You are on page 1of 29

FOCUS GROUP DISCUSSION

Difteri pada Anak

Disusun oleh:

KELOMPOK C03:

1. Tumade, Ancilla Ekarita S 15700135


2. Komang Ayu Sri Wahyuni 15700137
3. Titan Dhea Anggraini 15700139
4. Moh. Rizky Wardany 15700141
5. Maria Patricia Marisstella 15700143
6. Muhammad Sidik Sudiro 15700145
7. Made Willyanata Cipta S J 15700147
8. I. Dw. Pt. Gd Ananta W B 15700149
9. Febby Yesita Kumila 15700151
10. I Putu Agus Aris WK 15700153
11. R. Abyseka Prayogo 15700155
12. Brahmanda Daiva 15700157
13. Nur Fitri 15700159
Pembimbing Tutor : Prof DR. Hj. Rika S, dr.,

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TAHUN 2019
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
maka kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas FGD pada skenario ini yang berjudul
“Difteri Pada Anak”. Penulisan laporan ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan
hasil diskusi yang telah dilakukan sebelumnya.

Dalam Penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak – pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan
ini, khususnya kepada :Pembimbing tutor kelompok FGD yang telah membimbing selama
proses diskusi berjalan, Keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan
serta pengertian yang besar kepada para penulis, dan Rekan-rekan sekelompok kerja
kelompok, serta Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan semua semua orang yang memanfaatkannya.

Surabaya, 27 Aprl 2016

Tim Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul
terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis,
Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak
atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang
dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan
drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Difteri pada tahun 2010
sebanyak 3 orang penderita yang tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak
ditemukan adanya kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak ditemukan adanya
kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun 2012 sebanyak 7 kasus diantaranya
terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri

Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri


BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
2.1 SKENARIO
Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat
yaitu di Kabupaten Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal 10
Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil survelans,
didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena ada
penolakan dari orang tua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada nak
usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga tetap waspada karena difteri bisa
terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.
Berdasarkan hasil penyelidikan diketahui bahwa tingkat pendidikan orangtua
penderita difteri bukan hanya yang berpendidikan rendah (SD dan SMP). Tetapi ada
bebrapa juga yang tingkat pendidikan SMA dan bahkan perguruan tinggi. Bila
dipersentasikan 60% penderita adalah dari orangtua berpendidikan rendah dan 40%
berpendidikan tinggi. Hasil penyelidikan juga menunjukkan bahwa sebanyak 20%
anak usia 6-12 tahun belum pernah mendapat imunisasi DPT, dan 15% anak usia
SMP tidak pernah imunisasi.
Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang
cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya
partisipasi, geografis yang sulit. Untuk menanggulangi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat telah melakukan kegiatan antara
lain :
a. Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis)
pada kontak erat dan carier (orang yang mengandung kuman tapi tidak
memiliki gejala klinis difteri).
b. Penguatan imunisasi dasar pada bayi imunisasi lanjutan pada batita dan anak
sekolah dasar.
c. Mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata diseluruh
wilayah.
d. Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk
menjaga mutu vaksin.

Berdasarkan skenario, sebagai tenaga kesehatan kita memiliki kewajiban


untuk melakukan upaya deteksi dini dan pencegahan terhadap wabah difteri
salah satunya dengan cara melakukan KIE (Komunikasi, Informasi dan
Edukasi) pada masyarakat. Informasi apa saja yang perlu disampaikan pada
masyarakat untuk mencegah terjadinya difteri? Bagaimana cara / metode
memberikan informasi yang tepat pada masyarakat agar bersedia melakukan
imunisasi?
2.1.1 Learning Objective
Mahasiswa mampu menjelaskan:
a. Gambaran umum tentang difteri serta pencegahan
b. Analisis sasaran untuk melakukan KIE
c. Membuat metode dan desain media untuk KIE pada masyarakat berdasarkan
sasaran kelompok.

2.2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh
bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan
daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faring otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan ditandai rongga hidung tersumbat dan terjadi
ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah
gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat
dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo
(Kadun, 2006)

2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type varian dari Corynebacterium
diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram
positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak. Corynebacterium
diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini
terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau
orang normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan
toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang
saluran pernafasan, terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering
kali diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau penisilin untuk
membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi
dengan vaksin DPT.
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat
dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf China. Kuman
tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu
(yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh C. diphtheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang
sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna
metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,
glukosa, maltosa atau sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis, intermedius dan
mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang
bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan
mengapa pada seorang pasien biasa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae.
Ciri khas C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo
maupun in-vitro, toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada
marmut (uji kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji
Elek) yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu protein
dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen
yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu
strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag,
toksin hanya biasa diproduksi oleh C. diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene.
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi
radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih
sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan
(psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang
kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala
yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami
hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan
miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada
otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal,
malahan dapat timbul nefritis interstisial.
Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringea karena terjadi
penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan
terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi
yang seriing pada bronco pneumoni.
Gambar alur penyebaran penyakit difteria.

Morfologi Corynebacterium diphtheria


 Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak berspora, tidak
berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di salah satu atau kedua ujung badan
bacteri.
 Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau coklat muda
sedangkan granulanya berwarna biru violet ( meta chromatis ).
 Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari pasien, letanya
bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan yang jarinya terbuka atau sering di
kenal sebagian Susunan sejajar / paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan
cina

Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak


berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae
bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob.
Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau
perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik,
sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora,
C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun,
kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan
tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti ”gada”. Di dalam
batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula yang
dapat diwarnai dengan jelas dengan zat warna anilin (granula metakromatik) yang
menyebabkan batang tersebut berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan
yang diwarnai cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu
a. Gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling
besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit, pada area
sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s
chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. Mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlahgranula metakromatik, batasan sel tersusun huruf V dan W, mirip seperti
karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s
chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam.
batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap, tidak
adanya granula metakromatik. Penyakit : pertengahan pada kaldu akan membentuk
endapan.
Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia
seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat
dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas
dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing.
Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius
memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki waktu generasi dari
sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang
jaringan.

Klasifikasi

Gambar Bakteri Corynebacterium diphtheria


Klasifikasi
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : C. diphtheria

2.3 Cara Penularan


Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan carier . Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu
sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari
penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksiradang lokal ,
dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel
epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembran).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan
miyocarditis. Penderita yang paling berat didapatkan pada
difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).

Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:


a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang
rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejalakomplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis (kelemahan anggota gerak) dan
nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien:
a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati
akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.

Gambar Difteri Hidung

b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut


tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat,tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor didaerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).

Gambar Difteri Faring


c. Difteri laring (l a r y n g o trachealdiphtheriae ) dengan gejala tidak
bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius,
sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini
merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal
nafas.

Gambar Difteri Laring

d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip
sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun
tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung
tidak terasa apa apa.

Gambar Difteri Kutaneus


Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas C.
diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis.
Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring
yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating
untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi
38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteria.
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan
lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan.
Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat
diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat,
denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10
hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta
kanal auditori eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh


toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah
miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan
dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat
fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak,
otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah
minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi
jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -
10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus
untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa
saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan biasanya
bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan
kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier
kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu
ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat
kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

3. Tahap Penyakit lanjut


Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah. Membran
inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat
saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive,
secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membrana mukosa
atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin, yaitu
0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal, yang menyebabkan
timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit masuk kedaerah tersebut bersamaan
dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak
membentuk membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan pada
daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab terhadap terjadinya
penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu,
dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar exudate". Karena membran terdiri dari
jaringan yang mati, atau sel yang rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila
membran yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin
ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana dia menggunakan efeknya
pada metabolisme seluler. Toxin terlihat terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang
disebut "B" fragment, dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainnya,"A" fragment
kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa
protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada miokardium,
toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria, dengan fatty degeneration,
oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan
setempat akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada keduanya, yaitu
sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering terlibat dan lebih berat.

2.3 DIAGRAM FISHBONE

PROSES MASUKAN
NNN
Rendahnya pendidikan
formal tingkat
Obat-obatan untuk pendidikan masyarakat
penangan penyakit
Fasilitas sanitasi
belum cukup Rendahnya
yang tidak
pengetahuan
memadai
kesehatan pada
anak

ASCARIASIS

Daerah Desa
Asih Pengolahan makanan yang
Tingkat
merupakan kurang bersih/higienis
prosedur
wilayah
Sanitasi
terpencil
yang rendah

LINGKUNGAN METHOD
Analisis Fish Bone
MAN

1. Rendahnya pendidikan formal masyarakat yang merupakan sebagian besar adalah


tamatan sekolah dasar atau sekolah lanjutan pertama dan hanya beberapa yang ada
meneruskan hingga perguruan tinggi
2. Kurangnya pengetahuan kesehatan pada kalangan anak-anak yang sebagai factor
besar yang menimbulkan terjangkitnya ascariasis, karena kurang diedukasi dalam pola
hidup sehat, mulai dari car mencuci tangan, BAB dan menjaga lingkungan sekitar
tempat tinggal.

METHOD
1. Rendahnya tingkat Sanitasi terlihat dari adanya Open defecation ( BAB di tempat
terbuka ) yang sudah menjadi kebiasaan warga masyarakat setempat, katrena baru
61% KK yang memiliki Jamban keluarga dan tingkat penggunaan tempat sampah
juga rendah, hal ini terlihat dari bagaimana kondisi pengelolaan sampah di desa
setempat.
2. Pengolahan mkanan yang kurang higienis yang dapat meningkatkan resiko
terjangkitnya ascariasis dikarenakan, dalam memasak kurang matang, kurang bersih
ataupun sudah terkontaminasi, semua dapat berasal dari jajan anak-anak yang
sembaranagan.

MATERIAL

1. Fasilitas yang tidak memadai, tempat penyimpanan sampah baru dimiliki oleh 63%
KK itupun sebagian besar tidak dilengkapi tutup dan masih banyak warga yang belum
memiliki jamban. Kesedian air bersih pada warga belum sepenuhnya merata di desa
sehingga secar tidak langsung sanitasi dasar pada daerah tersebut menjadi rendah.
2. Obat-obat belum tercuki untuk mengobati Ascariasis ini terlihat dari tingkat
penyebaran ascariasis pada kalangan anak-anak.

parameter MASALAH

LINGKUNGAN

1. Letak geografis Desa Asih, merupakan daerah yang terpencil sehingga untuk
kebutuhan seperti air bersih masih tergolong minim. Terlebih sumur hanya dimiliki
beberapa warga saja.

2.5 TABEL SCORING MENENTUKAN MASALAH


Prosedur kurangnya Tidak adanya Tidak adanya tidak adanya
sanitasi yang pengetahuan fasilitas pemantauan obat yang
rendah kesehatan sanitasi yang makanan sehat memadai untuk
pada anak memadai anak
1. Prevalence 3 3 4 3 3
2. Serverity 1 1 2 2 2
3. Rate % incarse 3 2 3 2 2
4. Degree of 3 2 4 2 2
unmeet need 3 4 4 3 3
5. Social 3 4 4 3 3
No benefit 4
Alternatif Jalan4Keluar 3
Efektivitas
4
Efisiensi3 Hasil
6. Public concern
3 3 1 3 1
7. Technical
feasibility study
8. Resource
Availlabilty
JUMLAH 23 23 25 22 19
RERATA (sesuai 2.87 2.87 3.12 2.75 2.37
jumlah parameter)

Penjelasan :

1. Prevalence : Berapa Prevalensi Penyakit Ascariasis yang diturunkan pada Anak didesa Asih
diakibatkan memprioritaskan masalah ini.
2. Severity : berapa besar keganasan penyakit sebagai dampak yang ditimpulkan apabila
memilih dan memprioritaskan masalah ini
3. Rate % incrase : seberpa % besar laju dampak yang timbul apabila memilih masalah ini.
4. Degree of unmeet need : seberapa kebutuhan yang tak terduga timbul apabila memilih
masalah ini.
5. Social benefit : seberapa besar keuntungan masyarakat apabila memilih masalah ini
6. Publik concern: seberapa besar dukungan masyarakat apabila memilih masalah ini
7. Technical fesibility study: seberapa besar secara tekik kemungkinan untuk dapat
dilaksanakan apabila memilih masalah ini
8. Resources availability : berapa besar keuntungan yang diperolehh (oleh manajemen) apabila
memilih masalah ini

2.6 Tabel scoring prioritas pemecahan masalah pada Anak-anak di Sekolah Dasar Negeri
di desa Asih di wilayah Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
M I V C P=
𝐶
1 Pemantauan terhadap makanan yang beredar 3 4 4 2 24
pada anak

2 Pelatihan pengolahan sanitasi 3 4 3 2 18

3 Perbaikan dan pembangunan sanitasi dasar 4 3 4 3 16

4 Edukasi kesehatan dan sanitasi kepada anak 3 3 3 3 9

5. Pemberian obat cacing pada anak 2 4 3 3 8

P : Prioritas jalan keluar


M : Maknitude, besarnya masalah yang bias diatasi apabila solusi ini dilaksanakan
(turunnya prevalensi dan besarnya masalah ini)
I : Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.
V : Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, biaya yang diperlukan

2.7 PEMBAHASAN
Ascaris lumbricoides adalah cacing yang pertama kali diidentifikasi dan diklasifikasi
oleh Linnaeus melalui observasi dan studinya antara tahun 1730-1750an. Dari hasil
observasinya, Linnaeus pergi ke beberapa tempat di dunia untuk mengonfirmasi wilayah
penyebaran parasit tersebut. Linnaeus diberi kesempatan untuk menamai parasit tersebut.
Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperkirakan prevalensi di
dunia 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi
terbesar pada daerah tropis dan di negara berkembang dimana sering terjadi kontaminasi
tanah oleh tinja manusia atau penggunaan tinja sebagai pupuk (Soegijanto, 2005).
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda kedua yang paling banyak menginfeksi manusia.
Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai Lumbricus teres dan mungkin telah
menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini banyak terdapat di daerah yang beriklim
panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di daerah beriklim sedang. Askariasis adalah
penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah
penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit.
Penyebab utama dari kebanyakan infeksi oleh parasit ini adalah penggunaan kotoran manusia
untuk menyuburkan tanah lahan pertanian atau perkebunan dimana tanah tersebut digunakan
untuk menumbuhkan tanaman sebagai bahan makanan. Cacing dewasa hidup di dalam usus
besar dan telur yang dihasilkan betinanya terbawa oleh material feses. Pada material tersebut
larva cacing dalam telur berkembang mencapai stadium infektif di dalam tanah. Makanan
yang berasal dari areal agrikultur dimana tanahnya telah terkontaminasi oleh feses yang berisi
telur infektif, dapat mentransmisikan telur secara langsung ke manusia. Makanan yang
terkontaminasi dengan telur infektif dimakan oleh manusia dan larva tersebut keluar dari telur
di dalam usus.

1. Pencegahan Primer
Melakukan promosi kesehatan yaitu pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan tentang
sanitasi yang baik, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti tidak menggunakan tinja
sebagai pupuk tanaman, sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan sabun, sayuran segar (mentah) yang akan
dimakan sebagai lalapan, harus dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat karena telur
cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun-tahun. Juga peyuluhan tentang
pentingnya buang air besar di jamban, tidak di kali atau di kebun untuk menghindari
penyebaran dan penyakit ini.
Proteksi spesifik dengan melakukan pengobatan massal 6 bulan sekali di daerah endemik atau
di daerah yang rawan askariasis.
2. Pencegahan Sekunder
Deteksi dini terhadap orang yang mempunyai risiko terkena penyakit askariasis ini.
Mengobati dengan tepat penderita askariasis
3. Pencegahan Tersier
Membatasi ketidakmampuan penderita askariasis dengan memberikan pengobatan pirantel
pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal, Mebendazol 500 mg dosis tunggal (sekali saja) atau 100
mg 2 x sehari selama tiga hari berturut-turut, Albendazol 400 mg dosis tunggal (sekali saja),
tetapi tidak boleh digunakan selama hamil atau melakukan operasi pembedahan apabila
pengobatan secara oral sudah tidak memungkinkan lagi.
BAB III
RENCANA PROGRAM

3.1 RENCANA PROGRAM


Strategi pemberantasan cacingan di masyarakat tergantung bagaimana Intervensi yang
dilakukan pada salah satu siklus hidup parasit, akan mempengaruhi transmisi parasit tersebut.
Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi soil-
transmitted helminths berhubungan dengan higiene dan sanitasi serta sikap masyarakat.
Penggunaan obat-obat antelmintik saat ini tidak hanya terbatas pada pengobatan infeksi soil-
transmitted helminths yang simptomatis saja, tetapi juga dipakai dalam skala besar guna
mengurangi angka morbiditas pada masyarakat di daerah endemis. Banyak sekali bukti yang
menunjukkankan bahwa infeksi kronis soil-transmitted helminths dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan, status gizi yang buruk dan daya kognitif yang rendah pada anak

1. Higiene dan sanitasi


Penelitian yang dilakukan oleh Ismid, dkk (1988) dan Margono, dkk (1991)

mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara infeksi soil-transmitted helminths


(infeksi A. lumbricoides) pada anak dan kebersihan pribadi serta sanitasi lingkungan.
Soeripto (1986) pada penelitiannya membuktikan bahwa pembinaan air bersih, jamban
keluarga dan kesehatan lingkungan, sesudah pengobatan cacing secara massal pada penduduk
dapat mengurangi penularan dan menurunkan prevalensi infeksi soil-transmitted helminths di
pedesaan, terutama pada anak usia kurang dari 10 tahun.

Kebersihan lingkungan dipengaruhi oleh besarnya kontaminasi tanah yang terjadi.


Kontaminasi tanah dengan telur cacing merupakan indikator keberhasilan program
kebersihan di masyarakat (Schulz dan kroeger, 1992). Menurut O’lorcain dan Holland (2000)
untuk jangka panjang, perbaikan higiene dan sanitasi merupakan cara yang tepat untuk
mengurangi infeksi soil-transmitted helminths.

Contoh Higiene dan sanitasi tindakan yang dapat di terapkan dalam masyarakat adalah :

a. mencuci tangan sebelum makan


b. Mencuci tangan setelah melakukan maintenance and repair pada PC dan
printer
c. Pemeriksaan kesehatan pada tenaga kerja

2. Pengobatan

Pengobatan secara berkala dengan obat antelmintik golongan benzimidazol pada anak usia
sekolah dasar dapat mengurangi dan menjaga cacing-cacing tersebut berada pada kondisi
yang tidak dapat menimbulkan penyakit (Bundy dkk, 2002). Keuntungan pemberantasan
kecacingan secara berkala pada kelompok anak usia sekolah meliputi :

a. Meningkatkan cadangan besi.

b. Meningkatkan pertumbuhan dan kondisi fisik.


c. Meningkatkan daya kognitif dan tingkat kehadiran sekolah.

d. Mengurangi kemungkinan terkena infeksi sekunder.

Pada anak-anak yang lebih muda, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan berdasarkan
indikator nutrisi seperti mengurangi jumlah anak yang kurus, malnutrisi, perawakan yang
pendek dan meningkatkan selera makan (Stephensons dkk, 1989; Stephensons dkk, 1993;
Stoltzfus dkk, 1997) .

Berbagai jenis obat cacing telah dikenal seperti golongan piperazin, levamisol, pirantel
pamoat, oxantel-pirantel pamoat, mebendazol dan yang terakhir ini adalah albendazol. Pada
prinsipnya obat cacing yang baik adalah obat yang dapat bekerja terhadap berbagai stadium
cacing (yaitu telur, larva, dan dewasa), mempunyai efikasi yang baik untuk semua jenis
nematoda usus dan efek samping minimal.
3.2 Rencana Kegiatan (Plan Of Activity/I’OA)
No KEGIATAN SASA TARGET VOLUME RINCIAN LOKASI TENAGA JADWAL KEBUTUHAN INDIKATOR
. RAN KEGIATAN KEGIATAN KEGIATA PELAKSANA PELAKSANA
N N
1 penyuluhan Seluruh Seluruh Rutin 3 bulan 1. Menjelaskan Balai Desa Tenaga Kesehatan Setiap awal 1. Tenaga Menurunkan
kesehatan masyar masyarakat sekali hubungan antara Asih bulan dalam Kesehatan angka
tentang akat di Desa ascariasis dan kurun waktu 2. Peserta prevalensi pada
kecacingan desa Asih yang sanitasi 3 bulan 3. Dana warga desa asih
dan sanitasi Asih beresiko 2. Memberikan
lingkungan terkena informasi cara
ascariasis merawat sumber
sanitasi.

2 menggalak Seluruh Seluruh Rutin 1 minggu 1. Memberikan Sekolah Tenaga Kesehatan Tahun ajaran 1. Tenaga Dengan
kan anak- siswa sekali informasi dasar di dan Guru baru kesehatan program UKS
program anak kesehatan Desa Asih 2. Peserta dapat
UKS Sekolah 2. Melatih siswa 3. Guru meningkatkan
Dasar untuk lebih 4. Dana pengetahuan
Desa terampil dalam 5. Alat- alat dan
Asih kesehatan kesehatan keterampilan
(misalnya dokter mengenai
kecil) kesehatan

3 meningkatk Seluruh Seluruh setiap hari 1. Memberi Desa Asih Tenaga Kesehatan - 1. Tenaga Megurangi
an perilaku masyar warga pengetahuan/infor kesehatan angka
higiene akat di Desa Asih masi tentang 2. Dana prevalensi
perorangan desa yang Higiene Mengolah warga DesaAsih
Asih beresiko Makanan
terkena 2. Meningkatkan
Ascariasis kesadaran
masyarakat
pentingnya
perilaku higene

4 pembuatan Seluruh Seluruh 1. Membangun Desa Asih Seluruh warga Bulan 1. Dana Di harapkan
MCK masyar masyarakat 1 tahun saluran air bersih Desa Asih Agustus 2. Sarana dapat
(Mandi, akat di yang sudah 2. Membangun toilet bangunan meningkatkan
Cuci, Desa terjangkit 3. Membangun sarana 3. Sarana kebersihan
Kakus) Asih maupun kebersihan lainnya kebersihan sehingga dapat
yang sehat yang yang layak
4. SDM menurunkan
dan teratur. beresiko digunakan
terjangkit angka
ascariasis prevalensi
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan ialah ascariasis yang terjadi pada anak
dapat diatasi dengan cara pembenahan kebersihan makanan yang dikonsumsi oleh anak-
anak baik mulai dari proses pemilihan bahan makanan sampai pembuatannya disamping
itu juga anak-anak diberikan contoh bagaimana cara menjaga kebersihan tangan sebelum
dan sesudah makanan. Selain itu yang terpenting juga ialah memantau kebersihan jajanan
yang dikonsumsi oleh anak-anak saat bersekolah.

Saran
Saran yang dapat kami berikan ialah merealisasikan segala program untuk mengurangi
atau bahkan menghapus kasus ascariasis yang terjadi pada anak-anak. Serta mengetahui
apa saja penyebab ascariasis terjadi pada anak-anak,dan faktor gaya hidup yang ada pada
anak-anak
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di Indonesia


Jilid 4. Surabaya: Airlangga University Press

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2002. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2.Jakarta :Percetakan Info Medika Jakarta

Brown, Harold, W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: Gramedia.


Brotowidjoyo, MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: Media Sarana Press.
Faust E.c., Beaver P.C and Jung RC.: Animal Agents and Vector of Human diasease 4th
edition
(Lea & Febiger, Philadelphia, 1975).
Haryanti,E. 1993. Helmitologi Kedokteran. Medan: Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
USU.
Hoeprich, Paul D: Infections Diseases 2nd Edition (Harper and Row, Maryland 1977).
Moersintowarti, B. 1992. “Pengaruh cacingan pada Tumbuh Kemabang Anak”. Makalah
disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan. Fakultas Kedokteran
Unair. Surabaya Viqar Zaman, Loh Ah Keong: Buku Penuntun Parasitologi
Kedokteran. Penerbit Binacipta.
Soedarto, 1995. Helmintologi Kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.

You might also like