You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Matematika adalah ilmu pengetahuan yang abstrak, sehingga untuk

memahaminya diperlukan tingkat kemampuan berpikir yang tinggi. Matematika

merupakan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur dan hubungan-hubungan

yang diatur secara logis sehingga matematika itu berkaitan dengan konsep-konsep

abstrak (Hudojo dalam Subaidi, 2016:44). Salah satu materi yang memiliki tingkat

keabstrakan yang tinggi adalah geometri.

Geometri sebagai salah satu cabang ilmu matematika yang sangat penting

untuk dipelajari karena geometri banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari geometri tersebut, hal ini

disebabkan karena sifat keabstrakannya tinggi. Sejalan dengan Van Hiele

menyatakan bahwa kenaikan dari tingkat yang satu ke tingkat berikutnya lebih

bergantung pada pembelajaran dibandingkan usia maupun kedewasaan secara

fisik (Usiskin dalam Noriza Md., Kartono, Sugianto, 2015:67).

Menurut National Council of Teachers of Mathematics, ada lima standar isi

atau materi yang harus dimiliki oleh seorang siswa, yaitu: (1) Number and

Operation (Operasi Bilangan); (2) Algebra (Aljabar); (3) Geometry (Geometri);

(4) Measurement (Pengukuran); (5) Data Analysis and Probability (Analisis Data

& Probabilitas) (NCTM, 2018). Adapun kemampuan yang harus dimiliki oleh

siswa terhadap materi geometri adalah sebagai berikut : (1) Menganalisis

karakteristik dan sifat bentuk geometris dua dan tiga dimensi dan

mengembangkan argumen matematis tentang hubungan geometri; (2) Tentukan

1
2

lokasi dan jelaskan hubungan spasial menggunakan geometri koordinat dan sistem

representasi lainnya; (3) Terapkan transformasi dan gunakan simetri untuk

menganalisis situasi matematika; (4) Gunakan visualisasi, penalaran spasial, dan

pemodelan geometrik untuk memecahkan masalah (NCTM, 2018).

Kemampuan spasial merupakan satu konsep dalam Berpikir spasial. Linn

dan Petersen (dalam Syahputra, 2017:353) mengelompokkan kemampuan spasial

ke dalam tiga kategori yaitu: (1) Persepsi spasial, (2) rotasi mental, dan (3)

visualisasi spasial. Dipandang dari konteks matematika khususnya geometri

ternyata kemampuan spasial sangat penting untuk ditingkatkan, hal ini mengacu

dari hasil penelitian berikut ini. Dalam National Academy of Science (dalam

Syahputra 2017:353) dikemukakan bahwa setiap siswa harus berusaha

mengembangkan kemampuan dan penginderaan spasialnya yang sangat berguna

dalam memahami relasi dan sifat-sifat dalam geometri untuk memecahkan

masalah matematika dan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa salah satu kemampuan yang harus

dimiliki oleh siswa dalam mempelajari geometri adalah kemampuan spasial.

Kemampuan spasial merupakan satu konsep dalam berpikir spasial. Salah satu

kemampuan spasial adalah konsep abstrak yang mencakup hubungan spasial

(kemampuan untuk mengamati hubungan posisi objek dalam ruang), kerangka

acuan (tanda yang digunakan sebagai patokan untuk menentukan posisi objek di

ruang), hubungan projektif (kemampuan melihat objek dari berbagai macam

sudut pandang), jarak konservasi (kemampuan untuk memperkirakan jarak antara

dua itik), spasial representasi (kemampuan untuk merepresentasikan hubungan

spasial dengan manipulasi kognitif), rotasi mental (membayangkan rotasi benda


3

di ruang angkasa) yang memiliki pengaruh sangat penting dalam kehidupan

sehari-hari terutama dalam pelajaran geometri (Noviani, Syahputra, and Murad,

2017:112).

Kemampuan spasial di dalam pembelajaran matematika sangat penting,

mengingat bahwa banyak siswa menemukan kesulitan untuk memahami obyek

atau gambar bangun geometri, sehingga para guru dituntut untuk memberikan

perhatian yang lebih dari cukup agar kemampuan spasial diajarkan dengan

sungguh-sungguh sesuai dengan amanat kurikulum. Untuk memecahkan soal-soal

dalam dimensi tiga, seseorang harus memiliki kemampuan spasial. Karena dalam

materi dimensi tiga banyak materi-materi soal yang tidak dapat diwujudkan dalam

bentuk atau bangun yang sesungguhnya, sehingga hanya divisualisasikan atau

digambarkan dalam bentuk dimensi dua. Visualisasi dimensi tiga ke dalam bentuk

dimensi dua inilah yang membutuhkan imajinasi dan abstraksi peserta didik,

sehingga sering membingungkan bagi mereka.

Jika dipandang dari konteks kehidupan sehari-hari kemampuan spasial juga

perlu ditingkatkan, hal ini mengacu dari pendapat Barke dan Engida (dalam

Syahputra, 2013:354) yang mengemukakan bahwa kemampuan spasial

merupakan faktor kecerdasan utama yang tidak hanya penting untuk matematika

dan science, tetapi juga perlu untuk keberhasilan dalam banyak profesi. Gadner

(dalam Syahputra, 2013:354) yang pada intinya menulis bahwa anak

membutuhkan kemampuan spasial dalam aktivitas bereksplorasi misalnya ketika

anak melukis, mewarnai, menempel, bermain kertas lipat, dan lain-lain. Seorang

pilot juga sangat membutuhkan kemampuan spasial yang tinggi untuk mengetahui

dengan baik dimana tanah/lapangan selama dia bermanuver. Demikian juga


4

seorang nakoda kapal laut pasti sangat membutuhkan kemampuan spasial yang

tinggi dalam menjalankan tugasnya.

Melihat konteks diatas, bahwa kemampuan spasial berkaitan erat dengan

aktivitas siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian diperlukan adanya

rasa sungguh-sungguh dan ketertarikan terhadap matematika. Dalam matematika,

hal ini disebut disposisi matematis. Disposisi matematis dapat dimaknai sebagai

kesukaan dan apresiasi terhadap matematika, kecenderungan untuk berfikir dan

bertindak dengan positif termasuk kepercayaan terhadap diri sendiri, ketekunan

serta antusias dalam belajar, gigih dalam menghadapi permasalahan, fleksibel,

mau berbagi dengan orang Iain, serta refleksif dalam kegiatan matematik. Wilkins

(dalam Pasaribu E.Z., Surya E., dan Syahputra E. 2016:13) menyatakan bahwa

kemampuan disposisi matematis seseorang yang terkait dengan keyakinannya

tentang dan sikap terhadap matematika mungkin sama pentingnya dengan

pengetahuan konten untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan dalam

hal kesediaan untuk menggunakan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini berarti bahwa faktor utama yang menentukan kesuksesan siswa

dalam belajar matematika adalah disposisi siswa terhadap matematika. Disposisi

matematis disebut Sumarmo (dalam Pasaribu E.Z., Surya E., dan Syahputra E.

2016:13) sebagai suatu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang

kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematis dengan cara

yang positif.

Menurut Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM, dalam Safitri A.,

Surya E., Syahputra E., and Simbolon M., 2017:94) disposisi tidak hanya

mengacu pada sikap tetapi kecenderungan untuk berpikir dan bertindak dengan
5

cara yang positif. Disposisi matematika siswa adalah manifestasinya di jalan

bagaimana mereka memecahkan masalah mereka dalam matematika dengan

keyakinan, keinginan untuk mengeksplorasi cara-cara alternatif, ketekunan dan

minat, serta kecenderungan untuk merefleksikan pemikiran mereka sendiri.

Disposisi matematika lebih dari sekedar menikmati matematika. Siswa dapat

menikmati matematika tetapi tidak mencerminkan sikap dan tindakan positif serta

cara berpikir yang diharapkan. Kelangsungan disposisi matematika yang

tercermin dari tes tertulis seperti, pekerjaan rumah, proyek pengembangan, dan

jurnal atau presentasi.

Meskipun sikap menyenangi matematika tidak dapat dipandang sebagai

disposisi secara keseluruhan, sikap tersebut dapat dijadikan dasar untuk

menumbuhkan sikap-sikap positif lainnya, seperti kepercayaan diri, minat

terhadap matematika, melihat kegunaan matematika, dan lain-lain. Oleh karena

itu, dapat disimpulkan bahwa perlunya meningkatkan sikap menyenangi belajar

matematika agar dapat berkembangnya sikap-sikap positif lainnya yang termuat

dalam disposisi matematis, sehingga akan berdampak positif terhadap prestasi

belajar.

Kurangnya variasi dalam mengelola pembelajaran membuat siswa bosan

dan sulit memahami pembelajaran yang diberikan guru. Ini juga terdiri dari fakta

siswa peringkat Indonesia dalam matematika. Hal ini dapat dilihat dari hasil

laporan PISA (OECD, dalam Astriani N, Surya, and Syahputra, 2017:4691) pada

tahun 2015 menyimpulkan bahwa pemeringkatan siswa matematika di Indonesia

diambil karena sampel berada di peringkat 63 dari 69 negara itu berpartisipasi


6

Untuk mewujudkan proses belajar yang menyenangkan dan efektif, guru

harus mampu memilih model belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan

bermakna. Agar proses pembelajaran menjadi bermakna, kontekstual dan tidak

membosankan diperlukan model pembelajaran yang berorientasi pada siswa,

dapat melibatkan mahasiswa secara aktif, dan siswa dapat menggunakan

pengetahuan yang telah dimilikinya untuk mengkonstruk pengetahuan yang baru,

dan dapat menuntun siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya, sehingga dapat

menarik minat siswa dan menyenangkan.

Model pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah suatu pembelajaran

yang lebih menekankan pada aspek kognitif mahasiswa dan pembelajarannya

berpusat kepada mahasiswa. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang

dilakukan mahasiswa melainkan apa yang mereka pikirkan pada saat melakukan

pembelajaran tersebut. Peran guru dalam pembelajaran ini terkadang melibatkan

presentasi dan penjelasan sesuatu hal kepada mahasiswa, namun pada intinya

dalam pembelajaran berdasarkan masalah guru berperan sebagai pembimbing dan

fasilitator sehingga mahasiswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah

dengan cara mereka sendiri (Mushlihuddin, 2017:290).

Adapun tahapan pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah adalah

sebagai berikut: 1) Orientasi terhadap masalah, 2) mengorganisasikan

pembelajaran, 3) menginvestigasi masalah, 4) membuat artefak dan exhibit, 5)

menganalisis dan mengevaluasi,. (Arends, dalam Mushlihuddin, 2017:291).

Keunggulan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah siswa akan terbiasa

menghadapi masalah dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah , dan


7

kekurangan model pembelajaran berbasis masalah adalah tidak banyak guru yang

dapat mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah.

Berdasarkan kajian teori diatas, peneliti berkeinginan untuk melakukan

penelitian dengan judul Pengaruh Problem Based Learning Terhadap Kemampuan

Spasial Dan Disposisi Matematika Siswa SMA Negeri 1 Labuhan Deli.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Adapun identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Rendahnya kemampuan berpikir spasial siswa selama ini disebabkan karena

proses pembelajaran belum efektif.

2. Rendahnya kemampuan disposisi siswa karena kurangnya kemampuan

matematika siswa.

3. Proses pembelajaran konvensional yang selama ini masih digunakan ternyata

belum berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka

pelajari.

4. Kurangnya kualitas model pembelajaran sebagai sarana pembelajaran yang

digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar sehingga ikut

mengakibatkan rendahnya kemampuan spasial dan disposisi matematika

siswa.

C. BATASAN MASALAH

Adapun batasan masalah sebagai berikut:

1. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model PBL.


8

2. Kemampuan spasial matematika siswa dan kemampuan disposisi matematika

siswa.

3. Materi pelajaran yang akan diteliti adalah geometri

4. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Labuhan Deli kelas X semester genap.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah, dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan model PBL terhadap kemampuan

spasial siswa?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan model PBL terhadap disposisi

siswa?

3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan KAM

siswa terhadap kemampuan spasial siswa?

4. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan KAM

siswa terhadap disposisi siswa?

E. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan peneitian adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model PBL terhadap

kemampuan spasial siswa?

2. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model PBL terhadap disposisi

siswa?
9

3. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan KAM

siswa terhadap kemampuan spasial siswa?

4. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan KAM

siswa terhadap disposisi siswa?

F. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi siswa

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam mempelajari matematika

materi geometri.

b. Dapat meningkatkan kemampuan spasial dan disposisi matematika siswa.

2. Bagi guru

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam

mengembangkan pembelajaran dengan menggunakan model PBL.

3. Bagi sekolah

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi sekolah

untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.

G. DEFINISI OPERASIONAL

1. Model Pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau

pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat

pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, kurikulum dan lain-lain.

2. Model pembelajaran kooperatif tipe PBL merupakan pembelajaran yang lebih

menekankan pada aspek kognitif mahasiswa dan pembelajarannya berpusat


10

kepada mahasiswa. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang

dilakukan mahasiswa melainkan apa yang mereka pikirkan pada saat

melakukan pembelajaran tersebut. Peran guru dalam pembelajaran ini

terkadang melibatkan presentasi dan penjelasan sesuatu hal kepada

mahasiswa, namun pada intinya dalam pembelajaran berdasarkan masalah

guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga mahasiswa

belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri

Model pembelajaran kooperatif tipe PBL secara harfiah memiliki makna

berpikir, berpasangan, dan berbagi. Dalam model pembelajaran ini siswa

diberi waktu yang lebih banyak untuk berpikir, menjawab, berpasangan dan

saling membantu satu sama lain.

You might also like