You are on page 1of 27

TINJAUAN PUSTAKA

NEUROFISIOLOGI
KAPSULA INTERNA

Oleh:

Dr. I B Kusuma Putra, Sp.S

I Gst Ayu Agung Aria Tristayanthi

PROGRAM STUDI NEUROLOGI

FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nyalah tinjauan pustaka
yang berjudul “ Neurofisiologi Kapsula Interna” ini dapat penulis selesaikan.

Karya tulis berupa tinjauan pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pendidikan PPDS-1 di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. A A B N Nuartha, Sp.S (K) selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP
Sanglah.
2. Dr. dr. A A A Putri Laksmidewi, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Saraf
FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. dr. Ida Bagus Kusuma Putra, SpS selaku pembimbing penulis dalam penyusunan tinjauan
pustaka ini.
4. Teman-teman PPDS-1 yang telah banyak membantu penulisan tinjauan pustaka ini.

Penulis juga menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik
dan saran yang membangun sangant penulis harapkan.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Oktober 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………… ............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………..…… ................................. iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………..…….... .................................. 1

BAB II NEUROFISIOLOGI KAPSULA INTERNA ............................................................. 3

2.1 Krus Anterior ................................................................................................................ 7

2.2 Genu ............................................................................................................................. 9

2.3 Krus Posterior .............................................................................................................. 10

2.3.1 Pars Thalamolentikular .................................................................................... 10

2.3.2 Pars Sublentikular ............................................................................................. 13

2.3.3 Pars Retrolentikular .......................................................................................... 15

2.4 Sistem Vaskularisasi .................................................................................................... 17

2.5 Lokasi lesi dan ilustrasi klinis ..................................................................................... 19

BAB III RINGKASAN ........................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 24

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Batas-batas kapsula interna ......................................................... 3

Gambar 2.2 Perjalanan traktus piramidalis………. ....................................... 4

Gambar 2.3 Letak traktus-traktus dalam kapsula interna……............................ 5

Gambar 2.4 Traktus-traktus pada kapsula interna …………………………….. 17

Gambar 2.5 Vaskularisasi kapsula interna ......................................................... 18

Gambar 2.6 Homunkulus pada kapsula interna .................................................... 21

4
BAB I

PENDAHULUAN

Neuroanatomi berkaitan erat dengan neurofisiologi, dimana dalam neurofisiologi

diulas mengenai fungsi dari suatu struktur organ dalam hal ini kapsula interna. Neurofisiologi

menjelaskan peranan dan proses-proses normal yang terjadi pada suatu struktur. Apabila

terjadi suatu proses patologi pada suatu organ serta di dukung oleh anamnesis dan

pemeriksaan fisik maka akan dapat ditegakkan diagnosis klinis dan diagnosis topis dari suatu

penyakit. Dari diagnosis topis dapat diketahui diagnosis etiologi yaitu penyebab yang

mungkin menyebabkan gangguan pada kapsula interna. Penyebab tersering dan paling umum

adalah gangguan vaskuler berupa stroke, penyebab yang lain yaitu infeksi, trauma, autoimun,

gangguan metabolisme, idiopatik dan neoplasma ( Duus, 2005).

Kapsula interna merupakan bagian yang sangat penting dalam susunan saraf pusat

karena dilalui oleh berbagai macam serabut saraf motorik dan sensorik atau dilewati oleh

susunan piramidal dan ektrapiramidal, sehingga menjamin integrasi yang baik antar bagian

dari susunan saraf. Kapsula interna menjaga korelasi antara impuls-impuls saraf aferen agar

sampai pada area tertentu di korteks serebri dan menjaga korelasi sistem motorik sehingga

impuls saraf eferen sampai pada tujuannya (Ropper, 2005).

Kapsula interna berada di dalam serebrum, simetris kanan dan kiri. Letaknya diantara

nukleus lentiformis dengan nukleus kaudatus dan thalamus. Dilayani oleh percabangan arteri

karotis interna yaitu percabangan arteri serebri media dan arteri serebri anterior. Apabila ada

gangguan vaskuler pada percabangan arteri tersebut maka akan timbul berbagai gejala klinis

berupa stroke. Bila lesinya kecil misal suatu infark lakunar dapat timbul suatu pure motor

5
hemiplegi. Bila lesinya cukup besar maka akan timbul gejala hemiplegi dan hemianestesi.

Bila lesinya luas dapat timbul gejala trias kapsula interna yaitu hemiplegi, hemianestesi dan

hemianopsi secara lengkap. Bila awitannya akut maka kemungkinan besar adalah suatu

stroke tetapi bila berlangsung kronis progresif apalagi disertai nyeri kepala dan papil edem

maka kemungkinan suatu proses desak ruang intra kranium (Netter, 2002; Young, 2008).

Penting untuk mengetahui letak dan fungsi traktus yang melalui kapsula interna dan

pembuluh darah yang melayaninya karena berhubungan erat dengan gejala klinis yang timbul

apabila terjadi lesi pada kapsula interna. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan tentang

neurofisiologi kapsula interna secara umum dan fungsi traktus-traktus yang melewati kapsula

interna secara lebih spesifik.

6
BAB II

NEUROFISIOLOGI KAPSULA INTERNA

Kapsula interna adalah daerah yang dilewati oleh serabut-serabut saraf bermyelin

yang memisahkan nukleus lentiformis dengan nukleus kaudatus dan thalamus. Berbagai serat

saraf menuju korteks dan keluar dari korteks membentuk serat berbentuk kipas yang

dinamakan korona radiata kemudian melewati suatu celah sempit yaitu kapsula interna

(Saunder, 2007).

Gambar 2.1 Potongan horizontal serebrum dilihat dari atas, menunjukkan batas antara

kapsula interna, nukleus lentiformis, nukleus kaudatus dan thalamus ( Snell, 2010)

7
2.1 Neurofisiologi Krus Anterior Kapsula Interna

Krus anterior terdiri dari dua kelompok serat saraf yaitu:

1. Radiasio Thalamika Anterior

2. Traktus Frontopontin

Radiasio thalamika anterior terdiri dari serat saraf timbal balik antar nukleus

anterior thalami dengan girus singuli serta nukleus medial dorsalis thalami dengan

korteks area prefrontal. Fungsi dari traktus ini berhubungan dengan fungsi kognisi yaitu

tentang perhatian, memori terutama jangka pendek, perencanaan dan motivasi. Mengatur

fungsi eksekutif misalnya kemampuan merencanakan masa depan yang merupakan hasil

dari tindakan saat ini, kemampuan membedakan tindakan yang baik dan buruk serta

dapat mencari kesamaan atau perbedaan pada suatu benda atau keadaan. Juga berkaitan

dengan memori yang berkaitan dengan emosi. Radiasio thalamika juga mengatur sensasi

rasa nyeri, rabaan kasar (umum), rabaan spesifik, suhu, posisi dan gerakan anggota tubuh

(Netter, 2002 ; Moeller 2007)

Traktus Frontopontine merupakan serat desenden berasal dari region motor

dan premotor di area asosiasi korteks serebri lobus frontal berakhir dalam hubungan

sinaptik dengan sel-sel neuron di dalam nukleus pontin ipsilateral. Setelah bersinap

impuls ditransmisikan ke bagian medial pedunkel serebellum pada hemisfer kontralateral

melalui traktus pontoserebelar yang sebagian besar menyilang garis median di daerah

basis pontin. Traktus ini memegang peranan penting pada pengendalian fungsi motorik

pada area wajah yaitu mengatur nervus trigeminus (N.V), nervus fasialis (N.VII) dan

nervus hipoglosus (N. XII) ( Scanlon, 2006 ; Young 2008).

8
Gangguan pada krus anterior akan menimbulkan gejala klinis berupa sindrom

lobus frontal dengan perubahan kepribadian (hilangnya representasi diri). Gangguan

fungsi kognisi yaitu penurunan perhatian, tidak dapat berkonsentrasi pada satu

aktivitas dan mudah dialihkan oleh stimulus yang baru. Gangguan memori terutama

memori jangka pendek, IQ formal dan memori jangka panjang relatif tetap masih

utuh. Adanya gangguan fungsi eksekutif seperti tidak mampu merencanakan masa

depan, melakukan penilaian dan membuat keputusan. Penurunan fungsi ini

berlangsung secara drastis. Emosi tidak tergambar pada wajah dan suara, misalnya

saat merasa bahagia tidak tersenyum. Pasien cenderung mengalami depresi,

penurunan motivasi, tidak ingin dan tidak semangat melakukan aktivitas sehari-hari.

Berkurangnya spontanitas dalam bentuk komunikasi, pasien tampak malas, letargik,

tidak ingin membersihkan dan merawat dirinya sendiri, berpakaian dengan bantuan

dan tidak berniat melakukan pekerjaan yang regular (Duus, 2005 ; Moeller 2007).

Anestesi total pada sisi tubuh kontralateral, rasa nyeri, rabaan kasar (umum)

dan suhu dapat pulih kembali. Sedangkan rasa raba spesifik, rasa posisi dan rasa

gerakan anggota tubuh lambat pulih dan mengalami gangguan berat (Greenstein,

2000).

Lesi pada krus anterior terutama pada traktus frontopontin dapat menimbulkan

kelemahan otot-otot dagu (N.V), paralisis wajah bagian bawah dan kelemahan ringan

pada area dahi (N. VII) dan kelemahan otot lidah (N.XII) ( Snell, 2010).

Gangguan pada krus anterior dapat disebabkan oleh berbagai etiologi,

terutama paling sering karena gangguan vaskuler misal stroke atau Transient Iskemik

Attack (TIA) yang terjadi karena blokade aliran darah pada otak atau karena ruptur

pembuluh darah atau aneurisma. Penyebab yang lain dapat berupa cedera kepala,

9
infeksi, tumor intrakranial, proses autoimun, gangguan metabolik, toksik dan

idiopatik ( Greenstein, 2000 ; Young 2008).

2.2 Neurofisiologi Genu Kapsula Interna

Genu terdiri dari hanya satu kelompok serat saraf yaitu traktus kortikonuklear

yang berasal dari daerah optokinetik frontal daerah muka (facies) pada korteks area

motorik menuju nukleus okulomotorius secara bilateral, nukleus trochlearis secara

homolateral dan nukleus abduscens secara kontralateral. Traktus ini termasuk ke

dalam sistem ekstrapiramidal ( Saunders, 2007).

Traktus kortikonuklear berfungsi mengatur motorik nervus okulomotorius,

nervus troclearis dan nervus abduscen. N. III mengatur pergerakan bola mata dan

mengatur spingter pupil dan otot-otot badan siliar. Otot-otot penggerak bola mata

yaitu muskulus levator palpebra, muskulus rektus superior, muskulus rektus

medialis, muskulus rektus inferior dan muskulus obliquus inferior. Nervus

trochlearis berfungsi mengatur pergerakan bola mata ke arah bawah dan rotasi ke

lateral yang dikendalikan oleh muskulus obliquus superior. Nervus abduscen

melayani muskulus rektus lateralis untuk gerakan mengabduksi mata. Area genu juga

mengatur kemampuan pengendalian kontraksi otot-otot muka bagian kaudal yaitu

muskulus orbikularis oris, muskulus zygomatikus, muskulus risorius, muskulus

biccinator, muskulus mentalis dan muskulus platisma yang dilayani oleh nervus

fasialis dan otot lidah yaitu muskulus genioglosus yang dilayani oleh nervus

hipoglosus pada sisi kontralateral serta dan palatum mole pada sisi kontralateral (

Duus, 2005 ; Ropper 2005).

Gangguan pada area genu akan menimbulakan gejala klinis yaitu :

10
a. Penderita tidak dapat mengadakan abduksio bola mata pada sisi kontralateral

lesi, walaupun fiksasi otomatis atau gerakan mengikuti sesuatu (following eye

movements) tidak terganggu. Gangguan gerakan di bawah pengendalian

kemauan tersebut diatas menghilang dalam waktu singkat, mungkin

disebabkan karena adanya traktus kortikonuklear yang tidak menyilang garis

median yang melayani nukleus abduscens. Gangguan gerakan bola mata

melirik ke bawah dan gerakan bola mata ke segala arah. ( Campbell 2005).

b. Paresis nervus fasialis kontralateral menyebabkan kehilangan kemampuan

pengendalian kontraksi otot-otot muka bagian kaudal pada sisi kontralateral,

sehingga tampak hidung dan mulut tertarik ke sisi yang sehat, sulkus

nasolabialis lebih datar daripada di sisi yang sehat dan ujung bibir sisi yang

sakit lebih rendah. Saat penderita meringis tampak seolah-olah wajah

penderita mencong ke sisi yang sehat. Penderita tidak dapat tersenyum

dengan baik atas kemauan, walaupun ia dapat mengerutkan dahi dan menutup

kedua mata dengan baik atas perintah atau kemauan, sedangkan senyum

karena emosi tidak terganggu.

c. Paresis nervus hypoglosus yang melayani otot-otot lidah juga pada sisi

kontralateral. Lidah di dalam mulut tampak mencong ke sisi yang sehat dan

jika lidah dijulurkan ke luar tampak deviasi ke sisi yang sakit. Gangguan

pengendalian kontraksi otot lidah mempunyai kecenderungan untuk

berkurang sesudah beberapa saat. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan

beberapa traktus kortikonuklear yang tidak menyilang garis median dan

menuju ke nukleus hypoglosus sisi ipsilateral. (Duus, 2005 ; Snell 2010).

11
Gangguan pada genu kapsula interna umumnya disebabkan oleh gangguan

vaskular berupa stroke, penyebab yang lain dapat berupa infeksi, tumor, autoimun,

gangguan metabolik dan trauma ( Scanlon, 2006).

2.3 Neurofisiologi Krus Posterior Kapsula Interna

Krus posterior kapsula interna terbagi menjadi tiga bagian yaitu pars

thalamolentikularis, pars sublentikularis dan pars retrolentikularis (post lentikularis).

Krus posterior mempunyai banyak komponen penting terutama traktus kortikospinal.

Menurut penelitian Charcot, Dejerin dan Dejerin-Klumpe, serat kortikospinal berjalan

pada 2/3 anterior dari krus posterior kapsula interna dan 1/3 posterior dari krus

posterior terdiri dari serat sensori, radiasio optika, serat akustik dan serat saraf dari

lobus oksipital dan lobus temporal menuju nukleus pontin (Netter 2002).

2.3.1 Neurofisiologi Pars Thalamolentikularis

Terdiri dari tiga serabut saraf yaitu traktus kortikospinal, traktus kortikorubra

dan radiasio thalamika posterior (radiasio sensibilis).

a. Traktus Kortikospinal

Disebut juga sebagai traktus piramidalis, berasal dari korteks motorik dan

berjalan melalui substansia alba serebri (korona radiata), krus posterior kapsula

interna ( serabut terletak sangat berdekatan disini), bagian sentral pedunkulus serebri,

pons dan basal medula (bagian anterior) tempat traktus terlihat sebagai penonjolan

kecil disebut piramid. Pada bagian bawah ujung medula serabut piramidal menyilang

ke sisi lain di dekusasio piramidum. Serabut yang tidak menyilang berjalan menuruni

medula spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus kortikospinalis

anterior. Traktus yang menyilang di dekusasio piramidum menuruni medula spinalis

12
di funikulus lateral kontralateral sebagai traktus kortikospinal lateralis (Ropper, 2005 ;

Saunder, 2007).

Memahami traktus ini berarti memahami pula bagaimana satu sisi tubuh

dikendalikan oleh bagian otak pada sisi kontralateral. Hemisfer kiri otak mengontrol

sisi tubuh kanan dan hemisfer kanan mengontrol sisi tubuh bagian kiri. Korteks

motorik mengirim impuls ke daerah spinal seperti mengirim suatu pesan. Traktus

kortikospinal mengatur gerakan volunter seperti gerakan pada lengan, tungkai, jari-

jari tangan dan kaki ( Campbell, 2005 ; Wibowo, 2011).

b. Traktus Kortikorubra

Traktus ini berasal dari area Brodmann 6 menuju ke nukleus ruber pada sisi

homolateral. Termasuk dalam sistem ekstrapiramidal, bekerja terutama untuk

mengendalikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan sikap atau gerakan-

gerakan pelan, penyesuaian tonus otot, gerakan asosiasi dan integrasi otonom.

Umumnya bersifat sebagai penghambat pusat-pusat motorik subkortikal dan neuron-

neuron motorik ( Moeller, 2007).

c. Radiasio Thalamika Posterior.

Serabut saraf yang berasal dari nukleus ventralis posterior menuju ke area

Brodmann 3,2,1. Dan sebaliknya dari area Brodmann 3,2,1 menuju ke nukleus

ventralis posterior. Serta serat dari nukleus thalami ventralis anterior dan ventralis

lateralis menuju area Bodmann 6 dan 4. Nukleus ventralis berfungsi dalam

mengaktivasi non spesifik impuls sensori dan merupakan stasiun relay untuk impuls

sensorik khusus yang kemudian dihantarkan ke area korteks yang sesuai. Traktus ini

mengendalikan sensibilitas yaitu rasa raba dan proprioseptif ( Young, 2008).

13
2.3.2 Neurofisiologi Pars Sublentikular

Pars sublentikular terdiri dari empat serabut saraf yaitu radiasio akustika,

traktus kortikotektalis, traktus temporoparietioksipitopontin dan radiasio optika.

a. Radiasio akustika

Radiasio akustika atau radiasio auditori merupakan serat saraf yang berasal dari

korpus genikulatum medial berjalan melalui krus posterior kapsula interna menuju

area Brodmann 41 dan 42 begitu pula sebaliknya, serabut saraf dari Brodmann 41 dan

42 menuju korpus genikulatum medial. Korpus genikulatum medial merupakan area

relay auditorik yang mengatur fungsi pendengaran, sedangkan area Brodman 41

berfungsi sebagai area untuk memproses persepsi nada, sedangkan area Brodmann 42

untuk persepsi fonemik. Berfungsi untuk proses mendengar bunyi, suara, percakapan

dan bunyi yang bukan percakapan ( Wibowo, 2011).

b. Traktus Kortikotektalis

Merupakan serabut saraf yang berasal dari area Brodmann 20 menuju ke

kolikulus kranialis. Fungsi dari area Brodmann 20 adalah untuk pemahaman suara dan

musik, sedangkan kolikulus kranial yang terletak di mesensefalon berfungsi sebagai

tempat memproses informasi visual dan auditorik serta mengatur refleks optik yang

berkaitan dengan gerakan-gerakan leher dan trunkus. ( Scanlon, 2006 ; Snell, 2010).

c. Traktus Temporoparietooksipitopontin

Serabut saraf berasal dari korteks lobus temporalis, parietal dan oksipital menuju

ke nukleus pontin. Lobus temporal adalah area yang berhubungan dengan emosi dan

14
fungsi mental yang lebih tinggi seperti memori dan bahasa. Area ini juga

berhubungan dengan area auditori dan pengenalan wajah. Lobus temporal posterior

kiri berperan dalam proses belajar dan memori verbal. Sedangkan lobus temporal

posterior kanan berperan dalam proses belajar dan memori visual. Lobus parietal

berfungsi sebagai general sensorik pada area wajah, lengan dan tungkai, pusat perasa

lidah, memproses informasi somantik dan visual, kemampuan matematika dan

penamaan suatu objek. Sedangkan lobus oksipital berfungsi pada penglihatan dan

asosiasi penglihatan ( Greenstein, 2000).

d. Radiasio Optika

Merupakan serabut saraf yang berjalan bolak balik antara korpus genikulatum

lateral dan korteks area Brodmann 17. Fungsi korpus genikulatum lateral yaitu

sebagai area relay visual. Area Bodmann 17 berfungsi dalam penglihatan kecerahan,

warna, bentuk dan pergerakan suatu benda serta mengatur kemampuan penglihatan

pada suatu lapangan pandang atau mengatur medan penglihatan. ( Netter,2002 ;

Sidharta, 2010).

2.3.3 Neurofisiologi Pars Retrolentikular

Terdiri dari empat traktus yaitu traktus kortikotektalis, traktus

kortikotegmentalis, traktus kortikorubra dan traktus kortikonigralis.

a. Traktus kortikotegmentalis

Merupakan serabut saraf berasal dari korteks area Brodmann 18 dan 19

menuju ke nukleus abduscens kontralateral. Fungsi area Brodmann 18 adalah

berhubungan dengan lapangan pandang kuadran atas dan bawah sedangkan

Brodmann 19 berfungsi dalam memori topografi. Nukleus abduscens berfungsi

15
dalam mendukung otot-otot mata ekstraokuler dalam menggerakkan bola mata

kearah lateral. ( Duus, 2005 ; Young, 2008).

b. Traktus Kortikotektalis

Serabut serat saraf yang berasal dari area Brodmann 18 dan 19 menuju ke

pulvinar thalami, nukleus pretektalis dan kolikulus kranialis. Pulvinar thalami

memiliki hubungan titik-titik secara timbal balik dengan area asosiasi lobus parietal

dan oksipital. Area asosiasi ini dikelilingi oleh korteks somatosensorik, visual dan

auditorik primer dan dengan demikian kemungkinan berperan penting pada

pengumpulan berbagai jenis informasi sensorik yang datang. Nukleus pretektalis

mengatur ukuran pupil ( muskulus sphincter pupilae) sebagai adanya respon cahaya

serta mengatur akomodasi mata oleh muskulus siliaris. Kolikulus kranial sebagai

stasiun relay pendengaran dan visual, mengatur reflex optik yang berkaitan dengan

gerakan-gerakan leher dan trunkus. Area Brodmann 18 berperan dalam lapang

pandang atas dan bawah, sedangkan area Brodmann 19 berperan dalam memori

topografi. ( Scanlon, 2006; Moeller, 2007).

c. Traktus Kortikorubra

Serabut saraf berjalan dari korteks area Brodmann 19 menuju nukleus ruber.

Area Brodmann 19 berperan dalam memori topografi sedangkan nukleus ruber

berperan dalam lengkung reflek yang mengatur postur tubuh dan gerakan volunter

yang tepat dan halus ( Campbell, 2005).

d. Traktus kortikonigralis

Serabut saraf berasal dari korteks area Brodmann 19 menuju ke substansia nigra

yang homolateral. Substansia nigra adalah nukleus motorik yang besar terletak di

16
antara tegmentum dan krus serebri kedua sisi. Merupakan komponen penting pada

sistem motorik ekstrapiramidal (Duus, 2005; Young, 2008).

Gambar 2.4 Traktus-traktus pada krus anterior, genu dan krus posterior

( Young, 2008)

Lesi krus posterior kapsula interna menyebabkan :

a. Fase akut menyebabkan reflek tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan

terdapat kelemahan flaksid pada otot. Reflek muncul kembali beberapa hari atau

beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif karena spindel otot berespon

lebih sensitif terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan normal, terutama

fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ektremitas bawah. Hipersensitif ini terjadi

akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral desenden pada sel-sel fusimotor yang

17
mempersarafi spindel otot. Serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara

permanen dan lebih mudah berespon terhadap peregangan otot lebih lanjut

dibandingkan normal. Gangguan sirkuit regulasi panjang otot mungkin terjadi

yaitu berupa pemendekan panjang target secara abnormal pada fleksor

ekstremitas atas dan ekstensor ektremitas bawah. Hasilnya berupa peningkatan

tonus spastik dan hiperefleksia serta tanda-tanda traktus piramidal dan klonus.

Diantara tanda-tanda traktus piramidal tersebut terdapat tanda-tanda yang sudah

dikenal baik pada jari-jari tangan dan kaki seperti tanda Babinski (ekstensi tonik

ibu jari kaki sebagai respon terhadap gesekan di telapak kaki) ( Greenstein, 2000

; Young, 2008).

b. Gangguan pada krus posterior kapsula interna juga menimbulkan paralisis

bersifat spastik. Gangguan sensasi raba dan proprioseptif kontralateral serta

paresis ekstremitas yang dirasakan seakan-akan ekstremitas membengkak atau

terasa berat yang abnormal. Juga didapatkan kelemahan sentral yang berat

dimana pasien jatuh kearah yang berlawanan dengan sisi lesi dan mungkin tidak

dapat duduk tanpa bantuan. Manifestasi ini timbul secara sendiri-sendiri atau

bersamaan dengan transient thalamic neglect yaitu baik fungsi motorik dan

sensorik terabaikan (neglect) sisi kontralateral lesi. Sedangkan lesi yang

melibatkan nukleus ventralis anterior dapat menyebabkan gangguan kesadaran

dan atensi karena termasuk ke dalam sistem ARAS ( Snell, 2010 ; Wibowo,

2011).

c. Lesi pada krus posterior juga akan menimbulkan gangguan dalam bidang

auditorik yaitu gangguan persepsi nada dan persepsi fonemi, gangguan dalam

belajar, memori verbal, memori visual, prosopagnosia yaitu kehilangan

kemampuan mengenali wajah orang lain dan dirinya sendiri ( Ropper, 2005).

18
d. Lesi juga mengakibatkan terjadinya skotoma sentral, mata kontralateral

berdeviasi ke dalam pada tatapan primer ( saat melihat lurus ke depan) dan tidak

dapat diabduksi karena paresis muskulus rektus lateralis. Terdapat mata yang

juling ke dalam disebut juga strabismus konvergen. Ketika melihat kearah

hidung mata yang paresis berotasi ke atas dan dalam karena dominasi kerja

muskulus obliquus inferior. Lesi pada traktus kortikotegmentalis

mengakibatkan gangguan pada persepsi visual dan gangguan pergerakan bola

mata ( Scanlon, 2006 ; Sidharta 2010).

e. Gangguan sensorik baik itu visual dan auditorik. Lesi pada traktus ini akan

menyebabkan paralisis yang bersifat spastik, disamping itu ditemukan pula

gejala hipokinesia seperti tremor istirahat dan rigiditas ( Young, 2008).

Penyebab gangguan pada krus posterior umumnya karena kejadian vaskuler

berupa stroke dengan thrombus, emboli atau perdarahan karena pecahnya pembuluh

darah atau aneurisma. Penyebab lain yang mungkin menyebabkan gangguan pada krus

posterior yaitu infeksi pada area posterior kapsula interna, trauma, tumor, autoimun,

gangguan metabolik dan idiopatik ( Wibowo, 2011).

Gangguan vaskular pada kapsula interna merupakan kejadian yang paling sering

menyebabkan terjadinya lesi destruktif pada sistem piramidal disebut sebagai “capsular

stroke”. Setelah terjadinya lesi pada traktus kortikospinal dan kortikobulbar pada kapsula

interna maka akan terjadi paralisis kontralateral pada lengan dan tungkai serta otot wajah

kontralateral bagian bawah. Pada beberapa kasus ditemukan kelemahan sementara pada

lidah dan palatum mole akibat kerusakan pada traktus kortikobulbar ( Scanlon, 2006;

Moeller, 2007).

19
Segera setelah terjadinya “capsular stroke”, kemampuan gerak berkurang pada

ekstremitas kontralateral. Berdasarkan perjalanan waktu, kemampuan gerak pada bagian

tubuh proksimal akan lebih cepat pulih daripada bagian distal. Disamping terjadi

paralisis, pada fase akut akan terjadi pula hipotonia atau penurunan tonus otot. Pada fase

kronis yaitu setelah empat sampai enam minggu akan terjadi hipertonia atau peningkatan

tonus otot berupa peningkatan tahanan pada peregangan pasif terutama gerakan otot

melawan gravitasi yaitu otot fleksor pada lengan dan jari serta otot ekstensor pada

tungkai. Hipertonia yang berat adalah berupa spastisitas, bila hipertonia disertai

kelemahan motorik disebut sebagai hemiplegi spastik. Karakteristik spastisitasnya berupa

peningkatan tahanan seperti fenomena pisau lipat ( clasp-knife response). Misalnya

lengan yang ada dalam keadaan fleksi kita lempengkan, saat awal melakukan gerakan

ekstensi akan terasa ada tahanan namun tiba-tiba tahanan tersebut menghilang dan

gerakan ekstensi dapat dilakukan tanpa perlawanan lagi. Fenomena pisau lipat ini terjadi

karena peningkatan aktivitas tendon Golgi, dimana serat aferen Ib merangsang

interneuron spinal sehingga terjadi inhibisi alpha motor neuron maka terjadilah hipertonia

dan peningkatan tahanan pada peregangan pasif (Young, 2008).

Pada sindrom upper motor neuron ditemukan reflek myotatik yang meningkat

pada otot-otot antigravitasi seperti otot bisep pada lengan atas dan otot quadrisep pada

tungkai atas sehingga reflek bisep dan patela akan meningkat. Reflek yang meningkat

juga dapat berupa klonus yaitu timbulnya kontraksi ritmis yang cepat apabila dilakukan

peregangan pada otot. Klonus terjadi karena hiperaktifitas dari reflek myotonik, kontraksi

dari sekelompok otot akan merangsang respon myotonik yang antagonis ( Ropper, 2005;

Saunder, 2007).

Tanda umum yang berkaitan dengan lesi upper motor neuron adalah reflek

Babinski atau plantar ekstensor. Reflek abnormal ini didapat dengan menggores telapak

20
kaki dari arah tumit keatas menyusuri tepi lateral telapak kaki sampai pada basis jari

kelingking kemudian goresan diarahkan ke basis ibu jari kaki. Reflek Babinski positif

berupa dorso fleksi ibu jari kaki dan atau pemekaran jari-jari kaki yang lain dan selalu

dikaitkan dengan lesi destruktif pada traktus kortikospinal. Pada traktus kortikospinal

yang normal, stimulus ini akan menyebabkan fleksi dari jari-jari kaki dan plantar fleksi.

Reflek Babinski merupakan reflek tarikan spinal yang secara normal ditekan langsung

oleh korteks serebri (Netter, 2002; Young 2008).

Bila ada gangguan vaskuler pada percabangan arteri pada kapsula interna maka

akan timbul berbagai gejala klinis berupa stroke. Bila lesinya kecil misal suatu infark

lakunar dapat timbul suatu pure motor hemiplegi. Bila lesinya cukup besar maka akan

timbul gejala hemiplegi dan hemianestesi. Bila lesinya luas dapat timbul gejala trias

kapsula interna yaitu hemiplegi, hemianestesi dan hemianopsi secara lengkap.

Gambar 2.5 Homunkulus pada kapsula interna ( Young, 2008)

21
2.4 Sistem Vaskularisasi

Kapsula interna dilayani oleh percabangan-percabangan pembuluh darah arteri

karotis interna yang memasuki otak melalui substansia perforata anterior.

Percabangan arteri karotis interna yaitu arteri komunikan posterior, arteri khoroidalis

anterior, percabangan arteri serebri media dan percabangan arteri serebri anterior.

Cabang-cabang ini dikeluarkan dekat dengan tempat bifurkasio arteri karotis interna.

Arteri komunikan posterior dan arteri khoroidalis anterior melayani sebagian daerah

kapsula interna terutama krus posterior. Arteri serebri anterior melayani krus anterior

kapsula interna ( Duus, 2005; Young, 2008 ).

Bagian proksimal arteri serebri media secara konsisten juga mengeluarkan

arteri striata ketika pembuluh darah ini berjalan di sebelah inferior substansia

perforata anterior. Cabang striata ini dibagi dalam dua kelompok yaitu arteri striata

medialis (cabang dari arteri serebri anterior) dan arteri striata lateralis ( cabang arteri

cerebri media). Arteri lentikulo striata medial atau arteri Heubneur rekuren yang

mempunyai diameter yang lebih besar dari pada yang lain. Arteri ini merupakan

cabang dari segmen A1 arteri serebri anterior, beberapa merupakan cabang proksimal

segmen A2 dan cabang arteri komunikan anterior. Arteri striata medial melayani

area krus anterior dan genu (Greenstein, 2000 ; Snell, 2010) .

Krus posterior kapsula interna dilayani oleh arteri striata lateralis yang

merupakan percabangan segmen M1 arteri serebri media dan beberapa cabang dari

arteri koroidal anterior (cabang arteri karotis interna). Arteri striata lateralis ini

merupakan struktur-struktur yang paling sering terlibat dalam suatu proses

perdarahan spontan intraserebral pada penderita hipertensi jangka panjang, pembuluh

22
darah yang paling mudah mengalami rupture dan dikenal sebagai atreri hemoragi

serebral Charcot (Young, 2008).

Gangguan vaskularisasi dari kapsula interna baik oleh karena thrombus,

emboli, maupun ruptur akan memberikan gejala klinis yang berbeda-beda sesuai

dengan daerah yang dilayani oleh arteri tersebut.

Gambar 2.6 Vaskularisasi kapsula interna (Snell,2010)

23
BAB III

RINGKASAN

Kapsula interna yaitu suatu daerah yang dilewati oleh banyak serabut-serabut saraf

bermyelin yang memisahkan nukleus lentiformis dengan nukleus kaudatus dan thalamus.

Terletak dalam serebrum simetris kanan dan kiri. Serabut saraf dalam kapsula interna

merupakan serabut proyeksi yang terdiri dari serat saraf desenden dan asenden. Kapsula

interna terbagi menjadi tiga bagian yitu krus anterior, genu dan krus posterior. Setiap bagian

dilewati oleh traktus yang berbeda serta memiliki fungsi yang berbeda pula.

Sesuai dengan gambaran homunkulus pada kapsula interna, serabut-serabut yang

mengantarkan impuls untuk otot-otot wajah lewat di bagian yang paling depan yaitu dekat

dengan genu. Serabut-serabut yang mengantarkan impuls untuk otot-otot ekstremitas

superior lewat di belakangnya yaitu bagian anterior dari krus posterior. Sedangkan serabut-

serabut untuk impuls ke otot-otot ekstremitas inferior terletak pada bagian posterior dari krus

posterior. Serabut saraf yang melewati kapsula interna selain bersifat motorik juga ada yang

bersifat sensorik.

Apabila terjadi suatu lesi destruktif misalnya infark atau hemoragik pada kapsula

interna maka akan bermanifestasi pada tubuh bagian kontralateral. Pada kapsula interna

terdapat traktus piramidal dan radiasio somatosensori thalamik yang berjalan bersama, serta

traktus kortikobulbar yang juga berjalan berdekatan. Lesi yang muncul yaitu hemiplegik

atau hemiparese kontralateral spastik, hemianestesi kontralateral dan kelemahan separuh

wajah bagian bawah apabila lesinya terletak pada bagian dorsal kapsula interna. Bila lesi

24
terletak pada bagian ventral kapsula interna yang melibatkan radiasio optika maka ketiga

gejala diatas akan disertai dengan hemianopsi homonim.

Kelumpuhan akibat lesi pada kapsula interna mempunyai berbagai macam corak yang

ditentukan oleh lokalisasi dan sifat lesi. Namun demikian, semua kelumpuhan tersebut

diiringi oleh tanda-tanda khas yang dikenal sebagai tanda-tanda “upper motoneuron”

(UMN). Tanda-tanda kelumpuhan UMN adalah: (1) tonus otot meninggi, (2) hiperrefleksi,

(3) klonus, (4) refleks patologis, (5) tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh. Semua jenis

kelumpuhan yang timbul akibat kerusakan korteks piramidalis dan jaras kortiko-spinalis,

menunjukkan tanda-tanda kelumpuhan UMN. Tergantung pada gejala motorik tambahan atau gejala

sensorik pengantar, maka terdapatlah gambaran penyakit kelumpuhan yang dapat dikorelasikan

dengan lokasi suatu lesi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, W. 2005. De Jong’s The Neurologic Examination. USA: Lippincott. pp.52-54.

Duus, P. 2005. Topical Diagnosis in Neurology. Anatomy Physiology Signs Symptoms. 4 th


ed. New York: Thieme. pp 334-335.

Greenstein, B. 2000. Color Atlas of neuroscience. New York: Thieme.pp.25,43.

Moeller, T. 2007 . Pocket Atlas of Sectional Anatomy. 3th ed. New York:Thieme. pp. 55-
57.

Netter, F. 2002. Neuroanatomy & Neurophysiology. Special ed. USA: Icon Custom
Communication. Pp.4,14,71

Ngoerah, I.G.N.G. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University
Press. Pp.2-3.

Ropper, A.H. Samuels, M.A. 2005. Adams & Victors Principles of Neurology. 8th ed. USA:
The McGraw-Hill Companies.pp.246-268.

Saunders, E. 2007. Clinical Neuroanatomy and Neuroscience. 5th ed. Elsevier limited. Pp 50-
55.

Scanlon, F.C.2006. Essentials of Anatomy and Physiology. 5th ed. Philadelphia: F.A.Davis
Company.pp.348-350.

Sidharta, P. 2010. Neurologi Klinis Dasar. 7th ed. Jakarta: PT Dian Rakyat.pp.3-5

Snell, R. 2010. Clinical Neuroanatomy. 7th ed. USA: Lippincott. pp.155-157.

Sukardi, E. 1985. Neuroanatomia Medica. 2th ed. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
pp.258-264.

Wibowo, D. 2011. Neuroanatomi Untuk Mahasiswa Kedokteran. 1th ed. Malang: Banyu
Media Publising. pp.127-128.

Young, Paul A. 2008. Basic Clinical Neuroscience. 2th ed. USA: Lippincott. pp. 65-78.

26
27

You might also like