You are on page 1of 34

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

BAGIAN ILMU BEDAH MARET 2018


UNVERSITAS MUSLIM INDONESIA

LAPORAN KASUS :
APPENDISITIS PERFORASI

Oleh:

Rabitha Kemala Sari S 11120162171


Pembimbing : dr. Mappicara, Sp.B, KBD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................1
Bab I Status Pasien................................................................................................3
I. Identitas Pasien............................................................................................3
II. Anamnesis...................................................................................................3
III. Pemeriksaan Fisik Generalis...................................................................5
IV. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................6
V. Resume........................................................................................................8
VI. Diagnosis....................................................................................................9
VII. Penatalaksanaan.....................................................................................9
VIII. Prognosis..............................................................................................10
IX. Laporan Operasi.....................................................................................10
Bab II Tinjauan Pustaka.....................................................................................12
I. Anatomi......................................................................................................12
II. Fisiologi.....................................................................................................13
III. Epidemiologi...........................................................................................14
IV. Etiologi dan Patogenesis.........................................................................14
V. Mikrobiologi.............................................................................................15
VI. Manifestasi Klinis...................................................................................16
VII. Diagnosa Banding.................................................................................20
VIII. Penatalaksanaan..................................................................................23
IX. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi............................................32
X. Prognosis...................................................................................................34
Bab III Pembahasan............................................................................................35
Daftar Pustaka.....................................................................................................38
BAB I
STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
 Nama Pasien : Ny. R
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir / Usia : 11 November 1963 / 51 tahun
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Alamat :
 Status Pernikahan : Menikah
 Suku : Bugis
 Agama : Islam
 Pendidikan Terakhir : S1
 Tanggal Masuk Perawatan : 9 November 2015

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Haji dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak
1 minggu lalu memberat sejak 2 hari lalu SMRS.Nyeri yang dirasakan tajam
seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah
ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika
pasien diam dan beristirahat. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah
setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu makan pasien
berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami demam. Pasien juga mengeluhkan
pola BAB pasien yang kurang lancar sejak 1 minggu SMRS, BAK normal lancar.
Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.
Tidak ada riwayat penyakit yang sama sebelummnya, tidak ada riwayat keluarga
sebelumnya, tidak ada riwayat penyakit sistemik sebelumnya, dan tidak ada
riwayat berobat sebelumnya.
C. Riwayat Haid
a. Menarche : 17 tahun
b. Lamanya haid : 5-7 hari
c. Siklus : teratur, 27-29 hari
d. Banyaknya : 2-3 kali ganti pembalut/hari
e. Nyeri haid : tidak ada
f. HPHT : tahun 2014
D. Riwayat Penyakit Dahulu
a Hipertensi : Disangkal
g. Diabetes Mellitus : Disangkal
h. Penyakit Jantung : Disangkal
i. Asma : Disangkal
j. Riwayat Alergi : Tidak ada
k. Riwayat Operasi : Tidak ada
l. Riwayat Pengobatan : Tidak ada
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada.
F. Riwayat Sosial
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol atau
menggunakan obat-obatan rutin.

III. Pemeriksaan Fisik Generalis


A Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
G. Kesadaran : Compos mentis; GCS 15 (E4 M6 V5)
H. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Pernafasan : 25x/menit
 Nadi : 102x/menit
 Suhu : 39oC
 VAS : 4/10

I. Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
 Hidung : Septum deviasi (-), mukosa normal, hipertrofi konka (-),
sekret (-)
 Telinga: Normotia, sekret (-), serumen -/-, liang telinga lapang
 Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Leher : Bentuk normal, KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba
 Thoraks
o Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi : Iktus kordis teraba
o Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru-paru
o Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris kanan-kiri
o Palpasi : Taktil vokal fremitus teraba simetris
o Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/-
 Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit
o Palpasi : Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik
McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri lepas indirek (+),
defans muskular lokal(+), Psoas sign (-), Obturator sign (-),
o hepar dan limpa sulit dinilai karena nyeri
o Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik
IV. Pemeriksaan Penunjang
A Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil (9 November 2015) Nilai Rujukan

HEMATOLOGI (17 Februari 2018)


HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 12,4 g/dl 12-16 g/dl
Hematokrit 36,2 juta/pl 4.3-6.0 juta/pl
Eritrosit 4,21 juta/μL 4.3 – 6.0 juta/μL
Leukosit 10,2 x 109 /μL 4.800-10.800 /μL
Trombosit 327.000 /μL 150.000-400.000 /μL
MCV 86 μm3 80-99 μm3
MCH 29,5 pg 27,0-31,0 pg
MCHC 34,2 g/dl 22,0-37,00 g/dl
Limfosit : 2,7 L% 22,0-40,0 L%
Monosit : 4,1L% 4,0-8,0 L%

Granulosit 93,2 H% 43,0-76,0 L%

HEMATOLOGI (18 Februari 2018)


HASIL NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 11,2 g/dl 12-16 g/dl
Hematokrit 31,5 juta/pl 4.3-6.0 juta/pl
Eritrosit 3,77 juta/μL 4.3 – 6.0 juta/μL
Leukosit 10,1 x 109 /μL 4.800-10.800 /μL
Trombosit 122.000 /μL 150.000-400.000 /μL
MCV 86 μm3 80-99 μm3
MCH 29,8 pg 27,0-31,0 pg
MCHC 34,7 g/dl 22,0-37,00 g/dl
Limfosit : 3,6 L% 22,0-40,0 L%
Monosit : 4,8 L% 4,0-8,0 L%

Granulosit 91,6 H% 43,0-76,0 L%


KOAGULASI (18 Februari 2018)
HASIL RUJUKAN
CT 7’00
BT 2’05

KIMIA KLINIK (18 Februari 2018)


HASIL RUJUKAN
Creatinin 0,5 0,60-1,10
Urea 42,7 10,00-50,00
ALT 11 5,0-3,0
AST 17 5,0-31,0
GDS 77 50,0 -140,0

URINALISIS (17 Februari 2018)


Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
PH 6,5 4,6 – 8,0
Berat Jenis 1.020 1,010 – 1,030
Protein -/Negatif Negatif
Glukosa -/Negatif Negatif
Nitrit -/Negatif Negatif
Keton -/Negatif Negatif
Urobilinogen -/Negatif Negatif – Positif 1
Eritrosit 1-1-1 < 2 /LPB
Leukosit 2-2-2 < 5 /LPB

J. Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Geejala Skor
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual atau muntah 1
Hasil Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1
Demam ≥36,3oC 1
LAboratorium
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2
Shift to the left of neutrophils 0
Total 9 (Kemungkinan besar apendisitis)

K. Foto Abdomen 3 Posisi

Hasil Pemeriksaan :
 Distribusi udara colon kurang sampai distal
 Tampak dilatasi loop-loop usus dengan air fluid level.
 Tidak tampak udara bebas
 Tidak tampak gambaran batu radiopak pada saluran kemih.
 Tulang-tulang & properitoneal fat normal.

Kesan : Dilatasi usus halus/ileus


obstruktif.
V. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Haji dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak
1 minggu lalu memberat sejak 2 hari lalu SMRS.Nyeri yang dirasakan tajam
seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah
ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika
pasien diam dan beristirahat. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah
setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu makan pasien
berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami demam. Pasien juga mengeluhkan
pola BAB pasien yang kurang lancar sejak 1 minggu SMRS, BAK normal lancar.
Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.
Tidak ada riwayat penyakit yang sama sebelummnya, tidak ada riwayat keluarga
sebelumnya, tidak ada riwayat penyakit sistemik sebelumnya, dan tidak ada
riwayat berobat sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos mentis
dan GCS 15. Tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 25x/menit, nadi
102x/menit, suhu 39oC, dan VAS 4/10. Pada status generalis tidak ditemukan
kelainan, kecuali abdomen. Dari inspeksi didapatkan abdomen datar. Dari
auskultasi didapatkan bising usus (+) 8x/menit. Dari palpasi didapatkan nyeri
tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri
lepas indirek (+), dan defans muskular lokal(+). Dari perkusi didapatkan timpani
di seluruh lapang abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis (12.500/μL). Selain itu pemeriksaan hematologi, koagulasi, kimia
klinik, dan urinalisi masih dalam batas normal. Didapatkan skor 9 pada Alvarado
score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7).

VI. Diagnosis
Apendisitis akut
Diagnosa Banding : ileus obstruktif , pelvic inflammatory disease.

VII. Penatalaksanaan
A Non-medikamentosa
 Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana tatalaksana.
 Informed consent tindakan pembedahan apendektomi.
L. Medikamentosa
a Pre-operasi
 IVFD RL 500 mL / 8 jam
 Cefotaxime 1 gr/24jam/ IV
z. Post-operasi
 IVFD RL 500 mL / 8 jam
 Ketorolac 30 mg x 30 mg IV
 Ranitidin 50 mg x 30 mg IV
 Ceftriaxone 2 x 1 g IV
M. Tindakan
 Open appendectomy c

VIII. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
FOTO HASIL OPERASI
Apendiks
Luka Operasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun,
dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8
mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm. Apendiks mendapat
vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic artery. Arteri ini berasal dari
belakang ileum terminal, memasuki mesoapendiks dekat dengan basis apendiks.
Drainase limfatik dari apendiks mengalir ke kelenjar getah bening (KGB) yang
berada sepanjang ileocolic artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen simpatis
oleh pleksus mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis
oleh nervus vagus. Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu
lapisan luar serosa, merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang
tidak well defined dan bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa
dan mukosa. Agregrat limfoid terjadi pada lapisan submukosa dan dapat
menyebar hingga muskularis mukosa. Saluran limfatik terlihat jelas pada daerah
agregat limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon, kecuali densitas dari folikel
limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk ireguler, kontras dengan kriptus
kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks neuroendokrin terbentuk oleh sel
ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang terletak tepat di
bawah kriptus.

B. Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial
tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik
yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya
imunoglobulin A. Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam
timbulnya penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara
apendektomi dan timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari
apendektomi. Namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi
apendektomi untuk apendisitis sebelum usia 20. Asosiasi antara Crohn’s disease
dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa apendektomi meningkatkan resiko timbulnya Crohn’s disease, penelitian
lebih baru dengan teliti menilai waktu apendektomi berhubungan dengan onset
Crohn’s disease membuktikan tidak adanya hubungan. Sebuah meta-analisis baru
menunjukkan resiko signifikan Crohn’s disease tidak lama setelah apendisitis.
Resiko ini selanjutnya memudar, menunjukkan adanya hubungan diagnostik
(salah mengidentifikasi Crohn’s disease sebagai apendisitis) daripada hubungan
fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease. Apendiks dapat berfungsi
sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi kolon dengan bakteri sehat. Satu
penelitian retrospektif membuktikan bahwa apendektomi sebelumnya mungkin
memiliki hubungan terbalik dengan infeksi Clostridium difficile berulang.
Namun, pada penelitian retrospektif lain, apendektomi sebelumnya tidak
mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam
merekolonisasi kolon tetap dicari kejelasannya.

C. Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7%
untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga. Jumlah
apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada sebagian besar
negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15 per 10.000
penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi apendisitis
non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahw peningkatan
penggunaan pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari
apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.

D. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti. Obstruksi
lumen karena fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid disarankan sebagai
faktor etiologik utama dari apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat seiring
dengan keparahan proses imflamatorik. Fecaliths dan calculi ditemukan pada
40% kasus apendisitis akut simpel, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa
ruptur dan pada hampir 90% gangrenosa dengan ruptur. Dahulu diyakini bahwa
terdapat tahapan kejadian yang dapat diprediksi yang pada akhirnya berujung
ruptur apendiks. Obstruksi proksimal pada lumen apendiks menyebaban closed-
loop obstruction, dan sekresi normal yang terusmenerus oleh mukosa apendiks
menyebabkan distensi. Distensi apendiks menstimulasi ujung saraf dari visceral
afferent stretch fibers, menyebabkan nyeri tidak jelas, tumpul, menyebar pada
regio umbilikus atau bagian bawah epigastrium. Distensi akan bertambah dengan
sekresi mukosa terus-menerus dan multiplikasi cepat dari bakteri yang tinggal di
apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan nyeri viseral
bertambah. Seiring dengan bertambahnya tekanan pada organ, melebihi tekanan
vena. Kapiler dan vena teroklusi tetapi aliran arteri tetap berlanjut, menyebabkan
pembengkakan dan kongesti vaskular. Lalu proses inflamasi mengikutsertakan
serosa apendiks, selanjutnya peritoneum parietalis. Hal ini menggambarkan
karakteristik gejala perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah. Mukosa apendiks
rentan terhadap gangguan perfusi, sehingga integritasnya terganggu di awal
proses, memberi peluang invasi bakteri. Daerah dengan perfusi yang paling
sedikit yang paling terpengaruh: infark elipsoidal berkembang pada batas
antimesenterik. Dengan berkembangnya distensi, invasi bakterial, gangguan
perfusi, dan infarksi, perforasi terjadi, biasanya pada batas antimesenterik tepat
setelah titik obstruksi. Tahapan ini tidak bisa dihindari, namun pada beberapa
episode apendisitis akut dapat sembuh dengan sendirinya.

D.Mikrobiologi
Apendisitis dapat terjadi menimbulkan sekelompok gejala secara bersamaan,
menyarankan asalnya infeksi. Namun, asosiasinya dengan bakteri kontagius dan
virus telah ditemukan dalam sebagian kecil pasien apendisitis. Flora normal pada
apendiks yang meradang berbeda dengan pada apendiks normal. Sekitar 60%
aspirat dari apendiks yang meradang memiliki anaerob, dibandingkan dengan
25% aspirat dari apendiks normal. Sampel jaringan dari dinding apendiks yang
meradang (bukan aspirat luminal) secara visual semua menumbuhkan spesies
Escherichia coli dan Bacteroides pada kultur. Fusobacterium
nucleatum/necrophorum, yang tidak ditemukan pada flora normal caecum, telah
diidentifikasi pada 62% apendiks yang meradang. Sebagai tambahan untuk
spesies biasa lainnya (Peptostreptococcus, Pseudomonas, Bacteroides
splanchicus, Bacteroides intermedius, Lactobacillus), bacillus anaerob gram
negatif yang sebelumnya tidak dilaporkan telah ditemukan. Pasien apendisitis
dengan gangren atau perforasi tampaknya memiliki lebih banyak invasi jaringan
oleh Bacteroides.

E. Manifestasi Klinis

1. Gejala
Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus yang
nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%, spesifisitas
53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda paling
sensitif dari apendisitis, nyeri pada lokasi atipikal atau nyeri minimal sering
menjadi presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari apendiks dapat berperan
dalam membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri. Apendisitis juga
memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti mual (sensitivitas 58%,
spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas 68%, spesifisitas 36%). Gejala
gastrointestinal yang timbul sebelum timbulnya nyeri menyarankan etiologi yang
berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien mengeluhkan sensasi obstipasi
sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan gejala
nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan dengan perforasi, terutama pada
anak-anak.

2. Tanda
Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan nadi dapat
normal atau sedikit meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain perlu dipertimbangkan. Penemuan fisik
ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan dipengaruhi oleh ruptur
tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien apendisitis biasanya bergerak
perlahan dan lebih memilih berbaring telentang karena iritasi peritoneum. Pada
palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar titik
McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya resisten muskular
(guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi sinistra.
Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien
merasakan nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound
tenderness). Nyeri tekan tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak
langsung (nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi)
adalah bukti kuat terjadinya iritasi peritoneum. Nyeri lepas dirasa sangat tajam
dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga disarankan untuk memulai memeriksa
nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok langsung terlebih dahulu. Variasi
anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi penemuan fisik
yang umum. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada abdomen bisa menjadi
kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat apendiks
tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak
ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan
dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah.
Nyeri pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus
iritasi pada bagian proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan apendiks
retrosekal). Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari
paha terfleksi (obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot (menunjukkan
apendiks pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk disebu Dunphy
sign.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat dengan
keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah bagian
penting dari diagnosa. Leukositosis ringan sering timbul pada pasien dengan
apendisitis akut tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi dengan
polymorphonuclear prominence. Jarang ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3
pada apendisitis tanpa komplikasi. Jumlah melebihi level ini meningkatkan
kemungkinan dari apendiks yang perforasi dengan atau tanpa abses. Peningkatan
konsentrasi C-reactive protein (CRP) adalah indikator kuat apendisitis, terutama
apendisitis dengan komplikasi. Leukosit bisa rendah karena lymphophenia atau
reaksi septik, tetapi dalam situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi.
Maka seluruh variabel inflamasi harus dilihat secara bersamaan. Kemungkinan
kecil adalah apendiks jika leukosit, proporsi neutrofil dan CRP dalam batas
normal. Respon inflamasi pada apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya,
respon inflamasi bisa lemah. Elevasi CRP, pada umumnya, dapat terjadi
penundaan hingga 12 jam. Respon inflamasi yang berkurang dapat
mengindikasikan resolusi spontan. Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan
saluran kencing sebagai sumber infeksi; namun, leukosit atau eritrosit dapat
ditemukan dari iritasi ureter atau buli. Bakteriuria umumya tidak tampak.

4. Skoring Klinis
Diagnosis klinis apendisitis akut merupakan estimasi subjektif dari kemungkian
apendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual diskriminator
lemah; namun, digunakan secara bersamaan, memiliki nilai prediksi yang tinggi.
Proses ini dapat dibuat menjadi lebih objektif dengan penggunaan sistem skoring
klinis, berdasarkan variabel yang terbukti dapat membedakan dan diberi bobot
yang sesuai. Skor Alvarado merupakan sistem penilaian yang paling tersebar luas.
Khususnya berguna untuk menyingkirkan diagnosis apendisitis dan memilah
pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.

5. Pemeriksaan Pencitraan
Foto polos abdomen dapat menunjukkan adanya fecalith dan feses di dalam
cecum berhubungan dengan apendisitis tetapi jarang membantu mendiagnosa
apendisitis akut, namun dapat berguna dalam menyingkirkan patologi lain.
Radiografi thoraks dapat membantu menyingkirkan nyeri alih dari lobus kanan
bawah paru. Jika apendiks terisi barium enema, kecil kemungkinan apendisitis;
namun pemeriksaan ini tidak diindikasikan pada keadaan akut. Ultrasonografi
(USG) dan computed tomography (CT) scan adalah pencitraan yang paling sering
digunakan pada pasien dengan nyeri abdomen, terutama pada evaluasi
kemungkinan apendisitis. Meta-analisis multipel telah dilakukan untuk
membandingkan kedua modalitas. Rata-rata, CT-scan lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan dengan USG dalam mendiagnosa apendisitis. Graded compression
USG tidak mahal, dapat dapat dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan
medium kontras dan dapat digunakan pada pasien hamil. Apendiks diidentifikasi
sebagai bowel loop buntu non-peristaltik berasal dari cecum. Dengan kompresi
maksimal, diameter apendiks diukur dengan arah anterior-posterior. Penebalan
dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal kemungkinan besar
menyarankan apendisitis. Apendiks yang mudah dikompresi berdiameter <5 mm
menyingkirkan diagnosa apendisitis. Struktur lumen yang tidak dapat dikompresi
(lesi target) dapat menjadi gambaran terjadinya apendisitis. Diagnosis sonografis
apendisitis akut telah dilaporkan memiliki sensitivitas 55-95% dan spesifisitas 85-
98%. USG juga efektif pada anak-anak dan perempuan hamil, walaupun
aplikasinya terbatas pada akhir kehamilan. USG memiliki limitasi, terutama pada
hasil yang operator-dependent. Dengan CT-scan resolusi tinggi, apendiks yang
meradang tampak terdilatasi (>5 mm) dan dindingnya menebal. Sering ditemukan
tanda-tanda inflamasi, yaitu periappendicial fat stranding, penebalan
mesoapendiks, periappendiceal phlegmon, dan cairan bebas. Fecaliths sering
terlihat; namun keberadaannya bukan patognomonik apendisitis. CT-scan juga
baik digunakan untuk mengidentifikasi proses inflamasi lainnya yang mirip
apendisitis. Beberapa teknik CT telah digunakan, termasuk CT-scan fokus dan
non-fokus dan CT-scan kontras dan non-kontras. Secara mengejutkan, semua
teknik ini memiliki akurasi diagnostik yang identik : sensitivitas 92-97%,
spesifisitas 84-85% dan akurasi 90- 98%. Penambahan penggunaan kontras rektal
tidak memperbaik hasil CT-scan. Dibandingkan potensial kegunaan CT-scan,
terdapat kerugian yang signifikan. CT-scan mahal, memaparkan pasien pada
radiasi signifikan dan memiliki limitasi pada kehamilan. Alergi pada iodin atau
kontras melimitasi pemberian kontras pada beberapa pasien, dan beberapa tidak
bisa mentolerirkonsumsi oral kontras luminal. Dibandingkan dengan peningkatan
penggunaan USG dan CT-scan, peluang kesalahan diagnosa apendisitis tetap
konstan (15%). Persentase kesalahan diagnosa apendisitis secara signifikan lebih
tinggi pada perempuan dibandinglaki-laki (22% dibanding 9,3%).
F. Diagnosa Banding
Diagnosa banding apendisitis akut secara esensial adalah diagnosis akut abdomen.
Gambaran klinis identik dapat disebabkan oleh banyak proses akut di dalam
rongga peritoneum yang menghasilkan kelainan fisiologis sama seperti apendisitis
akut. Akurasi diagnosis pre-operatif seharunys lebih tinggi dari 85%. Jika kurang
dari itu, akan sering terjadi operasi yang tidak diperlukan dan diperlukan diagnosa
banding pre-operatif yang lebih teliti.Penemuan umum pada kasus diagnosa pre-
operatif apendisitis yang salah bersama-sama terjadi pada lebih dari 75% kasus–
dalam urutan menurun dalam frekuensi adalah adenitis mesenterik akut, tidak ada
kondisi patologis organik, pelvic inflammatory disease (PID) akut, kista ovarium
terpuntir atau ruptur folikel graaf, dan gastroenteritis akut. Diagnosa banding
apendisitis akut bergantung pada 4 faktor mayor: lokasi anatomis dari apendiks
yang meradang, tahapan dari proses (tanpa atau dengan komplikasi), usia, dan
jenis kelamin pasien.

A Pasien Pediatri
Adenitis mesenterik akut adalah penyakit yang sering disalahartikan sebagai
apendisitis akut pada anak-anak. Hampir setiap kali, terdapat infeksi saluran nafas
atas atau belum lama mereda. Nyeri biasanya tersebar dan nyeri tekan tidak tepat
terlokalisir seperti pada apendisitis. Terkadang ditemukan voluntary guarding,
tetapi jarang ditemukan true rigidiy. Limfadenopati umum dapat ditemukan.
Pemeriksaan labotarium hanya sedikit membantu penegakan diagnosa yang tepat,
walaupun limfositosis relatif menyarankan terjadinya adenitis mesenterik.
Observasi selama beberapa jam dapat dilakukan bila diagnosis dicurigai adenitis
mesenterik dicurigai, karena merupakan penyakit selflimited.

B. Pasien Geriatri
Divertikulitis atau karsinoma cecum (atau bagian sigmoid yang berada pada
abdomen kanan bawah) perforata bisa jadi mustahil dibedakan dengan apendisitis.
Hal ini perlu dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih tua. CT-scan
sering kali bermanfaat dalam menegakkan diagnosa pada pasien yang lebih tua
dengan nyeri perut kanan bawah dan presentasi klinis atipikal. Pada pasien yang
ditatalaksana secara konservatif, dianjurkan melakukan pemantauan berkala kolon
(kolonoskopi atau barium enema).

C. Pasien Perempuan
Penyakit organ reproduksi internal perempuan yang dapat disalahartikan sebagai
apendisitis (dalam urutan frekuensi menurun) adalah PID, ruptur folikel graaf,
kista atau tumor ovarium terpuntir, endometriosis, dan kehamilan ektopik
terganggu (KET). Alhasil, peluang salah diagnosa tetap lebih tinggi pada
perempuan. Pada PID, infeksi biasanya bilateral, tetapi jika hanya pada tuba
kanan maka dapat menyerupai apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada
pasien apendisitis tetapi hanya sekitar 50% pada PID. Nyeri dan nyeri tekan
biasanya lebih rendah dan terdapat nyeri goyang serviks. Diplokokus intraselular
dapat tampak pada apusan sekret purulen vagina. Perbandingan kasus apendisitis
dengan PID rendah pada perempuan di awal fase menstruasi dan tinggi pada fase
luteal. Penggunaan hal ini secara teliti menurunkan insidensi penemuan negatif
dalam laparoskopi pada perempuan muda hingga 15%. Ovulasi biasanya
menyebabkan tumpahnya sejumlah darah dan cairan folikuler yang cukup untuk
menghasilkan nyeri perut bawah yang singkat dan ringan. Jika jumlah cairan
cukup banyak dan berasal dari ovarium kanan, maka dapat menstimulasi
apendisitis. Nyeri dan nyeri tekan biasanya menyebar, dan leukositosis dan
demam biasa ringan atau tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada titik tengah
siklus menstruasi, sering dinamakan mittelschmerz. Kista serosa ovarium umum
terjadi dan biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika kista sisi kanan mengalami
ruptur atau torsio, manifestasinya serupa dengan apendisitis. Pasien mengalami
nyeri perut kuadran kanan bawah, nyeri tekan, nyeri lepas, demam, dan
leukositosis. Baik USG transvaginal dan Ctscan bisa membantu diagnosa. Torsio
memerlukan tatalaksana operatif darurat. Jika torsio yang terjadi komplit atau
lama, pedicle mengalami trombosis, dan ovarium serta tuba menjadi gangren dan
memerlukan reseksi. Namun, simple detorsion, fenestrasi kista dan fiksasi
ovarium sebagai intervensi utama, diikuti dengan laparoskopi beberapa hari
setelahnya, dapat dianjurkan karena sering kali sulit untuk menentukan secara pre-
operatif viabilitas ovarium. Implantasi blastokista pada tuba fallopii (biasanya
pada bagian ampulla) dan ovarium. Ruptur tuba kanan atau kehamilan ovarium
dapat menyerupai apendisitis. Pasien dapat memiliki riwayat menstruasi
abnormal, baik melewatkan satu atau dua siklus atau hanya sedikit perdarahan
vaginal. Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari dirinya hamil. Timbulnya nyeri
kuadran kanan bawah atau nyeri pelvis bisa menjadi gejala pertama. Diagnosa
KET seharusnya relatif mudah. Adanya massa pelvis dan peningkatan kadar
human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan karakteristiknya. Walaupun
jumlah leukosit sedikit meningkat, kadar hematokrit menurun sebagai akibat dari
perdarahan intra-abdomen. Pada pemeriksaan vagina didapatkan nyeri goyang
serviks dan nyeri tekan adneksa, dan diagnosa lebih pasti dapat ditegakkan dengan
culdocentesis. Adanya darah dan khususnya jaringan desidua adalah
patognomonik. Tatalaksana KET adalah operasi darurat.

G. Penatalaksanaan
A. Awal
a. Apendisitis Tanpa Komplikasi
1. Tatalaksana Operatif dibanding Non-operatif
Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana operatif menjadi
standar sejak McBurney melaporkan pengalamannya. Konsep tatalaksana non-
operatif untuk apendisitis tanpa komplikasi berkembang dari observasi terhadap
dua hal. Pertama, pasien berada dalam lingkungan dimana tatalaksana operatif
tidak tersedia (misalnya kapal selam, ekspedisi ke daerah terpencil), tatalaksana
dengan antibiotik saja telah dibuktikan efektif. Kedua, banyak pasien dengan
tanda dan gejala konsisten dengan apendisitis yang tidak mencari pertolongan
medis terkadang megalami resolusi spontan. Beberapa penelitian observatif dan
controlled trials telah dilaporkan hasil dari tatalaksana non-operatif dibanding
operatif pada kasus yang diduga apendisitis tanpa komplikasi. Secara keseluruhan,
telah dilaporkan 9% kegagalan jangka pendek (<30 hari) dengan tatalaksana non-
operatif. Pada pasien yang gagal ditatalaksana secara non-operatif, hampir
setengahnya mengalami apendisitis dengan komplikasi (perforasi atau gangren).
Setelah 1 bulan, sekitar 1% pasien menjalani apendektomi, dan 13% pasien yang
awalnya berhasil ditatalaksana nonoperatif mengalami apendisitis berulang, 18%
peluang mengalami apendisitis dengan komplikasi. Tindak lanjut dilakukan tidak
lebih dari 1 tahun pada semua penelitian. Sebagai tambahan sepertiga pasien
menolak atau mundur daritatalaksana non-operatif. Sebagai perbandingan,
apendektomi operatif menunjukkan angka kemunduran relatif lebih rendah (2%),
proporsi apendisitis dengan komplikasi lebih rendah (25%), proporsi kecil
apendiks normal (5%), dan kemungkinan kecil infeksi superfisial pada lokasi
operasi (3,7%) serta abses intra-abdomen (1,3%). Hasil penelitian ini harus dilihat
dengan hati-hati mengingat tidak jelasnya seleksi pasien, manejemen diagnostik
yang tidak lengkap pada pasien yang tidak dioperasi, gold standard yang tidak
jelas untuk pasien yang dioperasi, dan tingginya kemungkinan beralih antara
pilihan tatalaksana. Konsekuensi dalam hal penggunaan kasur rumah sakit, lama
opname, morbiditas dari tatalaksana operatif yang ditunda setelah kegagalan
tatalaksana non-operatif, diagnosa tertunda untuk pasien dengan kanker apendiks
atau cecum, dan meningkatnya resiko resistensi terhadap antibiotik masih perlu
diteliti lebih lanjut. Sehingga, tatalaksana operatif kasus yang diduga apendisistis
tanpa komplikasi tetap menjadi standar perawatan. Sebagian sub-grup dengan
apendisitis dengan komplikasi dapat membaik dengan tatalaksana non-operatif.
Pasien yang memilih tatalaksana non-operatif harus dikonseling dengan baik
berkaitan dengan resiko kegagalan tatalaksana dan apendisitis berulang.

2. Apendektomi Darurat dibanding Segera


Secara tradisional, apendisitis dianggap sebagai kedaruratan bedah. Setelah
terdiagnosa, pasien akan langsung dibawa ke kamar operasi untuk tatalaksana
operatif. Namun, penundaan dalam diagnosa, terbatasnya akses pada ruang
operasi dan tatalaksana non-operatif menjadi tantangan keyakinan bahwa
apendisitis adalah kedaruratan bedah. Tiga penelitian retrospektif telah
mengevaluasi peran pembedahan darurat atau segera dalam apendisitis tanpa
komplikasi; grup yang darurat memiliki waktu untuk sampai ke ruang operasi <12
jam, dimana grup yang segera memiliki waktu 12-24 jam. Tidak ada peningkatan
apendisitis dengan komplikasi yang secara statistik berarti pada grup segera
dibanding grup darurat. Begitu pula halnya dengan peluang terjadinya infeksi
pada lokasi operasi, abses intra-abdomen, konversi menjadi luka terbuka, atau
waktu operasi tidak menunjukan perbedaan antara kedua grup. Walau lama
opname lebih lama pada grup segera, secara statistik dan klinis tidak berbeda pada
grup darurat. Hal yang dapat menjadi pertimbangan untuk perawatan operatif
segera dibanding darurat termasuk pemeriksaan klinis, waktu datang dari onset
gejala dan durasi penundaan pembedahan. Pasien dengan tanda klinis perforasi,
waktu datang lebih dari 48 jam setelah onset gejala dan penundaan tatalaksana
definitif leih dari 12 jam berada di luar ruang lingkup penelitian ini. Operasi
darurat dibanding segera untuk apendisitis tanpa komplikasi bergantung pada
institusi dan ahli bedah. Institusi tanpa kamar operasi dan staf yang langsung
tersedia dapat mempertimbangkan apendektomi segera dibanding darurat.

B Apendisitis dengan Komplikasi


Apendisitis dengan komplikasi secara tipikal merujuk pada apendisitis dengan
perforasi yang biasanya berkaitan dengan abses atau phlegmon. Angka insidensi
tahunan apendisitis dengan perforasi sekitar 2 dalam 10.000 orang dan memiliki
variasi rendah terhadap waktu, letak geografis dan usia. Proporsi apendisitis
dengan perforasi, umumnya sekitar 25%, sering digunakan sebagai indikator
kualitas perawatan. Perbedaan dalam proporsi hampir seutuhnya berkaitan dengan
perbedaan insidensi apendisitis dengan perforasi. Proporsi rendah perforasi dapat
menjadi konsekuensi dari angka deteksi yang lebih tinggi dan tatalaksana
apendisitis awal atau mereda. Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun dan pasien
dengan usia di atas 65 tahun memiliki angka perforasi tertinggi (45% dan 51%).
Proporsi perforasi meningkat dengan bertambahnya durasi gejala. Namun, tidak
ada hubungan antara penundaan di dalam RS dengan perforasi. Ini menunjukkan
bahwa sebagian besar perforasi terjadi di awal, sebelum pasien sampai di RS.
Ruptur harus dicurigai dengan adanya peritonitis generalisata dan respon
inflamasi kuat. Pada banyak kasus, ruptur tertampung dan pasien memperlihatkan
peritonitis lokal. Pada 2-6% kasus, terdapat massa yang dapat dipalpasi pada
pemeriksaan fisik. Hal ini dapat mempresentasikan phlegmon yang berisikan
anyaman lengkung usus yang menempel pada sekitar apendiks yang meradang
atau abses periappendiceal. Pasien datang dengan massa telah mengalami gejala
lebih lama, biasanya 5-7 hari. Membedakan apendisitis akut tanpa komplikasi
dengan apendisitis akur dengan perforasi berdasarkan penemuan klinis sering kali
sulit, tetapi penting untuk membuat perbedaan karena tatalaksannya berbeda.
Ctscan dapat berguna dalam menegakkan diagnosa dan menentukan terapi.

1.Tatalaksana Operatif Dibanding Non-operatif


Pasien dengan tanda-tanda sepsis dan peritonitis generalisata harus segera dibawa
ke kamar operasi bersamaan dengan resusitasi. Teknik pembedahan bergantung
pada tingkat kenyamanan ahli bedah; namun, open appendectomy melalui insisi
garis tengah bagian bawah kemungkinan harus untuk mengobati kasus komplikasi
ini. Pada pasien dengan apendisitis dengan komplikasi dan abses tertampung atau
phlegmon tetapi peritonitis terlokalisasi (nyeri fokal kuadran kanan bawah),
pilihan terapi menjadi lebih rumit. Sering kali, pasien ini memerlukan prosedur
yang menantang dengan resiko tinggi timbulnya abses intra-abdomen
pascaoperasi. Pilihannya termasuk tatalaksana operatif dibanding tatalaksana
konservatif (antibiotik, istirahat usus, cairan, dan kemungkinan drainase per
kutan). Belum ada prospective randomized controlled studies yang
membandingkan tatalaksana operatif dengan konservatif untuk apendisitis dengan
komplikasi pada orang dewasa; semua penelitian adalah retrospective cohort
studies. Dua meta-analisis telah dilakukan. Pada analisis tahun 2007 oleh
Andersson dan Petzold dari 61 kasus tentang hal ini, mereka menegaskan bahwa
tatalaksana awal non-operatif memberikan hasil yang lebih baik. Tatalaksana
nonoperatif termasuk cairan intravena, meminimalisir stimulasi gastrointestinal,
antibiotik parenteral, dan drainasi per kutan jika dirasa sesuai. Morbiditas
tatalaksana operatif segera adalah 36,5%, sedangkan 11% untuk tatalaksana
konservatif. Dari pasien yang menjalani tatalaksana konservatif, 7,6% gagal dan
menjalani tatalaksana operatif. Subgrup ini memiliki peluang rata-rata komplikasi
sebesar 13,5%. Peluang berulang 7,4%, yang tidak mengharuskan apendektomi
interval. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih
dibanding operasi awal pada apendisitis dengan komplikasi. Simillis dan
koleganya mengadakan meta-analisis pada 17 penelitian. Mereka menegaskan
bahwa tatalaksana konservatif berkaitan dengan angka ratarata komplikasi, abses
intra-abdomen, obstruksi usus, dan operasi ulang yang lebih rendah. Pengarang
menyimpulkan bahwa tatalaksana konservatif lebih dipilih dibanding operasi awal
pada apendisitis dengan komplikasi. Pada literatur pediatrik, terdapat dua
prospective randomized controlled trials membuktikan bahwa intervensi operatif
awal memiliki hasil yang sebanding atau lebih dibanding tatalaksana konservatif,
tetapi penelitian ini juga mengikutsertakan apendektomi interval untuk semua
pasien dalam perhitungan mereka. St. Peter dan koleganya membuktikan bahwa
20% pasien gagal tatalaksana konservatif. Intervensi operatif awal memiliki hasil
yang sebanding dengan apendektomi interval. Selain itu, Blakely dan koleganya
menegaskan bahwa apendektomi interval, dibanding apendektomi awal, memiliki
insidensi kejadian lanjutan yang lebih tinggi (50% dibanding 30%), abses intra-
abdomen (37% dibanding 19%), obstruksi usus halus (10,4% dibanding 0%), dan
kembali masuk RS (31% dibanding 8%). Sebagai tambahan, Blakely dan
koleganya menegaskan bahwa 9% dari grup yang ditatalaksana konservatif
mengalami apendisitis berulang. Pengarang menyimpulkan bahwa tatalaksana
pembedahan segera lebih baik dibanding tatalaksana konservatif dengan
apendektomi interval.

2. Apendektomi Interval setelah Tatalaksana Non-operatif


Apendektomi interval didefinisikan sebagai melakukan apendektomi setelah
tatalaksana non-operatif awal berhasil pada pasien yang sudah tanpa gejala.
Argumen utama melawan apendektomi interval adalah banyak pasien
ditatalaksana konservatif tidak pernah mengalami gejala apendisitis, dan bagi
yang umumnya mengalami gejala dapat ditatalaksana tanpa morbiditas tambahan.
Argumen utama yang mendukung apendisitis interval adalah untuk mencegah
timbulnya apendisitis di kemudian hari atau mengidentifikasi penyakit lain,
seperti keganasan apendiks. Hanya ada satu prospective randomized controlled
trial kecil (n=40) yang menginvestigasi subjek ini. Pada literaturnya banyak
terdapat small case series dan retorspective cohort studies; tidak ada meta-analisis
yang mengevaluasi subjek ini. Dari 1434 pasien yang diduga apendisitis dengan
komplikasi dan telah berhasil ditatalaksana konservatif, 8,8% mengalami
apendisitis berulang dengan rata-rata follow up selama 35 bulan. Insidensi
apendisitis dengan komplikasi diikuti oleh kekambuhan rendah (2,4%).
Keganasan ditemui pada 1,3% kasus dimana patologi dilaporkan. Banyak pasien
tereksklusi dari penelitian karena gejala menetap, infeksi menetap, atau temuan
keganasan pada kolonoskopi skrining. Selain itu, dari 344 pasien yang diduga
apendisitis dengan komplikasi, telah berhasil ditatalaksana konservatif, dan
kemudian menjalani apendektomi interval, komplikasi pembedahan terjadi pada
9,4% pasien. Sebagian besar pasien menjalani apendektomi interval 2-4 bulan
setelah gejala akut. Walau perincian operatif dan patologis tidak dilaporkan
seragam pada pasien ini, banyak yang berlanjut mengalami tanda apendisitis atau
abses pada waktu apendektomi interval; 3,6% pasien memiliki keganasan dimana
patologi dilaporkan. Peran apendektomi interval setelah keberhasilan tatalaksana
konservatif apendisitis dengan komplikasi tidaklah jelas. Close clinical follow-up,
pencarian menyeluruh riwayat gejala menetap, dan kolonoskopi skrining (saat
usia pantas) sebaiknya digunakan untuk membantu mengarahkan diskusi dengan
pasien mengenai peranan apendektomi interval setelah tatalaksana konsertatif
apendisitisdengan komplikasi.

3. Operatif
a. Open Appendectomy
Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi umum. Seluruh
abdomen telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi yang lebih besar
dibutuhkan. Untuk apendisitis awal tanpa perforasi, insisi kuadran kanan bawah
pada titik McBurney (sepertiga jarak dari spina iliaca anterior superior ke
umbilikus) umumnya digunakan. Insisi McBurney (oblique) atau Rocky-Davis
(transversal) pada kuadran kanan bawah dibuat. Jika diduga apendisitis perforasi
atau diagnosa masih diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah
bawah. Walau telah dilaporkan bahwa posisi apendiks dapat berubah dengan
kehamilan, penelitian prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan
tidakmerubah proporsi pasien dengan appendiceal base dalam 2 cm dari titik
McBurney. Setelah memasuki abdomen, pasien seharusnya diposisikan dalam
posisi sedikit Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien. Jika apendiks sulit
diidentifikasi, lokasi cecum harus diidentifikasi. Menelusuri taenia libera (taenia
anterior), yang paling terlihat dari 3 taeniae coli, pada distal dasar apendiks dapat
diidentifikasi. Apendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau
pelvis yang dapat dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium apendiks
terlebih dahulu dapat memperjelas eksposur dasar apendiks. Appendiceal stump
dapat ditangani dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi. Selama
stump terlihat jelas dan dasar cecum tidak dilibatkan dalam proses inflamasi,
stump dapat dengan aman diligasi. Obliterasi mukosa dengan electrocautery
dengan tujuan menghindari timbulnya mucocele direkomendasikan oleh beberapa
ahli bedah; namun, tidak ada data yang mengevaluasi resiko atau manfaat
manuver pembedahan ini. Inversi stump dengan lipatan dari cecum juga telah
dideskripsikan. Pemasangan surgical drains baik untuk apendisitis tanpa dan
dengan komplikasi, dipraktekkan oleh banyak ahli bedah, tidak didukung oleh
penelitian klinis. Nanah di abdomen harus diaspirasi, tetapi irigasi pada
apendisitis dengan komplikasi tidak dirokemdasikan. Kulit juga dapat langsung
ditutup pada pasien dengan apendisitis perforasi. Jika apendisitis tidak ditemukan,
pencarian metodis harus dilakukan untuk diagnosa alternatif. Cecum dan
mesenterium harus diinspeksi. Usus halus harus dievaluasi dengan cara retrogade
dimulai dari katup ileocecal. Keterlibatan Crohn’s disease atau Meckel’s
diverticulum harus menjadi prioritas utama. Pada pasien perempuan, organ
reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan cairan purulen atau
bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh, Valentino’s appendicitis,
atau ulkus duodenal bergejala seperti apendisitis, harus disingkirkan. Ekstensi
medial insisi (Fowler-Weir) atau ekstensi superios dari insisi lateral pantas
dilakukan jika evaluasi lebih lanjut dari abdomen bawah atau kolon kanan
diperlukan. Laparoskopi selektif melalui insisi kuadran kanan bawah juga telah
dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis tengah harus
dilakukan.

B.Apendektomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada tahun
1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara luas
hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin
karena inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau
nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang
dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan
asisten harus berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi
diposisikan pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi
laparoskopik standar umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10
atau 12 mm dipasang pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada
supra-pubik dan kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi
Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri. Apendiks harus diidentifikasi sama halnya
dengan pembedahan terbuka dengan menyusuri taenia libera/coli ke dasar
apendiks. Melalui saluran suprapubik, apendiks dipegang dengan mantap dan
dielevasikan ke arah jam 10. “Appendiceal critical view” seharusnya didapatkan
dengan taenia libera pada arah jam 3, ileum terminal pada arah jam 6 dan
apendiks yang ditarik pada arah jam 10 untuk identifikasi dasar apendiks. Melalui
saluran infra-umbilikus, mesenterium harus diseksi secara perlahan dari dasar
apendiks dan dibuat jendela. Umumnya dasar apendiks di-staple setelah stapling
mesenterium. Selain itu, mesenterium dapat dibagi dengan energy device atau
clipped dan dasar apendiks ditahan dengan Endoloop. Stump harus diperiksa
dengan seksama untuk memastikan hemostasis, transeksi komplit, dan
memastikan tidak ada stump tertinggal. Apendiks diambil melalui lubang infra-
umbilikus dengan retrieval bag.

C. Laparoskopik Dibanding Open Appendectomy


Sudah terdapat beberapa randomized controlled trials prospektif yang
membandingkan hasil laparoskopik dan open appendectomy. Beberapa
metaanalisis telah dilakukan untuk mengevaluasi hasil kumulatifnya.
Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan infeksi lokasi pembedahan yang
lebih sedikit dibanding open appendectomy. Tetapi apendektomi laparoskopik
berkaitan dengan meningkatnya resiko abses intra-abdomen dibanding open
appendectomy. Dengan apendektomi laparoskopik lebih tidak nyeri, lama opname
lebih singkat dan lebih cepat kembali ke aktivitas normal dibanding open
appendectomy. Apendektomi laparoskopik berkaitan dengan meningkatnya durasi
opeasi dan biaya ruang operasi; namun rata-rata biaya hampir sama dibanding
open appendectomy. Pasien cenderung lebih puas dengan apendektomi
laparoskopik. Sebagai tambahan, apendektomi laparoskopik memiliki keuntungan
ketika diagnosa dipertanyakan, seperti pada pasien wanita dalam usia reproduktif,
pasien lebih tua dengan kecurigaan keganasan, dan pasien obes dimana
dibutuhkan insisi open appendectomy yang lebih besar.

D. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi


Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Setelah apendektomi
tanpa komplikasi, peluang komplikasinya rendah, dan kebanyakan pasien dapat
dengan cepat memulai diet dan dipulangkan pada hari yang sama atau sehari
setelahnya. Terapi antibiotik post-operatif tidak diperlukan. Di sisi lain,
apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya meningkat dibanding
apendisitis tanpa komplikasi. Pasien harus melanjutkan antibiotik spektrum luas
selama 4-7 hari. Ileus post-operatif dapat terjadi, maka diet harus dimulai dalam
evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki resiko meningkat terjadinya infeksi
pada lokasi pembedahan. Pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum,
puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara bertahap pasien
diberikan minum, makanan saring, makanan lunak, dan makanan biasa.

A. Infeksi Lokasi Pembedahan


Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional (superfisial atau
profunda), dilakukan penanganan berupa pembukaan insisi dan mengambil kultur.
Setelah apendektomi laparoskopik, ekstraksi lokasi saluran adalah tempat yang
paling sering terjadi infeksi lokasi pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat
memulai antibiotik. Organisme yang dikultur pada umumnya flora usus,
dibandingkan dengan flora kulit. Pasien dengan abses intra-abdomen post-operatif
dapat bergejala dengan cara yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan
nyeri abdomen adalah gejala yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi
usus, diare, dan tenesmus dapat juga menderita abses intra-abdomen. Abses kecil
dapat diterapi hanya dengan antibiotik; namun abses yang lebih besar memerlukan
drainase. Pada umumnya, drainase per kutan dengan panduan CT-scan atau USG
efektif. Untuk abses yang tidak merespon terhadap drainase per kutan, drainase
abseslaparoskopik bisa menjadi pilihan.

B. U. Stump Appendicitis
Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan seluruh apendiks
pada prosedur awal. Sebuah review literatur menunjukkan hanya 60 laporan dari
fenomena ini. Kemungkinan, apendektomi inkomplit sedikit dilaporkan, dan
prevalensi nyatanya jauh lebih tinggi. Dilaporkan sebagai “stump appendicitis”,
pasien umumnya datang dengan gejala berulang apendisitis kurang lebih 9 tahun
setelah pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam pembedahan awal antara
laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak apendektomi
dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan stump appendicitis
lebih memungkinkan untuk mengalami apendisitis dengan komplikasi, menjalani
prosedur terbuka dan colectomy. Kunci untuk menghindari stump appendicitis
adalah pencegahan. Penggunaan “appendiceal critical view” (apendiks diletakkan
pada arah jam 10, taenia coli/libera pada jam 3 dan ileum terminal pada jam 6)
dan identifikasi apakah taenia coli bersatu atau menghilang adalah hal penting
untuk identifikasi dan ligasi dasar apendiks saat pembedahan awal. Stump yang
tersisa harus tidak lebih panjang dari 0,5 cm, dikatakan stump appendicitis jika
≥0,5 cm pada literatur. Pada pasien yang telah menjalani apendektomi
sebelumnya, indeks kecurigaan yang rendah penting untuk mencegah penundaan
diagnosa dan komplikasi. Apendektomi sebelumnya tidak seharusnya menjadi
kriteria mutlak menyingkirkan apendisitis akut.

E. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan disebabkan
oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar
0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20%
terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi F, Schwartz S. Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York:
McGraw-Hill, Health Pub. Division; 2010.
2. Wibisono E, Jeo W. Apendisitis. In: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E,
ed. by Kapita selekta kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
3. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.
4. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi : Konsep Klinik
Proses-Proses Penyakit E/6, V/1. Alih Bahasa Oleh Dr. Brahm U.
Pendit, dkk), Jakarta : EGC.

You might also like