Professional Documents
Culture Documents
Selama dua hari, 19-20 Mei 2018, Agrarian Resources Center (ARC) menggelar
pendidikan agraria bagi pemuda dan mahasiswa di Bandung. Pesertanya pun
berasal dari beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda yang terlibat advokasi
kasus-kasus perampasan tanah di Bandung.
Di bawah ini merupakan catatan diskusi yang ditulis oleh Ilyas Gautama, salah
satu peserta pendidikan tersebut. Catatannya kami bagi menjadi dua bagian
agar tidak terlalu panjang dan agar pembaca punya kesempatan untuk
menghela nafas. Selamat membaca!
Catatan Bagian I
“Kunci dari perjuangan reforma agraria dan keadilan agraria adalah
pengorganisiran massa dan pendudukan lahan.”
—Dianto Bachriadi
Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Tanah menjadi
tempat berlangsungnya kehidupan. Dari tanah juga manusia dapat
melangsungkan kehidupan. Segala kebutuhan manusia untuk melangsungkan
kehidupannya bersumber dari tanah. Tentu, manusia tak akan bisa hidup tanpa
tanah.
Namun, pada tahun 1967, sebuah perusahaan pengeruk emas tiba-tiba datang
dan menghancurkan apa yang dilindungi orang Papua. Freeport mulai
beroperasi dan mengeruk kekayaan alam di bagian kepala mama. Tempat suci
itu dikotori dan dirusak oleh perusahaan yang hanya memanjakan kaum
borjuasi internasional dan nasional. Suku Amungme seolah dianggap tak
memiliki hak apa pun atas sumber kehidupan mereka. Akibatnya, perlawanan
demi perlawanan dilakukan hingga kini, demi mengusir perusahaan yang
mengeruk alam Papua itu. Bahkan, orang Papua kini harus dikerangkeng oleh
laras senapan di mana-mana, laras senapan yang melanggengkan penindasan
atas nama “NKRI Harga Mati”.
Pencaplokan Lahan dan Konflik Agraria di Indonesia
Sejalan dengan itu semua, banyak rakyat Indonesia yang kehilangan ruang
hidupnya. Komnas HAM mencatat, pada tahun 2011-2012 terdapat 374 kasus
penggusuran di sejumlah kota besar, seperti di Bandung, Surabaya, dan Medan.
Di Jakarta, pada tahun 2015 terdapat 30 kasus penggusuran yang menimpa
3.433 kepala keluarga. Ini merupakan masalah-masalah tanah di perkotaan
yang akan selalu muncul di bawah rezim kapitalisme global.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh tentang tanah di perkotaan dari
berbagai corak produksi. Pada masa pra kapitalis, khususnya feodal,
pengaturan penggunaan tanah sepenuhnya berada di tangan bangsawan atau
raja. Mayoritas tanah dialokasikan untuk infrastruktur pemerintahan, militer,
dan keagamaan, serta infrastruktur untuk memperlancar distribusi barang dan
orang. Pada masa ini juga terjadi penataan/penetapan zoning pemanfaatan
ruang. Konsesi-konsesi tanah secara khusus banyak diadakan bersamaan
dengan munculnya perusahaan-perusahaan dagang asing yang “mangkal” di
sejumlah negara penyedia hasil bumi, barang tambang, atau negara/daerah
transit.
Kota-kota dibangun dan berkembang menjadi pusat kendali dan kontrol atas
wilayah-wilayah ekstraktif. Dalam skala lokal, kota-kota itu sendiri juga tumbuh
berkembang menjadi pusat perekonomian (jasa dan perdagangan):
meningkatkan arus urbanisasi, dan peningkatan harga tanah. Ketika tanah-
tanah pertanian yang diubah menjadi kawasan-kawasan industri ekstraktif, dan
ketika kawasan-kawasan industri manufaktur juga dikembangkan di wilayah
kapitalisme pinggiran, arus urbanisasi semakin besar: pemukiman-pemukiman
orang miskin yang tidak tertata—penguasa menyebutnya sebagai “pemukiman
liar” dan “kumuh”—mulai marak bermunculan di kota.
Ada yang melawan di tempat kerjanya, ada yang melawan di sekolahnya, dan
ada juga yang melawan di atas tanahnya. Mereka yang terakhir ini, membawa
misi untuk melawan ketimpangan penguasaan tanah oleh segelintir orang.
Salah satu jalan keluar dari ketimpangan penguasaan tanah itu adalah reforma
agraria.**
Arc.or.id mei 2018, catatatn pendidikan agrarian untuk pemuda dan mahasiswa diakses minggu 20
januari 2019 pada 2.59
Reforma Agraria
Reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, kemudian menjadi bahasa Inggris
yang berarti reform (merombak). Reforma agaria bukan merupakan tujuan
akhir, ia hanya tahapan dalam perubahan menuju keadilan sosial. Reforma
agraria nantinya menyediakan dasar bagi industrialisasi di pedesaan. Reforma
agraria merupakan transisi dari kondisi agraris ke industrialisasi yang berbasis
substitusi. Karena reforma agraria merupakan sebuah program, maka reforma
agraria juga bergantung pada visi masyarakat yang ingin dicapai.
1. Perombakan Struktur
– Pemerataan penguasaan tanah untuk petani miskin dan buruh tani
– Pembatasan penguasaan tanah
2. Penataan dan pengembangan usaha produksi bersama
Dari sini tampak jelas perbedaan antara reforma agraria kapitalistik dan
reforma agraria sosialisme. Reforma agraria kapitalistik hanya melakukan
legalisasi tanah dalam bentuk sertifikasi. Bentuk penguasaannya pun masih
timpang, dan jauh dari wacana penguasaan tanah berbasis kolektif.
Ada dua cara dalam mengupayakan reforma agraria sosialis. Melalui negara
atau melalui kekuatan politik alternatif dari bawah. Reforma agraria yang
dilakukan oleh negara bisa dengan efektif melakukan pembatasan penguasaan
tanah. Ia juga bisa efisien dalam melakukan distribusi tanah secara merata.
Namun, perlu usaha yang kuat dan persiapan yang panjang menuju reforma
agaria.
Bagi warga yang sepakat bergabung MST, mereka akan dipersiapkan oleh
kader-kader MST dengan diberikan pendidikan dan masa percobaan selama tiga
bulan di kamp pertama. Di sana mereka akan diberi pendidikan dasar berupa
tujuan berorganisasi, cita-cita perjuangan, disiplin organisasi, taktik perjuangan
serta kerja sama.
Jika massa sudah siap, mereka akan diberangkatkan menuju kamp kedua
sebagai masa percobaan awal untuk pendudukan lahan. Di kamp ini massa
mulai menduduki lahan-lahan publik yang punya sedikit potensi resistensi dari
pemerintah setempat. Pada tahap ini, massa belajar untuk bersosialisasi,
mempraktikkan disiplin dan kolektivisme untuk bertahan hidup. Meski di kamp
kedua ini jarang terjadi gesekan dengan aparat, tetap saja ada persiapan lobi
dan advokasi bagi massa melalui jejaring yang ada, seperti NGO dan
organisasi-organisasi lain yang turut membantu, baik itu bersifat bantuan
hukum atau logistik.
Lalu jika massa sudah siap mereka kemudian akan pindah kamp ketiga dan
melakukan pendudukan lahan. Di tempat inilah, upaya perlawanan dari pihak
tuan tanah dan aparat gencar terjadi dan menimbulkan bentrok dengan massa
yang akan menduduki lahan. Jika perlawanan ini dimenangkan massa, maka
mereka kemudian akan menduduki lahan dan memulai mengubah sedikit demi
sedikit corak produksinya.
Namun, jika upaya pendudukan itu gagal, mereka akan kembali lagi ke kamp
kedua dan mempersiapkan lagi upaya pendudukan lahan. Sesekali mereka akan
mencoba untuk menduduki kembali kamp ketiga sampai akhirnya berhasil
mengusir tuan tanah. Biasanya mereka bahkan bisa menghabiskan waktu 3-5
tahun di kamp kedua. Karenanya, tak jarang anggota massa yang
meninggalkan perjuangan di tengah-tengah jalan. Tetapi, banyak juga di antara
mereka yang berhasil bahkan hingga ke generasi berikutnya.
Ilyas Gautama