You are on page 1of 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
1) Columna Vertebralis dan Vertebra Lumbal
Columna vertebralis terbentang dari kranium sampai ujung Os
coccygeus dan merupakan unsur utama kerangka aksial. Columna
vertebralis menyokong kepala dan melindungi medulla spinalis. Columna
vertebralis terdiri dari 33 vertebra yang terbagi menjadi 7 vertebra
cervicalis, 12 vertebra thorakalis, yang berhubungan dengan costae, 5
vertebra lumbalis, 5 vertebra sacral yang menyatu membentuk sacrum, dan
4 vertebra koksigeal (Gambar 1.). 1

Gambar 1. Columna Vertebralis.

Columna vertebralis membentuk saluran untuk spinal cord yang


merupakan struktur sangat sensitif dan penting karena menghubungkan

1
otak dengan sistem saraf perifer. Di antara vertebra terdapat discus
intervertebralis yang berfungsi mengabsorbsi pergerakan berat. Vertebra
bersama diskus intervertebralis membentuk columna yang elastis. Columna
vertebralis lumbal terdiri dari 5 buah vertebra lumbal yang menyangga
sebagian besar berat badan. Walaupun strukturnya lebih tebal karena
berfungsi menyangga sebagian besar berat badan, tidak menjamin vertebra
lumbalis tersebut dapat terhindar dari kerusakan. 1,2
2) Medulla Spinallis dan Meningen
Medulla spinalis dan meningen terletak di dalam canalis vertebralis
dan merupakan pusat refleks dan jalur konduksi utama antara tubuh dan
otak. Medulla spinalis terlindung oleh vertebra, ligamentum serta ototnya
dan cairan serebrospinal (CSS). Medulla spinalis berawal sebagai lanjutan
medulla oblongata, bagian kaudal truncus encephali. Pada orang dewasa
medulla spinalis terbentang dari foramen magnum os occipitale sampai
diskus intevertebralis antara vertebra lumbal I dan vertebral lumbal II,
tetapi dapat berakhir pada vertebra thorak ke XII atau vertebra lumbal III.
Dengan demikian medulla spinalis hanya memenpati bagian dua pertiga
kranii canalis vertebralis (Gambar 2.). 1

Gambar 2. Dermatom Nervus Spinalis.

2
3) Nervus Spinalis, Cauda Equina dan Conus Medullaris
Tiga puluh satu pasang saraf spinal (nervus spinalis) keluar dari
medulla spinalis yang terdiri dari 8 pasang nervus (n.) servikalis, 12 pasang
n. thorakalis, 5 pasang n. lumbalis, 5 pasang n.lumbalis dan 1 pasang n.
coccygeus. Masing-masing n. spinalis terbagi menjadi sebuah ramus
anterior dan ramus posterior. Ramus posterior mempersarafi kulit dan otot-
otot punggung dan ramus anterior mempersarafi extemitas dan bagian
batang tubuh lainnya. Masing-masing dari ramus ini membawa akar dorsal
(serabut aferen) dan akar ventral (eferen). 1,5
Medulla spinalis dewasa lebih pendek dari columna vertebralis.
Karena jarak antara segmen medulla spinalis dan vertebra yang sesuai
makin bertambah, akar-akar saraf pun bertambah secara progresif ke arah
kaudal columna vertebralis. Akar-akar saraf lumbal dan sakral adalah
terpanjang yang melintas ke kaudal mencapai foramen intervertebralis di
daerah lumbal dan sacral untuk keluar dari canalis vertebralis. Kumpulan
akar-akar saraf spinal di spatium subarachnoid kaudal dari ujung medulla
spinalis ini disebut cauda equina (Gambar 3.). Cauda equina terdiri atas
akar dorsal (aferen) dan ventral (eferen). Saraf-saraf cauda equina
membawa sensasi dari ekstrimitas inferior dan perineal serta menyalurkan
impuls eferen sesuai miotom ekstrimitas inferior. Ujung kaudal medulla
spinalis meruncing menjadi conus medullaris. Dari ujung kaudal bagian ini
seutas piamater spinalis yang menyerupai benang yakni filum terminale
menurun antara saraf-saraf cauda equina. 1,5

Gambar 3. Cauda Equina dan Conus Medullaris.

3
B. DEFINISI
Sindrom cauda equina (SCE) merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari
low back pain, ishchialgia, kelemahan motorik ekstrimitas inferior, saddle
anestesia, dan hilangnya fungsi viseral, sebagai akibat dari kompresi cauda
equina. Manifestasi yang muncul merupakan lesi LMN dan biasanya unilateral.
Sindrom canus medullaris (SCM) merupakan kumpulan gejala seperti SCE
namun menunjukkan ciri-ciri lesi UMN serta bersifat bilateral akibat kompresi
pada conus medullaris (Gambar 3.). 4,6

C. ETIOLOGI
Baik SCE maupun SCM disebabkan oleh penyempitan pada canalis
spinalis yang menekan akar saraf di bawah level medula spinalis. Berikut ini
merupakan etiologi dari SCE dan SCM.
1) Trauma
Kejadian trauma tembus maupun keadaan traumatik yang
menyebabkan fraktur atau subluksasi dapat menyebabkan kompresi cauda
equina dan conus medullaris (Gambar 12). Manipulasi spinal yang
menyebabkan subluksasi akan mengakibatkan munculnya SCE atau SCM
(tergantung setinggi apa vertebrae yang terkena). Etiologi trauma ini
merupakan etiologi paling sering pada kasus-kasus SCE maupun conus
medullaris. 3
2) Herniasi diskus
Dari sejunlah pasien yang mengalami herniasi diskus lumbalis
terdapat sekitar 1-16 % yang menunjukkan manifestasi SCE atau SCM.
Sembilan puluh persen herniasi diskus lumbalis terjadi baik pada L4-L5
atau L5-S1. Tujuh puluh persen kasus herniasi diskus yang menyebabkan
SCE dan SCM terjadi pada pasien dengan riwayat low back pain kronis,
dan 30% berkembang menjadi SCE atau SCM sebagai gejala pertamanya.
Laki-laki usia dekade 4 dan 5 adalah yang paling rawan terhadap SCE
maupun SCM akibat herniasi diskus. Sebagian besar kasus SCE atau SCM
yang disebabkan herniasi diskus melibatkan partikel besar dari materi
diskus yang rusak, mengganggu setidaknya sepertiga diameter canalis

4
spinalis (Gambar 4.). Pasien dengan stenosis kongenital yang menderita
herniasi diskus yang menetap lebih mungkin untuk mengalami SCE atau
SCM yang disebabkan bahkan oleh herniasi diskus yang ringan karena
dapat secara drastis membatasi ruang yang tersedia untuk akar saraf. 3,7

Gambar 4. Herniasi Diskus Menekan Cauda Equina atau Conus Medullaris


di canalis vertebralis.

3) Stenosis spinalis
Penyempitan canalis spinalis dapat disebabkan oleh abnormalitas
dalam proses perkembangan/degeneratif (Gambar 5.). Kasus
spondilolistesis dan Paget’s disease berat dapat menyebabkan SCE/SCM. 7

Gambar 5. Stenosis Lumbo-sakral Akibat Hipertrofi Ligamentum Flavum.

5
4) Neoplasma
SCE dan conus medullaris dapat disebabkan oleh neoplasma spinal
baik primer atau metastasis dari prostat atau paru (pada laki-laki) dan
payudara atau paru (pada perempuan). Neoplasma ini dapat intratekal
maupun ekstratekal. (Gambar 11.). Enam puluh persen pasien dengan
kedua sindrom ini yang disebabkan neoplasma spinal mengalami nyeri
berat sejak dini. Dua jenis tumor primer yang paling sering menyebabkan
SCE maupun SCM adalah schwanoma dan ependimoma. 3
Schwannoma adalah neoplasma jinak dengan kapsul yang secara
struktural identik dengan sinsisium sel Schwann. Pertumbuhan ini dapat
berasal dari saraf perifer atau simpatis. Schwannoma dapat dilihat
menggunakan mielografi, tetapi MRI adalah kriteria standar. Schwannoma
bersifat isointense pada image T1, hyperintense pada image T2, dan
enhanced dengan kontras gadolinium. 3
Ependimoma adalah glioma yang berasal dari sel ependim yang
relative ndifferentiated. Mereka sering berasal dari canalis sentralis medula
spinalis dan cenderung tersusun secara radial di sekitar pembuluh darah.
Ependimoma paling umum ditemukan pada pasien yang berusia sekitar 35
tahun. Mereka dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan
peningkatan kadar protein pada cairan serebrospinalis. Temuan pada MRI
dapat digunakan untuk membantu dokter dalam mendiagnosis SCE. Lesi
tampak isointense pada T1-weighted image, hypointense pada T2-weighted
image, dan enhanced dengan kontras gadolinium. 3
5) Kondisi peradangan
Kondisi peradangan pada medula spinalis yang berlangsung lama,
misalnya Paget’s disease dan spondilitis ankilosa, dapat menyebabkan
SCE atau conus medullaris karena stenosis ataupun fraktur spinal. 8
6) Kondisi infeksi
Kondisi infeksi, misalnya abses epidural, dapat menyebabkan
deformitas akar saraf dan medula spinalis. MRI dapat menampilkan
penampakan abnormal akar saraf yang tertekan ke satu sisi sacus duralis.
Gejala secara umum meliputi nyeri punggung yang berat dan kelemahan

6
motorik yang berkembang sangat cepat. Penyebab tersering meliputi
tuberculosis, meningitis, herpes simplex, meningovaskular sifilis dan
cytomegalovirus. 3,8
7) Penyebab iatrogenik
Komplikasi dari instrumentasi spinal telah dilaporkan
menyebabkan kasus SCE dan conus medullaris, misalnya pedicle screw
dan laminar hook yang salah tempat. Anestesi spinal yang kontinyu juga
telah dihubungkan sebagai penyebab SCE maupun conus medullaris.
Injeksi steroid epidural, injeksi lem fibrin, dan penempatan free fat graft
merupakan penyebab yang juga dilaporkan sebagai penyebab SCE dan
conus medullaris meskipun jarang. Beberapa kasus melibatkan
penggunaan lidokain hiperbarik 5%. Rekomendasi yang ada menyebutkan
bahwa lidokain hiperbarik tidak dimasukkan dengan konsentrasi yang
lebih dari 2%, dengan dosis total tidak melebihi 60 mg. Kebanyakan
penyebab iatrogenic didasari oleh timbulnya perdarahan atau hematom
sehingga mendesak cauda equina atau conus medullaris. 3,8
8) Etiologi lainnya yang lebih jarang diantaranya adalah limfomatosis
intravaskular, multiple sklerosis, arteri-vena malformation,
neurosarkoidosis, deep vein thrombosis, maupun trombosis vena cava
inferior. 4

D. PATOGENESIS
Kompresi pada cauda equina maupun conus medullaris menyebabkan
terjadinya kongesti dan dilatasi vena intraradikular dan infiltrasi sel-sel
inflamasi sehingga dihasilkan serotonin. Normalnya, serotonin memiliki efek
vasodilatasi pada saraf yang sehat, namun kompresi kronik pada saraf
menyebabkan munculnya efek vasokonstriksi dari serotonin, sehingga
menyebabkan demyelinisasi. Selain itu, kompresi kronik juga memacu
pengeluaran TNF α yang semakin memperparah kerusakan sel saraf. 5,9
Mekanisme lainnya ialah melalui reaksi autoimun. Kompresi saraf
akan merusak barier saraf-pembuluh darah, sehingga protein dapat masuk ke
nervus spinalis dan menjadi antigen sehingga menyebabkan reaksi autoimun.

7
Mekanisme ini aka memacu siklus degenerasi saraf Wallerian melalui
pengeluaran TNF α autoimun dan pada akhirnya juga menyebabkan
demyelinasi. 5

E. PATOFISIOLOGI
Gangguan sensorik dan motorik di ekstrimitas inferior yang timbul
sangat berkaitan dengan ketinggian lesi dan dematom dari nervus spinalis yang
terkena (Gambar 6. 7.). Ketika lesi mengenai conus medullaris, kemungkinan
besar manifestasi lesi UMN yang muncul, dan bilateral pada seluruh bagian
ekstrimitas, pubis dan perineum. Ketika lesi mengenai cauda equina,
manifestasi yang muncul dapat dipastikan merupakan lesi LMN dan bersifat
regional (tidak harus bilateral, kecuali lesi juga mendesak cauda equina sisi
kontralateral). 1,2,9
Serabut nervus spinalis yang keluar dari segmen vertebrae membawa
serabut saraf aferen dan eferen, sehingga manifestasinya pun dapat mengenai
kedua fungsi saraf tersebut. Manifestasi gangguan pada serabut aferen dapat
berupa hipestesi bahkan sampai anestesi. Manifestasi gangguan pada saraf
eferen dapat berupa parestesi, parese atau bahkan kelumpuhan otot-otot dari
myotom nervus spinalis yang terkena. 2,9

8
Gambar 6. Pemetaan Dermatom pada Anterior dan Posterior Tubuh.

Gambar 7. Pemetaan Dermatom di Area Perineal (Saddle Area).

9
Gangguan organ visceral juga dapat terjadi karena inervasi kandung
kemih, bagian distal usus beserta sphingter-sphinter yang terlibat di dalamnya
berasal dari nervus spinalis S2-S4 (nervus splanchnicus pelvicus) yang
membawa serabut saraf aferen dan eferen (parasimpatis) menuju organ-organ
tersebut. Nervus spinalis S2-4 juga membawa serabut saraf somatic (nervus
pudendus) yang berfungsi mengatur relaksasi sphingter uretra eksterna dan
sphingter ani eksterna. 1,2
Nervus splancnicus pelvicus merupakan serabut aferen refleks
pengosongan vesica urinaria dan serabut eferen yang membawa informasi
parasimpatis ke vesica urinaria (VU). Volum urin sebesar 300-400 cc dalam
vesica urinaria dapat merangsang reseptor regang di VU yang kemudian
meneruskan diri sebagai impuls aferen menuju sistem saraf pusat yang
kemudian melakukan pengaturan proses berkemih melalui jalur eferen dengan
mengintegrasikan fungsi otonom (kontraksi m.detrussor vesicae dan relaksasi
sphingter uretra interna) dengan fungsi somatik (relaksasi sphingter uretra
eksterna) (Gambar 8.). 1,2,9
Gangguan pada nervus spinalis S2-4 dapat menyebabkan denervasi
yang menyebabkan VU melembek (flaksid) dan melebar, sphinter uretra
eksterna tetap kontraksi sehingga terjadi retensio urin. Namun berangsur-
angsur otot VU kembali aktif dan timbul banyak gelombang kontraksi yang
mendorong urin sehingga menetes melalui uretra. Inkontinensia urin ini juga
dapat terjadi secara spontan ketika VU sudah over load urin, sehingga
mendesak sphingter dan menetes dari uretra (tidak tertahankan). 1,2

10
Gambar 8. Keterlibatan Nervus Spinalis S2-4 dalam Pengaturan Refleks Miksi.

Proses pengaturan defekasi juga tidak jauh berbeda dengan miksi


karena dipersarafi pula oleh nervus splanchnicus pelvicus (Gambar 9.). Impuls
aferen terbentuk ketika terjadi peregangan rectum oleh feses dengan tekanan
sekitar 18 mmHg. Gangguan pada jalur aferen dan atau eferen akan
mengganggu proses defekasi dengan mekanisme yang hamper sama dengan
gangguan miksi. Hal ini menyebabkan terjadinya retensio alvi karena
ketidakmampuan pengiriman impuls aferen dan atau impuls eferen sehingga
pasien tidak mampu mengedan. 1,2

11
Gambar 9. Proses Defekasi dan Keterlibatan Nervus Spinalis S2-4.

Respon terhadap rangsangan psikis yang erotik dibawa oleh nervus


spinalis segmen lumbal yang kemudian timbul rangsangan untuk ereksi yang
dihantarkan oleh saraf eferen dari nervus splanchnicus pelvicus. Sedangkan
pada saat ejakulasi, jalur aferen sebagian besar merupakan serabut dari reseptor
sentuhan di glans penis yang mencapai medulla spinalis melalui nervus
pudendus internus. Pusat refleks spinal untuk untuk ejakulasi terletak di
segmen sakral bagian atas dan lumbal terbawah. Oleh sebab itu, gangguan pada
segmen lumbal-sakral yang terjadi pada SCE maupun conus medullaris juga
dapat menyebabkan disfungsi ereksi dan ketidakmampuan ejakulasi
(impotensi). 1,2

F. KLASIFIKASI
Derajat kerusakan saraf pada SCE dan SCM dapat diprediksi
berdasarkan gambaran klinis yang muncul. Kompresi ringan seringkali tidak
menimbulkan gejala apaun, kompresi sedang dapat menyebabkan kelemahan

12
motorik ringan, sedangkan kompresi berat dapat menyebabkan kelemahan
motorik yang sangat nyata dan gangguan fungsi miksi-defekasi. 5
Selain itu, SCE dan SCM dapat diklasifikasikan menjadi sindrom
komplit dan inkomplit. Pada pasien dengan sindrom inkomplit, yang muncul
hanyalah gangguan sensorik dan motorik tetapi belum menunjukkan adanya
retensio ataupun inkontinensia urin maupun alvi. Perubahan viseral dapat
berupa kesulitan berkemih (straining micturition) atau mengedan saat
berkemih. Pada pasien dengan gangguan yang komplit, sudah muncul retensi
urin maupun alvi tanpa adanya rasa nyeri akibat gangguan hataran sinyal
neurologik viseral. Retensio urin kemudian akan diikuti oleh inkontinensia urin
akibat over load vesica urinaria yang menampung terlalu banyak urin. 3

G. MANIFESTASI KLINIS
1) Anamnesis
Anamnesis bertujuan terutama untuk menentukan penyebab,
kronisitas dan adanya gangguan organ ekskresi dari SCE maupun SCM.
Gejala yang dapat dikeluhkan pasien diantaranya adalah low back pain
rekurens dan progresif, ischialgia unilateral atau bilateral, rasa tebal/kebas
di daerah bokong-anus-kemaluan (anestesi saddle), gangguan buang air
besar dan buang air kecil, serta kelemahan tungkai. 4
Low back pain dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular.
Nyeri lokal secara umum merupakan nyeri dalam akibat iritasi jaringan
lunak dan corpus vertebra. Nyeri radikular secara umum adalah nyeri yang
tajam dan seperti ditusuk-tusuk akibat kompresi radiks dorsalis. Nyeri
radikular berproyeksi dengan distribusi sesuai dermatom.
Gangguan organ viseral ditandai dengna gangguan BAK, BAB
maupun ereksi-ejakulasi. Secara khas, manifestasi gangguan buang air
kecil dimulai dengan retensi urin yang kemudian diikuti oleh inkontinensia
urin overflow. Gangguan buang air besar dapat meliputi inkontinensia
maupun konstipasi. Perlu juga digali riwayat trauma seperti jatuh, jatuh
dari sepeda motor, sering mengangkat benda berat dan riwayat operasi

13
tulang belakang sebelumnya, begitu pula riwayat demam untuk
mengetahui kemungkinan etiologi infeksi. 4
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengkonfirmasi anamnesis dan
menemukan tanda-tanda lainnya yang mungkin tidak tergali dalam
anamnesis. Saat pemeriksaan fisik dapat ditentukan keluhan unilateral atau
bilateral, batas defisit sensorik (pemeriksaan rangsang raba dan nyeri),
derajat kelemahan motorik ekstrimias inferior, penurunan/peningkatan
refleks (peningkatan refleks terjadi apabila lesi di atas vertebrae L1-2),
penurunan tonus sphingter ani dan refleks anal, dan bisa juga memeriksa
tes laseque, patrik maupun kontra patrik untuk memperkirakan letak lesi. 5

H. PERBEDAAN SCE & SCM


Manifestasi klinis SCE dan SCM hampir sama, namun ada beberapa
sifat dari tanda dan gejalanya yang berbeda. Dengan mempertimbangkan ciri-
ciri pada SCE atau SCM, para praktisi dapat memperkirakan topis pasti defisit
neurologis sebelum melangkah pada pemeriksaan penunjang sebagai gold
standard. Di bawah ini merupakan tabel rangkuman perbedaan manifestasi
klinis pada SCE dan SCM. 3,4,10

Tabel 1. Perbedaan Manifestasi Klinis SCE dan SCM. 3,4,10


PEMBEDA SINDROM SINDROM
CAUDA EQUINA CONUS MEDULLARIS
Letak lesi vertebrae L2-sacrum L1-L2
Jenis lesi LMN (hipotonus, atrofi) UMN (hipertonus,
spastisitas)
Onset Bertahap Tiba-tiba
Lokasi Lesi Unilateral/bilateral Bilateral
Refleks ekstrimitas Fisiologis normal atau Fisiologi meningkat,
inferior menurun, patologis (-) patologis bisa (+)
Nyeri Berat, asimetris, radikular Sedang-ringan, bilateral dan
di area perineal
Low back pain Ringan-sedang Berat
Gangguan sensorik Saddle anesthetic/parestesi Saddle anesthetic/parestesi
asimetris, biasanya simetris, hipestesi pada
unilateral, hipestesi atau daerah perianal, simetris,
parestesi pada jalur bilateral
dermatom yang terkena,
bisa hipestesi di daerah
pubis

14
Kekuatan motorik Paraparese sampai flaksid Normal sampai paraparese
paralisis, asimetri, jarang ringan-sedang, simetris,
fasikulasi, sering atrofi hiperrefleks, fasikulasi dapat
terjadi
Impotensi Lebih jarang terjadi, dapat Sering terkena
berupa disfungsi ereksi,
hipestesi area pubis,
ketidakmampuan ejakulasi
Gangguan miksi dan Retensi urin atau alvi, Retensi urin atau alvi,
defekasi muncul di akhir muncul di awal
perkembangan penyakit, perkembangan penyakit,
retensi urin kemudian retensi urin kemudian
berubah menjadi berubah menjadi
inkontinensia urin inkontinensia urin
EMG ekstrimitas Gambaran atrofi Sebagian besar normal
inferior

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selain riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, evaluasi neurologis dan
analisis laboratorium dasar (pemeriksaan darah lengkap, GDS, urinalisis),
diagnostik workup untuk SCE dan SCM dapat dilihat secara radiologis. 3
1) Rontgen Vertebrae
Foto polos harus dilakukan untuk menemukan perubahan destruktif,
penyempitan ruang diskus atau hilangnya alignment spinal. Rontgen
vertebrae ini merupakan modalitas yang baik untuk menilai adanya trauma
vertebrae (Gambar 10.), spondilolistesis, skoliosis dan degenerasi diskus,
namun tidak begitu baik dalam memvisualisasikan herniasi diskus dan
kompresi cauda equina maupun conus medullaris. 4,6
2) Myelografi Lumbal
Myelografi tidak lagi dilakuakan secara rutin karena bersifat
invasif dan semakin maraknya penggunanaan MRI. Myelografi dipilih
pada keadaan tertentu dimana MRI menjadi kontraindikasi (misalnya
pasien dengan pacemaker jantung). Obstruksi aliran kontras pada area
kompresi membantu untuk mengkonfirmasi level kondisi patologis yang
dicurigai (Gambar 11.). 4,6

15
Gambar 10. Foto Polos Vertebrae Menunjukkan Adanya Fraktur kompresi L1.

Gambar 11. Myelografi dilihat secara oblique menunjukkan adanya


indentasi pada saraf yang mengindikasikan adanya
extrathecal space occupying lesion.

3) CT-scan dengan atau tanpa kontras


CT-scan sering lebih mudah didapatkan daripada myelografi
lumbal. CT-scan memberi detail tambahan tentang densitas dan integritas
tulang (Gambar 12.) yang membantu dalam rencana terapi, khususnya pada
kasus tulang belakang di mana instrumen untuk stabilisasi dibutuhkan

16
setelah agen yang mengganggu dihilangkan dari regio cauda equina atau
conus medullaris. CT-scan yang dilakukan setelah myelografi (CT-
myelografi) dapat menunjukkan blok kontras dan memperjelas kondisi
patologis lebih baik dari yang ditunjukkan dengan CT-scan biasa (Gambar
13.). 7

(a) (b)

Gambar 12. CT Scan Vertebrae Potongan Sagital (a) dan Axial (b) yang
menunjukkan adanya Fraktur Vertebrae L4 yang mendesak
Cauda Equina.

Gambar 13. CT-Myelografi Potongan Axial yang Menunjukkan Sedikitnya


Kontras yang Terlihat (Panah Putih) Akibat Penyempitan
Canalis Inguinalis.

17
4) MRI
MRI adalah modalitas yang paling membantu untuk diagnosis
kelainan medulla spinalis dan umumnya menjadi tes yang dipilih untuk
membantu dokter dalam mendiagnosis SCE atau SCM. MRI memberikan
gambaran jaringan lunak (Gambar 14.), termasuk struktur neuron dan
keadaan patologis yang terjadi. Modalitas ini dapat mengevaluasi penyebab
kompresi apakah tumor, herniasi diskus, hematom, infeksi ataupun yang
lainnya (Gambar 15. 16.). Akan tetapi, MRI ini kurang membantu
dibanding dengan CT-scan dalam mengevalusi arsitektur tulang dan
stabilitas medulla spinalis disamping perlunya waktu yang cukup lama
untuk pasien berbaring ketika dilakukan MRI. 4,7

Gambar 14. MRI Medulla Spinalis Normal Potongan Sagital.

18
Gambar 15. Gambaran MRI Potongan Sagital yang Menunjukkan Adanya
Ekstrusi Diskus di Vertebra L4-5 Sehingga Menekan Cauda
Equina.

Gambar 16. Gambaran MRI Potongan Axial yang Menunjukkan Adanya


Ekstruksi di Vertebra L4-5 Sehingga Menekan Cauda Equina.

19
J. TERAPI
Terapi pada SCE dan SCM terdiri dari terapi konservatif dan terapi
pembedahan (Gambar 17.)
1) Terapi Konservatif :
Iskemia akar saraf bertanggung jawab menyebabkan nyeri dan
berkurangnya kekuatan motorik yang berhubungan dengan SCE maupun
conus medullaris, sehingga terapi vasodilatasi dapat membantu pada
beberapa pasien. Mean arterial blood pressure (MABP) harus
dipertahankan di atas 90 mmHg untuk memaksimalkan aliran darah ke
medula spinalis dan akar saraf. Terapi dengan lipoprostaglandin E1 dan
derivatnya telah dilaporkan efektif dalam meningkatkan aliran darah ke
regio cauda equina maupun conus medullaris dan mengurangi gejala nyeri
serta kelemahan motorik. Pilihan terapi ini apat diberikan pada pasien
dengan stenosis spinal sedang dengan neurogenic claudication. Tidak ada
keuntungan yang telah dilaporkan pada pasien dengan gejala yang lebih
berat atau pasien dengan gejala radikular. 4,9
Pilihan terapi medis lain berguna pada pasien-pasien tertentu,
tergantung penyebab yang mendasari SCE atau conus medullaris. Obat anti
inflamasi dan steroid dapat efektif pada pasien dengan proses inflamasi,
termasuk spondilitis ankilosa. Pasien dengan penyebab agen infeksius harus
mendapat terapi antibiotik yang sesuai. Pasien dengan neoplasma spinal
(metastasis) harus dievaluasi untuk program kemoterapi dan radioterapi. 3
Kita harus berhati-hati dalam semua bentuk manajemen medis untuk
SCE maupun conus medullaris. Pasien dengan SCE yang atau conus
medullaris dengan gejala saddle anesthesia dan/atau kelemahan bilateral
ekstremitas bawah atau hilangnya kontrol untuk buang air besar dan buang
air kecil harus menjalani terapi medis awal tidak lebih dari 24 jam. Jika
tidak ada perbaikan gejala selama periode tersebut, dekompresi bedah
segera adalah hal yang diperlukan untuk meminimalkan kesempatan
terjadinya kerusakan saraf permanen. Selain itu, gangguan miksi yang
terjadi dapat diatasi sementara dengan pemasangan kateter, sedangkan

20
gangguan BAB karena menurunnya urgensi defekasi dapat diatasi dengan
evakuasi feses manual. 3,9
2) Terapi Pembedahan
Pada banyak kasus SCE, dekompresi emergensi pada canalis
spinalis merupakan pilihan terapi yang sesuai. Tujuannya adalah untuk
mengurangi tekanan pada saraf di cauda equina maupun conus medullaris
dengan menghilangkan agen yang mengkompresi dan memperluas ruang
canalis spinalis. SCE atau conus medullaris merupakan emergensi bedah
dan memerlukan dekompresi dalam 48 jam setelah onset gejala. 3,4
Untuk pasien di mana herniasi diskus merupakan penyebab SCE
maupun conus medullaris, direkomendasikan laminotomi atau
laminektomi untuk memungkinkan dekompresi canalis spinalis.
Kemudian, tindakan ini diikuti dengan retraksi dan discectomy. Beberapa
penelitian klinis dan eksperimental telah menunjukkan data outcome
fungsional berdasarkan timing dekompresi bedah. Oleh sebab itu, sebagian
besar peneliti merekomendasikan dekompresi bedah sesegera mungkin
setelah onset gejala untuk menawarkan kesempatan terbesar dalam
perbaikan fungsi neurologis. 3,4

Gambar 17. Algoritma Managemen SCE dan SCM.

21
I. PROGNOSIS
Para peneliti telah mengusahakan untuk mengidentifikasi kriteria
khusus yang dapat membantu dalam memprediksi prognosis pasien dengan
sindrom cauda equine maupun conus medullaris, yakni :
a) Pasien dengan siatika bilateral telah dilaporkan memiliki prognosis yang
lebih buruk dibandingkan pasien dengan nyeri unilateral.
b) Pasien dengan anestesia perineum komplit lebih mungkin untuk
mengalami paralisis kandung kencing yang permanen.
c) Luasnya defisit sensorik perineum atau saddle telah dilaporkan sebagai
predictor yang terpenting untuk kesembuhan. Pasien dengan defisit
unilateral memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan
defisit bilateral.
d) Wanita dan pasien dengan gangguan buang air besar telah dilaporkan
memiliki outcome pasca operasi yang lebih buruk.
e) Semakin pendek waktu dari onset hingga pengobatan, semakin besar
kemungkinan pengembalian fungsi.
f) Prognosis juga lebih baik pada pasien yang masih dalam tahap retensio
urin daripada pasien yang sudah mengalami inkontinensia urin.
g) Pasien-pasien yang sudah mengalami disfungsi ereksi memiliki prognosis
yang lebih buruk daripada pasien tanpa gangguan ereksi. 3,4

22

You might also like