You are on page 1of 21

TEKNIK KOMUNIKASI PADA KELOMPOK KHUSUS: KLIEN LANSIA

DAN KLIEN GANGGUAN KESADARAN/PENURUNAN KESADARAN

KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN

Oleh:
Zahra Marseliya Khusnah NIM 142310101143
M.Riko Saputra NIM 162310101134
Nurul Hidayah NIM 162310101144
Akhmad Rizal Eko M. NIM 162310101157
Marda Aditya S. NIM 162310101184

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2017
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan alat yang efektif untuk mempengaruhi tingkah
laku manusia, sehingga komunikai perlu dikembangkan dan dipelihara terus
menerus. Beberapa alasan yang mempengaruhi orang berkomunikasi yakni
mengurangi ketidakpastian, memperoleh informasi, mengutarakan keyakinan dan
mengungkapkan perasaan. Dalam berkomunikasi dengan klien, perawat harus
menggunakan teknik pendekatan khusus agar tercapai pengertian dan perubahan
perilaku klien.

Masalah yang sering timbul perilaku dalam komunikasi antara lain karena
komunikator kurang menguasai teknik komunikasi seperti komunikan yang
mempunyai pandangan apriori, emosi, suasana yang otoriter, ketidakmampuan
untuk berubah walau salah dan egosentris serta adanya faktor situasional yaitu
kondisi dan situasi dimana komunikasi tersebut berlangsung.

Perawat sebagai komponen yang penting dan orang yang terdekat dengan
klien sangat dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan baik secara verbal
maupun nonverbal. Kondisi lansia yang telah mengalami perubahan dan
penurunan baik struktur anatomisnya maupun fungsi dari organ tubuhnya
menuntut pemahaman dan kesadaran tersendiri bagi tenaga kesehatan selama
memberikan pelayanan kesehatan. Perubahan yang terjadi baik secara fisik,
psikis/emosi, interaksi sosial maupun spiritual dari lansia membutuhkan
pendekatan dan teknik tersendiri dalam berkomunikasi. Agar lansia dapat
berinteraksi khususnya berkomunikasi dengan lansia secara baik, perawat perlu
memahami tentang karakteristik lansia, penggunaan yang memungkinkan dapat
diterapkan sesuai dengan konsdisi klien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, bagaimana sikap dan teknik komunikasi
pada kelompok khusus yakni klien lansia dan klien dengan gangguan
kesadaran/penurunan kesadaran?

1.3 Tujuan

Mengetahui sikap dan teknik komunikasi pada kelompok khusus yakni


klien lansia dan klien dengan gangguan kesadaran/penurunan kesadaran.

1.4 Implikasi Keperawatan

Perawat sebagai komponen yang penting dan merupakan orang terdekat


dengan klien sangat dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan baik secara
verbal maupun nonverbal. Sebagai seorang perawat harus bisa terampil dalam
teknik komunikasi pada kelompok khusus yakni lansia dan klien dengan
gangguan kesadaran/penurunan kesadaran. Untuk itu perawat perlu memahami
tentang karakteristik kelompok khusus yakni lansia maupun klien dengan
gangguan kesadaran, penggunaan teknik komunikasi yang tepat dan model-model
komunikasi yang memungkinkan yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi
klien.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Komunikasi Efektif Pada Lansia

Komunikasi efektif pada lansia adalah komunikasi interpersonal yang


sangat penting dalam membangun hubungan yang baik antara perawat dan lansia
di sebuah komunitas maupun klinik (Muhith, 2016). Melalui komunikasi
interpersonal, perawat dapat mengetahui bagaimana membentuk hubungan yang
baik dengan orangtua, menyebabkan rasa nyaman untuk orang tua disaat
mengahabiskan waktu bersama dengan perawat. Efektifitas komunikasi
interpersonal yang dilakukan perawat terhadap lansia tidak semuanya dikatakan
efektif walaupun pelaksanaanya sudah baik. Untuk membentuk efektivitas
interpersonal, khusunya antara perawat dengan lansia, dipengaruhi lima aspek
yang harus dipertimbangkan yakni keterbukaan (openess), empati (empathy),
perilaku positif (positiviness), sikap mendukung (suppotiviness), dan kesetaraan
(equality).

1. Keterbukaan

Sikap terbuka mendorong timbulnya pengertian, saling menghargai, dan


saling mengembangkan hubungan interpersonal. Komunikator dan
komunikan saling mengungkapkan ide atau gagasan, bahkan
permasalahan, secara bebas (tidak ditutup-tutupi) dn terbuka tanpa rasa
takut atau malu. Keduanya saling mengerti dan saling memahami. Dalam
berkomunikasi interpersonal perawat dengan lansia, perawat yang
berperan menciptakan keterbukaan terhadap lansia dengan cara bercerita
dahulu, membuka diri, dan mendengarkan pendapat dari lansia. Perawat
harus sering berkomunikasi dengan lansia secara rutin dengan mangajak
lansia bercerita, menanyakan kondisi dan menanyakan kesehatan. Lansia
pun berkonsultasi tentang dirinya dan penyakitnya kepada perawat.
Perawat harus menggunakan komunikasi yang baik dengan lansia,
terutama perawat tidak boleh berkata kasar terhadap lansia.
2. Empati

Empati berarti mampu mengetahui apa yang sedang dialami oleh orang
lain pada suatu saat tertentu, ammpu merasakan seperti yang dirasakan
orang lain rasakan dari sudut pandang orang lan itu. Perawat harus mampu
merasakan apa yang sedang dialami oleh lansia, yang mana sangat
mempengaruhi emosi lansia yang sudah mulai tidak stabil. Perawat harus
memahami bagaimana feedback atau tanggapannya karena lansia lebih
sensitive, emosinya tidak stabil, atau lansia dalam keadaan sakit. Perawat
harus memahami bagaimana karakter lansia untuk bisa berempati dalam
komunikasi interpersonal dengan lansia.

3. Perilaku Psoitif

Sikap positif yang diberikan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam
bentuk sikap, artinya bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi
interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan
prasangka dan curiga. Sikap positif yang ditunjukkan dengan berbagai
macam perilaku dan sikap seperti menghargai orang lain, berpikir positif
terhadap orang lain, memberikan pujian dan penghargaan dan komitmen
menjali kerja sama.

4. Sikap Mendukung

Hubungan interpersonal yang efktif adalah hubungan dimana terdapat


sikap mendukung. Masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki
komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka.
Lansia selalu diberikan nasehat oleh perawat untuk tetap kuat dan tegar
dalam menjalani hidup terutama jika mengenai masalah kesehatan lansia.

5. Kesetaraan

Komunikasi interpersonal antara perawat dengan lansia akan efektif bila


suasananya setra kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga serta
memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangkan, seperti kesamaan
pandangan, sikap, usia, kesamaan ideology, dan sebagainya. Perawat
berperan menumbuhkan rasa kesetaraan dan perasan sama antara perawat
dan lansia. Perawat memosisikan dirinya sebagai anak atau cucu dari
lansia tersebut. Perawat bisa menempatkan diri supaya benar-benar layak
menjadi “keluarga” dari lansia tersebut.

2.2 Karakteristik Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur


kehidupan manusia (Budi Anna Keliat, 1999). Sedangkan mneurut pasal 1 ayat
(1), (3), (4) No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, 2008).
Berdasarkan usianya, menurut organisasi kesehatan dunia (WHO)
mengelompokkan usia lanjut menjadi empat macam, meliputi:

1. Usia pertengahan (Middle age), kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

2. Usia lanjut (elderly), kelompok usia antara 60 sampai 70 tahun.

3. Usia lanjut usia (old), kelompok usia antara 75 sampai 90 tahun.

4. Usia tua (veryold), kelompok usia diatas 90 tahun.

Meskipun batasan usia sangat beragam untuk menggolongkan usia namun


perubaha-perubahan akibat dari usia tersebut telah dapat diidentifikasi misalnya
perubahan pada aspek fisik berupa perubahan neurologis & sensorik, perubahan
visual, perubahan pendengaran. Perubahan-perubahan tersebut menghambat
proses penerimaan interpretasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini juga
mengakibatkan klien lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.
Perubahan kognitif yang berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan
belajar, daya memori dan motivasi klien.

Perubahan emosi yang sering Nampak adalah berupa reaksi penolakan


terhadap kondisi yang terjadi. Gejala-gejala penolakan tersebut misalnya:
1. Tidak percaya terhadap diagnosa, gejala, perkembangan serta keterangan
yang diberikan petugas kesehatan.

2. Mengubah keterangan yang diberikan sedemikian rupa, sehingga diterima


keliru

3. Menolak membicarakan perawatanyya dirumah sakit

4. Menolak ikut serta dala perawatan dirinya secara umum, khususnya


tindakan yang langsung mengikutsertakan dirinya.

5. Menolak nasehat-nasehat misalnya, istirahat baring, berganti posisi tidur,


terutama bila nasehat tersebut demi kenyamanan klien.

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Pada Lansia

Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi pada lansia, diantaranya :

1. Faktor klien meliputi kecemasan dan penurunan sensori (penurunan


pendengaran dan penglihatan, kurang hati-hati, tema yang menetap, misal
kepedulian terhadap kebugaran tubuh, kehilangan reaksi, mengulangi
kehidupan, takut kehilangan kontrol, dan kematian).

2. Faktor perawat meliputi perilaku perawat terhadap lansia dan


ketidakpahaman perawat.

3. Faktor lingkungan: lingkungan yang bising dapat menstimulasi


kebingungan lansia dan terganggunya penerimaan pesan yang
disampaikan.

2.4 Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi

Menurut Mundakir (2006) pendekatan perawatan lansia dalam komunikasi


adalah berikut:

1. Pendekatan fisik

Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian


yang dialami. Perubahan fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang
masih bisa dicapai dan dikembangkan serta penyakit yang dapat
dicegah progresitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah
dilaksanakan dan dicarikan solusinya karena riil dan mudah
diobservasi

2. Pendekatan psikologis

Pendekatan ini sifatnya abstrak dan mnegarah keperubahan perilaku,


maka umunya membutuhkan waktu yang lama. Peran perawat sebagai
konselor, advokat, supporter terhadap segala sesuatu asing atau
sebagai penampung masalah-masalah rahasia yang bersifat pribadi
dan sebagai sahabat akrab bagi klien.

3. Pendekatan sosial

Pendekatan ini dilaksanakan untuk meningkatakan keterampilan lansia


agar berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar
pikiran, bercerita, bermain, mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok
merupakan implemntasi dari pendekatan sosial gara klien dapat
berinteraksi dengan seksama lansia lainnya maupun dengan petugas
kesehatan.

4. Pendekatan spiritual

Perawat harus bisa memberikan kepuasan batin dalam hubungannya


dengan Tuhan atau agama yang dianut oelh lansia terutama ketika
klien dalam keadaan sakit ataun mendekati kematian. Pendekatan
spiritual ini cukup efektif terutama bagi klien yang mempunyai
kesadaran tinggi dan latar belakang keagamaan yang baik.

2.5 Teknik Komunikasi Pada Lansia

Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia,


perawat juga harus memahami teknik teknik khusus agar komunikasi yang
dilakukan dapat berlangsung lancar dan sesuai tujuan yang diinginkan (Mundakir,
2006). Beberapa teknik komunikasi yang dpat diterapkan antara lain:
1. Teknik Asertif

Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara


dengan menunjukkan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan
memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau
pembicaran dapat dimengerti.

2. Responsif

Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien


merupakan perhatian petugas kepada klien. Contoh “apa yang sedang
bapak/ibu fikirkan saat ini?” apa ada yang bisa saya bantu?”. Berespon
berarti bersikap aktif tidak menunggu permintaan bantuan dari klien. Sikap
aktif inilah menciptkan perasaan tenang dan nyaman bagi klien

3. Fokus

Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi
komunikasi yang diinginkan. Ketika klien mengungkapkan pernyataan-
pernyataan di luar materi yang diinginkan, maka perawat hendaknya
mengarahkan maksud pembicaraannya.

4. Supportif

Perubahan yang terjadi pada lansia baik aspek fisik, psikis maupun emosi
bersifat labil. Adanya perubahan sifat labil tersebut perlu disikapi dengan
menjaga kestabilan emosi klien lansia, misalnya mengiyakan, senyum, dan
mengangguk kepal ketika lansia mengungkapkan perasaanya sbagai sikap
hormat dan menghargai selam klien berbicara. Contoh “saya yakin
bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu kami yakin bapak/ibu
mampu melaksanakan…….dan bila perlukan kami siap membantu”

5. Klarifikasi

Klarifikasi dengan mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan


lebih dari satu kali perlu dilakukan oleh perawat agar maksud
membicaraan dapat diterima dan dipersepsikan sama oleh klien. Contoh
“Bapak/ibu bisa menrima apa yang sudah saya sampaikan tadi? Bisa minta
tolong bapak/ibu untuk menjelaskan kembali apa yang saya sampaikan
tadi?”

6. Sabar dan Ikhlas

Seperti diketahui sebelum-sebelumya bahwa klien lansia umumnya


mengalami perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan
kekanak-kanakan. Perubahan ini bila tidak disikapi dengan sabar dan
ikhlas dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga
komunikasi yang dilakukan berlangsung emosional dan menimbulkan
kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan.

2.5.1 Proses Komunikasi pada Lansia

Menurut Jeanny Ivones (2010), proses komunikasi pada lansia sebagai


berikut:

1. Perawat membuka pertanyaan dengan memperkenalkan diri dan


menjelaskan tujuan dan lama wawancara

2. Berikan waktu cukup kepada pasien lansia untuk menjawab, berkaitan


dengan pemunduran kemampuan untuk merespon verbal

3. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar
belakang sosiokulturnya

4. Gunakan peratanyaan yang pendek dan jelas karena pasien lansia kesulitan
dalam berpikir abstrak

5. Perawat dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan


memberikan respons nonverbal, seperti kontak mata sevara langsung,
duduk dan menyentuh pasien

6. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-tanda kepribadian


pasien dan distress yang ada.
7. Perawat tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan dari
wawancara pengkajian

8. Perawat harus memperhatikan respons pasien dengan mendengarkan


dengan cermat dan tetap mengobservasi

9. Tempat mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang baru dan asing
bagi pasien

10. Lingkungan harus dibuat nyaman dan kursi harus dibuat senyaman
mungkin

11. Lingkungan harus dimodifikasi sesuai kondisi lansia yang sensitive


terhadap suara berfrekuensi tinggi atau perubahan kemampuan pasien

12. Perawat harus mengkonsultasikan hasil wawancara kepada keluarga pasien


atau orang lain yang sangat mengenal pasien

13. Memperhatikan kondisi pasien pada saat wawancara.

2.5.2 Metode Komunikasi pada Lansia

Menurut Nugroho (2012). Perawat harus menunjukkan kesiapan


mendengarkan klien lansia. Kesiapan ini ditunjukkan dengan:

1. Duduk tegak, rileks, dan menghadap secara muka dengan muka. Posisi ini
menunjukkan “saya siap dan mau mendengarkan”

2. Mempertahankan kontak mata. Sebaiknya mata perawat sejajar dengan


mata klien lansia. Tempat duduk perawat tidak lebih tinggi dari tempat
duduk lansia. Kontak mata harus spontan dan wajar

3. Tubuh perawat sedikit membungkuk atau sikap menghormat kea rah


lansia. Biasanya secara spontan tubuh sesorang langsung bergerak sedikit
mendekat pada lansia yang sedang berbicara bila ingin mendengarkan
dengan baik apa yang disampaikan oleh klien lansia.
4. Mempertahankan sikap tubuh yang terbuka. Hindari duduk dengan kedua
kaki atau tangan bersilang karena posisi semacam ini menunjukkan sikap
defensive. Posisi tubuh perawat harus menunjukkan bahwa dirinya
bersedia menerima dan membantu.

5. Mempertahankan posisi tubuh yang rileks, memang sulit untuk


mempertahnkan psoisi tubuh yang rileks penuh karena mendengarkan
dengan seluruh “dirinya”

2.6 Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia

Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan


terganggu apabila ada sikap agresif dan nonasertif (Mundakir, 2006).

1. Agresif

Tanda-tanda sikap agresif dalam berkomunikasi:

a. Berusaha mengontrol & mendominasi orang lain (lawan bicara)

b. Meremehkan orang lain

c. Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain

d. Menonjolkan dirinya sendiri

e. Mempermalukan orang lain di depan umum, baik dengan perkataan


maupun tindakan.

2. Non Asertif

Tanda-tnada dari sikap non asertif:

a. Menarik diri bila diajak berbicara

b. Rendah diri

c. Merasa tidak berdaya

d. Tidak berani mnegngkapkan keyakinan


e. Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya

f. Tampil diam (pasif)

g. Mengikuti kehendak orang lain

h. Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik


dengan orang lain

Adanya hambatan komunikasi kepada lansia, sebagai tenaga


kesehatan khususnya perawat perlu adanya teknik tertentu yang harus
diperhatikan agarar komunikasi dapat berlangsung efektif

a. Selalu mulai komunikasi dengan mengecek fungsi pendengaran klien

b. Keraskan suara anda jika perlu

c. Dapatkan perhatian klien sebelum bicara

d. Atur kondisi lingkungan menjadi kondusif untuk komunikasi yang


baik.

e. Ketika merawat lansia dengan gangguan komunikasi, ingat


kelemahannya. Jangan menyalahkan komunikasi tidak berjalan
dengan baik dikarenakan klien tidak kooperatif akibat kelemahannya.

f. Jangan berharap ingin berkomunikasi dengan cara yang sama dengan


orang yang tidak mengalami gangguan

g. Berbicara dengan jelas, pelan menatap matanya, gunakan kalimat


singkat padat jelas namun dimengerti.

h. Serasikan bahas tubuh dengan yang dibicarakan

i. Bantu kata-kata dengan isyarat visual

j. Jadilah pendengar yang baik

k. Arahkan ke satu topic dan ikutkan anggota keluarga yang merawat


kedalam ruang bersama klien dan perawat.
2.7 Teknik Dalam Perawatan Lansia Pada Reaksi Penolakan

Menurut Mundakir (2006) ada beberapa langkah yang bisa dilaksanakan


untuk mengahdapi klien lansia dengan reaksi penolakan:

1. Kenali segera reaski penolakan klien

Membiarkan klien bertingkah laku dalam tenggang waktu tertentu.

- Identifikasi pikiran yang paling membahayakan dengan cara


mengobservasi klien bila sedang berada dipuncak reaksinya

- Ungkapkan kenyataan yang dialami klien secara perlahan

- Jangan menyokong pebolakan klien, akan tetapi berikan perawatan


yang cocok bagi klien.

2. Orientasi klien pada pelaksanaan perawatan diri sendiri

- Libatkan klien dalam perawatan dirinya, misalnya dalam perencanaan


waktu, tempat dan macam perawatan.

- Beri pujian untuk lansia yang berusaha untuk merawat dirinya

- Membantu klien lansia untuk mengungkapkan perasaan sedihnya


dengan mengajukan pertanyaan terbuka.

3. Libatkan keluarga atau pihak terdekat dengan tepat

Langkah ini bertujuan untuk mebantu perawat atau petugas kesehatan


memperoleh informasi atau data klien dan mengefektifkan
rencana/tindakan dengan baik dan cepat.

- Melibatkan keluarga dalam membantu klien lansia mengungkapkan


perasaanya

- Meluangkan kepada keluarga untuk menerangkan tentang sebenarnya


apa yang terjadi pada klien lansia
- Keluarga atau pihak terdekat memberi pujian kepada lansia yang
berusaha untuk menerima kenyataan.

2.8 Penerapan Model Komunikasi Pada Lansia

1. Model Komunikasi Shannon Weaver

Tujuan dari penerapan model tersebut yakni adanya perubahan


perilaku lansia dari penolakan menjadi kooperatif.

Kelebihan: melibatkan anggota keluarga atau orang lain yang


berpengaruh

Kekurangan: memerlukan waktu yang cukup lama karena klien


dalam reaksi penolakan.

2. Model SMCR

Kelebihan: model komunikasi yang relative simple dan akan


efektif bila kondisi klien lansia masih sehat.

Kekurangan: memerlukan proses yang lama dan tergantung dari


kondisi klien lansia

3. Model Leary

Lansia membutuhkan perhatian yang lebih dalam berkomunikasi,


untuk mengungkapkan perasaanya. Diharapkan perawat harus
lebih mendengar apa yang diungkapkan klien lansia.

Kelebihan: hubungan perawat klien terjalin lebih dekat sehingga


masalah lebih bisa terseleseikan.

Kekurangan: perawat lebih dominan dank lien lansia patuh.

4. Model terapeutik

Model ini membantu mendorong melaksanakan komunikasi


dengan empati, menghargai dan harmonis.
Keuntungan: lansia akan lebih faham apa yang dibicarakan oleh
perawat dan kopingnya akan lebih efektif.

Kerugian: kondisi empati kurang cocok diterapkan kepada lansia


yang mengalami reaksi penolakan

5. Model Keyakinan Kesehatan

Menekankan pada persepsi klien untuk mencari sehat dan menjauhi


sakit dan merasakan ancaman/manfaat untuk mempertahankan
kesehatannya.

Kelebihan:

Kekurangan: lansia yang mengetahui adanya ancaman kesehatan


akan dapat bermanfaat sebagai perlindungan dalam tindakan
pencegahan penyakit.

Kekurangan: tidak semua lansia merasakan adanya ancaman


kesehatan.

2.9 Tahap Komunikasi pada Lansia

Menurut Nugroho (2012), hubungan terapeutik memiliki tahapan yang


meliputi tahap prainteraksi, pengenalan, tahap kerja, dan tahapo terminal.

1. Tahap I (prainteraksi)

Pada tahap ini perawat atau pemberi asuhan sudah memilki beberapa
informasi tentang klien lansia seperti nama, alamat, umur, jenis
kelamin, riwayat kesehatan, dan lain-lain.

2. Tahap II (Pengenalan)

Perawat dank lien lansia saling menganal dan mencoba menumbuhkan


rasa percaya satu sama lain. Pada tahap ini, perawat mengusahakan
untuk membuat klien lansia merasa nyaman dengan beberapa interaksi
sosial.
3. Tahap III (Kerja)

Pada tahap ini lansia merasa kehilangan dalam kemandiriannya akibat


faktor usia, penyakit neurologis, adanya katarak, penurunan tingkat
aktivitas lfisik.

4. Tahap IV (Terminal)

Menurut Nugroho (2012), tahap ini dapat disertai bermacam macam


perasaan. Lansia merasa kehilangan sesuatu, merasa bimbang tentang
kemampuannya tanpa bantuan dari perawat. Pada tahap ini perawat
perlu mengungkapkan kesediannya membantu bila diperlukan agar
klien merasa aman.

2.10 Stattegi Komunikasi dengan Lansia yang Mengalami Penurunan


Fungsi

Menurut Muhith (2016), lansia sering mengalami gangguan komunikasi


karena mengalami penurunan penglihatan, pendengaran, wicara, dan
persepsi. Ada 2 tingkat gangguan komunikasi, yaitu gaungguan pad sistem
penginderaan dan tingkat integratife. Gangguan pendinderaan meliputi
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran atau gangguan wicara.
Sedangkan gangguan yang melibatkan sistem integrative yang lebih tinggi
adalah gangguan mental, gangguan maturitas piker atau gangguan
kesadaran.

1. Lansia dengan Gangguan Penglihatan

Gangguan penglihatan pada lansia dapat tejadi, baik karena kerusakan


organ misalnya kornea, lensa mata, kekeruhan lensa mata (katarak)
atau kerusakan syaraf. Berikut ini teknik komunikasi yang perlu
diperhatikan selam berkomunikasi dengan lansia mengalami gangguan
penglihatan:
a. Perawat sedapat mungkin mengambil posisi yang dapat dilihat oleh
klien lansia, bila ia mengalami kebutaan parsial atau memberi tahu
secar verbal keberadaan atau kehadirannya.

b. Perawat menyebutkan identitasnya dan menyebutkan nama serta


perannya

c. Perawat berbicara dengan menggunakan nada suara normal karena


kondisi lansia tidak memungkinkan menerima pesan nonverbal
secara visual

d. Nada suara perawat memegang peranan besar dan bermakna bagi


lansia

e. Jelaskan alasan perawat menyentuh sebelum melakukan sentuhan


pada lansia.

f. Ketika perawat akan meninggalkan ruangan atau hendak memutus


komunikasi atau pembicaraan, informasikan kepada lansia.

g. Orientasi lansia pada suara-suara yang terdengar disekitarnya.

h. Orientasikan lansia pada lingkungan bola dipindahkan ke


lingkungan yang asing bagi lansia.

2. Lansia dengan Gangguan Pendengaran

a. Orientasikan kehadiran perawat dengan menyentuh lansia atau


meposisikan diri didepannya.

b. Usahakan menggunakan Bahasa yang sederhana dan berbicara


dengan perlahan untuk memudahkan lansia membaca gerak bibir
perawat

c. Usahakan berbicara dengan posisi tepat didepan lansia dan


mempertahankan sikp tubuh serta mimic wajah yang lazim
d. Jangan melakukan pembicaraan ketika perawat sedang menguyah
sesuatu (permen)

e. Gunakan Bahasa pantonim bila memungkinkan dengan gerakan


sederhana dan perlahan

f. Gunakan Bahasa isyarat atau Bahasa jari bila diperlukan dan


perawat mampu melakukannya.

g. Apabila ada sesuatu yang sulit untuk dikomunikasikan, sampaikan


pesan dalam bentuk tulisan atau gambar

3. Lansia dengan Gangguan Wicara

a. Perawat memperhatikan mimik dan gerak bibir lansia

b. Usahakan memperjelas hal yang disampaikan dengan mengulang


kembali kata-kata yang diucapkan lansia

c. Mengendalikan pembicaraan supaya tidak membahas terlalu


banyak topic

d. Menegndalikan pembicaraan sehingga menjadi rileks dan perlahan

e. Bila perlu, gunakan Bahasa tulisan dan symbol

f. Bila memungkinkan, hadirkan orang yang bisa berkomunikasi lisan


dengan lansia untuk mediator komunikasi.

4. Lansia yang Tidak sadar

Ketidaksadaran mengakibatkan fungsi sensorik dan motoric lansia


mengalami penurunan sehingga sering kali stimulus dari luar tidak
dapat diterima dan lansia tidak dapat merespons kembali stimulus
tersebut. Keadaan tidak sadar dapat terjadi akibat gangguan organic
pada otak, trauma otak berat, yang terkait dengan penyakit tertentu
(koma diabetikum). Sering kali timbul pertanyaan tentang perlu atau
tidaknya perawat berkomunikasi dengan lansia yang mengalami
gangguan kesadaran ini. Bagaimanapun, secara etis penghargaan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mengharuskan
penerapan komunikasi pada lansia yang tidak sadar. Pada sat
berkomunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan kesadaran,
hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Perawat harus berhati-hati ketika melakukan pembicaraan verbal


dekat dengan lansia karena ada keyakinan bahwa organ
pendengaran merupakan organ pendengaran merupakan organ
terakhir yang mengalami penurunan kemampuan menerima
rangsangan pada individu yang tidak sadar. Individu yang tidak
sadar sering kali dapat mendengar suara dari lingkungannya
walaupun klien tersebut tidak mampu merespon.

b. Perawat harus mengambil asumsi bahwa lansia dapat mendengar


pembicaraan kita. Usahakan mengucapkan kata dengan
menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan yang
kita sampaikan didekat lansia

c. Perawat harus memberikan ungkapan verbal sebelum menyentuh


lansia. Sentuhan diyakini menjadi salah satu bentuk komunikasi
yang sangat efektif pada lansia dengan penurunan kesadaran.

d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk


membantu lansia berfokus pada komunikasi yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Ivones, Jeanny. 2010. Komunikasi Pada Lansia. Volume 1. No. 2.


https://www.Scribd.com/doc//jurnal-lansia-I), diakses 15 oktober 2017

Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi 1, EGC,
Jakarata.

Maryam, R. Siti, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:
Salemba Medika.

Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi Dalam Pelayanan.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Muhith, A dan Sandu, S. 2016. Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:


CV Andi Ofset.

You might also like