Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dokter keluarga adalah cabang kedokteran komunitas yg memberi
perhatian khusus terhadap kesehatan keluarga sebagai sebuah unit. Kedokteran
Keluarga merupakan ilmu yang menekankan pentingnya pemberian pelayanan
kesehatan yang personal, primer, komprehensif dan berkelanjutan (continuing)
kepada individu dalam hubungannya dengan keluarga, komunitas, dan
lingkungannya. Kedokteran Keluarga menekankan keluarga sebagai unit sosial
yang memberikan dukungan kepada individu. Masalah kesehatan pasien sering
disebabkan oleh masalah pada keluarga dan masalah kesehatan pasien dapat
menyebabkan masalah kesehatan keluarga.
Prevalensi osteoartritis di Eropa dan America lebih besar dari pada prevalensi
di negara lainnya. The National Arthritis Data Workgroup (NADW)
memperkirakan penderita osteoartritis di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 27
juta yang terjadi pada usia 18 tahun keatas. Data tahun 2007 hingga 2009
prevalensi naik sekitar 1 dari 5 atau 50 juta jiwa yang didiagnosis dokter menderita
osteoartritis (Murphy dan Helmick, 2012). Estimasi insiden osteoartritis di
Australia lebih besar pada wanita dibandingkan pada laki-laki dari semua
kelompok usia yaitu 2,95 tiap 1000 populasi dibanding 1,71 tiap 1000 populasi
(Woolf dan Pfleger, 2003). Di Asia, China dan India menduduki peringkat 2 teratas
sebagai negara dengan epidemiologi osteoartritis tertinggi yaitu berturut-turut
5.650 dan 8.145 jiwa yang menderita osteoartritis lutut (Fransen et. al, 2011). Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 hasil dari wawancara pada usia ≥ 15
tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik sebesar 24,7%. Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan prevalensi OA tertinggi yaitu
sekitar 33,1% dan provinsi dangan prevalensi terendah adalah Riau yaitu sekitar
9% sedangkan di Jawa Timur angka prevalensinya cukup tinggi yaitu sekitar 27%
(Riskesdas, 2013). Sekitar 32,99% lansia di Indonesia mengeluhkan penyakit
degeneratif seperti asam urat, rematik/radang sendi, darah tinggi, darah rendah, dan
diabetes (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013). 56, 7%
pasien di poliklinik rheumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
didiagnosis menderita osteoartritis (Soenarto, 2010). Gejala OA lutut lebih tinggi
1
terjadi pada wanita dibanding pada laki-laki yaitu 13% pada wanita dan 10% pada
laki-laki. Murphy, et.al mengestimasikan risiko perkembangan OA lutut sekitar
40% pada laki-laki dan 47% pada wanita. Oliveria melaporkan rata-rata insiden OA
panggul, lutut dan tangan sekitar 88, 240, 100/100.000 disetiap tahunnya. Insiden
tersebut akan meningkat pada usia 50 tahun keatas dan menurun pada usia 70 tahun
(Zhang dan Jordan, 2010). Studi kohort di Framingham, 6,8% orang berusia 26
tahun ke atas memiliki gejala osteoartritis pada tangan dengan rata-rata laki-laki
3,8% dan wanita 9,2%. NADW memperkirakan 13 juta populasi di Amerika yang
berusia 26 tahun keatas memiliki gejala OA pada tangan, OA pada lutut
diperkirakan sebanyak 9,3 juta (4,9%) dan OA pada panggul sebanyak 6,7%.
Johnston Country Osteoarthritis (JoCo OA) Project, sebuah studi tentang OA pada
lutut dan panggul 43,3% pasien mengeluhkan rasa nyeri dan kekakuan pada sendi.
Hal ini disebabkan penebalan pada kapsul sendi dan perubahan bentuk pada
osteofit (Murphy dan Helmick, 2012).
2
1.2 Manfaat Kunjungan kedokteran keluarga
1.2.1 Mengetahui status pasien yang dipilih sebagai subjek analisa, dan
mengetahui kondisi kesehatan terakhir pasien
1.2.2 Dapat melatih dan mempelajari lebih jauh tentang diagnosis komunitas
dan kedokteran kerluarga.
1.2.3 Dapat dijadikan sebagai rujukan subjektif untuk penelitian, diagnosis
komunitas lain, survey daerah, dan referensi keadaan lingkungan
1.2.4 Tinjauan pustaka dapat dijadikan referensi bagi pemda sekitar atau
pejabat dan dinas kesehatan yang berwenang untuk
mengevaluasi
faktor resiko terkait masalah lingkungan di daerahnya.
BAB II
STATUS PASIEN
3
lemas, mudah lelah serta kaki dan tangan kadang kesemutan.
2.Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :
±1 bulan pasien mengeluh badan sering terasa lemas, badan sering terasa
pegal-pegal dan kadang sulit digerakkan. Pasien juga mengeluhkan lebih
sering BAK, terutama pada malam hari, 3-4x semalam. Nafsu makan
meningkat (+) dan pasien merasa cepat haus (+).Pasien juga merasa
kakinya sering kesemutan. Badan juga terasa lemas (+), berat badan
makin turun (+).
5.Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi seperti debu, cuaca dan obat-obatan.
6.Riwayat Pengobatan :
Sebelumnya pasien tidak pernah mengkonsumsi obat untuk menurunkan
kadar gula darah
7.Riwayat Psikososial :
Pasien makan nasi sehari 3 kali dan dengan porsi yang tidak terkontrol
Pasien jarang berolahraga
4
- Berat Badan : 80 Kg
- Tinggi Badan : 170 cm
- BMI : BB (kg)/ TB(m)2
b. Pemeriksaan Klinis :
• Kepala : normocepal, rambut warna hitam keputihan, distribusi merata,
tidak mudah rontok.
• Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya (+/+), pupil
isokor.
• Hidung : septum deviasi (-), sekret -/-, epistaksis -/-.
• Telinga : bentuk normotia, serumen -/-, otorhea -/-.
• Mulut : mukosa bibir lembab (+), lidah kotor (-), tremor (-), stomatitis (-),
sianosis (-), perdarahan gusi (-).
• Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).
• Paru
normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-).
vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
• Jantung
ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula sinistra.
BJ I dan II murni reguler, gallop (-), murmur (-).
• Abdomen
bising usus (+) normal. nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan limpa tidak
teraba.
• Ekstremitas
Atas : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-.
Bawah : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema -/-.
V. Diagnosa Kerja
Diabetes Melitus Tipe II
5
VI. Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa :
- Diet
- Edukasi
- Latihan Jasmani
2. Medikamentosa :
Metformin 3 x 1 p.c/bersama makan
Genogram Keluarga
6
Istri pasien: Ny. Ani 70 thn Pasien: Tn. Tateng 73 thn
Menderita Diabetes
Perempuan (Almarhum)
Perempuan (Hidup)
ASPEK PERUMAHAN
a. Luas tanah : 12 m x 14 m.
b. Luas bangunan : 4 m x 5 m, 1 kamar serbaguna, dapur umum (terpisah), kamar
mandi umum dibelakang (terpisah), tempat mencuci diluar (terpisah).
c. Lantai : keramik
d. Atap : genteng.
e. Ventilasi : baik (jendela jarang dibuka), rumah cenderung berdebu karena sempit.
f. Pencahayaan : Baik (sinar matahari masuk kedalam rumah).
7
g. Kelembaban : lembab.
h. Kebisingan : tidak bising.
i. Pembuangan sampah : ada.
j. Sumber pengadaan air : Pompa air listrik dengan satu penampungan air.
k. Saluran air dialirkan ke got didepan rumah.
l. Kebersihan dan kerapihan : cukup.
8
C. MANDALA OF HEALTY
GAYA HIDUP
- Jarang berolahraga
- Asupan makanan tidak
seimbang
PERILAKU KESEHATAN
- Higiens pribadi dan
lingkungan baik LINGKUNGAN PSIKOSOSIO-
- Kurangnya EKONOMI
FAMILY - Pendapatan keluarga
pengetahuan
tinggi
terhadap pola - Kehidupan social dengan
makan yang baik lingkungan baik
dan sehat
Tn. T
- badan sering terasa
lemas,
- badan sering terasa
PELAYANAN KESEHATAN pegal-pegal LINGKUNGAN KERJA
- Jarak rumah ke - lebih sering BAK, Tidak ada
pelayanan kesehatan terutama pada
cukup dekat malam hari, 3-4x
semalam.
- Nafsu makan
meningkat
- merasa cepat haus
LINGKUNGAN FISIK
- Ventilasi &
FAKTOR BIOLOGI penerangan dalam
- Orangtua pasien memiliki rumah baik
riwayat DM. - Keadaan rumah
bersih.
KOMUNITAS
- Pemukiman di lingkungan antar
tetangga tertata rapih
-
9
D. PATIENT CENTERED DIAGNOSTIC
1. Diagnosis Holistik
2. Diagnosis Biologis
3. Diagnosis Psikologis
Interaksi yang terjadi dalam keluarga ini cukup baik. Fungsi psikologis
pasien diukur menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety and Stress
Scale). Pada penilaian menggunakan kuesioner DASS, pasien tidak mengalami
depresi, tidak mengalami anxietas, dan tidak mengalami stress. Tidak terjadi
konflik yang berarti dalam keluarga pasien. Pasien masih dapat melaksanakan
kehidupannya dengan baik, tampak ceria, sangat ramah dan akrab dengan orang
baru.
Pasien tidak ikut mengurus organisasi yang ada di masyarakat, tetapi tetap
ikut aktif dalam acara yang diselenggarakan bersama masyarakat sekitar. Dapat
berinteraksi dengan orang lain. Tidak memiliki masalah di lingkungan keluarga
10
maupun masyarakat. Dari segi ekonomi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Untuk biaya pengobatan sendiri pasien termasuk ke dalam peserta
BPJS. Sedangkan dalam segi budaya, pasien dan keluarga masih menjunjung
budaya setempat, yaitu Budaya Suku Jawa.
E. DIAGNOSIS KELUARGA
INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME
Keluarga inti Perhatian Pasien Derajat
dengan 2 anak keluarga bisa memiliki kesehatan
Ibu menderita menjadi kurang genetic DM kurang optimal,
Diabetes Melitus dalam makan tidak
kesehatan teratur,
aktivitas
keluarga
terganggu
F. PENATALAKSANAAN
Gejala Klinis Lemas, pegal pegal seluruh badan, nyeri lutut, baal.
Diagnosis lemas, mudah lelah serta kaki dan tangan kadang kesemutan.
11
Terapi 1. Minum obat yang teratur
2. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
3. Terapi: Metformin 2 x 1 tablet
Vitamin neurotropik 1 x 1 tablet
12
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan
Pada keluarga ini, penyusun mengambil kesimpulan pasien tersebut
terkena penyakit Diabetes Melitus karena keturunan dari keluarga, pola hidup
yang tidak sehat, serta kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakit yang
dialaminya. Anggota keluarga yang lain juga bisa mengalami hal yang serupa
bila keluarga tersebut kurang mengetahui penyakit tersebut. Dari aspek
lainnya seperti fungsi keluarga, perkembangan kehidupan, aspek psikososial,
aspek perumahan, sosial ekonomi, PHBS dan pendidikan keluarga ini
termasuk dalam kategori kurang baik.
B. Saran
Pasien dengan penyakit Diabetes Melitus minum obat secara teratur
setiap harinya, mengerjakan pola hidup sehat. Sebaiknya seluruh anggota
13
keluarga untuk mengingatkan dan memotivasi pasien untuk minum obat
secara teratur dan rutin kontrol ke Puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafriadi, & Elysabeth. 2008. Farmakologi dan
terapi. Edisi 5. Jakarta.
2. Guyton & Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. EGC. Jakarta.
3. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Dabetes melitus
Tipe 2 Di Indonesia 2011. Jakarta
4. Price, S. A & Wilson, L. M, 1995, Patofisiologi, EGC. Jakarta
5. Sherwood Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 21.
EGC. Jakarta. EGC
6. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, & M., Setiati, S. 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. Jakarta.
14
LAMPIRAN KEGIATAN
15