Professional Documents
Culture Documents
NEUROFISIOLOGI
KAPSULA INTERNA
Oleh:
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nyalah tinjauan pustaka
yang berjudul “ Neurofisiologi Kapsula Interna” ini dapat penulis selesaikan.
Karya tulis berupa tinjauan pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pendidikan PPDS-1 di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
1. Dr. A A B N Nuartha, Sp.S (K) selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP
Sanglah.
2. Dr. dr. A A A Putri Laksmidewi, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Saraf
FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. dr. Ida Bagus Kusuma Putra, SpS selaku pembimbing penulis dalam penyusunan tinjauan
pustaka ini.
4. Teman-teman PPDS-1 yang telah banyak membantu penulisan tinjauan pustaka ini.
Penulis juga menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik
dan saran yang membangun sangant penulis harapkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
3
DAFTAR GAMBAR
4
BAB I
PENDAHULUAN
diulas mengenai fungsi dari suatu struktur organ dalam hal ini kapsula interna. Neurofisiologi
menjelaskan peranan dan proses-proses normal yang terjadi pada suatu struktur. Apabila
terjadi suatu proses patologi pada suatu organ serta di dukung oleh anamnesis dan
pemeriksaan fisik maka akan dapat ditegakkan diagnosis klinis dan diagnosis topis dari suatu
penyakit. Dari diagnosis topis dapat diketahui diagnosis etiologi yaitu penyebab yang
mungkin menyebabkan gangguan pada kapsula interna. Penyebab tersering dan paling umum
adalah gangguan vaskuler berupa stroke, penyebab yang lain yaitu infeksi, trauma, autoimun,
Kapsula interna merupakan bagian yang sangat penting dalam susunan saraf pusat
karena dilalui oleh berbagai macam serabut saraf motorik dan sensorik atau dilewati oleh
susunan piramidal dan ektrapiramidal, sehingga menjamin integrasi yang baik antar bagian
dari susunan saraf. Kapsula interna menjaga korelasi antara impuls-impuls saraf aferen agar
sampai pada area tertentu di korteks serebri dan menjaga korelasi sistem motorik sehingga
Kapsula interna berada di dalam serebrum, simetris kanan dan kiri. Letaknya diantara
nukleus lentiformis dengan nukleus kaudatus dan thalamus. Dilayani oleh percabangan arteri
karotis interna yaitu percabangan arteri serebri media dan arteri serebri anterior. Apabila ada
gangguan vaskuler pada percabangan arteri tersebut maka akan timbul berbagai gejala klinis
berupa stroke. Bila lesinya kecil misal suatu infark lakunar dapat timbul suatu pure motor
5
hemiplegi. Bila lesinya cukup besar maka akan timbul gejala hemiplegi dan hemianestesi.
Bila lesinya luas dapat timbul gejala trias kapsula interna yaitu hemiplegi, hemianestesi dan
hemianopsi secara lengkap. Bila awitannya akut maka kemungkinan besar adalah suatu
stroke tetapi bila berlangsung kronis progresif apalagi disertai nyeri kepala dan papil edem
maka kemungkinan suatu proses desak ruang intra kranium (Netter, 2002; Young, 2008).
Penting untuk mengetahui letak dan fungsi traktus yang melalui kapsula interna dan
pembuluh darah yang melayaninya karena berhubungan erat dengan gejala klinis yang timbul
apabila terjadi lesi pada kapsula interna. Dalam tinjauan pustaka ini akan dijelaskan tentang
neurofisiologi kapsula interna secara umum dan fungsi traktus-traktus yang melewati kapsula
6
BAB II
Kapsula interna adalah daerah yang dilewati oleh serabut-serabut saraf bermyelin
yang memisahkan nukleus lentiformis dengan nukleus kaudatus dan thalamus. Berbagai serat
saraf menuju korteks dan keluar dari korteks membentuk serat berbentuk kipas yang
dinamakan korona radiata kemudian melewati suatu celah sempit yaitu kapsula interna
(Saunder, 2007).
Gambar 2.1 Potongan horizontal serebrum dilihat dari atas, menunjukkan batas antara
kapsula interna, nukleus lentiformis, nukleus kaudatus dan thalamus ( Snell, 2010)
7
2.1 Neurofisiologi Krus Anterior Kapsula Interna
2. Traktus Frontopontin
Radiasio thalamika anterior terdiri dari serat saraf timbal balik antar nukleus
anterior thalami dengan girus singuli serta nukleus medial dorsalis thalami dengan
korteks area prefrontal. Fungsi dari traktus ini berhubungan dengan fungsi kognisi yaitu
tentang perhatian, memori terutama jangka pendek, perencanaan dan motivasi. Mengatur
fungsi eksekutif misalnya kemampuan merencanakan masa depan yang merupakan hasil
dari tindakan saat ini, kemampuan membedakan tindakan yang baik dan buruk serta
dapat mencari kesamaan atau perbedaan pada suatu benda atau keadaan. Juga berkaitan
dengan memori yang berkaitan dengan emosi. Radiasio thalamika juga mengatur sensasi
rasa nyeri, rabaan kasar (umum), rabaan spesifik, suhu, posisi dan gerakan anggota tubuh
dan premotor di area asosiasi korteks serebri lobus frontal berakhir dalam hubungan
sinaptik dengan sel-sel neuron di dalam nukleus pontin ipsilateral. Setelah bersinap
melalui traktus pontoserebelar yang sebagian besar menyilang garis median di daerah
basis pontin. Traktus ini memegang peranan penting pada pengendalian fungsi motorik
pada area wajah yaitu mengatur nervus trigeminus (N.V), nervus fasialis (N.VII) dan
8
Gangguan pada krus anterior akan menimbulkan gejala klinis berupa sindrom
fungsi kognisi yaitu penurunan perhatian, tidak dapat berkonsentrasi pada satu
aktivitas dan mudah dialihkan oleh stimulus yang baru. Gangguan memori terutama
memori jangka pendek, IQ formal dan memori jangka panjang relatif tetap masih
utuh. Adanya gangguan fungsi eksekutif seperti tidak mampu merencanakan masa
berlangsung secara drastis. Emosi tidak tergambar pada wajah dan suara, misalnya
penurunan motivasi, tidak ingin dan tidak semangat melakukan aktivitas sehari-hari.
tidak ingin membersihkan dan merawat dirinya sendiri, berpakaian dengan bantuan
dan tidak berniat melakukan pekerjaan yang regular (Duus, 2005 ; Moeller 2007).
Anestesi total pada sisi tubuh kontralateral, rasa nyeri, rabaan kasar (umum)
dan suhu dapat pulih kembali. Sedangkan rasa raba spesifik, rasa posisi dan rasa
gerakan anggota tubuh lambat pulih dan mengalami gangguan berat (Greenstein,
2000).
Lesi pada krus anterior terutama pada traktus frontopontin dapat menimbulkan
kelemahan otot-otot dagu (N.V), paralisis wajah bagian bawah dan kelemahan ringan
pada area dahi (N. VII) dan kelemahan otot lidah (N.XII) ( Snell, 2010).
terutama paling sering karena gangguan vaskuler misal stroke atau Transient Iskemik
Attack (TIA) yang terjadi karena blokade aliran darah pada otak atau karena ruptur
pembuluh darah atau aneurisma. Penyebab yang lain dapat berupa cedera kepala,
9
infeksi, tumor intrakranial, proses autoimun, gangguan metabolik, toksik dan
Genu terdiri dari hanya satu kelompok serat saraf yaitu traktus kortikonuklear
yang berasal dari daerah optokinetik frontal daerah muka (facies) pada korteks area
nervus troclearis dan nervus abduscen. N. III mengatur pergerakan bola mata dan
mengatur spingter pupil dan otot-otot badan siliar. Otot-otot penggerak bola mata
trochlearis berfungsi mengatur pergerakan bola mata ke arah bawah dan rotasi ke
melayani muskulus rektus lateralis untuk gerakan mengabduksi mata. Area genu juga
biccinator, muskulus mentalis dan muskulus platisma yang dilayani oleh nervus
fasialis dan otot lidah yaitu muskulus genioglosus yang dilayani oleh nervus
hipoglosus pada sisi kontralateral serta dan palatum mole pada sisi kontralateral (
10
a. Penderita tidak dapat mengadakan abduksio bola mata pada sisi kontralateral
lesi, walaupun fiksasi otomatis atau gerakan mengikuti sesuatu (following eye
melirik ke bawah dan gerakan bola mata ke segala arah. ( Campbell 2005).
sehingga tampak hidung dan mulut tertarik ke sisi yang sehat, sulkus
nasolabialis lebih datar daripada di sisi yang sehat dan ujung bibir sisi yang
dengan baik atas kemauan, walaupun ia dapat mengerutkan dahi dan menutup
kedua mata dengan baik atas perintah atau kemauan, sedangkan senyum
c. Paresis nervus hypoglosus yang melayani otot-otot lidah juga pada sisi
kontralateral. Lidah di dalam mulut tampak mencong ke sisi yang sehat dan
jika lidah dijulurkan ke luar tampak deviasi ke sisi yang sakit. Gangguan
11
Gangguan pada genu kapsula interna umumnya disebabkan oleh gangguan
vaskular berupa stroke, penyebab yang lain dapat berupa infeksi, tumor, autoimun,
Krus posterior kapsula interna terbagi menjadi tiga bagian yaitu pars
pada 2/3 anterior dari krus posterior kapsula interna dan 1/3 posterior dari krus
posterior terdiri dari serat sensori, radiasio optika, serat akustik dan serat saraf dari
lobus oksipital dan lobus temporal menuju nukleus pontin (Netter 2002).
Terdiri dari tiga serabut saraf yaitu traktus kortikospinal, traktus kortikorubra
a. Traktus Kortikospinal
Disebut juga sebagai traktus piramidalis, berasal dari korteks motorik dan
berjalan melalui substansia alba serebri (korona radiata), krus posterior kapsula
interna ( serabut terletak sangat berdekatan disini), bagian sentral pedunkulus serebri,
pons dan basal medula (bagian anterior) tempat traktus terlihat sebagai penonjolan
kecil disebut piramid. Pada bagian bawah ujung medula serabut piramidal menyilang
ke sisi lain di dekusasio piramidum. Serabut yang tidak menyilang berjalan menuruni
12
di funikulus lateral kontralateral sebagai traktus kortikospinal lateralis (Ropper, 2005 ;
Saunder, 2007).
Memahami traktus ini berarti memahami pula bagaimana satu sisi tubuh
dikendalikan oleh bagian otak pada sisi kontralateral. Hemisfer kiri otak mengontrol
sisi tubuh kanan dan hemisfer kanan mengontrol sisi tubuh bagian kiri. Korteks
motorik mengirim impuls ke daerah spinal seperti mengirim suatu pesan. Traktus
kortikospinal mengatur gerakan volunter seperti gerakan pada lengan, tungkai, jari-
b. Traktus Kortikorubra
Traktus ini berasal dari area Brodmann 6 menuju ke nukleus ruber pada sisi
gerakan pelan, penyesuaian tonus otot, gerakan asosiasi dan integrasi otonom.
Serabut saraf yang berasal dari nukleus ventralis posterior menuju ke area
Brodmann 3,2,1. Dan sebaliknya dari area Brodmann 3,2,1 menuju ke nukleus
ventralis posterior. Serta serat dari nukleus thalami ventralis anterior dan ventralis
mengaktivasi non spesifik impuls sensori dan merupakan stasiun relay untuk impuls
sensorik khusus yang kemudian dihantarkan ke area korteks yang sesuai. Traktus ini
13
2.3.2 Neurofisiologi Pars Sublentikular
Pars sublentikular terdiri dari empat serabut saraf yaitu radiasio akustika,
a. Radiasio akustika
Radiasio akustika atau radiasio auditori merupakan serat saraf yang berasal dari
korpus genikulatum medial berjalan melalui krus posterior kapsula interna menuju
area Brodmann 41 dan 42 begitu pula sebaliknya, serabut saraf dari Brodmann 41 dan
berfungsi sebagai area untuk memproses persepsi nada, sedangkan area Brodmann 42
untuk persepsi fonemik. Berfungsi untuk proses mendengar bunyi, suara, percakapan
b. Traktus Kortikotektalis
kolikulus kranialis. Fungsi dari area Brodmann 20 adalah untuk pemahaman suara dan
tempat memproses informasi visual dan auditorik serta mengatur refleks optik yang
berkaitan dengan gerakan-gerakan leher dan trunkus. ( Scanlon, 2006 ; Snell, 2010).
c. Traktus Temporoparietooksipitopontin
Serabut saraf berasal dari korteks lobus temporalis, parietal dan oksipital menuju
ke nukleus pontin. Lobus temporal adalah area yang berhubungan dengan emosi dan
14
fungsi mental yang lebih tinggi seperti memori dan bahasa. Area ini juga
berhubungan dengan area auditori dan pengenalan wajah. Lobus temporal posterior
kiri berperan dalam proses belajar dan memori verbal. Sedangkan lobus temporal
posterior kanan berperan dalam proses belajar dan memori visual. Lobus parietal
berfungsi sebagai general sensorik pada area wajah, lengan dan tungkai, pusat perasa
penamaan suatu objek. Sedangkan lobus oksipital berfungsi pada penglihatan dan
d. Radiasio Optika
Merupakan serabut saraf yang berjalan bolak balik antara korpus genikulatum
lateral dan korteks area Brodmann 17. Fungsi korpus genikulatum lateral yaitu
sebagai area relay visual. Area Bodmann 17 berfungsi dalam penglihatan kecerahan,
warna, bentuk dan pergerakan suatu benda serta mengatur kemampuan penglihatan
Sidharta, 2010).
a. Traktus kortikotegmentalis
15
dalam mendukung otot-otot mata ekstraokuler dalam menggerakkan bola mata
b. Traktus Kortikotektalis
Serabut serat saraf yang berasal dari area Brodmann 18 dan 19 menuju ke
memiliki hubungan titik-titik secara timbal balik dengan area asosiasi lobus parietal
dan oksipital. Area asosiasi ini dikelilingi oleh korteks somatosensorik, visual dan
mengatur ukuran pupil ( muskulus sphincter pupilae) sebagai adanya respon cahaya
serta mengatur akomodasi mata oleh muskulus siliaris. Kolikulus kranial sebagai
stasiun relay pendengaran dan visual, mengatur reflex optik yang berkaitan dengan
pandang atas dan bawah, sedangkan area Brodmann 19 berperan dalam memori
c. Traktus Kortikorubra
Serabut saraf berjalan dari korteks area Brodmann 19 menuju nukleus ruber.
berperan dalam lengkung reflek yang mengatur postur tubuh dan gerakan volunter
d. Traktus kortikonigralis
Serabut saraf berasal dari korteks area Brodmann 19 menuju ke substansia nigra
yang homolateral. Substansia nigra adalah nukleus motorik yang besar terletak di
16
antara tegmentum dan krus serebri kedua sisi. Merupakan komponen penting pada
Gambar 2.4 Traktus-traktus pada krus anterior, genu dan krus posterior
( Young, 2008)
a. Fase akut menyebabkan reflek tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan
terdapat kelemahan flaksid pada otot. Reflek muncul kembali beberapa hari atau
beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif karena spindel otot berespon
fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ektremitas bawah. Hipersensitif ini terjadi
akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral desenden pada sel-sel fusimotor yang
17
mempersarafi spindel otot. Serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara
permanen dan lebih mudah berespon terhadap peregangan otot lebih lanjut
tonus spastik dan hiperefleksia serta tanda-tanda traktus piramidal dan klonus.
dikenal baik pada jari-jari tangan dan kaki seperti tanda Babinski (ekstensi tonik
ibu jari kaki sebagai respon terhadap gesekan di telapak kaki) ( Greenstein, 2000
; Young, 2008).
terasa berat yang abnormal. Juga didapatkan kelemahan sentral yang berat
dimana pasien jatuh kearah yang berlawanan dengan sisi lesi dan mungkin tidak
dapat duduk tanpa bantuan. Manifestasi ini timbul secara sendiri-sendiri atau
bersamaan dengan transient thalamic neglect yaitu baik fungsi motorik dan
dan atensi karena termasuk ke dalam sistem ARAS ( Snell, 2010 ; Wibowo,
2011).
c. Lesi pada krus posterior juga akan menimbulkan gangguan dalam bidang
auditorik yaitu gangguan persepsi nada dan persepsi fonemi, gangguan dalam
kemampuan mengenali wajah orang lain dan dirinya sendiri ( Ropper, 2005).
18
d. Lesi juga mengakibatkan terjadinya skotoma sentral, mata kontralateral
berdeviasi ke dalam pada tatapan primer ( saat melihat lurus ke depan) dan tidak
dapat diabduksi karena paresis muskulus rektus lateralis. Terdapat mata yang
hidung mata yang paresis berotasi ke atas dan dalam karena dominasi kerja
e. Gangguan sensorik baik itu visual dan auditorik. Lesi pada traktus ini akan
berupa stroke dengan thrombus, emboli atau perdarahan karena pecahnya pembuluh
darah atau aneurisma. Penyebab lain yang mungkin menyebabkan gangguan pada krus
posterior yaitu infeksi pada area posterior kapsula interna, trauma, tumor, autoimun,
Gangguan vaskular pada kapsula interna merupakan kejadian yang paling sering
menyebabkan terjadinya lesi destruktif pada sistem piramidal disebut sebagai “capsular
stroke”. Setelah terjadinya lesi pada traktus kortikospinal dan kortikobulbar pada kapsula
interna maka akan terjadi paralisis kontralateral pada lengan dan tungkai serta otot wajah
kontralateral bagian bawah. Pada beberapa kasus ditemukan kelemahan sementara pada
lidah dan palatum mole akibat kerusakan pada traktus kortikobulbar ( Scanlon, 2006;
Moeller, 2007).
19
Segera setelah terjadinya “capsular stroke”, kemampuan gerak berkurang pada
tubuh proksimal akan lebih cepat pulih daripada bagian distal. Disamping terjadi
paralisis, pada fase akut akan terjadi pula hipotonia atau penurunan tonus otot. Pada fase
kronis yaitu setelah empat sampai enam minggu akan terjadi hipertonia atau peningkatan
tonus otot berupa peningkatan tahanan pada peregangan pasif terutama gerakan otot
melawan gravitasi yaitu otot fleksor pada lengan dan jari serta otot ekstensor pada
tungkai. Hipertonia yang berat adalah berupa spastisitas, bila hipertonia disertai
lengan yang ada dalam keadaan fleksi kita lempengkan, saat awal melakukan gerakan
ekstensi akan terasa ada tahanan namun tiba-tiba tahanan tersebut menghilang dan
gerakan ekstensi dapat dilakukan tanpa perlawanan lagi. Fenomena pisau lipat ini terjadi
interneuron spinal sehingga terjadi inhibisi alpha motor neuron maka terjadilah hipertonia
Pada sindrom upper motor neuron ditemukan reflek myotatik yang meningkat
pada otot-otot antigravitasi seperti otot bisep pada lengan atas dan otot quadrisep pada
tungkai atas sehingga reflek bisep dan patela akan meningkat. Reflek yang meningkat
juga dapat berupa klonus yaitu timbulnya kontraksi ritmis yang cepat apabila dilakukan
peregangan pada otot. Klonus terjadi karena hiperaktifitas dari reflek myotonik, kontraksi
dari sekelompok otot akan merangsang respon myotonik yang antagonis ( Ropper, 2005;
Saunder, 2007).
Tanda umum yang berkaitan dengan lesi upper motor neuron adalah reflek
Babinski atau plantar ekstensor. Reflek abnormal ini didapat dengan menggores telapak
20
kaki dari arah tumit keatas menyusuri tepi lateral telapak kaki sampai pada basis jari
kelingking kemudian goresan diarahkan ke basis ibu jari kaki. Reflek Babinski positif
berupa dorso fleksi ibu jari kaki dan atau pemekaran jari-jari kaki yang lain dan selalu
dikaitkan dengan lesi destruktif pada traktus kortikospinal. Pada traktus kortikospinal
yang normal, stimulus ini akan menyebabkan fleksi dari jari-jari kaki dan plantar fleksi.
Reflek Babinski merupakan reflek tarikan spinal yang secara normal ditekan langsung
Bila ada gangguan vaskuler pada percabangan arteri pada kapsula interna maka
akan timbul berbagai gejala klinis berupa stroke. Bila lesinya kecil misal suatu infark
lakunar dapat timbul suatu pure motor hemiplegi. Bila lesinya cukup besar maka akan
timbul gejala hemiplegi dan hemianestesi. Bila lesinya luas dapat timbul gejala trias
21
2.4 Sistem Vaskularisasi
Percabangan arteri karotis interna yaitu arteri komunikan posterior, arteri khoroidalis
anterior, percabangan arteri serebri media dan percabangan arteri serebri anterior.
Cabang-cabang ini dikeluarkan dekat dengan tempat bifurkasio arteri karotis interna.
Arteri komunikan posterior dan arteri khoroidalis anterior melayani sebagian daerah
kapsula interna terutama krus posterior. Arteri serebri anterior melayani krus anterior
arteri striata ketika pembuluh darah ini berjalan di sebelah inferior substansia
perforata anterior. Cabang striata ini dibagi dalam dua kelompok yaitu arteri striata
medialis (cabang dari arteri serebri anterior) dan arteri striata lateralis ( cabang arteri
cerebri media). Arteri lentikulo striata medial atau arteri Heubneur rekuren yang
mempunyai diameter yang lebih besar dari pada yang lain. Arteri ini merupakan
cabang dari segmen A1 arteri serebri anterior, beberapa merupakan cabang proksimal
segmen A2 dan cabang arteri komunikan anterior. Arteri striata medial melayani
Krus posterior kapsula interna dilayani oleh arteri striata lateralis yang
merupakan percabangan segmen M1 arteri serebri media dan beberapa cabang dari
arteri koroidal anterior (cabang arteri karotis interna). Arteri striata lateralis ini
22
darah yang paling mudah mengalami rupture dan dikenal sebagai atreri hemoragi
emboli, maupun ruptur akan memberikan gejala klinis yang berbeda-beda sesuai
23
BAB III
RINGKASAN
Kapsula interna yaitu suatu daerah yang dilewati oleh banyak serabut-serabut saraf
bermyelin yang memisahkan nukleus lentiformis dengan nukleus kaudatus dan thalamus.
Terletak dalam serebrum simetris kanan dan kiri. Serabut saraf dalam kapsula interna
merupakan serabut proyeksi yang terdiri dari serat saraf desenden dan asenden. Kapsula
interna terbagi menjadi tiga bagian yitu krus anterior, genu dan krus posterior. Setiap bagian
dilewati oleh traktus yang berbeda serta memiliki fungsi yang berbeda pula.
mengantarkan impuls untuk otot-otot wajah lewat di bagian yang paling depan yaitu dekat
superior lewat di belakangnya yaitu bagian anterior dari krus posterior. Sedangkan serabut-
serabut untuk impuls ke otot-otot ekstremitas inferior terletak pada bagian posterior dari krus
posterior. Serabut saraf yang melewati kapsula interna selain bersifat motorik juga ada yang
bersifat sensorik.
Apabila terjadi suatu lesi destruktif misalnya infark atau hemoragik pada kapsula
interna maka akan bermanifestasi pada tubuh bagian kontralateral. Pada kapsula interna
terdapat traktus piramidal dan radiasio somatosensori thalamik yang berjalan bersama, serta
traktus kortikobulbar yang juga berjalan berdekatan. Lesi yang muncul yaitu hemiplegik
wajah bagian bawah apabila lesinya terletak pada bagian dorsal kapsula interna. Bila lesi
24
terletak pada bagian ventral kapsula interna yang melibatkan radiasio optika maka ketiga
Kelumpuhan akibat lesi pada kapsula interna mempunyai berbagai macam corak yang
ditentukan oleh lokalisasi dan sifat lesi. Namun demikian, semua kelumpuhan tersebut
diiringi oleh tanda-tanda khas yang dikenal sebagai tanda-tanda “upper motoneuron”
(UMN). Tanda-tanda kelumpuhan UMN adalah: (1) tonus otot meninggi, (2) hiperrefleksi,
(3) klonus, (4) refleks patologis, (5) tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh. Semua jenis
kelumpuhan yang timbul akibat kerusakan korteks piramidalis dan jaras kortiko-spinalis,
menunjukkan tanda-tanda kelumpuhan UMN. Tergantung pada gejala motorik tambahan atau gejala
sensorik pengantar, maka terdapatlah gambaran penyakit kelumpuhan yang dapat dikorelasikan
25
DAFTAR PUSTAKA
Moeller, T. 2007 . Pocket Atlas of Sectional Anatomy. 3th ed. New York:Thieme. pp. 55-
57.
Netter, F. 2002. Neuroanatomy & Neurophysiology. Special ed. USA: Icon Custom
Communication. Pp.4,14,71
Ngoerah, I.G.N.G. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University
Press. Pp.2-3.
Ropper, A.H. Samuels, M.A. 2005. Adams & Victors Principles of Neurology. 8th ed. USA:
The McGraw-Hill Companies.pp.246-268.
Saunders, E. 2007. Clinical Neuroanatomy and Neuroscience. 5th ed. Elsevier limited. Pp 50-
55.
Scanlon, F.C.2006. Essentials of Anatomy and Physiology. 5th ed. Philadelphia: F.A.Davis
Company.pp.348-350.
Sidharta, P. 2010. Neurologi Klinis Dasar. 7th ed. Jakarta: PT Dian Rakyat.pp.3-5
Sukardi, E. 1985. Neuroanatomia Medica. 2th ed. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
pp.258-264.
Wibowo, D. 2011. Neuroanatomi Untuk Mahasiswa Kedokteran. 1th ed. Malang: Banyu
Media Publising. pp.127-128.
Young, Paul A. 2008. Basic Clinical Neuroscience. 2th ed. USA: Lippincott. pp. 65-78.
26
27