You are on page 1of 9

Pendidikan agraria untuk pemuda dan mahasiswa, 19-20 Mei 2018. Dok. ARC.

Selama dua hari, 19-20 Mei 2018, Agrarian Resources Center (ARC) menggelar
pendidikan agraria bagi pemuda dan mahasiswa di Bandung. Pesertanya pun
berasal dari beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda yang terlibat advokasi
kasus-kasus perampasan tanah di Bandung.

Pendidikan tersebut terdiri dari enam materi pembahasan. Di hari pertama,


terdapat materi “Arti Penting Penguasaan Tanah dan Pertanian”, “Akar-akar dan
Penyebab Masalah Agraria di Indonesia”, dan “Reforma Agraria”. Hari
berikutnya, diisi dengan materi “Masalah Tanah Perkotaan di Indonesia”,
“Pembangunan Kota Bandung dan Penggusuran Paksa”, serta “Masalah Agraria
dan Gerakan Sosial” yang mengambil contoh gerakan Movimento dos
Trabalhadores Sem Terra (MST) di Brasil. Kecuali topik pembangunan dan
penggusuran paksa di Kota Bandung yang difasilitasi Frans Ari Prasetyo, seluruh
materi pendidikan difasilitasi oleh Dianto Bachriadi, peneliti senior ARC.

Di bawah ini merupakan catatan diskusi yang ditulis oleh Ilyas Gautama, salah
satu peserta pendidikan tersebut. Catatannya kami bagi menjadi dua bagian
agar tidak terlalu panjang dan agar pembaca punya kesempatan untuk
menghela nafas. Selamat membaca!

Catatan Bagian I
“Kunci dari perjuangan reforma agraria dan keadilan agraria adalah
pengorganisiran massa dan pendudukan lahan.”
—Dianto Bachriadi

Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Tanah menjadi
tempat berlangsungnya kehidupan. Dari tanah juga manusia dapat
melangsungkan kehidupan. Segala kebutuhan manusia untuk melangsungkan
kehidupannya bersumber dari tanah. Tentu, manusia tak akan bisa hidup tanpa
tanah.

Di Papua, misalnya, tanah dianggap sebagai mama yang menjadi sumber


kehidupan bagi orang Papua. Bahkan suku Amungme, menganalogikan tanah di
Papua sebagai anatomi tubuh perempuan. Jika dilihat dari peta Pulau Papua,
daerah pesisir selatan mereka dianalogikan sebagai kaki. Bagi suku Amungme
daerah pesisir ini disebut daerah kotor dan dipenuhi oleh roh-roh jahat. Ini
cukup masuk akal karena di bagian pesisir, merupakan teritori kekuasaan suku
lainnya, yaitu suku Komoro. Risiko mati tertembak anak panah, sangat besar
jika ada suku lain yang melintas teritori tersebut.

Selanjutnya, sepertiga pulau dianalogikan sebagai bagian tubuh perempuan,


antara paha hingga pinggang. Suku Amungme menganggap bagian pulau ini
sebagai yang paling subur: ia menyediakan air dan sumber kehidupan,
sebagaimana rahim yang menjadi awal mula manusia hadir ke dunia. Lalu, di
bagian paha hingga dada adalah Pegunungan Jayawijaya yang subur dan
menjadi sumber air bagi daerah-daerah sekitarnya. Terakhir, bagian “kepala
burung” adalah tempat paling suci dan keramat. Suku Amungme menganggap
tempat itu merupakan peristirahatan terakhir roh-roh leluhur mereka. Inilah
sebabnya tanah begitu penting bagi orang Papua dan sangat erat kaitannya
dengan keberlangsungan hidup mereka.

Namun, pada tahun 1967, sebuah perusahaan pengeruk emas tiba-tiba datang
dan menghancurkan apa yang dilindungi orang Papua. Freeport mulai
beroperasi dan mengeruk kekayaan alam di bagian kepala mama. Tempat suci
itu dikotori dan dirusak oleh perusahaan yang hanya memanjakan kaum
borjuasi internasional dan nasional. Suku Amungme seolah dianggap tak
memiliki hak apa pun atas sumber kehidupan mereka. Akibatnya, perlawanan
demi perlawanan dilakukan hingga kini, demi mengusir perusahaan yang
mengeruk alam Papua itu. Bahkan, orang Papua kini harus dikerangkeng oleh
laras senapan di mana-mana, laras senapan yang melanggengkan penindasan
atas nama “NKRI Harga Mati”.
Pencaplokan Lahan dan Konflik Agraria di Indonesia

Pasca kemerdekaan para founding fathers Indonesia, seperti Soekarno dan


Hatta, sepakat bahwa tanah adalah alat produksi rakyat yang memiliki fungsi
sosial dan bukan untuk kaum pemodal yang menjadikan tanah sebagai
komoditi. Karenanya, bersama kelompok gerakan kiri, mereka kemudian
menyusun program reforma agraria untuk menegakan keadilan tanah bagi
rakyat Indonesia.

Sejak 1950-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama underbouw-nya,


Barisan Tani Indonseia (BTI) dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI), memperjuangkan keadilan penguasaan tanah dan distribusi tanah
yang merata. Sayangnya, para tuan tanah tidak secara sukarela melepas
tanahnya. Akibatnya, Soekarno digulingkan oleh embrio Orde Baru Soeharto,
diiringi oleh penghancuran gerakan rakyat secara masif. Rezim otoriter
Soeharto kemudian berdiri dan perampasan lahan terus-menerus terjadi.

Penggusuran menjelang pembangunan Waduk Kedung Ombo hanyalah satu


contoh kasus dari banyaknya perampasan lahan yang terjadi di rezim Orde Baru
untuk kepentingan kapital. Di bawah negara dengan
ideologi developmentalisme yang otoriter, gerakan rakyat untuk keadilan tanah
harus tiarap dari todongan moncong senjata militer.

Grafik penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, menunjukkan


adanya kenaikan setiap tahunnya. Namun, rezim kapitalisme birokrat ini terlalu
korup dan berbelit sehingga kapitalisme global tidak memerlukan terlalu banyak
campur tangan negara dalam pasar. Syarat-syarat yang diterapkan pemerintah,
membuat korporasi swasta harus mengeluarkan banyak ongkos saat hendak
mengakumulasi kapital. Rezim Orde Baru jadi tidak efektif dan tidak efisien.
Krisis kemudian pecah, Orde Baru tumbang, terjadi Reformasi.

Lahirnya Reformasi justru membuat kapital bergerak dengan leluasa.


Perampasan lahan, kekerasan aparat, dan pemberangusan gerakan rakyat kian
bertambah jumlahnya seiring dengan lonjakan penanaman modal di Indonesia.
Dalam kurun waktu tiga tahun, dari 2004 hingga 2007, penanaman modal
dalam negeri maupun luar negeri melonjak cepat. Kebijakan dan regulasi di
Indonesia segera menyesuaikan diri dengan gerak kapital. Pembentukan
koridor-koridor ekonomi baru, penciptaan kawasan-kawasan industri serta
penyediaan tenaga kerja murah adalah contoh bagaimana rezim pasca Orde
Baru mengakomodir kepentingan kapital. Otonomi dengan semangat
demokratisasi pada rezim ini hanya menjadi sebuah pembenaran bagi kapital
agar mudah melewati segala macam halangan birokrasi untuk mengeruk
kekayaan alam di berbagai daerah.

Sejalan dengan itu semua, banyak rakyat Indonesia yang kehilangan ruang
hidupnya. Komnas HAM mencatat, pada tahun 2011-2012 terdapat 374 kasus
penggusuran di sejumlah kota besar, seperti di Bandung, Surabaya, dan Medan.
Di Jakarta, pada tahun 2015 terdapat 30 kasus penggusuran yang menimpa
3.433 kepala keluarga. Ini merupakan masalah-masalah tanah di perkotaan
yang akan selalu muncul di bawah rezim kapitalisme global.

Masalah Tanah di Perkotaan

Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh tentang tanah di perkotaan dari
berbagai corak produksi. Pada masa pra kapitalis, khususnya feodal,
pengaturan penggunaan tanah sepenuhnya berada di tangan bangsawan atau
raja. Mayoritas tanah dialokasikan untuk infrastruktur pemerintahan, militer,
dan keagamaan, serta infrastruktur untuk memperlancar distribusi barang dan
orang. Pada masa ini juga terjadi penataan/penetapan zoning pemanfaatan
ruang. Konsesi-konsesi tanah secara khusus banyak diadakan bersamaan
dengan munculnya perusahaan-perusahaan dagang asing yang “mangkal” di
sejumlah negara penyedia hasil bumi, barang tambang, atau negara/daerah
transit.

Pada masa kapitalisme global, kota-kota di area-area kapitalisme pinggiran—


yang sebelumnya menjadi transit nilai-lebih bagi kota-kota di pusat kapitalisme
global—kini didorong menjadi bagian penting dari jaringan sirkuit kapital global.
Tanah dan properti menjadi komoditas paling bernilai di perkotaan, dan terjadi
konsentrasi penguasaan tanah.

Kota-kota dibangun dan berkembang menjadi pusat kendali dan kontrol atas
wilayah-wilayah ekstraktif. Dalam skala lokal, kota-kota itu sendiri juga tumbuh
berkembang menjadi pusat perekonomian (jasa dan perdagangan):
meningkatkan arus urbanisasi, dan peningkatan harga tanah. Ketika tanah-
tanah pertanian yang diubah menjadi kawasan-kawasan industri ekstraktif, dan
ketika kawasan-kawasan industri manufaktur juga dikembangkan di wilayah
kapitalisme pinggiran, arus urbanisasi semakin besar: pemukiman-pemukiman
orang miskin yang tidak tertata—penguasa menyebutnya sebagai “pemukiman
liar” dan “kumuh”—mulai marak bermunculan di kota.

Pertarungan politik elektoral di perkotaan sering kali membuat persoalan


keberadaan “perkampungan kumuh” semakin kompleks. Mereka cenderung
tidak diurus karena pemerintah kota lebih mengabdi kepada kepentingan
kelancaran dan keberlanjutan kota sebagai bagian dari sirkuit kapital global.
Konsentrasi penguasaan tanah di perkotaan mengikuti perkembangan kota-kota
di daerah metropolis, dengan kecenderungan gentrification—suatu kondisi
ketika kota hanya diperuntukkan bagi orang kaya dan orang miskin
disingkirkan. Namun, alih-alih menangani membludaknya arus urbanisasi yang
terjadi di perkotaan yang diakibatkan oleh maraknya perampasan lahan di
pedesaan, pemerintah justru menggusur ruang hidup masyarakat kampung
kota dan menjadikannya komoditi dagang yaitu bisnis properti.

Ketimpangan dan kemiskinan yang disebutkan terjadi di Indonesia, hanyalah


sebagian kecil dari penindasan yang disebabkan perampasan lahan. Di kota
lain, pulau lain, dan belahan dunia lain, perampasan lahan terus berlangsung
dan mengorbankan kehidupan manusia dan kelestarian alam. Mereka yang
hidup dan tak memiliki lahan akhirnya terpaksa menjual tenaga kerja mereka
kepada perusahaan-perusahaan. Tenaga, waktu, dan kehidupan mereka,
dirampas demi akumulasi nilai-lebih yang dikuasai segelintir orang. Sebagian
banyak yang lain harus terus menyambung hidup di bawah rezim kapitalisme
global yang kian hari kian menindas. Tapi tak jarang masih ada orang-orang
yang dengan semangat dan pantang menyerah melawan keserakahan
kapitalisme, meski mati adalah harga yang mesti dibayar dari perjuangan
panjang ini.

Ada yang melawan di tempat kerjanya, ada yang melawan di sekolahnya, dan
ada juga yang melawan di atas tanahnya. Mereka yang terakhir ini, membawa
misi untuk melawan ketimpangan penguasaan tanah oleh segelintir orang.
Salah satu jalan keluar dari ketimpangan penguasaan tanah itu adalah reforma
agraria.**

Arc.or.id mei 2018, catatatn pendidikan agrarian untuk pemuda dan mahasiswa diakses minggu 20
januari 2019 pada 2.59

Reforma Agraria

Reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, kemudian menjadi bahasa Inggris
yang berarti reform (merombak). Reforma agaria bukan merupakan tujuan
akhir, ia hanya tahapan dalam perubahan menuju keadilan sosial. Reforma
agraria nantinya menyediakan dasar bagi industrialisasi di pedesaan. Reforma
agraria merupakan transisi dari kondisi agraris ke industrialisasi yang berbasis
substitusi. Karena reforma agraria merupakan sebuah program, maka reforma
agraria juga bergantung pada visi masyarakat yang ingin dicapai.

Jika yang di maksud oleh pembuat kebijakan reforma agraria adalah


kapitalisme, maka, reforma agraria itu bisa mempercepat kapitalisme. Hal itu
pernah terjadi di Jepang, Taiwan, dll. Dalam program reforma agraria
sosialisme terdapat dua poin utama:

1. Perombakan Struktur
– Pemerataan penguasaan tanah untuk petani miskin dan buruh tani
– Pembatasan penguasaan tanah
2. Penataan dan pengembangan usaha produksi bersama

Dari sini tampak jelas perbedaan antara reforma agraria kapitalistik dan
reforma agraria sosialisme. Reforma agraria kapitalistik hanya melakukan
legalisasi tanah dalam bentuk sertifikasi. Bentuk penguasaannya pun masih
timpang, dan jauh dari wacana penguasaan tanah berbasis kolektif.

Ada dua cara dalam mengupayakan reforma agraria sosialis. Melalui negara
atau melalui kekuatan politik alternatif dari bawah. Reforma agraria yang
dilakukan oleh negara bisa dengan efektif melakukan pembatasan penguasaan
tanah. Ia juga bisa efisien dalam melakukan distribusi tanah secara merata.
Namun, perlu usaha yang kuat dan persiapan yang panjang menuju reforma
agaria.

Cara lainnya adalah dengan membangun kekuatan politik alternatif. Dengan


melakukan okupasi dan pendudukan lahan yang kemudian diubah corak
penguasaan dan produksinya menjadi kolektif. Namun, jelas ini juga tidak
mudah. Perlu persiapan yang matang untuk membangun gerakan ini. Perlu ada
pendidikan ideologis bagi massa tani maupun kaum miskin kota. Perlu suatu
organisasi tani yang kuat dan terkonsolidasi dengan baik, punya pengaruh
politik, dan punya angkatan bersenjata.

Poin terakhir menjadi syarat karena perjuangan mempertahankan lahan


ataupun pendudukan lahan adalah perjuangan sarat kekerasan dan perlawanan
dari kaum kontra-reform. Para tuan tanah tidak akan dengan sukarela melepas
tanah-tanah mereka. Sudah pasti, jika seperti ini, aparat bersenjata negara
akan dikerahkan untuk menghabisi gerakan rakyat. Maka dari itu massa rakyat
harus siap menghadapi ini dengan membangun kekuatan bersenjata yang
berasal dari rakyat dan mengabdi pada rakyat itu sendiri.

MST dan Gerakan Reforma Agraria Sosialis


Movimento dos Trabalhadores Sem Terra (MST) merupakan suatu organisasi
yang berjuang untuk keadilan tanah di Brasil. MST melakukan pengorganisiran
kaum buruh tani, buruh dan kaum miskin kota sebagai basis massa utama di
beberapa daerah di Brasil. Mereka meyakini buruh tani itu sendiri harus
memimpin gerakannya, salah satu caranya adalah dengan mendorong
keterlibatan buruh-buruh tani dalam serikat-serikat dan/atau partai politik.

Salah satu cerita bagaimana MST mengorganisir massa adalah dengan


mendatangi kaum miskin kota di kampung-kampung kota yang ada di Brasil.
Mereka menawarkan kepada warga kampung kota untuk melakukan gerakan
pendudukan lahan demi mendapatkan tanah. Lahan-lahan yang diduduki adalah
lahan-lahan milik tuan tanah di Brasil.

Bagi warga yang sepakat bergabung MST, mereka akan dipersiapkan oleh
kader-kader MST dengan diberikan pendidikan dan masa percobaan selama tiga
bulan di kamp pertama. Di sana mereka akan diberi pendidikan dasar berupa
tujuan berorganisasi, cita-cita perjuangan, disiplin organisasi, taktik perjuangan
serta kerja sama.

Jika massa sudah siap, mereka akan diberangkatkan menuju kamp kedua
sebagai masa percobaan awal untuk pendudukan lahan. Di kamp ini massa
mulai menduduki lahan-lahan publik yang punya sedikit potensi resistensi dari
pemerintah setempat. Pada tahap ini, massa belajar untuk bersosialisasi,
mempraktikkan disiplin dan kolektivisme untuk bertahan hidup. Meski di kamp
kedua ini jarang terjadi gesekan dengan aparat, tetap saja ada persiapan lobi
dan advokasi bagi massa melalui jejaring yang ada, seperti NGO dan
organisasi-organisasi lain yang turut membantu, baik itu bersifat bantuan
hukum atau logistik.

Lalu jika massa sudah siap mereka kemudian akan pindah kamp ketiga dan
melakukan pendudukan lahan. Di tempat inilah, upaya perlawanan dari pihak
tuan tanah dan aparat gencar terjadi dan menimbulkan bentrok dengan massa
yang akan menduduki lahan. Jika perlawanan ini dimenangkan massa, maka
mereka kemudian akan menduduki lahan dan memulai mengubah sedikit demi
sedikit corak produksinya.

Namun, jika upaya pendudukan itu gagal, mereka akan kembali lagi ke kamp
kedua dan mempersiapkan lagi upaya pendudukan lahan. Sesekali mereka akan
mencoba untuk menduduki kembali kamp ketiga sampai akhirnya berhasil
mengusir tuan tanah. Biasanya mereka bahkan bisa menghabiskan waktu 3-5
tahun di kamp kedua. Karenanya, tak jarang anggota massa yang
meninggalkan perjuangan di tengah-tengah jalan. Tetapi, banyak juga di antara
mereka yang berhasil bahkan hingga ke generasi berikutnya.

Anak-anak warga yang ikut meninggalkan kampungnya di kota, terutama dari


tingkat TK hingga SD akan diberikan pendidikan di lokasi kamp dengan tenaga
pengajar yang ada dari jejaring maupun kader MST itu sendiri. Bagi mereka
yang sekolahnya sudah sampai tingkat SMP, akan dibiayai hingga tingkat
perguruan tinggi dan diwajibkan mengabdi untuk perjuangan-perjuangan
reforma agraria sosialis di Brasil. Mereka yang disekolahkan itu nantinya bisa
menjadi kader MST atau menjadi NGO serta tenaga-tenaga terdidik lainnya
yang mendukung gerakan MST. Hingga saat ini MST masih terus melakukan
pengorganisasian dan melakukan pendudukan lahan tuan-tuan tanah di
Brasil.**

Ilyas Gautama

You might also like