You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi virus

varisela zoster (VVZ) pada pasien yang pernah terinfeksi, yang menyerang kulit dan

mukosa.1,2,3 Penyakit ini ditandai dengan vesikel-vesikel di suatu dermatom ganglia

spinalis atau kranialis, tempat virus tersebut dorman dan nyeri radikuler yang intensif

di daerah lesi.4 Selama fase reaktivasi, dapat terjadi infeksi VVZ di dalam sel

mononuklear darah tepi yang biasanya subklinis.1

Penyebab reaktivasi tidak sepenuhnya dimengerti tetapi diperkirakan terjadi

pada kondisi gangguan imunitas seluler.1 Faktor–faktor yang berpotensi

menyebabkan reaktivasi adalah pajanan VVZ sebelumnya (cacar air, vaksinasi), usia

lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais, obat-obatan imunosupresif, Human

Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS),

transplantasi sumsum tulang atau organ, keganasan, terapi steroid jangka panjang,

stress psikologis, trauma dan tindakan pembedahan.1,2

Insiden herpes zoster meningkat berbanding lurus dengan pertambahan usia.

Insidennya meningkat dari tahun ke tahun, terutama pada kelompok usia lebih dari 50

tahun.4 Insiden herpes zoster adalah 1,5-3,0 per 1.000 orang per tahun pada semua

usia dan 7-11 per 1.000 orang per tahun pada usia lebih dari 60 tahun dalam studi

yang dilakukan di Eropa dan Amerika Utara. Diperkirakan terdapat lebih dari 1 juta

kasus baru herpes zoster di Amerika Serikat setiap tahun.2 Peningkatan tertinggi pada

1
kelompok usia lebih dari 65 tahun, yakni hingga 3 kali lipat selama periode tersebut.4

Di Indonesia terdapat 2232 pasien dengan herpes zoster pada 13 rumah sakit

pendidikan di Indonesia tahun 2011-2013.3

Pada kasus-kasus tertentu, seperti usia lanjut komplikasi lebih sering terjadi

terutama neuralgia posca herpetik yang meningkat 10-40% kasus. Pada keadaan

imunokompromais, lesi kulit tampak lebih berat dan terjadi diseminata pada 6-26%

kasus. Lesi dapat menyebar ke organ dalam pada 10-40% kasus, 5-15% di antaranya

meninggal akibat pneumonitis.3

Lebih dari 53% dokter mendapat kesulitan dalam mendiagnosa herpes zoster

sebelum muncul erupsi kulit (prodromal), sehingga memperlambat pengobatan herpes

zoster. Hal ini menunjukan perlunya peningkatan pengetahuan tentang diagnosis dini

pada primary health care. Perlunya informasi dan edukasi kepada pasien tentang

penyakit herpes zoster dan komplikasinya sehingga dapat berobat ke dokter sedini

mungkin.3

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela

zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus

yang terjadi setelah infeksi primer.2

B. Epidemiologi

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi

musiman. Kejadian herpes zoster bergantung pada prevalensi dari varisela, dan

tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan melalui

kontak dengan orang lain dengan varisela atau herpes zoster. Sebaliknya, insiden

herpes zoster ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi hubungan host-

virus.1

Salah satu faktor risiko utama adalah usia tua. Insiden herpes zoster adalah

1,5-3,0 per 1.000 orang per tahun pada semua usia dan 7-11 per 1.000 orang per

tahun pada usia lebih dari 60 tahun dalam studi yang dilakukan di Eropa dan

Amerika Utara. Diperkirakan terdapat lebih dari 1 juta kasus baru herpes zoster di

Amerika Serikat setiap tahun, lebih dari setengah dari yang terjadi pada orang ≥60

tahun, dan jumlah ini akan meningkat sesuai dengan usia penduduk.1 Kekambuhan

terlihat pada sekitar 4% pasien yang mengalami herpes zoster.6

3
Faktor risiko utama lainnya adalah disfungsi imun seluler. Pasien dengan

imunosupresi memiliki 20-100 kali lebih berisiko terkena herpes zoster daripada

individu imunokompeten pada usia yang sama. Kondisi imunosupresif yang

berhubungan dengan risiko tinggi herpes zoster termasuk infeksi HIV,

transplantasi sumsum tulang, leukemia dan limfoma, penggunaan kemoterapi

kanker, dan penggunaan kortikosteroid.. Faktor-faktor lain yang dilaporkan yang

dapat meningkatkan risiko herpes zoster termasuk jenis kelamin perempuan,

trauma fisik pada dermatom yang terpengaruh, gen interleukin-10 (IL-10) yang

polimorfik, dan ras kulit putih.1 Risiko ini lebih tinggi bagi perempuan daripada

laki-laki, untuk kulit putih daripada orang kulit hitam dan bagi orang-orang

dengan riwayat keluarga herpes zoster dibandingkan mereka tanpa latar belakang

seperti itu.5 Infeksi sebelumnya dengan VVZ (cacar, vaksin) merupakan faktor

predisposisi penting untuk pengembangan terjadinya herpes zoster.6

C. ETIOLOGI

Virus varisela zoster merupakan penyebab dari varisela dan herpes zoster.

Infeksi primer dari varisela termasuk viremia dan erupsi yang meluas, setelah virus

menetap dalam sel ganglion saraf, biasanya sensorik. Herpes zoster adalah hasil

reaktivasi dari sisa virus laten.7

Virus varisela zoster adalah anggota keluarga dari virus herpes. Spesies lain

yang patogen bagi manusia termasuk herpes simpleks virus tipe 1 (HSV-1) dan

tipe 2 (HSV-2); sitomegalovirus (CMV); Epstein-Barr virus (EBV); human

4
herpesvirus-6 (HHV-6) dan human herpesvirus-7 (HHV-7), yang menyebabkan

roseola; dan Kaposi’s sarcoma-associated herpesvirus, yang juga disebut sebagai

human herpesvirus-8. Semua virus herpes secara morfologis dapat dibedakan dan

berbagi sejumlah properti, termasuk kapasitas untuk membangun infeksi laten

yang menetap selama kehidupan.1

Faktor risiko utama untuk herpes zoster adalah bertambahnya usia. Dengan

meningkatnya waktu setelah infeksi varisela, ada penurunan tingkat kekebalan sel

T untuk VZV yang tidak seperti tingkat antibodi spesifik virus, berkorelasi dengan

perlindungan terhadap herpes zoster. 5

D. PATOGENESIS

Virus varisela zoster adalah virus Deoxyribo Nucleic Acid (DNA),

alphaherpesvirus dengan besar genom 125.000 bp, berselubung dan berdiameter

80-120nm. Virus mengkode kurang lebih 70-80 protein, salah satunya ensim

timidin kinase yang rentan terhadap obat antivirus karena memfosforilasi asiklovir

sehingga dapat menghambat replikasi DNA virus. Virus menginfeksi sel human

diploid fibroblast in vito, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan sel epidermal in

vivo untuk replikasi produktif serta sel neuron. Virus varisela dapat membentuk sel

sinsitia dan menyebar secara langsung dari sel ke sel.3

5
Gambar 1 : virus varisela zoster 3

Selama infeksi varisela primer, virus di dalam darah akan bereplikasi dalam

kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari. Viremia sekunder berkembang

setelah siklus kedua replikasi virus di hati, limpa, dan organ lain. Perjalanan virus

ke epidermis yang menginvasi sel-sel endotel kapiler sekitar 14-16 hari. Setelah

paparan VVZ kemudian perjalanan dari lesi kulit dan mukosa untuk menyerang

akar ganglion dorsalis dimana virus tersebut masih dapat teraktivasi dikemudian

hari. 8

Replikasi virus varisela zoster di nasofaring terjadi segera setelah infeksi

primer. Hal ini diikuti oleh penyebaran infeksi ke jaringan limfoid yang

berdekatan di mana virus menginfeksi sel memori CD4 + T yang melimpah di

jaringan limfoid tonsil. Terinfeksinya sel memori mengekspresikan cutaneous

homing antigen dan chemokine receptor 4 (CCR4) ke kulit yang diduga membawa

virus ke epitel kulit dalam beberapa hari infeksi. Replikasi lokal di sel epitel

difasilitasi oleh down-regulation interferon-α (IFN-α) dalam sel yang terinfeksi

6
dan kegagalan induksi molekul adhesi. Pada saat yang sama penyebaran virus dari

sel ke sel tampaknya tertahan untuk minggu pertama oleh produksi IFN-α pada sel

epitel yang berdekatan. Setelah itu, virus mengatasi pertahanan bawaan dan

vesikel muncul. Produksi sitokin dan up-regulation dari faktor adhesi kapiler

endotel menarik sel T bermigrasi yang mungkin lebih menyebarkan virus sebelum

terjadi replikasi virus (gambar 2 ).9

Gambar 2: Patogenesis virus varisela zoster 9

Pada keadaan reaktivasi, gen translasi dan transkripsi mampu mencapai DNA

virus di inti sel dan mengaktifkan replikasi virus serta memproduksi virus yang

infeksius. Virus tersebut kemudian keluar dari ganglion dan menginfeksi sel epitel

disekitarnya dan membentuk lesi herpes zoster. Kelainan kulit yang timbul

memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut.

Herpes zoster menstimulasi sistem imun yang mampu mencegah reaktivasi pada

7
ganglion lainnya serta reaktivasi klinis berikutnya. Oleh karena itu herpes zoster

umumnya hanya menyerang satu atau sejumlah kecil ganglion serta umumnya hanya

sekali muncul seumur hidup.8

Penyebab reaktivasi tidak diketahui secara pasti tetapi insidensi herpes zoster

berhubungan erat dengan menurunnya imunitas terhadap VVZ, atau pada orang

dengan usia lanjut. Herpes zoster juga dapat terjadi secara spontan atau dapat

diinduksi oleh stres, demam, terapi radiasi, kerusakan jaringan (misalnya trauma).

Selama VVZ terus bereplikasi pada akar ganglion dorsalis yang terkena akan

menyebabkan nyeri ganglionisitis. Peradangan dan nekrosis saraf dapat

mengakibatkan neuralgia berat yang dapat menyebabkan virus menyebar ke saraf

sensoris.1, 8, 10

Infeksi VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam

mempertahankan latensi, imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. Keadaan

ini terbukti dengan insidensi herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan

jumlah CD4 yang menurun, dibandingkan dengan orang normal. Latensi adalah tanda

utama VVZ yang tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenisitas. Sifat latensi

ini menandakan virus dapat bertahan seumur hidup di host dan pada suatu saat akan

masuk dalam fase reaktivasi yang mampu menjadi media transmisi penularan kepada

seorang yang rentan.1

8
E. GEJALA KLINIS

Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik

(demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot-tulang,

gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat

menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan

edema. Vesikel terbentuk dalam waktu 12-24 jam. Veskel ini berisi cairan yang

jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat berkembang menjadi

pustul pada hari ke-3. Vesikel akan kering dan menjadi krusta dalam 7-10 hari.

Krusta umumnya bertahan selama 2-3 minggu setelah terbentuk . Pada individu

normal, lesi baru dapat muncul kembali selama 1-4 hari (kadang-kadang selama 7

hari). Ruam dapat menjadi parah dan berlangsung lama pada orang-orang lanjut

usia, dan paling parah dan durasi terpendek pada anak-anak.1,2,11

Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster

hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus

dengan penyembuhan berupa sikatriks. Karakteristik nyeri herpes zoster

bervariasi. Rasa nyeri dan parestesia sering terjadi lebih awal beberapa hari

sebelum akhirnya lesi muncul. Nyeri pada herpes zoster berbeda intensitasnya dari

ringan hingga berat. Rasa nyeri yang dirasakan mungkin bersifat tetap atau

intermiten. Nyeri pre-erupsi dari herpes zoster dapat menstimulasi terjadinya

pleuritis, infark miokard, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik kantung empedu atau

ginjal, appendisitis atau glaucoma dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya

misdiagnosis dan interpretasi yang salah. Nyeri prodromal jarang terjadi pada

9
pasien imunokompeten di bawah usia 30 tahun, tetapi lebih sering terjadi pada

sebagian pasien dengan herpes zoster di atas usia 60 tahun.1,2,5

Gambar 3: Herpes zoster (A) Gambaran awal yang muncul pada daerah dermatom
thorakal, dengan eritema, serta kumpulan vesikel. (B) Fase akhir yang muncul dengan
gambaran krusta pada bagian punggung, dnegan erupsi muncul pertama kali, dengan
vesikel yang mengandung darah (Herpes zostere hemoragik) dan bulla pada bagian lateral
dada (C) Oftalmik Zoster.1

Kelainan khusus yang dapat ditemukan pada herpes zoster adalah lokasi dan

distribusi ruamnya, yaitu hampir selalu unilateral, dan secara umum terbatas pada

daerah yang diinervasi oleh saraf ganglion sensorik tunggal. Daerah-daerah yang

dimaksud adalah saraf trigeminalis pada daerah oftalmikus dan bagian tubuh yang

diinervasi oleh saraf torakal 3-lumbal 2 yang merupakan daerah yang sering

terkena;region thoraks menyumbang lebih dari setengah dari semua kasus yang

dilaporkan dan lesi jarang terjadi pada bagian distal dari siku dan lutut.1,2

Meskipun lesi individu herpes zoster dan varisela tidak bisa dibedakan,

orang-orang dengan herpes zoster cenderung berkembang lebih lambat dan

biasanya terdiri dari vesikel yang berkelompok dengan dasar eritematosa, daripada

10
yang lebih diskrit, vesikel pada varisela terdistribusi secara acak. Perbedaan ini

mencerminkan penyebaran intraneural virus pada kulit pada herpes zoster, sebagai

lawan penyebaran viremik dari varisela. Sekitar 10-15% penderitra herpes zoster

dilaorkan juga menderita oftalmik zoster, yang mengenai saraf trigeminus. Ruam

pada oftalmik zoster dapat terlihat pada sekitar mata dan bagian vertex dari

tengkorak tetapi akan berakhir dengan batas tegas pada garis tengah dahi.1

Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah

bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal

sesuai dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan

motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur

ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang

terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh

karena gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus

fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).2

F. DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakan dengan cara melihat gambaran klinis,

pemeriksaan histopatologi, biopsi, Polymerase Chain Reaction (PCR), dan tes

serologik. Pada fase pre-erupsi nyeri dirasakan pada pasien herpes zoster sering

kali sulit dideskripsikan, karena sulit dilokalisasi. Karena sekali erupsi muncul,

karakter dan lokasi dermatom dari lesi yang timbul bersamaan dengan nyeri yang

dirasakan, sehingga sulit untuk dinilai. 1

11
Kelompok-kelompok vesikel seringkali ditemukan di daerah mulut atupun

genital. Vesikel tersebut dapat berupa gambaran klinis dari herpes zoster secara

langsung, maupun gambaran rekurensi dari infeksi herpes simpleks virus (HSV). 1

Dapat dilakukan pemeriksaan pada lesi dari herpes zoster. Adanya

multinucleated giant cell (sel berinti banyak) dan adanya sel epitel yang

mengandung asidofilik intranuklear, dapat membedakan lesi penyakit kulit lain

yang disebabkan oleh VZV. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan melakukan

pemeriksaan Tzank test, dengan cara mengambil dasar dari pada vesikel yang ada

dari vesikel yang baru timbul/muncul di permukaan kulit. Kemudian sediaan

ditaruh pada glas objek, kemudian difiksasi dengan menggunakan aseton dan

methanol, dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa, hematoxylin eosin (HE),

papanicolau atau pewarnaan paragon. 1,8

Diagnosis juga dapat dilakukan dengan cara kultur, yaitu mengisolasi virus

dalam sel inokulasi dengan cara vesikel, darah, cairan serebrospinal atau jaringan

yang terinfeksi, atau identifikasi langsung oleh antigen VVZ, atau asam nukleat

yang terdapat pada spesimen. Untuk memkasimalkan penyembuhan virus,

spesimen harus diinokulasi langsung ke sel kultur. Sangat penting memilih

varisela yang baru timbul untuk dijadikan spesimen pemeriksaan, karena

kemungkinan sifat isolasi dari VVZ berkurang pesat saat menjadi pustul. Virus ini

hampir tidak pernah terisolasi dari krusta. VVZ dapat terisolasi dan menyebar

secara in-vitro pada kultur mononuklear. 1

12
Gambar 4: Histopatologi herpes zoster . (A) Vesikel intraepidermal, akantolisi, degenerasi
retikular; bagian bawah dermis menunjukan adanya edema dan vaskulitis. B.
Multinucleated giant cells ditandai dengan perubahan inti 1

Dapat juga dilakukan pemeriksaan PCR setelah mendeteksi antigen VVZ

dengan pewarnaan antibodi fluoresens. Biopsi pada kulit dapat juga dilakukan

dengan cara imunohistokimia untuk mendeteksi protein pada VVZ.7

Tes serologi merupakan tes yang juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis

riwayat varisela dan herpes zoster dan untuk membandingkan stadium akut dan

konvalesen. Tes ini juga dapat mengidentifikasi dan mengisolasi induvidu yang

diduga mengalami herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan.

Teknik yang paling sering digunakan adalah solid-phase enzyme-linked

immunoabsorbent assay. Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas

dan spesifitas terhadap orang yang memiliki antibodi herpes zoster dan

menunjukan hasil positif palsu pada orang tersebut.1

13
G. DIAGNOSIS BANDING

a. Herpes simpleks virus (HSV)

Herpes simpleks menggambarkan gugusan lesi pada kulit yang tersebar dan

tampak seperti herpes zoster. Penyakit ini disebabkan oleh virus herpes

simpleks tipe I dan II. Ditandai dengan adanya vesikel, dengan eritematosa

pada daerh dekat mukokutan. Virus ini mereplikasi diri pada daerah kulit dan

mukosa. Seperti herpes zoster, penyakit ini sama-sama menyerang saraf dan

daerah orofasial, serta dapat menyerang daerah genital. 2,12

Gambar 5 : Herpes simpleks. terlihat kumpulan vesikel


dengan eritema disertai edema 12

b. Dermatitis Kontak

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/ subtansi yang

menempel pada kulit. Penyakit ini semata-mata disebabkan oleh bahan yang

bersifat iritan. Adanya bahan iritan yang bersifat toksin dapat merusak

14
membran lemak keratinosit, yang nantinya akan mengaktifkan sel-sel inflamasi

sebagai kompensai terhadap toksin. Penyakit ini didiagnosis banding dengan

herpes zoster dikarenakan oleh gambaran lesinya yang hampir mirip. Selain

memperhatikan gejala klinis serta anamnesis perjalanan penyakit yang

didapatkan, pemeriksaan pada dermatitis kontak juga dapat menjadi salah satu

cara yang dapat dilakukan untuk membedakan herpes zoster dengan dermatitis

kontak. Dapat dilakukan tes tempel pada lesi dermatitis kontak. Tes ini

menggunakan antigen. Pada tes ini, jika pasien menderita dermatitis kontak,

respon alergik biasanya muncul. Sebaliknya, jika pasien menderita herpes

zoster, tidak akan ada reaksi alergik yang muncul. Dapat muncul reaksi positif

palsu, namun untuk itu perlu dilakukan 2 kali pembacaan hasil tes tempel,

untuk menyingkirkan hasil palsu, baik postif maupun negatif. 2

A B

Gambar 6: (A) dermatitis kontak alergi, akut; plak linear eritematosa berbatasa tegas dengan
vesikulasi awal pada perut anak yang terkena perekat. (B) dermatitis kontak alergi, kronis:
likenifikasi papul yang berkelompok dekat umbilicus pada anak yang alergi nikel dari
sabuknya 12

15
c. Impetigo bulosa

Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Lebih sering

ditemukan pada bayi baru lahir dan bayi yang sedikit lebih tua dan ditandai oleh

perkembangan progresif dari vesikel menjadi bula yang lembek. Bula biasanya

muncul pada daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan tanda nikolsky

biasanya negatif. Bula awalnya berisi cairan berwarna kuning jernih yang

kemudian menjadi kuning gelap atau keruh dengan tepi berbatas tegas tanpa

halo eritematosa.1

Gambar 7: Impetigo bulosa; beberapa vesikel yang berisi


cairan jernih dan juga keruh yang cepat bergabung membentuk
bula lembek1

H. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi pasien herpes zoster adalah membatasi durasi, penyebaran dan

tingkat keparahan rasa nyeri dan lesi primer yang terlihat pada dermatom, dan juga

16
untuk mencegah penyakit lain yang dapat muncul, serta mencegah Neuralgia

Pasca Herpetik (NPH). Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk

nyeri dapat diberikan analgetik. Jika terjadi infeksi sekunder dapat diobati dengan

pemberian antibiotik.1,2 Obat – obat yang dapat digunakan adalah:

a. Terapi Topikal

Pengobatan topikal tergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel

diberikan bedak dengam tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel

agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosi diberikan kompres terbuka. Jika

ulserasi dapat diberikan salap antibiotik. Pada herpes zoster fase akut, aplikasi

kompresi dingin, losion calamine, tepung jagung, atau soda bikarbonat mampu

mengurangi gejala luka dan mempercepat pengeringan pada lesi vesikuler.

Salep yang oklusif, krem, atau lotion yang mengadungi glukokortikoid tidak

boleh diaplikasikan pada lesi herpes zoster.1,2

b. Antiviral

Indikasi pemberian obat – obatan antiviral adalah pada pasien dengan herpes

zoster oftalmikus, yang menyerang bagian mata. Antiviral juga dapat diberikan

untuk pasien dengan defesiensi imunitas. Penggunaan antiviral sudah tidak

dapat diberikan jika lesi sudah muncul lebih dari 72 jam. Namun, masih tetap

dapat diberikan pada pasien dengan herpes zoster oftalmikus.1,2

17
Indikasi Pengobatan Antivirus pada Pasien Herpes Zoster
Usia ≥50 tahun
Nyeri sedang atau berat
Ruam berat
Keterlibatan wajah atau mata
Komplikasi lain dari herpes zoster
Status imunokompromais

Tabel 1: indikasi pengobatan antivirus pada pasien herpes zoster 5

Obat-obat yang biasa digunakan adalah asiklovir, dan modifikasinya, misalnya

valasiklovir. Obat yang lebih baru adalah famsiklovir dan pensiklovir yang

mempunyai waktu eliminasi yang lebih lama, sehingga cukup diberikan dengan

dosis 3 x 250 mg sehari. Obat tersebut diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi

muncul. Dosis yang dianjurkan untuk pasien normal, adalah asiklovir 5 x 800

mg/ hari biasanya diberikan 7 hari, sedangkan valasiklovir cukup 3x1000 mg

sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi. Jika lesi baru masih tetap

timbul, obat – obat tersebut masih dapat diteruskan dan dihentikan sesudah 2

hari, sejak lesi baru tidak muncul lagi.1,2

18
Kelompok Pasien Regimen
Normal
Usia <50 tahun Terapi simptomatik saja atau
Famsiklovir 500 mg PO setiap 8 jam selama 7 hari atau
Valasiklovir 1 gr PO setiap 8 jam selama 7 hari atau
Asiklovir 800 mg PO 5 kali sehari selama 7 hari

Usia >50 tahun, dan pasien Famsiklovir 500 mg PO setiap 8 jam selama 7 hari atau
dengan keterlibatan saraf kranial Valasiklovir 1 gr PO setiap 8 jam selama 7 hari atau
(mis, zoster optalmika) Asiklovir 800 mg PO 5 kali sehari selama 7 hari

Immunocompromised
Mild compromise, termasuk Famsiklovir 500 mg PO setiap 8 jam selama 7-10 hari
infeksi HIV-1 atau
Valasiklovir 1 gr PO setiap 8 jam selama 7-10 hari atau
Asiklovir 800 mg PO 5 kali sehari selama 7-10 hari

Severe compromise Asiklovir 10 mg/kg IV setiap 8 jam selama 7-10 hari

Resisten asiklovirn (mis, AIDS) Foskarnet 40 mg/kg IV setiap 8 jam sampai sembuh

Tabel 2 : terapi antiviral herpes zoster pada pasien normal dan immunocompromised1

Mekanisme kerja asiklovir : asiklovir merupakan analog 2’-deoksiguanosin.

Asiklovir adalah suatu prodrug yang baru memiliki efek antivirus setelah

dimetabolisme menjadi asiklovir trifosfat. Langkah yang penting dari proses

mekanisme kerjanya adalah pembentukan asiklovir monofosfat yang dikatalisis

oleh timidin kinase pada sel hospes yang terinfeksi virus herpes atau varisela

zoster atau oleh fosfotransferase yang dihasilkan oleh sitomegalovirus.

Kemudian ensim seluler menambahkan gugus fosfat untuk membentuk

asiklovir difosfat dan asiklovir trifosfat. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis

DNA virus dengan cara berkompetisi dengan 2’-deoksiguanosin trifosfat

sebagai substrat DNA polymerase virus. Jika asiklovir (dan bukan 2’-

deoksiguanosin) yang masuk ke tahap replikasi DNA virus, sintesis berhenti.

19
Inkorporasi asiklovir monofosfat ke DNA virus bersifat ireversibel karena

enzim eksonuklease dapat memperbaikinya. Pada proses ini, DNA polimerase

virus menjadi inaktif.13

Gambar 8 : mekanisme kerja asiklovir13

c. Obat Antiinflamasi

Kemungkinan NPH dapat menyebabkan inflamasi dari saraf ganglion sensorik

menjadi indikasi pemberian glukokortikosteroid pada fase akut dari herpes

zoster, untuk mengurangi nyeri akut yang akan mungkin timbul dan juga untuk

mencegah terjadinya NPH itu sendiri. Indikasi pemberian kortikosteroid adalah

untuk mencegah fibrosis ganglion, dan juga untuk Sindrom Ramsay Hunt.

Penberian harus diberikan sedini mungkin, untuk mencegah terjadinya paralisis

pada daerah wajah. Obat yang dapat diberikan adalah prednison, dengan dosis

3 x 20mg per hari. Setelah itu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis

20
prednison setinggi itu, dapat menyebabkan imunitas menurun atau tertekan,

sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. 1,2

d. Analgesik

Rasa nyeri yang berhunungan dengan NPH merupakan tantangan untuk diobati.

Obat yang digunakan untuk nyeri NPH yang dapat diberikan adalah pregabalin.

Dosis awal yang dapat diberikan adalah 2 x 75 mg sehari, setelah 3 – 7 hari.

Bila responnya kurang, dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis

maksimalnya adalah 600 mg sehari. Efek samping ringan dapat berupa pusing

dan somnolen yang akan menghilang sendiri, sehingga obat tersebut tidak perlu

dihentikan. Obat lain yang dapat digunakan adalah anti-depresi trisiklik

(misalnya nortiptilin dan amitriptilin). Dosis awal amitriptilin adalah 75 mg

sehari, kemudian ditinggikan sampai timbul efek terapeutik, biasanya antara

150 – 300 mg sehari. Dosis notritiptilin adalah 50 – 150 mg. Bahkan dengan

pengobatan, banyak pasien tidak merasa pengurangan rasa sakit yang cukup,

dan untuk pasien-pasien tersebut, harus dirujuk ke spesialis yang akan lebih

membantu.2,5

I. KOMPLIKASI

Neuralgia pasca herpetik dapat timbul pada umur di atas 40 tahun,

presentasinya 10-15%. Makin tua penderita makin tinggi persentasenya. Pada

penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya

pada penderita yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau

21
berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan

jaringan nekrotik.2

Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di

antaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis

optik. Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran

virus secara perkontinuitatum dari ganglion sensorik ke system saraf yang

berdekatan. Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya les.

Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh,

ekstremitas, vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan sembuh spontan. Infeksi

juga dapat menjalar ke alat dalam misalnya paru, hepar, otak. 2

J. PENCEGAHAN

Metode pencegahan dapat berupa:

a. Dengan cara pemakaian asiklovir jangka panjang dengan dosis supresi.

Misalnya, asiklovir sering diberikan sebagai obat pencegahan pada penderita

leukemia yang akan melakukan transplantasi sumsum tulang dengan dosis 5 x

200 mg/hari, dimulai 7 hari sebelum transplantasi sampai 15 hari sesudah

transplantasi.3

b. Pemberian vaksinasi dengan vaksin VVZ hidup yang dilemahkan, sering

diberikan pada orang lanjut usia untuk mencegah terjadinya penyakit,

meringankan beban penyakit, serta menurunkan terjadinya komplikasi NPH.

Vaksin herpes zoster yang tersedia di Indonesia mengandung Virus Varicella-

22
Zoster (VVZ) strain Oka/Merck hidup yang telah dilemahkan. Dosis pemberian

adalah sebanyak satu vial (0,65 mL) mengandung 19,400 plaque forming units

[PFU] VZV, secara subkutan di regio deltoid. Vaksin ini tidak boleh diberikan

secara intramuskuler ataupun intravena. Vaksin herpes zoster tidak

diindikasikan untuk pengobatan herpes zoster ataupun neuralgia

pascaherpetika.3,4

K. PROGNOSIS

Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada

tindakan perawatan secara dini.2

23
BAB III

KESIMPULAN

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-

zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus

yang terjadi setelah infeksi primer. Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang

tahun tanpa prevalensi musiman dan insidennya meningkat sesuai dengan

bertambahnya usia.Penyakit ini disebabkan oleh reaktivasi virus varisela zoster

(VVZ) pada pasien yang pernah terinfeksi, yang pernah terinfeksi, yang

menyerang kulit dan mukosa. Penyakit ini ditandai dengan vesikel-vesikel di suatu

dermatom ganglia spinalis atau kranialis, tempat virus tersebut dorman dan nyeri

radikuler yang intensif di daerah lesi. Penatalkasanaan untuk herpes zoster dapat

berupa tatalksana sistemik dan topikal. Prognosis umunya baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Schmander KE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. In: Goldsmith LA, Katz

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K (eds.). Fitzpatrick’s Dermatology

In General Medicine. 8th e. US: McGraw Hill; 2012. p.3388-409

2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

Keenam. Jakarta: FKUI; 2011. h.110-18, 130-33

3. Pusponegoro EHD, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SF, Djauzi S. Buku

panduan herpes zoster di Indonesia 2014. Badan penerbit FKUI. Jakarta: 2014

4. Adiwinata R, Suseno E. Peran vaksin dalam pencegahan herpes zoster. CDK-

241.43(6);2016:432-4

5. Cohen JL. Clinical practice herpes zoster. NEJM.2013;369(3):255-63

6. Nagalaxmi V, Singh A, Srikanth K, Prameela K, Reddy S. An Insight to Herpes

Zoster Review Article. Global Journal of Medical Research: J Dentistry and

Otolaryngology. 2014; 14(3): 22-28.

7. Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffith C (eds). Rook’s Textbook of Dermatology.

8th e. UK: Blackwell Publishing; 2010.

8. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology 2nd Ed. USA: Elsevier;2008.

9. Gupta R, Gupta P, Gupta S. Pathogenesis of herpes zoster: a review. The pharma

innovation journal. 2015;4(5):11-13.

25
10.Sinaga D. Pengobatan herpes zoster (HZ) opthalmica dextra dalam jangka pendek

serta pencegahan postherpetic neuralgia (PHN). Jurna ilmiah widya.2014 Agust-

Okt;2(3): 23-29.

11.Amar PP, Ajinkya C, Tohib NB, Rohidas P, Avinash C. A review on herpes

zoster.IJPBRS. 2014;3(3):123-127.

12.Wolff KG, Johnson RS, Suumrond D. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of

Clinical Dermatology. 5th ed. US: McGraw Hill; 2007

13. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth (editor). Farmakologi dan terapi. Edisi 5.

Jakarta: FKUI;2007. h.638-43

26

You might also like