Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
KELOMPOK C03:
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2019
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
maka kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas FGD pada skenario ini yang berjudul
“Difteri Pada Anak”. Penulisan laporan ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan
hasil diskusi yang telah dilakukan sebelumnya.
Dalam Penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak – pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan
ini, khususnya kepada :Pembimbing tutor kelompok FGD yang telah membimbing selama
proses diskusi berjalan, Keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan
serta pengertian yang besar kepada para penulis, dan Rekan-rekan sekelompok kerja
kelompok, serta Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan semua semua orang yang memanfaatkannya.
Tim Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan
daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faring otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan ditandai rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo
(Kadun, 2006)
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type varian dari Corynebacterium
diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram
positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak. Corynebacterium
diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini
terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau
orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan
toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang
saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering
kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk
membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat
dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf China. Kuman
tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu
(yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh C. diphtheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang
sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan
mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan
mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo
maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada
marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji
Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein
dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag,
toksin hanya biasa diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene.
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi
radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih
sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan
(psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang
kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala
yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami
hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan
miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada
otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,
malahan dapat timbul nefritis interstisial.
Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringea karena terjadi
penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan
terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi
yang seriing pada bronco pneumoni.
Gambar alur penyebaran penyakit difteria.
Klasifikasi
d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip
sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun
tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung
tidak terasa apa apa.
2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa
saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya
bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier
kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
PROSES MASUKAN
NNN
Rendahnya pendidikan
formal tingkat
Obat-obatan untuk pendidikan masyarakat
penangan penyakit
Fasilitas sanitasi
belum cukup Rendahnya
yang tidak
pengetahuan
memadai
kesehatan pada
anak
ASCARIASIS
Daerah Desa
Asih Pengolahan makanan yang
Tingkat
merupakan kurang bersih/higienis
prosedur
wilayah
Sanitasi
terpencil
yang rendah
LINGKUNGAN METHOD
Analisis Fish Bone
MAN
METHOD
1. Rendahnya tingkat Sanitasi terlihat dari adanya Open defecation ( BAB di tempat
terbuka ) yang sudah menjadi kebiasaan warga masyarakat setempat, katrena baru
61% KK yang memiliki Jamban keluarga dan tingkat penggunaan tempat sampah
juga rendah, hal ini terlihat dari bagaimana kondisi pengelolaan sampah di desa
setempat.
2. Pengolahan mkanan yang kurang higienis yang dapat meningkatkan resiko
terjangkitnya ascariasis dikarenakan, dalam memasak kurang matang, kurang bersih
ataupun sudah terkontaminasi, semua dapat berasal dari jajan anak-anak yang
sembaranagan.
MATERIAL
1. Fasilitas yang tidak memadai, tempat penyimpanan sampah baru dimiliki oleh 63%
KK itupun sebagian besar tidak dilengkapi tutup dan masih banyak warga yang belum
memiliki jamban. Kesedian air bersih pada warga belum sepenuhnya merata di desa
sehingga secar tidak langsung sanitasi dasar pada daerah tersebut menjadi rendah.
2. Obat-obat belum tercuki untuk mengobati Ascariasis ini terlihat dari tingkat
penyebaran ascariasis pada kalangan anak-anak.
parameter MASALAH
LINGKUNGAN
1. Letak geografis Desa Asih, merupakan daerah yang terpencil sehingga untuk
kebutuhan seperti air bersih masih tergolong minim. Terlebih sumur hanya dimiliki
beberapa warga saja.
Penjelasan :
1. Prevalence : Berapa Prevalensi Penyakit Ascariasis yang diturunkan pada Anak didesa Asih
diakibatkan memprioritaskan masalah ini.
2. Severity : berapa besar keganasan penyakit sebagai dampak yang ditimpulkan apabila
memilih dan memprioritaskan masalah ini
3. Rate % incrase : seberpa % besar laju dampak yang timbul apabila memilih masalah ini.
4. Degree of unmeet need : seberapa kebutuhan yang tak terduga timbul apabila memilih
masalah ini.
5. Social benefit : seberapa besar keuntungan masyarakat apabila memilih masalah ini
6. Publik concern: seberapa besar dukungan masyarakat apabila memilih masalah ini
7. Technical fesibility study: seberapa besar secara tekik kemungkinan untuk dapat
dilaksanakan apabila memilih masalah ini
8. Resources availability : berapa besar keuntungan yang diperolehh (oleh manajemen) apabila
memilih masalah ini
2.6 Tabel scoring prioritas pemecahan masalah pada Anak-anak di Sekolah Dasar Negeri
di desa Asih di wilayah Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
M I V C P=
𝐶
1 Pemantauan terhadap makanan yang beredar 3 4 4 2 24
pada anak
2.7 PEMBAHASAN
Ascaris lumbricoides adalah cacing yang pertama kali diidentifikasi dan diklasifikasi
oleh Linnaeus melalui observasi dan studinya antara tahun 1730-1750an. Dari hasil
observasinya, Linnaeus pergi ke beberapa tempat di dunia untuk mengonfirmasi wilayah
penyebaran parasit tersebut. Linnaeus diberi kesempatan untuk menamai parasit tersebut.
Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperkirakan prevalensi di
dunia 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi
terbesar pada daerah tropis dan di negara berkembang dimana sering terjadi kontaminasi
tanah oleh tinja manusia atau penggunaan tinja sebagai pupuk (Soegijanto, 2005).
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda kedua yang paling banyak menginfeksi manusia.
Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai Lumbricus teres dan mungkin telah
menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini banyak terdapat di daerah yang beriklim
panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di daerah beriklim sedang. Askariasis adalah
penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah
penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit.
Penyebab utama dari kebanyakan infeksi oleh parasit ini adalah penggunaan kotoran manusia
untuk menyuburkan tanah lahan pertanian atau perkebunan dimana tanah tersebut digunakan
untuk menumbuhkan tanaman sebagai bahan makanan. Cacing dewasa hidup di dalam usus
besar dan telur yang dihasilkan betinanya terbawa oleh material feses. Pada material tersebut
larva cacing dalam telur berkembang mencapai stadium infektif di dalam tanah. Makanan
yang berasal dari areal agrikultur dimana tanahnya telah terkontaminasi oleh feses yang berisi
telur infektif, dapat mentransmisikan telur secara langsung ke manusia. Makanan yang
terkontaminasi dengan telur infektif dimakan oleh manusia dan larva tersebut keluar dari telur
di dalam usus.
1. Pencegahan Primer
Melakukan promosi kesehatan yaitu pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan tentang
sanitasi yang baik, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti tidak menggunakan tinja
sebagai pupuk tanaman, sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun, sayuran segar (mentah) yang akan
dimakan sebagai lalapan, harus dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat karena telur
cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun. Juga peyuluhan tentang
pentingnya buang air besar di jamban, tidak di kali atau di kebun untuk menghindari
penyebaran dan penyakit ini.
Proteksi spesifik dengan melakukan pengobatan massal 6 bulan sekali di daerah endemik atau
di daerah yang rawan askariasis.
2. Pencegahan Sekunder
Deteksi dini terhadap orang yang mempunyai risiko terkena penyakit askariasis ini.
Mengobati dengan tepat penderita askariasis
3. Pencegahan Tersier
Membatasi ketidakmampuan penderita askariasis dengan memberikan pengobatan pirantel
pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal, Mebendazol 500 mg dosis tunggal (sekali saja) atau 100
mg 2 x sehari selama tiga hari berturut-turut, Albendazol 400 mg dosis tunggal (sekali saja),
tetapi tidak boleh digunakan selama hamil atau melakukan operasi pembedahan apabila
pengobatan secara oral sudah tidak memungkinkan lagi.
BAB III
RENCANA PROGRAM
Contoh Higiene dan sanitasi tindakan yang dapat di terapkan dalam masyarakat adalah :
2. Pengobatan
Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan benzimidazol pada anak usia
sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga cacing-cacing tersebut berada pada kondisi
yang tidak dapat menimbulkan penyakit (Bundy dkk, 2002). Keuntungan pemberantasan
kecacingan secara berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :
Pada anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan berdasarkan
indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus, malnutrisi, perawakan yang
pendek dan meningkatkan selera makan (Stephensons dkk, 1989; Stephensons dkk, 1993;
Stoltzfus dkk, 1997) .
Berbagai jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin, levamisol, pirantel
pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang terakhir ini adalah albendazol. Pada
prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat yang dapat bekerja terhadap berbagai stadium
cacing (yaitu telur, larva, dan dewasa), mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis
nematoda usus dan efek samping minimal.
3.2 Rencana Kegiatan (Plan Of Activity/I’OA)
No KEGIATAN SASA TARGET VOLUME RINCIAN LOKASI TENAGA JADWAL KEBUTUHAN INDIKATOR
. RAN KEGIATAN KEGIATAN KEGIATA PELAKSANA PELAKSANA
N N
1 penyuluhan Seluruh Seluruh Rutin 3 bulan 1. Menjelaskan Balai Desa Tenaga Kesehatan Setiap awal 1. Tenaga Menurunkan
kesehatan masyar masyarakat sekali hubungan antara Asih bulan dalam Kesehatan angka
tentang akat di Desa ascariasis dan kurun waktu 2. Peserta prevalensi pada
kecacingan desa Asih yang sanitasi 3 bulan 3. Dana warga desa asih
dan sanitasi Asih beresiko 2. Memberikan
lingkungan terkena informasi cara
ascariasis merawat sumber
sanitasi.
2 menggalak Seluruh Seluruh Rutin 1 minggu 1. Memberikan Sekolah Tenaga Kesehatan Tahun ajaran 1. Tenaga Dengan
kan anak- siswa sekali informasi dasar di dan Guru baru kesehatan program UKS
program anak kesehatan Desa Asih 2. Peserta dapat
UKS Sekolah 2. Melatih siswa 3. Guru meningkatkan
Dasar untuk lebih 4. Dana pengetahuan
Desa terampil dalam 5. Alat- alat dan
Asih kesehatan kesehatan keterampilan
(misalnya dokter mengenai
kecil) kesehatan
3 meningkatk Seluruh Seluruh setiap hari 1. Memberi Desa Asih Tenaga Kesehatan - 1. Tenaga Megurangi
an perilaku masyar warga pengetahuan/infor kesehatan angka
higiene akat di Desa Asih masi tentang 2. Dana prevalensi
perorangan desa yang Higiene Mengolah warga DesaAsih
Asih beresiko Makanan
terkena 2. Meningkatkan
Ascariasis kesadaran
masyarakat
pentingnya
perilaku higene
4 pembuatan Seluruh Seluruh 1. Membangun Desa Asih Seluruh warga Bulan 1. Dana Di harapkan
MCK masyar masyarakat 1 tahun saluran air bersih Desa Asih Agustus 2. Sarana dapat
(Mandi, akat di yang sudah 2. Membangun toilet bangunan meningkatkan
Cuci, Desa terjangkit 3. Membangun sarana 3. Sarana kebersihan
Kakus) Asih maupun kebersihan lainnya kebersihan sehingga dapat
yang sehat yang yang layak
4. SDM menurunkan
dan teratur. beresiko digunakan
terjangkit angka
ascariasis prevalensi
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan ialah ascariasis yang terjadi pada anak
dapat diatasi dengan cara pembenahan kebersihan makanan yang dikonsumsi oleh anak-
anak baik mulai dari proses pemilihan bahan makanan sampai pembuatannya disamping
itu juga anak-anak diberikan contoh bagaimana cara menjaga kebersihan tangan sebelum
dan sesudah makanan. Selain itu yang terpenting juga ialah memantau kebersihan jajanan
yang dikonsumsi oleh anak-anak saat bersekolah.
Saran
Saran yang dapat kami berikan ialah merealisasikan segala program untuk mengurangi
atau bahkan menghapus kasus ascariasis yang terjadi pada anak-anak. Serta mengetahui
apa saja penyebab ascariasis terjadi pada anak-anak,dan faktor gaya hidup yang ada pada
anak-anak
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2002. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta :Percetakan Info Medika Jakarta