang tidak
memungkinkan dilakukan insersi.
Isi dari obat Decain 0,5% adalah Bupivakain HCl. Bupivakain merupakan
anestesi lokal isobarik. Bupivakain bekerja dengan cara berikatan secara intaselular
dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah

57
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka
bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri dibandingkan
dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai selubung mielin
dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Pada pasien ini kemudian dilakukan remove of implant dengan anestesi blok
subaraknoid dengan decain 0,5% 15 mg. Pemilihan jenis anestesi pada pasien ini
dianggap sudah tepat karena pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi
adekuat dan kemampuan mencegah respon stress serta memenuhi indikasi dari
anestesi block subaracnoid.
Pada pasien ini mengapa digunakan obat Bupivakain dan tidak menggunakan
Lidokain karena onset kerjanya lidokain cepat dengan lama kerja 60 – 120 menit
sedangkan bupivakain onset kerjanya lambat, lama kerjanya 240 – 480 menit,
Bupivakain termasuk golongan anestesi lokal onset lambat, durasi panjang, dan
potensi yang tinggi, blokade sensoriknya lebih dominan dibanding dengan blokade
motoriknya.
Salah satu efek samping anestesi blok subaraknoid adalah hipotensi. Untuk
mencegah hipotensi pasien diberi cairan prabedah yaitu Ringer Laktat sebanyak 1000
ml. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat, komposisi menyerupai
plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi anafilaksis, dan dari segi
biayanya lebih ekonomis.
Beberapa hal harus sangat diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi pada kasus ini. Hal yang utama adalah menyangkut perfusi jaringan terkait
dengan fungsi jantung pasien, tindakan pembedahan pada kasus ini termasuk operasi
sedang dan dikarenakan pasien pada dengan Hipertensi Grade I dan geriatri.
Berdasarkan teori pada geriatri terjadi penurunan elastisitas pembuluh darah karena
fibrosis pada tunika media, ini adalah proses normal dari proses penuaan. Penurunan
komplain arteri mengakibatkan peningkatan afterload, meningkatnya systolic blood
pressure, hipertrophy ventrikel kiri. Penebalan dinding ventrikel kiri ini
meningkatkan rongga dari ventrikel kiri. Beberapa kali sering terjadi.

58
fibrosismyocardial dan kalsifikasi pada katup. Bila penyakit penyerta tidak ada,
maka tekanan darah diastolik harus tetap dipertahankan atau menurun, karena jika
tidak bisa terjadi krisis hipertensi, sehingga perlu diawasi tanda-tanda vital pasien
pada saat operasi.
Setelah induksi, beberapa obat anestesi juga diberikan untuk rumatan anestesi
diantaranya Sedacum, Fentanil, Metamizole (Santagesik). Semuanya bertujuan untuk
mengurangi nyeri dan kecemasan selama operasi karena pasien tetap sadar pada
anestesi spinal.Pasien juga diberikan ranitidin, ondansentron, antrain dan lasix.
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel
sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume
dan kadar ion hidrogen dari sel parietal akan menurun sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.
Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah. Namun mual selama anestesi biasa
terjadi oleh karena hipoperfusi serebral atau terhalanginya stimulus vagus usus.
Biasanya mual adalah tanda awal hipotensi. Bahkan blok simpatis mengakibatkan tak
terhalangnya tonus parasimpatis yang berlebihan pada traktus
gastrointestinal.Furosemid adalah obat yang termasuk dalam golongan loop diuretic
Obat Furosemid bekerja pada glomerulus ginjal untuk menghambat penyerapan
kembali zat natrium oleh sel tubulus ginjal. Furosemid akan meningkatkan
pengeluaran air, natrium, klorida, dan kalium tanpa mempengaruhi tekanan darah
normal. Setelah pemakaian oral furosemid akan diabsorpsi sebagian secara cepat
dengan awal kerja obat terjadi dalam ½ sampai 1 jam, dengan lama kerja yang
pendek berkisar 6 sampai 8 jam, kemudian akan diekskresikan bersama dengan urin
dan feses.
Selama perioperatif cairan kristaloid yang diberikan pada pasien adalah Ringer
Laktat (RL) yang merupakan larutan isotonik Natrium Klorida, kalium klorida,
kalsium klorida dan natrium laktat yang komposisinya serupa dengan cairan
ekstraseluler, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskular

59
sehingga bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit. Pada beberapa
penelitian menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai preload pada
tindakan anestesi spinal. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah didapat,
komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer), bebas reaksi
anafilaksis. Pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi spinal lebih efektif dalam
menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena dengan cara ini kristaloid
masih dapat memberikan volume intravaskuler tambahan (additional fluid) untuk
mempertahankan venous return dan curah jantung. Pada beberapa penelitian
prehidrasi dengan larutan kristaloid 10-20 ml/kg berat badan efektif
mengkompensasi pooling darah di pembuluh darah vena akibat blok simpatis
atau pemberian cairan Ringer Laktat 500 - 1000 ml secara intravena sebelum anestesi
spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi.
Pada durante operasi total kebutuhan cairan adalah kebutuhan cairan
replacement dijumlahkan dengan kebutuhan cairan maintenance dan cairan yang
terlokasi atau penguapan pada jenis operasi sedang
Pada post operasi ( ruang recovery room ) kebutuhan cairan post operasi
adalah defisit cairan pada saat operasi dijumlahkan dengan kebutuhan cairan
maintenance selama 19 jam.
Kebutuhan cairan post operasi tersebut dipenuhi dengan memberikan cairan RL
sesuai kebutuhan dimana didapatkan pemenuhan kebutuhan cairan pasien dan
pemberian nutrisi parenteral sebagai pengganti pada saat pasien puasa setelah operasi.

Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :


 Kebutuhan cairan per jam : 50 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 50 – 100 cc/jam
 Pre Operatif :
Pasien puasa selama 9 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien harus dipenuhi
sebelum operasi ialah :
Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 9 jam adalah 450 – 900 cc
Selama pre operatif tidak terdapat perdarahan.

60
Sebelum operasi pasien diberikan resusitasi cairan RL 1000 cc. Sehingga
kebutuhan cairan pasien sebelum operasi telah terpenuhi dengan pemberian cairan
tersebut.
 Durante Operatif :
Perdarahan :
Estimate Blood Volume (EBV) dari pasien ini ialah := 70 cc x BB = 70
cc x 50 kg = 3500 cc
Perdarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 60 cc sehingga
Estimate Blood Loss (EBL) dari pasien ini ialah :60/3500 x 100 % = 2
%. Pada pasien ini perdarahan yang terjadi dapat digantikan dengan
cairan kristaloid sebanyak 2 – 4 x dari jumlah perdarahan. Kebutuhan
cairan sebagai pengganti perdarahan ialah :
(2 x 60 = 120 cc) – (4 x 60 = 240 cc)
Kebutuhan cairan replacement pada durante operasi adalah :
Kebutuhan cairan maintanace pada durante operasi selama 40 menit =
2/3 x 50 – 100 cc/jam = 34 – 67 cc.
Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah kebutuhan cairan
replacement dijumlahkan dengan kebutuhan cairan maintenance
adalah 404 - 557 cc.
Pada saat operasi cairan yang masuk ialah Ringer Laktat 500 cc,
sehingga kebutuhan cairan yang tersisa ialah 257 cc.

 Post Operatif
Kebutuhan cairan post operasi ialah defisit cairan pada saat operasi
dijumlahkan dengan kebutuhan cairan rumatan pasien selama 9 jam ditambahkan
replecement. Maintenance selama 19 jam yaitu 950 - 1900 cc.
Selama perawatan di ruang RR 12.35 hingga pukul 08.00 wit esok harinya,
kebutuhan cairan post operasi tersebut dapat terpenuhi dengan pemberian
cairanpost operatif adalah RL 1000 cc, D5 % 500 cc, sehingga jumlah volume
cairan yang diterima pasien yaitu 1500 cc. Pemilihan cairan tersebut

61
dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan cairan pasien, kebutuhan elektrolit
dan nutrisi parenteral sebagai pengganti pada saat pasien puasa setelah operasi.

62
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis menderita union fraktur femur 1/3 proximal dextra.
Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS. ASA 2 (Pasien dengan
penyakit sistemik berat, sehingga aktivitasrutin terbatas). Pasien dengan
tekanan darah 140/90 mmHg, menurutu klasifikasi JNC VII termasuk dalam
kategori Hipertensi Grade I, dan umur pasien 71 tahun, termasuk kategori
geriatri.
Pasien dioperasi tanggal 20 Februari 2018. Pada kasus ini dilakukan
tindakan operasi remove of implant dan jenis anestesi regional berupa Sub
Arachnoid Block (SAB). Berdasarkan indikasi anestesi blok subaraknoid
digunakan pada, bedah ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar
rektum perineum, bedah obstetrik-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen
bawah, pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikandengan anesthesia umum ringan menghasilkan analgesi adekuat
dan kemampuan mencegah respon streslebih sempurna.
Resusitasi dan terapi cairan perioperative kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperative pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya
hemodinamik durante dan post operatif.

5.2. Saran

Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari persiapan pre
anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi, terutama menyangkut
resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik
perioperative.

63

You might also like