You are on page 1of 15

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Zat besi atau fe adalah nutrisi penting untuk tubuh manusia. Kebutuhan zat besi pada tubuh pria
dewasa ialah 40 - 50 mg zat besi/kg berat badan. Bagi tubuh wanita dewasa adalah 35 - 50 mg/kg berat
badan. Zat besi mengambil peran penting dalam proses distribusi oksigen dalam darah tubuh manusia. Zat
besi juga berfungsi dalam proses produksi haemoglobin. Zat besi juga berperan penting dalam fungsi
kekebalan tubuh. Kekurangan zat besi akan semakin memperbesar potensi tubuh mudah terserang
penyakit.

Zat besi adalah salah satu unsur yang diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah. Sel
darah merah ini mengandung senyawa kimia bernama hemoglobin, yang berfungsi membawa oksigen
dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh. Kekurangan zat besi dalam menu makanan
sehari-hari dapat menimbulkan penyakit anemia gizi atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit
kurang darah.

1.2.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian makalah penyuluhan ini adalah:


1. Agar penulis dan penyerta penyuluhan memahami tentang zat besi pada anak.
2. Agar penyerta penyuluhan dapat mengamalkan ilmu yang dapat dalam kehidupan
seharian untuk menjaga zat besi anak-anak.

1.3.Manfaat Penelitian

1. Penulis dan penyerta penyuluhan memahami tentang zat besi pada anak.
2. Penyerta penyuluhan dapat mengamalkan ilmu yang dapat dalam kehidupan seharian
untuk menjaga zat besi anak-anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Zat Besi

Zat besi sangat diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan, membantu kerja berbagai macam
enzim dalam tubuh, menanggulangi infeksi, membantu kerja usus untuk menetralisir zat-zat toksin dan
yang paling penting adalah untuk pembentukan hemoglobin. Jumlah besi yang disimpan dalam tubuh
manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu
kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin yang berfungsi khusus, yaitu mengangkut
oksigen untuk keperluan metabolisme ke jaringan-jaringan tubuh. Sebagian lagi dari zat besi terikat
dalam sistem retikuloendotelial di hepar dan sumsum tulang sebagai depot besi untuk cadangan. Sebagian
kecil dari zat besi dijumpai dalam transferin yang merupakan transporting iron binding protein,
sedangkan sebagian kecil lagi didapati dalam enzim-enzim yang berfungsi sebagai katalisator bagi proses
metabolisme dalam tubuh. Kira-kira 1 mg besi hilang melalui urin, feses, keringat dan jaringan yang lepas
dari kulit dan saluran cerna (Provan, 2004).

Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani, kacang-kacangan, dan sayuran berwarna
hijau tua. Pemenuhan Fe oleh tubuh memang sering dialami sebab rendahnya tingkat penyerapan Fe di
dalam tubuh, terutama dari sumber Fe nabati yang hanya diserap 1-2%. Penyerapan Fe asal bahan
makanan hewani dapat mencapai 10-20%. Fe bahan makanan hewani (heme) lebih mudah diserap
daripada Fe nabati (non heme). Sumber terbaik zat besi dari makanan ialah hati, tiram, kerang, buah
pinggang, daging tanpa lemak, ayam/itik dan ikan. Kacang dan sayur yang dikeringkan adalah sumber
iron yang baik daripada tumbuhan Soekirman (2000).

2.1.1. Kebutuhan Zat Besi

Zat besi terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferriprotein dan kompleks heme-
protein.Kandungan zat besi dan proporsi besi yang diabsorpsi adalah berbeda bagi setiap jenis
makanan.Secara umumnya, daging terutamanya hati adalah sumber zat besi yang lebih baik berbanding
sayursayuran, telur dan sumber tenusu. Kebutuhan zat besi melalui makanan setiap harinya sangat
berbeda bergantung pada umur, jenis kelamin dan keadaan individu masing- masing. Kebutuhan zat besi
yang terbesar ialah dalam 2 tahun kehidupan pertama, selanjutnya selama periode pertumbuhan cepat dan
kenaikan berat badan pada usia remaja dan sepanjang masa reproduksi wanita. Berdasarkan
Recommended Daily Allowance (RDA), laki-laki dewasa normal (19 tahun ke atas) memerlukan zat besi
sebanyak 8 mg/hari, sedangkan wanita pada usia reproduktif (19-50 tahun) memerlukan zat besi sekitar
18 mg/hari. Pada wanita hamil pula kebutuhan zat besi adalah sekitar 27 mg/hari dan tergantung pada usia
kehamilannya. Pada anak usia 4 hingga 8 tahun, zat besi yang dibutuhkan adalah 10 mg/hari manakala
anak usia 9 hingga 13 tahun memerlukan zat besi sekitar 8 mg/hari (Hoffbrand, 2006).
2.1.2. Metabolisme zat besi

Raspati (2010) menyatakan bahwa pada orang dewasa, perkembangan metabolisme dalam
hubungannya dengan homeostasis besi telah diketahui dan dapat difahami dengan baik. Proses
metabolisme tersebut diperkirakan sama dengan yang terjadi pada anak-anak. Zat yang berperan penting
dalam pembentukan hemoglobin adalah zat besi dengan protein (globin) dan protoporfirin. Selain zat
tersebut, terdapat pula enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA,
neurotransmitter, dan proses katabolisme.

Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan,
bioavailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Bioavailabilitas besi dipengaruhi
oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan
penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi),
kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antasid, tetrasiklin dan
kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi. Kandungan zat besi pada orang dewasa adalah 55
mg/kg BB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30%
sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar
0,07% sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Pada bayi yang baru lahir, kandungan zat besi dalam
tubuhnya adalah 0,5 gram.

Menurut Anwar (2009) zat besi dalam makanan ada dalam 2 bentuk, yaitu besi heme dan besi
non heme. Besi heme adalah senyawa besi yang berikatan dengan protein dan berasal dari hemoglobin
dan mioglobin yang terdapat dalam 12 darah bahan makanan hewani. Sedangkan besi non heme adalah
besi yang ada dalam bentuk besi anorganik dan umumnya terdapat dalam bahan makanan dari tumbuh-
tumbuhan, seperti sayuran dan kacang-kacangan. Zat besi non heme terdapat dalam bentuk kompleks
inorganik Fe3+. Absorbsi besi non heme sangat dipengaruhi oleh faktor yang mempermudah dan faktor
yang menghambat, yang terdapat di dalam bahan makanan yang dikonsumsi. Sementara itu, zat besi heme
tidak dipengaruhi oleh faktor penghambat. Karena itu, jumlah zat besi heme yang dapat diabsorbsi lebih
banyak daripada zat besi dalam bentuk non heme. Dari berbagai penelitian, dibuktikan bahwa besi heme
yang dapat diserap hamper 30%, sedangkan besi non heme hanya dapat diserap sebesar 5%. Namun,
tingkat penyerapan zat besi non heme yang rendah itu dapat ditingkatkan dengan penambahan faktor yang
mempermudah, yaitu vitamin C.

Raspati (2010) menjelaskan bahwa untuk metabolisme, besi heme di dalam lambung dipisahkan
dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim proteosa. Setelah itu besi heme mengalami oksidasi
menjadi hemin yang akan masuk ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian dipecah oleh enzim
hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin. Sedangkan besi non heme di lumen usus akan
berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke
dalam sel mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferin kembali ke dalam lumen
usus. Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi yang
tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin
membentuk transferin serum.
Selanjutnya Raspati (2010) menyatakan bahwa penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui
mukosa usus halus, terutama di duodenum sampai pertengahan jejunum, makin ke arah distal usus
penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa
besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik (Feri/ Fe3+) yang oleh pengaruh asam lambung,
vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe2+). Bentuk fero ini kemudian
diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan di dalam sel usus bentuk fero ini mengalami oksidasi menjadi bentuk
feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke
dalam peredaran darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan di dalam plasma ion fero
direoksidasi kembali menjadi bentuk feri yang kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk
transferin. Absorbsi besi non heme akan meningkat pada penderita anemia defisiensi besi. Transferin
berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa dan
sumsum tulang serta jaringan lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.

Raspati (2010) juga menjelaskan bahwa di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke
dalam eritrosit (retikulosit) yang selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan
persenyawaan globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120 hari
fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan di dalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin
mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi
bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengalami siklus metabolisme seperti di atas
atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.

Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat mudah larut,
tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak
mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam
sel kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk
mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi,
maka tubuh akan menggunakan cadangan zat besi yang ada untuk mempertahankan kadar Hb (Raspati,
2010).

Anwar (2009) menjelaskan bahwa fungsi utama senyawa besi adalah fungsi metabolik dan fungsi
enzimatik. Adapun yang termasuk kategori fungsi metabolik adalah hemoglobin (sel darah merah),
mioglobin, dan sitokom. Darah merah merupakan pengangkut dan penyimpan zat gizi dan oksigen.
Berkurangnya jumlah sel darah merah dalam tubuh akan mempengaruhi kemampuan darah untuk
membawa zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh kekurangan zat gizi dan oksigen. Hal
itulah yang menyebabkan timbulnya rasa letih, lelah, lesu, dan lemah. Hal tersebut akan berlanjut pada
aktivitas fisik menurun, mudah lelah, dan sesak napas. Jika keadaan itu berlanjut, kegiatan sehari-hari
akan terganggu sehingga menurunkan produktifitas.

Anwar (2009) juga menjelaskan bahwa penurunan pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan, dan
prestasi belajar dapat terjadi akibat anemia besi. Seorang yang menderita anemia akan malas bergerak
sehingga kegiatan motoriknya akan terganggu. Distribusi zat gizi yang menurun akan menyebabkan otak
kekurangan 15 energi. Akibatnya, daya pikir orang itu pun ikut menurun sehingga prestasi pun ikut
menurun. Anemia juga terbukti dapat menurunkan atau mengakibatkan gangguan fungsi imunitas tubuh,
seperti menurunnya kemampuan sel leukosit dalam membunuh mikroba. Anemia juga berpengaruh
terhadap metabolisme karena besi juga berperan dalam beberapa enzim. Pada anak-anak, hal itu akan
menghambat pertumbuhan. Selain itu, anemia juga akan menyebabkan penurunan nafsu makan yang akan
menyebabkan seseorang kekurangan gizi.

2.1.3. Kekurangan Zat Besi

Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin, dimana zat besi digunakan
secara terus-menerus. Sebagian besar zat besi yang bebas dalam tubuh akan dimanfaatkan kembali
(reutilization), dan hanya sebagian kecil sekali yang diekskresikan melalui air kemih, feses dan keringat.
Keseimbangan zat besi dalam tubuh diregulasi dengan sebaiknya untuk memastikan bahwa zat besi yang
diabsorpsi di usus cukup untuk mengkompensasi zat besi yang hilang dari tubuh. Bila seseorang anak
atau bayi sedang tumbuh membutuhkan zat besi yang lebih banyak daripada cadangan zat besi yang ada,
maka anak atau bayi tersebut akan mengalami keseimbangan zat besi yang negatif. Bila keadaan ini
menetap, maka usaha yang pertama dari tubuh adalah cadangan zat besi akan dipakai, bila cadangan zat
besi habis, maka bagian zat besi yang berfungsi akan dengan cepat pula berkurang (Provan, 2004).

Terdapat 3 tingkat dari kekurangan zat besi. Pada tingkat pertama atau "Negative Iron Balance”,
ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya cadangan besi, sehingga kadar feritin plasma dan
simpanan besi dalam sumsum tulang akan menurun dan absorbsi zat besi akan meningkat. Pada orang
dewasa keadaan ini mudah dibedakan dengan keadaan normal, tetapi pada anak yang sedang tumbuh agak
sulit ditentukan, karena pada anak-anak yang sedang tumbuh dalam keadaan normal pun bisa didapati
kadar hemosiderin dalam sumsum tulang yang sangat rendah. Pada tingkat kedua, bilamana
keseimbangan zat besi yang negatif menjadi lebih progresif, maka terjadilah keadaan yang dinamakan
"Iron deficiency erythropoesis” dengan tanda-tanda penurunan cadangan zat besi dalam tubuh, penurunan
kadar besi dalam serum, dan penurunan kadar jenuh transferin sampai 15-20%. Sintesis hemoglobin
terganggu dan konsentrasi hemoglobin berkurang sehingga di bawah kadar optimal tapi belum ada tanda-
tanda anemia yang jelas. Pada tingkat ketiga atau dinamakan "Iron deficiency anemia”, keseimbangan zat
besi yang negatif yang berlama-lama akan menyebabkan munculnya tanda-tanda anemia yang nyata,
disertai dengan kelainan-kelainan seperti pada tingkat kedua (Kasper, 2005).

Kehilangan zat besi, dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. Kehilangan secara fisiologis
terjadi pada wanita usia reproduktif melalui menstruasi yaitu kira-kira 20 mg besi per bulan. Semasa
kehamilan pula, kira-kira 500-1000 mg besi hilang dari ibukepada fetus, plasenta dan perdarahan sewaktu
partus (Provan, 2004).Kehilangan zat besi secara patologis pula paling sering terjadi akibat perdarahan
saluran cerna.Prosesnya sering tiba-tiba.Perdarahan akibat cacing tambang dan Schistosoma merupakan
penyebab tertinggi terjadinya perdarahan saluran cerna dan seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi
besi (Wijaya, 2007). Pada orang dewasa, penyebab lain yang mengakibatkan perdarahan saluran cerna
adalah tukak peptik, hernia hiatus, gastritis akibat konsumsi alkohol dan obat-obatan OAINS, hemoroid,
kelainan vascular contohnya angiodisplasia, penyakit inflamasi usus dan neoplasma. Perdarahan pada
saluran urogenital juga boleh menyebabkan anemia defisiensi besi contohnya neoplasma, proses inflamasi
atau batu saluran kemih (Beutler, 2000).

Penurunan absorpsi zat besi juga dapat mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi besi. Anemia
defisiensi besi merupakan komplikasi umum dari gastrektomi parsial atau total karena penurunan dari
keasaman lambung dan peningkatan kecepatan transit usus mengganggu absorpsi dari zat besi (Greer,
2003). Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga dapat menderita defisiensi zat besi,
terutama jika duodenum dan jejunum proksimal ikut terlibat.Penyakit seperti enteropati diinduksi gluten
dan gastritis atropik disebabkan autoimun atau infeksi helicobacter pylori turut menjadi faktor
predisposisi kepada defisiensi besi akibat gangguan absorpsi (Hoffbrand, 2006).

Penyebab seterusnya adalah asupan zat besi yang tidak adekuat. Tetapi, tanpa ada penyebab lain
contohnya kehilangan darah yang signifikan atau infestasi cacing tambang, etiologi ini jarang
menimbulkan anemia defisiensi besi kecuali pada anak yang sedang membesar dan orang yang sepanjang
hidupnya tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, hanya makan bijirin dan sayuran
sahaja. Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal dari daging
hewan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi secara
bersamaan pada waktu makan juga boleh menyebabkan absorpsi zat besi semakin berkurang (Warrell,
2003).

2.1.4. Pencegahan Kekurangan Zat Besi

Upaya pencegahan defisiensi besi haruslah melibatkan semua sektor dan organisasi terutamanya
sektor kesehatan, industri, sosial, pendidikan dan komunikasi. Sektor ini juga harus bekerjasama dengan
organisasi masyarakat untuk memastikan proses ini lebih efisien. Prinsip dari upaya pencegahan anemia
defisiensi besi adalah untuk membasmi kemiskinan, meningkatkan akses terhadap diet yang bervariasi
dan memperbaiki perkhidmatan kesehatan dan sanitasi. Pencegahan anemia defisiensi besi dapat
dilakukan dengan pendekatan berbasis medis dan pendekatan berbasis pangan. Pendekatan berbasis medis
yang paling sering dilakukan di negara berkembang adalah pemberian suplementasi besi atau tablet besi.
Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang diprioritaskan dalam program suplementasi
disamping anak usia pra sekolah, anak usia sekolah, serta bayi. Dosis suplementasi besi yang harus
diberikan adalah berdasarkan usia dan kondisi seseorang. Bagi anak usia sekolah dimana prevalensi
anemia melebihi 40%, dosis yang dianjurkan oleh WHO adalah 2 mg/kgBB/hari selama 3 bulan. Salah
satu masalah dari upaya ini adalah kesukaran untuk berhubungan dengan kelompok berisiko melalui
perkhidmatan kesehatan.Oleh itu, diperlukan usaha yang lebih dari semua organisasi untuk menjangkau
kelompok-kelompok ini (Provan, 2004).

Pendekatan berbasis pangan pula bertujuan untuk memperbaiki dan mengekalkan status zat besi
suatu populasi yaitu meliputi perubahan perilaku dan sikap untuk meningkatkan konsumsi mikronutrien
melalui makanan.Upaya ini bisa dilakukan dengan mempromosikan dan meningkatkan akses terhadap
makanan yang kaya zat besi contohnya daging dan organ dari sapi, ikan, dan makanan laut serta sayur-
sayuran hijau. Selain itu, dengan menambahkan makanan yang merupakan perangsang bagi absorpsi besi
contohnya buah-buahan dan sayuran- sayuran yang merupakan sumber vitamin A dan C serta asam folat,
absorpsi dan utilisasi besi di usus halus dapat ditingkatkan. Edukasi mengenai nutrisi yang efektif juga
diperlukan dalam pendekatan ini.Informasi mengenai kesehatan dan nutrisi perlu didedahkan kepada
anggota masyarakat supaya mereka lebih bijak dalam memilih makanan seterusnya dapat mencegah
terjadinya anemia defisiensi besi. Pengkayaan atau fortifikasi makanan juga merupakan salah satu cara
terampuh dalam pencegahan defisiensi zat besi. Program fortifikasi yang efektif memerlukan kerjasama
dari pihak kerajaan, industri makanan dan pengguna.Strategi dalam program ini adalah dengan
mengidentifikasi makanan yang sering dikonsumsi dan mudah didapatkan oleh populasi target. Di negara
industri, produk makanan fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum, roti, makanan yang terbuat dari
jagung dan bubur jagung, dan produk susu seperti susu formula bayi dan makanan sapihan (WHO, 2001).

2.1.5. Besi Dan Pertumbuhan Anak

Besi (Fe) merupakan mikronutrien yang esensial dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi
dalam mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, mengangkut elektron dalam sel, dan dalam
mensintesis enzim yang mengandung besi yang dibutuhkan untuk menggunakan oksigen selama
memproduksi energi selluler (Gillespie, 1998).

Keseimbangan besi ditentukan oleh simpanan besi di dalam tubuh, absorpsi besi, dan besi yang
hilang. Sedikitnya 2/3 besi dalam tubuh merupakan besi yang bersifat fungsional, kebanyakan dalam
bentuk hemoglobin. Selama masa sirkulasi sel darah merah, beberapa sebagai mioglobin di dalam sel otot
dan sebagian ada di dalam enzim yang mengandung besi. Paling banyak sisa besi dalam tubuh disimpan
dalam bentuk cadangan besi (bentuk ferritin dan hemosiderin) yang berfungsi sebagai simpanan yang
dapat digunakan bila dibutuhkan. Anak-anak mempunyai simpanan besi yang rendah yang disebabkan
karena besi digunakan untuk pertumbuhan dan pertambahan volume darah (Gillespie, 1998).

Defisiensi besi merupakan kekurangan zat gizi yang biasa terjadi di negara berkembang dan
industri. Apabila tubuh mengalami kekurangan besi, dapat menyebabkan anemi kurang besi. Anemia
defisiensi besi adalah keadaan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sampai kadar di bawah 11
g/dl. Cut off point hemoglobin anak usia 6 bulan-6 tahun adalah 11 gr% (Hadisaputro, 1977).

Konsekuensi anemia defisiensi besi diakui memberi pengaruh terhadap metabolisme energi dan
fungsi kekebalan yang akan berpengaruh pada fungsi kognitif dan perkembangan motorik (Lonnerdal,
1998). Defisiensi besi juga berhubungan dengan menurunnya fungsi kekebalan yang diukur dengan
perubahan dalam beberapa komponen sistem kekebalan yang terjadi selama defisiensi besi. Konsekuensi
dari perubahan fungsi kekebalan adalah resistensi terhadap penyakit infeksi. Pada anak-anak defisiensi
besi berhubungan dengan kelesuan, daya tangkap rendah, lekas marah dan menurunnya kemampuan
belajar (RDA, 1989).

Selama periode kehidupan di United State defisiensi besi diobservasi, yaitu: (1) Pada usia 6
bulan-4 tahun, karena kandungan besi dalam susu rendah, adanya pertumbuhan tubuh yang cepat, dan
cadangan besi dalam tubuh sering tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan di atas usia 6 bu1an. (2)
Selama pertumbuhan cepat pada usia remaja karena kebutuhan perkembangan massa sel darah merah dan
kebutuhan simpanan besi dalam mioglobin. (3) Selama masa reproduksi pada wanita karena kehilangan
besi pada saat menstruas. (4) Selama hamil, karena perkembangan volume darah ibu, kebutuhan dari janin
dan plasenta, dan kehilangan darah pada saat melahirkan (RDA, 1989).

Pada 3 bulan pertama kehidupan kebutuhan bayi terhadap besi dapat dipenuhi dari air susu ibu
(ASI). Pada bayi yang dari lahir sampai usia 3 tahun tidak diberi ASI membutuhkan besi kira-kira 1
mg/kg per hari. Kebutuhan seharihari yang dianjurkan untuk usia 6 bulan-3 tahun adalah 10 mg/hari yang
rnerupakan suatu kadar yang telah dipertimbangkan dapat memenuhi kebutuhan anak pada saat itu (RDA,
1989).
Defisiensi besi umumnya terjadi pada usia 6–12 .bulan atau 1-2 tahun, yaitu 70% kebutuhan besi
pada usia 6-12 bu1an dan 50% kebutuhan besi pada usia 1-2 tahun terjadi saat pertumbuhan jaringan yang
cepat. Pada tahun pertama kehidupan, kebutuhan seorang bayi untuk mengabsorpsi besi sama besarnya
dengan kebutuhan seorang laki-laki dewasa, yang mana hal ini sangat sulit untuk dipenuhi.

Gillespie, 1998 juga menegaskan bahwa jika terjadi defisiensi besi pada usia 6-24 bulan yaitu,
pada saat terjadi pertumbuhan yang pesat, dengan konsekuensi dapat mengganggu penggunaan energi dan
pertumbuhan fisik.

Prevalensi tertinggi defisiensi besi terjadi bersamaan dengan saat terakhir pertumbuhan otak anak
(6-24 bulan), yaitu pada saat terbentuknya kemampuan kognitif dan motorik. Kandungan besi dalam otak
pada saat lahir hanya 10% dan 50% pada usia 10 tahun. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-
anak yang menderita defisiensi besi hasil tes psikomotornya kurang baik dibandingkan anakanak yang
tidak anemia (Gillespie, 1998).
DAFTAR PUSTAKA

Adamson, J.W., 2005. Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemia. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., and
Jameson, J.L.,Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16thed. USA:
McGraw Hill: 586-592.

Aggett PJ. 1994. Zinc . In : Trace element in infancy and childhood. Annales
Nestle ; 52 : hal. 94 – 106.

Allen, L. H. 1998. Zinc and Micronutrient Supplements for Children. Am J Clin


Nutr. ; (68 (Suppl) : 495S-8S

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta

Andrews, N.C., 2003. Iron Deficiency and Related Disorder. In:Greer, J.P.,
Foerster, J.,and Lukens, J.N., 2003.Wintrobe's Clinical Hematology.11thEd.New York:
Lippincott Williams & Wilkins Publishers.

Arisman. 2010. Gizi dalam Daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta

Atmaja, D.S., Japari, W., Siswanto, E. 1988. Penelitian Status Seng dengan Tes
Kecap Smith pada Masyarakat RW 04 Manggarai Jakarta. Majalah
Kedokteran Indonesia; XXVI: 6 I 1 - I 6.

Atmarita, Fallah T. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat.


Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta.

Aster, J.C., 2007. Red Cell Disorders. In: Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N.,
and Mitchell, R.N.,.Robbins Basic Pathology.. Philadelphia: Saunders
Elsevier: 422-440.

Asterina, 2009. Pengaruh Pemberian Fe + Vitamin A terhadap Peningkatan


Hemoglobin pada Anak Usia Sekolah yang Mengalami Anemia di SD 42
Beringin Kelurahan Air Dingin Padang Tahun 2009. Departemen
Pendidikan Nasional Lembaga Penelitian Universitas Andalas: Padang.

Badan Litbang Kesehatan, DepKes RI. 1008. Laporan Nasional Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007-2008. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes RI. Jakarta

Badan Litbang Kesehatan, DepKes RI. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Bakri A. 2003. Peranan Mikronutrien Seng dalam Pencegahan dan
Penanggulangan Diare. Dalam : Kumpulan makalah Kongres Nasional
II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia : hal. 132 –35

Bakta, I.M., 2006. Sistem Eritroid. In:Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku
KedokteranEGC: 9-115.

Benoist, B.D., McLean, E., Egli, I., and Cogswell, M., 2008. Worldwide
Prevalence of Anaemia 1993–2005 : WHO global database on anaemia.

Berdanier CD. 1998. Advanved Nutrition Miconutrition. CRC Press


NewYork.USA. hal. 183 – 203.

Browning J., O’Dell B, Zinc Deficiency Decreases the Concebtration of NethylID-


aspartate Receptors in Guinea Pig Cortal Synaptic Membranes.
J. Nutr. 95; 125: hal. 2083-2089.

Black, M. M. 1998. Zinc Deficiency and Child Development. Am J Clin Nutr, ;68
(suppl) : 4645-9S.

Champe, P.C., Harvey, R.A., and Ferrier, D.R., 2008. Globular Proteins.
In:Lippincott’sIllustrated Reviews: Biochemistry. 4th ed. Baltimore:
Lippincott Williams &Wilkins.: 25-34.

Cousins, R.J., Hempe, J.M. 1990. Zinc. In : Myrtle L.B (ed). Present Knowledge
in Nutrition, dh edition Washington DC : ILSI Press. 25 1 -58.

Cox, T.M., 2003. Iron Metabolism and Its Disorder. In:Warrell, D.A., Cox, T.M.,
Firth, J.D., Edward, J., J, R.,and Benz, M.D., Oxford Textbook of
Medicine. 4th ed. Oxford Press.

Davoren, J.B., 2006. Blood Disorders. In:McPhee, S.J., and Ganong, W.F., 2006.
Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical Medicine. 5th
ed. USA: McGraw Hill: 115-133.
Depkes RI, 2001. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta

Devi, N. 2012. Gizi Anak Sekolah. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Donald A. .2000. Vitamins and Minerals in Pediatrics. In : Wharton B. Protein


Energy Malnutrition. Nutrition & Child Health. London : Harcourt
Publishers Limited; 2000.p. 89-91

D Prastika Wisesa, 2013. Ganbaran Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar Di
SDN 064977 Kecamatan Medan Tembung Kota Medan. Skripsi Fakultas
Kesehatan Masyarakat USU, Medan
Endang, L.A. 2011. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta

Fairbanks, V.F., and Beutler, E., 2000. Iron Metabolism & Iron Deficiency. In:
Beutler, E., Lichtman, M.A., Coller, B.S., Kipps, T.J., and Seligsohn,
U.,Williams Hematology. 6th ed. McGraw Hill Professional.

Frihandini D. 1996. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Seng Darah


pada Anak Balita. Seminar Hasil Penelitian FK UNDIP. Semarang
Groff. J.L. and Sareen.S. Gropper. 1998. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. Third Ed. Wadsworth.

Gillespie, S. R. 1998. Major Issues in The Control of Iron Deficiency. The


Mocronutrient Intitative, Unicef. Canada

Hadisaputro, S., Pasiyan. R., Sunarto. 1977. Prevalensi Anemia Gizi. Simposium
Anemia Gizi Semarang. Semarang

Halterman, J.S., Kaczorowski, J.M., Aligne, C.A., Auinger, P., and Szilagyi, P.G.,
2011. Iron Deficiency and Cognitive Achievement Among School-Aged
Children and Adolescents in the United States. American Academy of
Pediatrics.

Harmatz P, Butensky E, Lubin B. Nutritional Anemia. In: Walker WA, Watkins


JB, Duggan C, penyunting. 2003. Nutrition in pediatrics basic science
and clinical application. Edisi ke-3. London: BC Decker Inc;. h.832-44

Hambidge M. 2003. Biomarker of Trace Mineral Intake and Status. American


Society for nutritional science : hal. 948-955

Hamill, T., 2010. HemoCue Classic Procedure. UCSF Medical Centre Clinical
Laboratories. Available from: http://labmed.ucsf.edu/labmanual/mftlngmtzn/
dnld/poct hemocue_classic.pdf [Accessed on 26 March 2014]

Heidelise. 1997. Neurodevelopment of Preterm Infant. In : Fanarof AA, Martin


RJ. (editor) Neonatal – perinatal medicine : disease of the fetus and
infant; 6th ed. 965 –68

Hoffbrand, A.V., Moss, P.A.H., and Pettit, J.E., 2006. Erythropoiesis and General
Aspects of Anaemia. In: Essential Hematology. 5th ed. UK: Blackwell
Publishing: 12-38.

Irianto, Djoko Pekik. 2009. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan.
C.V ANDI OFFSET. Yogyakarta.

Judarwanto. 2006. Hubungan Pola Konsumsi Makanan Jajanan dengan Status


Gizi dan Fungsi Kongnitif Anak Sekolah Dasar. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah: Surakarta.

Kartikasari, A. 2007. Pengaruh Anemia Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas


Satu dan Dua SMP PGRI 1 Surakarta Tahun Ajaran 2006/2007.

Lanzkowsky, P., 2006. Iron-Deficiency Anemia. In: Manual of Pediatric


Hematology and Oncology. 4th ed. USA: Elsevier Academic Press: 31-
45.

Linder, M.C. 1994. Nutritional Biochemistry and Metabolism with Clinical


Application, 2"t edition. United States : Prentice-Hall International Inc;
pp.227-30.

Lissauer, T., and Clayden, G., 2007. Haematological Disorder. In:Illustrated


Textbook of Paediatrics. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier: 364-376

Lonnerdal B. 1998. Iron-Zinc-Cooper Interaction. Micronutrien Interaction :


Impact on Child Health and Nutrition. Washington: The USAID/FAO;
1998. p.3-10.

Lubis, B., 2008. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi Sejak Bayi Sebagai Salah
Satu Upaya Optimalisasi Fungsi Kognitif Anak Pada Usia Sekolah.
Bidang Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Manampiring, Aaltje E. 2008. “ Pravelensi Anemia dan Tingkat Kecukupan Zat


Besi Pada Anak Sekolah Dasar di Desa Minaesa Kecamatan Wori
Kabupaten Minahasa Utara”. Universitas Samratulangi, Manado.

National Institutes of Health. 2000. Conference on Zinc and Human Health.


Stockholm Tahun 2000 Zinc. http:/lwww.iza.org/htm.l91OB/2003

Nasution E. 2004. Efek Suplementasi Zinc dan Besi Pada Pertumbuhan Anak.
Sumatera Utara: Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatra Utara; 2004. p. 1-5

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta:


PT. Rineka Cipta.

Nurkholis, A., 2006. Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Mata
Pelajaran Ekonomi Pada Siswa Kelas VIII Mts Nurussalam Tersono
Kabupaten Batang. Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas
Negeri Semarang.

O'Dell, B. 1992. Zinc Plays Both Structural and Catalitic Roles in Metaloproteins.
Nutr, Rev. 1992;50:48-50

Oski FA. 1993. Iron deficiency in infancy and childhood. N Engl J Med ;
329:190-3

Pizzomo & Murray. 2003. Zinc Assessment. A Textbook of Natural Medicine.


http ://www. healty.neVlibrary/books/textbookl sectionzl zincasse.pdf

Prasad, A.S. 1998. Zinc in human health : an update, J Trace Elem Exp Med;
X1:93-99.

Provan, D., Singer, C.R.J., Baglin, T., and Lilleyman, J., 2004. Iron Deficiency
Anemia. In: Oxford Handbook of Clinical Haematology. 2nd ed. Oxford:
Oxford University Press: 56-58.

Recommended Dietery Allowences (RDA), 1989. Sub Committee on The Tenth


Edition of RDAs Food and Nutrition Board Commission on Life Sciences.
National Academy Press. Washington, D. C.

Riskesdas. 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen


Kesehatan, RI

Riskesdas. 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementrian


Kesehatan, RI

Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Saloojee H, Pettifor JM. 2008. Iron Deficiency and Impaired Child Development.
BMJ 2001[cited 2008 Juni 17];323:1377–8. Available from: URL:
HYPERLINK http://www.bmj.com/cgi/content/full/323/7326/1377.

Sara M. Hunt and James L Groff. 1990. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. West Publishin Company, St. Paul New York, Los Angeles,
San Fransisco.

Satoto. 2001. Zinc Deficiency Among Indonesian Children in Childhood


Malnutrition; Its Consequences and Management Joint Symposium
between Departement of Nutrition and Departemen of Pediatric of
Medicine. Sebelas Maret University and the Centre for Human Nutrition,
University of Sheffield. United Kingdom. Sponsored by The British
Council l9-20. Surakarta.

Sayogo S. 1991. Defisiensi Seng pada Anak usia I 2- I 5 tahun di Kelurahan Utan
Kayu Utara. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia.;XX:35-38.
Silbernagl, S., 2000. Blood. In: Silbernagl, S., and Lang, F., 2000. Color Atlas of
Pathophysiology. USA: Thieme: 30-40.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Untuk Keluarga dan Masyarakat.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Soemantri AG. 2005. Epidemiology of Iron Deficiency Anemia. Dalam: Triasih R,


penyunting. Anemia defisiensi besi.Yogyakarta: Medika-FK UGM; h.8-
11

Supariasa, I. D.N, dkk.2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Wahyuni, A.S. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS).


Bamboedoea Communication. Jakarta

Weatherall, D.J., 2003. Anemia: Pathophysiology, Classification, and Clinical


Features. In:Warrell, D.A., Cox, T.M., Firth, J.D., Edward, J., J, R.,and
Benz, M.D.,Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. Oxford Press.
Wijaya, Y., 2007. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya RSU –USD Gambiran Kediri. Available from:
http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/anemia-defisiensi-zatbesi.
Pdf

Wijayanti, A.S., 2005. Hubungan Antara Kadar Hemoglobin dengan Prestasi


Belajar Siswi SMP Negeri 25 Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Available from:
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH5363/e10abe
a1.dir/doc.pdf

World Health Organization, 2001. Iron Deficiency Anemia, Assessment,


Preventionand Control. Genneva. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/202333-overview

World Health Organization. 2008. Worldwide Prevalence of Anemia 1993-2005.


Dikutip dari: http://www.who.int Diakses pada tanggal 15 Februari
2014.

Yulni, dkk. 2013. Hubungan Asupan Zat Gizi Makro dengan Status Gizi Pada
Anak Sekolah Dasar di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013.
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin

Zulaekah, S. dan Widiyaningsih, E. N. 2008. Daya Terima dan Pengaruh


Suplementasi Fe dalam Bentuk Permen pada Anak Sekolah Dasar yang
Anemia. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 9 (1), 15 –29

You might also like