You are on page 1of 8

Biografi Asrul Sani

Asrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di sebelah utara Sumatera Barat, pada tanggal 10
Juni 1926 dan meninggal di Jakarta, pada tahun 2004
Asrul Sani berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya adalah seorang raja yang
bergelar “Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Sakti RaoMapat”. Meski
membenci Belanda, ayahnya sangat menggemari musik klasik (aliran musik bergengsi
dari Eropa yang tidak biasa didengar oleh penduduk pribumi pada saat itu, apalagi di
daerah terbelakang seperti Rao). Oleh karena itu, Asrul patut berbangga hati karena
sebelum bersekolah, ia sudah mendengar karya-karya terkenal dari Schubert.

Ibunya adalah seorang wanita yang sederhana, namun sangat memperhatikan


pendidikannya. Sejak kecil ia dimanjakan oleh ibunya dengan buku-buku cerita ternama.
Ibunya selalu membacakan buku-buku tersebut untuknya. Oleh karena itu, sekali lagi, ia
patut berbangga hati karena sebelum pandai membaca, ia sudah mendengar cerita Surat
Kepada Raja karya Tagore.
Inilah gambaran Asrul muda di mata Pramoedya Ananta Toer:
Seorang pemuda langsing, gagah, ganteng, berhidung mancung bersikap aristokrat
tulen…Tinggalnya di jalan Gondangdia Lama. Mendengar nama jalan ini saja, kami
pribumi kampung yang lain, mau tak mau terpaksa angkat pandang menatap wajahnya.
Di Gondangdia Lama hanya ada gedung-gedung besar, megah, dan mewah. Akan tetapi,
kami pun punya kebanggaan “penerbitan kami”. Begitulah, pada suatu kali kami undang
dia datang menghadiri diskusi sastra. “Penerbitan” kebanggaan kami, kami perlihatkan
kepadanya. Dia baca pendapat redaksi tentang sajak-sajak peserta. Tentunya, kami ingin
tahu pendapatnya, dan sudah tentu juga perhatiannya. Ternyata pendapat dan
perhatiannya tepat sebaliknya daripada yang kami harapkan. Aku masih ingat kata-
katanya: “Tahu apa orang-orang ini tentang sajak?” Dan, kami pun sadar, sesungguhnya
kami tidak tahu. Tapi itu tidaklah begitu mengejutkan dibanding dengan kata-katanya
yang lain: “Tahu apa orang-orang ini tentang Keats dan Shelley! Bukan hanya kami yang
baru dengar kata-kata aneh itu, juga Victor Hugo-nya Sanjaya menjadi gagu kehilangan
lidah!
Pemuda berpeci merah tebal itu adalah asrul Sani . Dan “penerbitan” kamipun mati
kehabisan darah kebakaran semangant.
Asrul memulai pendidikan formalnya di Holland Inlandsche School (HIS), Bukittinggi,
pada tahun 1936. Lalu, ia masuk ke SMP Taman Siswa, Jakarta (1942), Sekolah
Kedokteran Hewan, Bogor (194.). Ia menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1955. Jadi, ia
adalah seorang dokter hewan. Akan tetapi, gelar bergengsi itu tidak dapat mengalihkan
perhatiannya dari dunia seni (sastra, teater, dan film). Bahkan, di sela-sela kuliahnya, ia
masih sempat belajar drama di akademi seni drama di Amsterdam (bea siswa dari
Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, 1952).
Asrul Sani bisa memuji secara habis, selamanya disediakan tempat yang lebih tinggi bagi
dirinya. (M. Balfas dalamHutagalung)g
Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45.
Kariernya sebagai Sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai
Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan
puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan
beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan
memproklamirkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” sebagai manifestasi sikap budaya
mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.
Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga
penulis cerpen, dan drama. Cerpennya yang berjudul “Sahabat Saya Cordiaz”
dimasukkan oleh Teeuw ke dalam “Moderne Indonesische Verhalen” dan dramanya
,Mahkamah, mendapat pujian dari para kritikus. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai
penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang
terkenal adalah “Surat atas Kertas Merah Jambu” (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda).
Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke
dunia film. Ia mementaskan “Pintu Tertutup” karya Jean-Paul Sartre, “Burung Camar”
karya Anton P. Chekov, dll. Ia menulis skenario film “Lewat Jam Malam (mendapat
penghargaan dari FFI, 1955), “Apa yang Kau Cari Palupi?” (mendapat Golden Harvest
pada Festival Film Asia, 1971), “Kemelut Hidup” (mendapat Piala Citra 1979),dll. Ia
juga menyutradarai film “Salah Asuhan” (1972), “Jembatan Merah” (1973), Bulan di atas
Kuburan (1973), dll.
Banyak sekali pekerjaan yang dilakukan Asrul Sani semasa hidupnya dan berbagai
bidang pula. Ia pernah menjadi Laskar Rakyat (pada masa proklamasi), redaktur majalah
(Pujangga Baru, Gema Suasana, Siasat, dan Zenith). Ketua Dewan Kesenian Jakarta
(1977—1987), Ketua Lembaga Seniman Kebudayaan Muslim (Lesbumi), Anggota
Badan Sensor Film, Pengurus Pusat Nahdatul Ulama, Anggota DPR-MPR (1966—1983),
dll.
Dalam perjalanan hidupnya, Asrul pernah menikah dua kali. Yang pertama, ia menikahi
Siti Nuraini, temannya sesama wartawan, pada tanggal 29 Maret 1951, di Bogor (dan
bercerai pada tahun 1961). Yang kedua, ia menikahi Mutiara Sarumpaet, 22 tahu lebih
muda darinya, pada tanggal 29 desember 1972. Dari pernikahannya yang pertama, Asrul
dikaruniai tiga anak perempuan dan dari pernikahannya yang kedua Asrul dikaruniai tiga
anak laki-laki
Pada masa akhir hidupnya, istrinya, Mutiara Sarumpaet, tetap setia mendampinginya.
Asrul yang mulai renta dan sudah harus duduk di kursi roda tidak menghalangi keduanya
untuk tampil di depan umum dengan mesra. Ketika menghadiri acara pelantikan Prof.
Riris K. Toha Sarumpaet, Ph.D. (adik kandung Mutiara) menjadi guru besar di
Universitas Indonesia (3 September 2003), Mutiara dengan mesra menyuapi Asrul di atas
kursi rodanya. Makanan dan minuman yang sesekali meluncur dari bibir dan mengotori
dagunya, dilap oleh Mutiara dengan lembut.
Karya-Karya Asrul Sani :

ASTANA RELA

Tiada bersua dalam dunia


tiada mengapa hatiku sayang
tiada dunia tempat selama
layangkan angan meninggi awan

Jangan percaya hembusan cedera


berkata tiada hanya dunia
tilikkan tajam mata kepala
sungkumkan sujud hati sanubari

Mula segala tiada ada


pertengahan masa kita bersua
ketika tiga bercerai ramai
di waktu tertentu berpandang terang

Kalau kekasihmu hasratkan dikau


restu sempana memangku daku
tiba masa kita berdua
berkaca bahagia di air mengalir

Bersama kita mematah buah


sempana kerja di muka dunia
bunga cerca melayu lipu
hanya bahagia tersenyum harum

Di situ baru kita berdua


sama merasa, sama membaca
tulisan cuaca rangkaian mutiara
di mahkota gapura astana rela.
HARI MENUAI

Lamanya sudah tiada bertemu


tiada kedengaran suatu apa
tiada tempat duduk bertanya
tiada teman kawan berberita

Lipu aku diharu sendu


samar sapur cuaca mata
sesak sempit gelanggang dada
senak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergari


melolong meraung menyentak rentak
membuang merangsang segala petua
tiada percaya pada siapa

Kutilik diriku kuselam tahunku


timbul terasa terpancar terang
istiwa lama merekah terang
merona rawan membunga sedan

Tahu aku
kini hari menuai api
mengetam ancam membelam redam
ditulis dilukis jari tanganku.
SUBUH

Kalau subuh kedengaran tabuh


semua sepi sunyi sekali
bulan seorang tertawa terang
bintang mutiara bermain cahaya

Terjaga aku tersentak duduk


terdengar irama panggilan jaya
naik gembira meremang roma
terlihat panji terkibar di muka

Seketika teralpa;
masuk bisik hembusan setan
meredakan darah debur gemuruh
menjatuhkan kelopak mata terbuka

Terbaring badanku tiada berkuasa


tertutup mataku berat semata
terbuka layar gelanggang angan
terulik hatiku di dalam kelam

Tetapi hatiku, hatiku kecil


tiada terlayang di awang dendang
menanggis ia bersuara seni
ibakan panji tiada terdiri.
INSAF

Segala kupinta tiada kauberi


segala kutanya tiada kausahuti
butalah aku terdiri sendiri
penuntun tiada memimpin jari

Maju mundur tiada terdaya


sempit bumi dunia raya
runtuh ripuk astana cuaca
kureka gembira di lapangan dada

Buta tuli bisu kelu


tertahan aku di muka dewala
tertegun aku di jalan buntu
tertebas putus sutera sempana

Besar benar salah arahku


hampir tertahan tumpah berkahmu
hampir tertutup pintu restu
gapura rahsia jalan bertemu

Insaf diriku dera durhaka


gugur tersungkur merenang mata;
samar terdengar suwara suwarni
sapur melipur merindu temu.
Insaf aku
bukan ini perbuatan kekasihku
tiada mungkin reka tangannya
kerana cinta tiada mendera
IBUKU DEHULU

Ibuku dehulu marah padaku


diam ia tiada berkata
akupun lalu merajuk pilu
tiada peduli apa terjadi

matanya terus mengawas daku


walaupun bibirnya tiada bergerak
mukanya masam menahan sedan
hatinya pedih kerana lakuku

HTerus aku berkesal hati


menurutkan setan, mengkacau-balau
jurang celaka terpandang di muka
kusongsong juga - biar chedera

Bangkit ibu dipegangnya aku


dirangkumnya segera dikucupnya serta
dahiku berapi pancaran neraka
sejuk sentosa turun ke kalbu

Demikian engkau;
ibu, bapa, kekasih pula
berpadu satu dalam dirimu
mengawas daku dalam dunia.
Tugas
Bahasa Indonesia
Profil Penulis Puisi Asrul Sani & Karyanya

OLeh :
Natasia Iyang Hidayat
IX-A

SMP NEGERI 1 KADUHEJO

You might also like