You are on page 1of 3

Gelar perkara tidak bisa terbuka layaknya pengadilan karena gelar perkara

masih dalam tahap pra ajudikasi.


"Dalam tahap pra ajudikasi ada yang namanya presumptive of
innocence atau praduga tak bersalah. Ini bukan pengadilan.
Tahap pra ajudikasi adalah tahapan pra-peradilan yang bertujuan menyusun
berita acara pemeriksaan (BAP). Untuk bisa menyusun BAP, kepolisian
melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti
permulaan, bukti-bukti, memeriksa para saksi. Karena masih di luar
peradilan, pendeknya belum memasuki tahap penuntutan, maka
kepentingan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus dilindungi. Dari
para saksi, saksi ahli, sampai aparat penegak hukumnya.
Menjadi penting asas praduga tak bersalah selama tahapan ini karena belum
tentu seseorang yang diperiksa akan menjadi tersangka. Bahkan ketika
menjadi tersangka saja, saat sudah dituntut di pengadilan pun, seseorang
harus diperlakukan dalam kerangka praduga tak bersalah, apalagi jika baru
tahap pra-ajudikasi.

Akibat adanya bagian presumptive of innocence atau asas praduga tak


bersalah, maka mereka, saksi, baik saksi ahli maupun saksi utama, calon
tersangka, maupun korban, harus mendapat perlindungan penuh. Apabila
gelar perkara dibuka untuk umum, maka tahap tersebut sudah disebut
sebagai tahap pengadilan.
Ketika gelar perkara dibuka, maka identitas seluruh pihak yang terlibat
dalam kasus akan diketahui publik dan bisa mengancam keselamatan
mereka.
Ia tidak memungkiri KUHAP memang tidak mengatur atau mengharuskan
gelar perkara dilakukan secara terbuka atau tertutup. Meskipun begitu,
menurut Andi, hal itu tidak etis karena gelar perkara merupakan ruang
khusus dalam proses peradilan.

"Gelar perkara tidak boleh dibuka penyidik. Itu rahasia. Orang nggak boleh
tahu," jelas Andi kepada Tirto.id.
Menurut Andi, polisi telah bertindak sebagai pengadilan apabila
menghadirkan pelapor, terlapor, dan saksi ahli, baik yang meringankan
maupun memberatkan. Ia menegaskan, fungsi pengadilan sudah diambilalih
oleh kepolisian begitu melaksanakan gelar perkara secara terbuka. Selain
itu, kasus ini akan menjadi pro-kontra secara terus-menerus apabila tidak
diselesaikan di pengadilan.

Abdi menjelaskan, proses gelar perkara memang tidak diatur secara rinci
dalam KUHAP. Akan tetapi, gelar perkara merupakan bagian dari proses
penyidikan.

Suatu kasus dapat naik ke penyidikan apabila penyelidik atau penyidik sudah
menemukan dua alat bukti. Peningkatan status dari penyelidikan ke
penyidikan umumnya diikuti penemuan seseorang yang dinyatakan sebagai
tersangka. Saat penyelidikan, tidak ada satu orang pun kecuali penyidik dan
penyelidik yang berwenang mengetahui duduk perkara, apalagi terlapor.

Gelar perkara sendiri baru dapat muncul setelah penyelidikan memasuki


tahap penyidikan. Tahap itu terpenuhi begitu penyidik sudah memeriksa
saksi, ahli, surat atau dokumen, petunjuk, serta keterangan tersangka. Gelar
perkara hanya dilaksanakan sekali. Selain itu, gelar perkara juga sering
menjadi sarana tersangka untuk mempertimbangkan saksi-saksi yang dinilai
dapat meringankan hukumannya.
Gelar perkara yang diterapkan selama ini adalah upaya mensimulasi perkara
itu dari sisi substansinya. Gelar perkara mensimulasikan proses perkara serta
mengetahui hasil penyidikan suatu perkara.
“Jadi dengan gelar perkara itu mestinya (menjadi) proses obyektifikasi dalam
proses penyidikan. Obyektifikasi artinya semua pihak terlapor, pelapor,
semuanya boleh mengikuti plus penasehat hukumnya. Mereka boleh lihat
gelar perkara sampai mana pertanggungjawaban progress report-nya itu.
Progress report sampai mana, itu pertanggungjawaban penyidik terhadap
proses penyidikan,” jelas Mudzakir kepada Tirto.

Mudzakir mengakui, gelar perkara umumnya dilakukan cukup satu kali. Akan
tetapi, berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 (atau 14/2012)
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, kepolisian berhak melakukan
gelar perkara lebih dari satu kali. Gelar perkara kedua atau lebih sangat
jarang terjadi karena gelar perkara kedua cukup menegaskan perkembangan
penyidikan sebelumnya.

Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya


diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”). Selain kedua UU tersebut,
ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan
dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian
tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
(“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”).

Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka


dan Terdakwa dan Bab VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–
ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga tersebar
dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan
ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan
hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat
(1) telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama
menjalani pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan.

Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa


Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa
menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak
kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan
tindakan-tindakan berupa:
(a) Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;
(b) Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;
(c) Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;
(d) Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;
(e) Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;
(f) Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat
perempuan;
(g) Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan
menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan
(h) Merendahkan harkat dan martabat manusia
Pada Perkap 8/2009, khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah
ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
(a) penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak
berdasarkan hukum;
(b) penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat
dalam kejahatan;
(c) pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-
orang yang disangka terlibat dalam kejahatan;
(d) penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang
merendahkan martabat manusia;
(e) korupsi dan menerima suap;
(f) menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan;
(g) penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum
(corporal punishment);
(h) perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan
kasus pelanggaran HAM oleh orang lain;
(i) melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak
berdasarkan hukum;
(j) menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan

Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkap 8/2009 juga disebutkan bahwa dalam
melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang:
(a) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun
seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
(b) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan
kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang;
(c) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
(d) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan
laboran hasil penyelidikan;
(e) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau
memutarbalikkan kebenaran;
(f) melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari
pihak yang berperkara.

You might also like