You are on page 1of 56

LAPORAN KASUS

ANAK LAKI-LAKI DENGAN


DEMAM TIFOID

Pembimbing :
dr. Hery Susanto, Sp.A

Disusun oleh:
Moh. Almuhaimin
030.12.169

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 26 MARET – 1 JUNI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
TEGAL, MEI 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul:


“Anak Laki-Laki dengan Demam Tifoid”

Penyusun:
Moh. Almuhaimin
030.12.169

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Hery Susanto, Sp.A, sebagai
syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di
RSU Kardinah Kota Tegal Periode 26 Maret – 1 Juni 2018

Tegal, Mei 2018

dr. Hery Susanto, Sp.A

2
BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Moh.Almuhaimin Pembimbing : dr. Heri Susanto, Sp.A

NIM : 030.12.169 Tanda tangan :

1.1 IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. AK Tn.D Ny.SA

Umur 22 bulan 30 tahun 27 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat Kaligayam, Talang, Kabupaten Tegal

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan - SMA SMK

Pekerjaan - Karyawan Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - + Rp. 4.000.000 per -


Bulan

Keterangan Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

Asuransi BPJS PBI

No. RM 916312

3
1.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada tanggal
21 Mei 2018 pukul 12.00 WIB, di ruang Puspanidra RSU Kardinah Tegal

 Keluhan Utama: Demam sejak 4 hari SMRS

 Keluhan Tambahan: Mual dan muntah sebanyak 3x isi makanan bercampur lendir

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang Ke Poli klinik Anak RSU Kardinah tanggal 17 Mei 2018 diantar
oleh kedua orangtuanya dengan keluhan demam sejak + 4 hari SMRS, demam dirasakan
naik turun, dan biasanya demam naik pada saat malam hari. Batuk berdahak pada saat
datang ke RS disangkal, namun pilek dikeluhkan oleh pasien sejak gejala demam timbul.
Saat ini batuk dirasakan setelah 4 hari di rawat di rumah sakit, batuk berdahak dan sulit
keluar. Ibu Pasien mengatakan mual dan muntah didapatkan saat sebelum masuk rumah
sakit yaitu sebanyak ± 3x dengan isi makanan dan terdapat lendir. Ibu pasien
mengeluhkan nafsu makan menurun selama demam. BAB lancar, tidak ada keluhan.
Namun pasien dikeluhkan sering rewel sewaktu BAK dan tampak sering kali pasien
memukul-mukul kemaluannya jika saa ingin BAK. Pasien kemudian dirawat di ruang
rawat inap Puspanidra untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut.
 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat Asma


disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat operasi.
 Riwayat Penyakit Keluarga

Orang Tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami
keluhan serupa. Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit jantung bawaan ataupun
asma. Riwayat penyakit batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal.
Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus pada orang tua juga disangkal.

4
 Riwayat Lingkungan Perumahan

Pasien tinggal di rumah milik orang tua pasien. Rumah tersebut berukuran ± 6 x
10 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng,
berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien,
kakak pasien dan pasien sendiri. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu
sampai membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam
rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam
rumah tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 9 m.

Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan baik.

 Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien berprofesi sebagai Karyawan dengan penghasilan ± Rp 4.000.000,-


per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Penghasilan tersebut
menanggung hidup 4 orang, kedua orang tua pasien, kakak pasien dan pasien sendiri.

Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup .

 Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal

HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Peny. Paru (-),


Morbiditas kehamilan Anemia (-), Infeksi (-), demam tinggi (-), minum
alcohol (-), merokok (-).

Selama kehamilan ibu pasien menjalani ANC


rutin tiap bulannya di Rumah Sakit, pernah
mendapatkan imunisasi TT 2 kali. Pernah
Kehamilan
melakukan USG 2 kali. Ibu tidak pernah
Perawatan Antenatal mengonsumsi obat-obatan dan jamu selama
hamil, tidak merokok, tidak mengonsumsi
alkohol, tidak pernah mengalami demam, sesak,
muntah-muntah atau penyakit lain selama
kehamilan.

5
Tempat Persalinan Rumah Sakit

Penolong Persalinan Bidan

Cara Persalinan Spontan Pervaginam

Masa Gestasi 37 Minggu (9 Bulan)

Berat lahir : 2700 gr

Panjang lahir: 50 cm
Kelahiran
Lingkar kepala: ibu pasien tidak ingat

Keadaan Bayi Keadaan lahir : langsung menangis kuat,tidak


pucat dan tidak biru

Air ketuban : Jernih

Kelainan bawaan : -

Suntik Vit. K (+)


Kesan: Riwayat perawatan antenatal cukup baik, neonatus aterm, lahir spontan, bayi
dalam keadaan bugar.

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan gigi pertama : Umur 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Psikomotor :
Tengkurap : Umur 4 bulan (Normal: 3-5 bulan)
Tersenyum : Umur 2 bulan (Normal: 1-2 bulan)
Tengkurap : Umur 3 bulan (Normal: 3-5 bulan)
Tertawa : Umur 3 bulan (Normal : 2-4 bulan)
Duduk : Umur 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 12 bulan (Normal:12-18 bulan)
Berlari : Umur 18 bulan (Normal 18-24 bulan)

Kesan: Tidak terdapat keterlambatan dalam perkembangan pasien.


6
 Riwayat Makanan
Umur Buah/
ASI/PASI Bubur Susu Nasi Tim
(bulan) Biskuit
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI √ - √
8 – 10 ASI √ - √
10-14 ASI √ - √
14-22 ASI √ - √
Kesan: Pasien mendapatkan ASI eksklusif (+) hingga usia 22 bulan

 Riwayat Imunisasi

Kasan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar hingga usia 1 tahun

7
 Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
Tanggal lahir Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
(umur) kelamin mati (sebab) kesehatan
1. 2014 Perempuan + - - - Sehat
2. 2016 Laki-Laki + - - - Sakit

 Riwayat pernikahan

Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny.SA
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 25 tahun 23 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMK
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -

 Silsilah Keluarga

Ayah Pasien Ibu pasien Pasien kakak pasien

8
1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 21 Mei 2018, pukul 12.00 WIB, di Ruang
Rawat Inap Puspanidra.
I. Keadaan Umum
Compos mentis, Tampak sakit sedang.
II. Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 120x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 26x/menit reguler
Suhu : 37.5 oC, Axilla
III. Data Antropometri
Berat badan sekarang : 10 kilogram
Tinggi badan sekarang : 82 cm
Lingkar Kepala : 48 cm
IV. Status Internus
 Kepala : Normosefali, lingkar kepala 46 cm

 Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

 Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), mata
cekung (-/-), ptosis (-/-) pupil bulat, isokor, RCL +/+, RCTL+/+

 Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping
hidung (-)

 Telinga : Normotia, discharge (-/-)

 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-),
palatochizis (-), gusi berdarah (-), coated tongue (-)

 Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB

 Thorax : Dinding thorax normothorax dan simetris

9
o Paru :

 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Sternum dan iga normal.
Retraksi subcostal (-). Gerak napas simetris, tidak ada hemithorax yang
tertinggal.
 Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
o Cor :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Tidak ada hemithoraks yang tertinggal
 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen :
 Inspeksi : Datar, simetris

 Auskultasi : Bising usus (+)

 Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba , ascites (-)

 Perkusi : Redup di 2 kuadran atas, timpani 2 kuadran bawah

 Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki

 Ekstremitas: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris

Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

10
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal:

 Laboratorium Darah

Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
(17/05/2018) (19/05/2018) (21/05/2018) (22/05/2018
Hemoglobin 11.7 11.0 10.6 (L) g/dl 10.7 – 14.7
Leukosit 4.5 6.8 8.3 103/µl 4.5 – 13.5
Hematokrit 33.9 31.6 (L) 31.2 (L) % 33 – 41
Trombosit 284 282 291 103/µl 150 – 521
Eritrosit 4.6 4.4 4.3 106/µl 3.7 – 5.7
RDW 15.8 (H) 15.5 (H) 15.6 (H) % 11.5 – 14.5
MCV 74.2 71.7 (L) 72.2 (L) U 73 – 101
MCH 25.6 24.9 24.7 Pcg 22 – 34
MCHC 34.5 (H) 34.6 (H) 34.0 g/dL 26 – 34
Diff count
Neutrofil 46.5 (L) % 50 – 70
Limfosit 46.8 (H) % 25 – 40
Monosit 6.4 % 2–8
Eosinofil 0 (L) % 2–4
Basofil 0.3 % 0–1

11
Urinalisis Laboratorium
Makroskopis
Warna Kuning Kuning Kuning
Kekeruhan Jernih Jernih Jernih
Kimia Urin
pH 7.0 8.0 6.0 – 9.0
Negatif, +-/0.15, +1/0.03,
Protein Negatif Negatif
+2/1.00, +4/10.0
Reduksi Negatif Negatif Negatif
Mikroskopis (Sedimen)
Eritrosit 18 – 20 1-3 /lpb +1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Lekosit 1–2 0-1 /lpb +1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Epitel Pos (1+) Pos (1+) +1/<4, +2/5-9, +3/10-29, +4/
Silinder - -
Bakteri Pos (1+) Pos (1+) Negatif
Kristal + Amorf + Amorf
Jamur Negatif Negatif Negatif
Khusus
Berat Jenis 1.005 1.000 (L) 1.005 – 1.030
Bilirubin Negatif Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif Negatif
Keton 2+ Negatif Negatif

12
Nitrit Negatif Negatif Negatif
Eritrosit Positif (+++) Positif /500 Negatif
Lekosit Negatif Negatif Negatif
Sero Imunologi
WIDAL
St-O Pos 1/160 Pos 1/320 Negatif
St-H Pos 1/80 Pos 1/160 Negatif
S pt-AH Negatif Negatif Negatif

13
1.5 PEMERIKSAAN KHUSUS

a. Data Antropometri

Anak laki-laki usia 22 Bulan


Berat badan : 10 kg
Tinggi badan : 82 cm
Lingkar kepala : 48 cm

b. Pemeriksaan Status Gizi (curva CDC)

BB 10
= = 80.6 % = Gizi baik
U 12.4

TB 82
= = 95.3 % = Perawakan Normal
U 86

BB 10
= = 89 % = Gizi Baik
TB 11.2

c. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : Normosefali

14
1.6 RESUME

An. AK usia 22 bulan datang ke Poli klinik Anak RSU Kardinah tanggal 17 Mei 2018
diantar oleh kedua orangtuanya dengan keluhan demam sejak + 4 hari SMRS, demam dirasakan
naik turun, dan biasanya demam naik pada saat malam hari. Pilek dikeluhkan oleh pasien sejak
gejala demam timbul. Batuk dirasakan setelah 4 hari di rawat di rumah sakit, batuk berdahak dan
sulit keluar. Mual dan muntah didapatkan saat sebelum masuk rumah sakit yaitu sebanyak ± 3x
dengan isi makanan dan terdapat lendir. Nafsu makan menurun selama demam. Sering rewel
sewaktu BAK dan tampak sering kali pasien memukul-mukul kemaluannya jika saat ingin BAK.
Pada pemeriksaan fisik, pasien compos mentis, tampak sakit sedang. Nadi 120 x/menit,
nafas 26 x/menit, dan suhu 37.5º C. Pada pemeriksan fisik didapatkan keadaan umum dalam
batas normal, Tidak ditemukan kelainan. Pembesaran organ tidak ditemukan. Tanda dehidrasi
tidak ditemukan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar RDW meningkat (15.8g/dL) MCHC
meningkat (34.5g/dl). Pada pemeriksaan hitung jenis tepi didapatkan Neutrofil menurun (46.5%),
serta Limfosit meningkat (46.8 %). Pemeriksaan kadar Elektrolit dalam batas normal.
Pada Pemeriksaan Urinalisis Mikroskopis didapatkan serta Bakteri (+1), kristal
(+Amorf), Keton (2+) dan Eritrosit (+++). Pada pemeriksaan Sero Imunologi Widal didapatkan
St-O (Pos 1/160), St-H (Pos 1/80).

1.7 DAFTAR MASALAH

 Demam sejak + 4 hari SMRS, demam naik turun dan naik terutama malam hari

 Mual (+) dan muntah (+) ± 3x dengan isi makanan dan terdapat lendir

 Pilek + 4 hari SMRS

 Batuk dirasakan 4 hari setelah masuk rumah sakit

 Sering Rewel Sewaktu BAK

15
1.8 DIAGNOSIS BANDING

Demam  Tifoid
Mual  ISK
Muntah  Demam dengue
Batuk  Rhinitis
Pilek  Bronkopneumonia
 Bronkiolitis
 Bronkitis
Sering Rewel Saat  ISK
BAK  Batu Saluran Kemih
(Nyeri)

GIZI  Gizi Baik

1.9 DIAGNOSIS KERJA

 Demam Tifoid dd Infeksi Saluran Kemih

1.10 PENATALAKSANAAN

a. Non medikamentosa
 Monitor tanda vital dan keadaan umum
 Edukasi:
• Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
• Mencari faktor pencetus dan menghindarinya.
• Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak terkena
penyakit serupa.
b. Medikamentosa
 Infus RL 15 tpm

 Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp

16
 Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg

 Inf. Paracetamol k/p

PO:
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth

 Lapifed exp 3 x ½ cth

 Dhavit syrup 1 x 1 cth

 Thyamphenicol syrup 3 x 1 cth

1.11 PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

17
FOLLOW UP
17 Mei 2018 pukul 13.30 WIB 18 Mei 2018 pukul 10.00 WIB
PUSPANIDRA PUSPANIDRA
S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+), mual (+), S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+),
muntah (+) ± 3x isi makanan bercampur lendir, diare (-), nafsu mual (+), muntah (+) ± 1x isi makanan bercampur lendir,
makan menurun, minum (+), rewel saat BAK (+). diare (-), nafsu makan menurun, minum (+), rewel saat
BAK (+).
O KU: CM, tampak lemah O KU: CM, tampak lemah,
TTV: HR 110 x/m, RR 25x/m, S 38.30C TTV: HR 112 x/m, RR 24x/m, S 37.40C
Status generalis: Status generalis:
Mata: CA (-/-),SI (-/-) Mata: CA (-/-),SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-) BJ 1-2 Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-) reguler, m (-), g (-)
Abd dan Ekst: dbn Abd dan Ekst: dbn
A A
Obs. Febris hari ke-4 Obs. Febris hari ke-5
P  IVFD RL 15 tpm P  IVFD RL 15 tpm
 Inf. Paracetamol  Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p
 Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp  Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp
PO: PO:
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth  Paracetamol syrup 3 x 1 cth
 Lapifed expektoran 3 x ½ cth  Lapifed expektoran 3 x ½ cth
 Cek darah rutin  Cek darah rutin, urinalisa dan widal

18
19 Mei 2018 pukul 10.00 WIB 20 Mei 2018 pukul 10.00 WIB
PUSPANIDRA PUSPANIDRA
S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+), mual (+), S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+),
muntah (-), nafsu makan menurun, minum (+), rewel saat BAK mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun, minum (+),
(+), BAB tidak ada keluhan rewel saat BAK (+), BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak lemah O KU: CM, tampak lemah,
TTV: HR 114 x/m, RR 24x/m, S 37.90C TTV: HR 110 x/m, RR 24x/m, S 37.30C
Status generalis: Status generalis:
Mata: CA (-/-),SI (-/-) Mata: CA (-/-),SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-) BJ 1-2 Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-) reguler, m (-), g (-)
Abd dan Ekst: dbn Abd dan Ekst: dbn
A A
Obs. Febris hari ke-5 ISK
P  IVFD RL 15 tpm P  IVFD RL 15 tpm
 Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p  Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p
 Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp  Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp
 Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg  Inj. Ceftriaxone 2 x 250 mg
PO: PO:
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth  Paracetamol syrup 3 x 1 cth
 Lapifed expektoran 3 x ½ cth  Lapifed expektoran 3 x ½ cth
 Cek urinalisa

19
21 Mei 2018 pukul 10.00 WIB 22 Mei 2018 pukul 10.00 WIB
PUSPANIDRA PUSPANIDRA
S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+), mual (+), S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+),
muntah (-), nafsu makan menurun, minum (+), rewel saat BAK mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, minum (+),
(-), BAB tidak ada keluhan rewel saat BAK (-), BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, O KU: CM,
TTV: HR 120 x/m, RR 26x/m, S 37.50C TTV: HR 122 x/m, RR 30x/m, S 37.20C
Status generalis: Status generalis:
Mata: CA (-/-),SI (-/-) Mata: CA (-/-),SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-) BJ 1-2 Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-) reguler, m (-), g (-)
Abd dan Ekst: dbn Abd dan Ekst: dbn
A A
Demam tifoid dd ISK Demam tifoid dd ISK
P  IVFD RL 15 tpm → KAEN 3 A 12 tpm P  KAEN 3 A 12 tpm
 Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p  Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p
 Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp  Inj. Ondansentron 3 x 1/3 amp
 Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg  Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
PO: PO:
 Paracetamol syrup 3 x 1 cth  Paracetamol syrup 3 x 1 cth
 Lapifed expektoran 3 x ½ cth  Lapifed expektoran 3 x ½ cth
 Dhavit syrup 1 x 1 cth  Dhavit syrup 1 x 1 cth
 Cek darah rutin dan widal

20
23 Mei 2018 pukul 10.00 WIB 24 Mei 2018 pukul 10.00 WIB
PUSPANIDRA PUSPANIDRA
S Demam (-), batuk berdahak (+), pilek (+), mual (-), muntah (-), S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+),
nafsu makan menurun, minum (+), rewel saat BAK (-), BAB mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun, minum (+),
tidak ada keluhan rewel saat BAK (-), BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, O KU: CM,
TTV: HR 112 x/m, RR 28x/m, S 370C TTV: HR 115 x/m, RR 24x/m, S 36.80C
Status generalis: Status generalis:
Mata: CA (-/-),SI (-/-) Mata: CA (-/-),SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-) BJ 1-2 Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-) reguler, m (-), g (-)
Abd dan Ekst: dbn Abd dan Ekst: dbn
A A
Demam tifoid dd ISK Demam tifoid dd ISK
P  IVFD RL 15 tpm P  IVFD RL 15 tpm
 Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p  Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p
 Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg  Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
PO: PO:
 Lapifed expektoran 3 x ½ cth  Lapifed expektoran 3 x ½ cth
 Dhavit syrup 1 x 1 cth  Dhavit syrup 1 x 1 cth
 Thymphenicol syrup 3 x 1 cth

21
25 Mei 2018 pukul 10.00 WIB 26 Mei 2018 pukul 08.00 WIB
PUSPANIDRA PUSPANIDRA
S Demam (-), batuk berdahak (+), pilek (+), mual (-), muntah (-), S Demam naik turun (+), batuk berdahak (+), pilek (+),
nafsu makan baik, minum (+), rewel saat BAK (-), BAB tidak mual (+), muntah (-), nafsu makan baik, minum (+), rewel
ada keluhan saat BAK (-), BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, O KU: CM,
TTV: HR 110 x/m, RR 26x/m, S 36.50C TTV: HR 113 x/m, RR 24x/m, S 36.80C
Status generalis: Status generalis:
Mata: CA (-/-),SI (-/-) Mata: CA (-/-),SI (-/-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-) BJ 1-2 Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-), retraksi (-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-) reguler, m (-), g (-)
Abd dan Ekst: dbn Abd dan Ekst: dbn
A A
Demam tifoid dd ISK Demam tifoid dd ISK
P  IVFD RL 15 tpm P  IVFD RL 15 tpm
 Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p  Inj. Paracetamol ekstra 125 mg k/p
 Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg  Inj. Ceftriaxone 2 x 500 mg
PO: PO:
 Lapifed expektoran 3 x ½ cth  Lapifed expektoran 3 x ½ cth
 Dhavit syrup 1 x 1 cth  Dhavit syrup 1 x 1 cth
 Thymphenicol syrup 3 x 1 cth  Thymphenicol syrup 3 x 1 cth

22
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Tifoid
2.1.1 Definisi
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang
menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.

2.1.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di
daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam
keadaan endemis.
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan
810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 –
1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR
sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat
kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan.

2.1.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan (suhu 600 C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
 Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

23
 Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alcohol.
 Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.

2.1.4 Patogenesis
Bakteri Salmonella (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi) memasuki tubuh inang
melalui rute fekal-oral menuju lokasi infeksi pada usus halus (ileum).14 Pada usus halus pars
ileum ini didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang memperantarai sistem imunologi
mukosa dikenal sebagai Plak Peyeri. Port d’entrée bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel
Mkifrofold (sel M) yang merupakan struktur khusus pada permukaan Plak Peyeri, berfungsi
menyaring antigen yang akan memasuki plak payeri. Penelitian pada subjek sukarelawan
didapatkan dosis infeksi (infecting dose) sekitar 105 -106 organisme dengan Salmonella yang
ditangkap oleh sel M akan mentranslokasikannya ke basal sel, lokasi dimana makrofag yang
merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan memfagosit Salmonella untuk
dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada Sel T helper maupun Sel B spesifik.
Salmonella memiliki mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan menggagalkan
fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan menggandakan diri dan
menginfeksi makrofag-makrofag, dan ikut terbawa ke nodus limfatik mesenterium, dan keluar ke
aliran darah menyebabkan bakteremia primer. Setelah itu, Salmonella memasuki organ
retikuloendotelial seperti sumsum tulang, hepar dan lien dan bereplikasi kembali di dalam
makrofag organ-organ tersebut sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag,
menyebabkan hepatomegali dan splenomegali. Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut
akibat pendesakan organomegali, mual dan muntah sebagai manifestasi hepatomegali yang
mendesak saluran pencernaan. Pasca organomegali, bakteri kembali memasuki aliran darah
menyebabkan bakteremia sekunder yang mengawali munculnya gejala demam akibat
dilepaskannya endotoksin ke peredaran darah, menginduksi pirogen endogen yang
mempengaruhi temperature set di hipothalamus sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.11,12

24
Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan melalui sistem bilier, dan mengikuti
siklus enterohepatik, sehingga terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer terjadi fokus-fokus
infeksi Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila nekrosis ini menembus
tunika serosa maka akan terjadi perforasi ileum yang dapat berakibat peritonitis.

Gambar 1. Patogenesis Demam Tifoid


Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan
kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam
penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan
antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian
berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk
pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian
disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada
pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.

25
Gambar 2. Respons Antibodi Terhadap S. typhi

2.1.5 Gejala Klinis


Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan
gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
 Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
 Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) .
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
 Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

26
2.1.6 Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan
cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di
Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada
wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5
tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk
dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak
dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada
pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak
mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan
petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci
tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak
awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan

27
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid,
yaitu:
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada
penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit
dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama.
Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip
menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil
yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah
menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada
minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari
90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi
dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
c.1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang
pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid.

28
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi
belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA
tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen
yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau
urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam
spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.

Pencegahan sekunder dapat berupa :


a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam
tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring
dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

29
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus
mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral
diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit
makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan
dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak,
tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka
waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.

30
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap
menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari
infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan
pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dialami seseorang yang terinfeksi Salmonella Typhi dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok.
Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5
ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan
bahkan sampai syok.
2. Komplikasi Ekstraintestinal
 Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
 Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
 Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
 Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
 Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

31
 Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
 Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.

2.2 Infeksi Saluran kemih

2.2.1 Definisi Infeksi Saluran kemih


Infeksi saluran kemih (Urinary Tract Infection=UTI) adalah bertumbuh dan berkembang
biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna. Bakteriuria ialah
terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria bermakna bila ditemukannya kuman dalam
jumlah bermakna. Pengertian jumlah bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin.
Bila urin diambil dengan cara mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut
bermakna bila ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter
urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi supra pubik, disebutkan bermakna jika
ditemukan kuman dalam jumlah berapa pun. Bakteriuria asimtomatik (asymptomatic bacteriuria,
covert bacteriuria) adalah terdapatnya bakteri dalam saluran kemih tanpa menimbulkan
manifestasi klinis. Umumnya diagnosis bakteriuria asimtomatik ditegakkan pada saat melakukan
biakan urin ketika check-up rutin/uji tapis pada anak sehat atau tanpa gejala klinis. (1)
2.2.2 Etiologi
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%) pada ISK serangan
pertama. Penelitian di dalam negeri antara lain di RSCM Jakarta juga menunjukkan hasil yang
sama. Kuman lain penyebab ISK yang sering adalah Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia,
Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan
Morganella morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus.(1)
Pada ISK kompleks, sering ditemukan kuman yang virulensinya rendah seperti
Pseudomonas, golongan Streptokokus grup B, Stafilokokus aureus atau epidermidis. Haemofilus
influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab ISK pada anak. Kuman ini tidak
dapat tumbuh pada media biakan standar sehingga sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab
ISK. Bila penyebabnya Proteus, perlu dicurigai kemungkinan batu struvit
(magnesiumammonium-fosfat) karena kuman Proteus menghasilkan enzim urease yang
memecah ureum menjadi amonium, sehingga pH urin meningkat menjadi. Pada urin yang
alkalis, beberapa elektrolit seperti kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap.(1)

32
Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ISK kompleks, diantaranya adalah:
Outflow obstruction Kelainan ginjal
Striktur uretra Parut ginjal
Pelviureteric junction Refluks vesikoureter
Posterior urethral valves Displasia ginjal
Bladder neck obstruction Ginjal dupleks
Batu/tumor
Neuropathic bladder
Kista ginjal
Benda asing Metabolik
Indwelling catheter Imunosupresi
Batu Gagal ginjal
Selang nefrostomi Diabetes
Tabel 1. Faktor predisposisi terjadinya ISK kompleks.(2)
2.2.3 Epidemiologi

ISK terjadi pada 3-5% anak perempuan dan 1% dari anak laki-laki. Pada anak perempuan,
ISK pertama biasanya terjadi pada umur 5 tahun, dengan puncaknya pada bayi dan anak-anak
yang sedang toillete training. Setelah ISK pertama, 60%-80% anak perempuan akan
mengembangkan ISK yang kedua dalam 18 bulan. Pada anak laki-laki, ISK paling banyak terjadi
selama tahun pertama kehidupan; ISK jauh lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang tidak
disunat. Prevalensi ISK bervariasi berdasarkan usia. Selama tahun pertama kehidupan, rasio
penderita laki-laki: rasio wanita adalah 2,8-5,4 : 1. Sedangkan dalam tahun pertama sampai tahun
kedua kehidupan, terjadi perubahan yang mencolok, dimana rasio laki-laki: rasio perempuan
adalah 1:10.(3)
Pada anak-anak prasekolah usia, prevalensi anak perempuan dengan infeksi tanpa gejala
yang akhirnya didiagnosa oleh aspirasi suprapubik adalah 0,8%dibandingkan dengan 0,2% pada
anak laki-laki. Pada kelompok usia sekolah, angka insidensi bakteriuria pada perempuan lebih
banyak 30 kali dibandingkan pada anak laki-laki.(4)
Remaja putri lebih cenderung memiliki vaginitis (35%) dibandingkan ISK (17%). Selain itu,
gadis remaja yang didiagnosis dengan sistitis sering memiliki vaginitis bersamaan.(4)
2.2.4 Klasifikasi

ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan kelainan saluran
kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan menjadi ISK asimtomatik dan simtomatik. ISK
asimtomatik ialah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK simtomatik yaitu terdapatnya

33
bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik. ISK simtomatik dapat dibagi dalam dua
bagian yaitu infeksi yang menyerang parenkim ginjal, disebut pielonefritis dengan gejala utama
demam, dan infeksi yang terbatas pada saluran kemih bawah (sistitis) dengan gejala utama
berupa gangguan miksi seperti disuria, polakisuria, kencing mengedan (urgency).(1)
Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah. ISK atas (upper
UTI) merupakan ISK bagian atas terutama parenkim ginjal, lazimnya disebut sebagai
pielonefritis sedangkan ISK bawah (lower UTI) adalah bila infeksi di vesika urinaria (sistitis)
atau uretra. Batas antara atas dan bawah adalah hubungan vesikoureter.(1)
Berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK
kompleks. ISK simpleks (simple UTI, uncomplicated UTI) adalah infeksi pada saluran kemih
yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan
stasis urin. ISK kompleks (complicated UTI) adalah ISK yang disertai dengan kelainan anatomik
dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran balik (refluks) urin.
Kelainan saluran kemih dapat berupa batu saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, kista
ginjal, bulibuli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.(1)
ISK non spesifik adalah ISK yang gejala klinisnya tidak jelas. Ada sebagian kecil (10-20%)
kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis, baik berdasarkan gejala klinik
maupun pemeriksaan penunjang yang tersedia.(1)
Lokasi infeksi
Lokasi ISK dapat ditentukan secara klinik, laboratorium, dan pencitraan. Gejala klinis
ISK bawah pada umumnya lebih ringan, berupa disuria, polakisuria, kencing mengedan atau
urgensi, sedangkan ISK atas atau pielonefritis biasanya disertai demam dan nyeri punggung.
Pada ISK atas, pada pemeriksaan urin didapatkan silinder leukosit, konsentrasi ginjal menurun,
mikroglobulin-β2 urin meningkat, dan ditemukan ACB.
Silinder leukosit cukup spesifik sebagai bukti infeksi di ginjal, tetapi pada leukosituria
yang hebat, silinder ini sering tidak tampak terutama pada urin yang bersifat alkalis sehingga
sensitivitasnya menjadi rendah.
Berbagai parameter pemeriksaan serum dapat digunakan untuk membedakan pielonefritis
akut dengan ISK bawah, antara lain neutrofil, LED, CRP, prokalsitonin, IL-1β, IL-6, dan TNF-α.
Parameter laboratorium ini meningkat pada ISK, tetapi lebih tinggi pada pielonefritis akut
daripada ISK bawah dan peningkatan ini berbeda secara bermakna. Kadar prokalsitonin yang

34
tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut pada anak dengan
ISK febris (febrile urinary tract infection).
Perlu ditekankan bahwa tidak satupun dari uji laboratorium tersebut di atas yang dapat
dianggap sebagai baku emas (gold standard) untuk membedakan ISK atas dan ISK bawah.
Pemeriksaan skintigrafi ginjal DMSA (dimercaptosuccinic acid renal scan) merupakan baku
emas untuk menentukan pielonefritis akut, namun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
Skintigrafi DMSA mempunyai sensitivitas > 90% dan spesifitas 100% dalam mendiagnosis
pielonefritis akut.(1)
2.2.5 Patofisiologi

Patogenesis ISK adalah infeksi ascending dari bakteri yang berasal dari kolon, berkoloni di
perineum dan masuk ke kandung kemih melalui uretra. Infeksi pada kandung kemih akan
menimbulkan reaksi inflamasi, sehingga timbul nyeri pada suprapubik. Infeksi pada kandung
kemih ini disebut sistitis. Gejala yang timbul pada sistitis meliputi disuria (nyeri saat berkemih),
urgensi (rasa ingin miksi terus menerus), sering berkemih, inkontinensia, dan nyeri suprapubik.
Pada sistitis umumnya tidak terdapat gejala demam dan tidak menimbulkan kerusakan ginjal.
Pada beberapa kasus, infeksi akan menjalar melalui ureter ke ginjal sehingga timbul
pielonefritis. Pada keadaan normal, papilla pada ginjal memiliki mekanisme antirefluks yang
mencegah urin untuk memasuki tubulus pengumpul ginjal. Namun terdapat papilla, terutama
yang terletak pada bagian atas dan bawah ginjal, tidak memiliki mekanisme ini sehingga refluks
intrarenal bisa terjadi. Urin yang terinfeksi akan masuk kembali, menstimulasi terjadinya respon
imun dan inflamasi yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya luka dan parut pada ginjal.
Infeksi saluran kemih juga bisa terjadi pada penyebaran kuman secara hematogen, misalnya pada
endokarditis dan neonatus dengan bakteremia.(5)
2.2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi peradangan,
letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien. Sebagian ISK pada anak merupakan
ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur sekolah, terutama anak perempuan dan
biasanya ditemukan pada uji tapis (screening programs). ISK asimtomatik umumnya tidak
berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik.(1)

35
Pada masa neonatus, gejala klinik tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia, ikterus atau
kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau distensi
abdomen. Peningkatan suhu tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-kadang
gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour).(1)
Pada bayi sampai satu tahun, gejala klinik dapat berupa demam, penurunan berat badan,
gagal tumbuh, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus, dan distensi
abdomen. Pada palpasi ginjal anak merasa kesakitan. Demam yang tinggi dapat disertai kejang.
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala
klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal saluran
kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut,
sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.(1)
Pada pielonefritis dapat dijumpai demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna
seperti mual, muntah, diare. Tekanan darah pada umumnya masih normal, dapat ditemukan nyeri
pinggang. Gejala neurologis dapat berupa iritabel dan kejang. Nefritis bakterial fokal akut adalah
salah satu bentuk pielonefritis, yang merupakan nefritis bakterial interstitial yang dulu dikenal
sebagai nefropenia lobar.(1)
Pada sistitis, demam jarang melebihi 38°C, biasanya ditandai dengan nyeri pada perut bagian
bawah, serta gangguan berkemih berupa frequensi, nyeri waktu berkemih, rasa diskomfort
suprapubik, urgensi, kesulitan berkemih, retensio urin, dan enuresis.(1)
2.2.7 Diagnosis

Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. ISK serangan pertama umumnya menunjukkan
gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan
mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk
menentukan diagnosis. Demam merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-
kadang merupakan satu-satunya gejala ISK pada anak.(1)
Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan
massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas
bawah, tulang belakang untuk melihat ada tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien
ISK. Genitalia eksterna diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia pada

36
laki-laki atau sinekie vagina pada perempuan. Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah
prosedur yang terpenting. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama
untuk menegakkan diagnosis.(1)
American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada bayi umur di
bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK dan perlu dilakukan biakan
urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya,
kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditata laksana
sebagai pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP membuat
patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu: 1) Suhu tubuh 39°C atau lebih, 2) Demam
berlangsung dua hari atau lebih, 3) Ras kulit putih, 4) Umur di bawah satu tahun, 5) Tidak
ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya. Bila ditemukan 2 atau lebih faktor risiko
tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas 31%.(1)
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
• Urinalisis

Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah.
Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak dipakai sebagai
patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%)
pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK.
Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu
dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan Ureaplasma
urealitikum.(1)
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase, enzim yang
terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya leukosit dalam urin.
Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam
keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah
menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram
positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman
dalam urin. Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit. Hematuria
kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai sebagai indikator
diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah dalam diagnosis
ISK.(1)

37
Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL dengan kreatinin
urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK. NGAL adalah suatu iron-carrier-protein
yang terdapat di dalam granul neutrofil dan merupakan komponen imunitas innate yang
memberikan respon terhadap infeksi bakteri. Peningkatan uNGAL dan rasio uNGAL/Cr > 30
ng/mg merupakan tanda ISK.(1)
Bakteri sulit dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi dapat dilihat dengan mikrokop fase
kontras. Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman pada setiap
lapangan pandangan besar (LPB) kira-kira setara dengan hasil biakan 107 cfu/mL urin,
sedangkan pada urin yang dipusing, terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan
mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 105 cfu/mL urin. Jika dengan mikroskop fase
kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.(1)
Anti coated bacteri (ACB) dalam urin yang diperiksa dengan menggunakan fluorescein-
labeled anti-immunoglobulin merupakan tanda pielonefritis pada remaja dan dewasa muda,
namun tidak mampu laksana pada anak.(1)
 Pemeriksaan Darah

Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis


dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut tidak
spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju endap darah (LED),
C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas. Kadar
prokalsitonin yang tinggi dapat digunakan sebagai prediktor yang valid untuk pielonefritis akut
pada anak dengan ISK febris (febrile urinary tract infection) dan skar ginjal. Sitokin merupakan
protein kecil yang penting dalam proses inflamasi. Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori
(TNF-α; IL-6; IL-1β) meningkat pada fase akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.
 Biakan Urin

1) Cara pengambilan spesimen urin

Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat, mudah
dilakukan untuk semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan sederhana.
Sayangnya tidak ada teknik yang memenuhi persyaratan ini. Pengambilan sampel urin untuk
biakan urin dapat dilakukan dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah
(midstream), dan menggunakan urine collector. Cara terbaik untuk menghindari

38
kemungkinan kontaminasi ialah dengan aspirasi suprapubik, dan merupakan baku emas
pengambilan sampel urin untuk biakan urin. Kateterisasi urin merupakan metode yang dapat
dipercaya terutama pada anak perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin
pancar tengah merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi, dan urin bebas terhadap
kontaminasi dari uretra. Pada bayi dan anak kecil, urin dapat diambil dengan memakai
kantong penampung urin (urine bag atau urine collector). Pengambilan sampel urin dengan
metode urine collector, merupakan metode yang mudah dilakukan, namun risiko kontaminasi
yang tinggi dengan positif palsu hingga 80%. Child Health Network (CHN) guideline (2002)
hanya merekomendasikan 3 teknik pengambilan sampel urin, yaitu pancar tengah,
kateterisasi urin, dan aspirasi supra pubik, sedangkan pengambilan dengan urine bag tidak
digunakan. Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat perhatian
karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari ½ jam, maka kuman
dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu. Jika urin tidak
langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin harus dikirim dalam termos es
atau disimpan di dalam lemari es. Urin dapat disimpan dalam lemar es pada suhu 40C,
selama 48-72 jam sebelum dibiak.
2) Interpretasi biakan urin

Urin umumnya dibiak dalam media agar darah dan media McConkey. Beberapa
bakteri yang tidak lazim menyebabkan ISK, tidak dapat tumbuh pada media yang sering
digunakan dan memerlukan media kultur khusus. Interpretasi hasil biakan urin bergantung
pada teknik pengambilan sampel urin, waktu, dan keadaan klinik. Untuk teknik pengambilan
sampel urin dengan cara aspirasi supra pubik, semua literatur sepakat bahwa bakteriuria
bermakna adalah jika ditemukan kuman dengan jumlah berapa pun. Namun untuk teknik
pengambilan sampel dengan cara kateterisasi urin dan urin pancar tengah, terdapat kriteria
yang berbeda-beda.
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah
kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna. Dengan kateter urin, Garin dkk.,
(2007) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna, dan pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL, dan ada yang menggunakan
kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan
batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan

39
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah >
105 cfu/mL, dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin
diambil dengan urine bag.
Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak
faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas
ditemukan ISK.
Cara lain untuk mengetahui adanya kuman adalah dipslide. Cara dipslide adalah cara
biakan urin yang dapat dilakukan setiap saat dan di mana saja, tetapi cara ini hanya dapat
menunjukkan ada tidaknya kuman, sedang indentifikasi jenis kuman dan uji sensitivitas
memerlukan biakan cara konvensional.(1)
 Pemeriksaan Pencitraan

Tujuan dari studi pencitraan pada anak-anak dengan ISK adalah mengidentifikasi kelainan
anatomi yang mempengaruhi terhadap infeksi. Namun pemilihan pmeriksaan dengan imaging
yang sesuai untuk ISK pada anak masih merupakan kontroversi.
1) Ultrasonografi
Ultrasonografi telah menggeser urografi intravena sebagai pemeriksaan awal
untuk ISK pada anak. Ultrasonografi saja umumnya tidak adekuat untuk investigasi ISK
pada anak-anak, karena tidak dapat diandalkan dalam mendeteksi refluks vesicoureteral,
parut ginjal ataupun perubahan akibat peradangan. Jika refluks atau kelainan morfologi
dapat diidentifikasi, renal scintigraphy and voiding cystourethrography dianjurkan untuk
pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kelainan ginjal atau jaringan parut pada saluran
kemih. Sebuah rekomendasi saat ini adalah bahwa USG harus dihilangkan pada ISK pada
anak-anak jika demam pada bayi dan anak-anak menanggapi pengobatan (afebril dalam
waktu 72 jam), hasil follow up baik, dan tidak ada kelainan berkemih atau bahkan massa
intra abdomen.(4)

2) Urografi intravena
Urografi Intravena menampilkan gambar anatomi yang tepat dari ginjal dan dapat
dengan mudah mengidentifikasi beberapa kelainan saluran kemih (misalnya, kista,
hidronefrosis). Kelemahan utama dari urografi intravena adalah kurangnya sensitifitas
dibandingkan dengan skintigrafi ginjal dalam deteksi pielonefritis maupun jaringan parut

40
pada ginjal. Tingginya dosis radiasi dan respon tubuh terhadap kontras sangat perlu
diperhatikan khususnya pada anak-anak. Mengingat kelemahan tersebut, urografi
intravena tampaknya memiliki peran yang kecil dalam mendeteksi ISK pada anak.(4)
3) Skintigrafi Kortikal Ginjal
Skintigrafi Kortikal Ginjal telah mengganti urografi intravena sebagai teknik
standar untuk mendeteksi peradangan ginjal dan adanya jaringan parut pada ginjal.
Skintigrafi Kortikal ginjal dengan technetium-99mblabeled glucoheptonate maupun
Dimercaptosuccinic Acid (DMSA) sangat sensitif dan spesifik. Pemakaian
DMSA menawarkan keuntungan dalam deteksi dini perubahan inflamasi akut dan luka
yang permanen dibandingkan dengan USG atau urografi intravena. Hal ini juga berguna
pada neonatus dan pasien dengan fungsi ginjal yang buruk. Computed tomography
(CT) sensitif dan spesifik untuk mendeteksi pielonefritis akut, tetapi tidak ada studi yang
membandingkan CT dan skintigrafi. Selain itu, CT lebih mahal daripada skintigrafi,
selain itu pemaparan radiasi pada pasien juga lebih tinggi.(6)
4) Voiding Cystourethrography
Karena refluks vesicoureteral merupakan faktor risiko dari nefropati refluks dan
pembentukan jaringan parut pada ginjal, identifikasi awal pada kelainan ini sangat
dianjurkan. Voiding Cystourethrography harus ditunda sampai infeksi saluran kencing
telah terkendali, karena refluks vesicoureteral mungkin merupakan efek sementara dari
infeksi. Namun, karena kepekaan dan spesifisitas yang rendah, dan karena Voiding
Cystourethrography melibatkan iradiasi gonad dan kateterisasi, penggunaannya dalam
mendiagnosis refluks vesicoureteral masih dipertanyakan.(6)

Indikasi untuk Voiding Cystourethrography) masih controversial dan sering


berubah. Kebanyakan dokter merekomendasikan pemeriksaan ini untuk semua anak
dengan demam oleh karena ISK. Voiding Cystourethrography juga dianjurkan pada anak
perempuan yang telah mengalami ISK 2 atau 3 kali dalam jangka waktu 6 bulan, dan
untuk anak laki-laki dengan lebih dari satu ISK. Voiding Cystourethrography juga harus
dilakukan jika sonogram ginjal menunjukkan kelainan signifikan, seperti hidronefrosis,
kelainan panjang ginjal, atau penebalan dinding kandung kemih. Temuan yang paling
umum adalah refluks vesicoureteral, yang diidentifikasi di sekitar 40% dari pasien.

41
Waktu pemeriksaan Voiding Cystourethrography juga masih kontroversial.
Meskipun di beberapa pusat penelitian pemeriksaan ini ditunda 2-6 minggu untuk
meredakan peradangan pada kandung kemih. Sehingga waktu yang tepat adalah pada
sebelum anak keluar dari rawatan dari rumah sakit, pemeriksaan ini sekaligus bisa
mengevaluasi keadaan anak. Jika tersedia, Voiding Cystourethrography radionuklida
daripada Voiding Cystourethrography kontras dapat digunakan pada anak perempuan.
Teknik ini membuat paparan radiasi kurang pada gonad daripada dengan kontras. Pada
anak laki-laki, pemeriksaan radiografi dari uretra merupakan hal yang penting,
sehingga Voiding Cystourethrography kontras direkomendasikan untuk pemeriksaan
radiologis awal. Karena kekhawatiran bahwa Voiding Cystourethrography mungkin akan
menjadi hal traumatis kepada anak, beberapa orangtua masih mempertanyakan
perlunya VoidingCystourethrography jika ultrasonogram hasilnya normal. Perlu diingat
bahwa ultrasonografi tidak sensitif dalam mendeteksi refluks, hanya 40% dari anak-anak
dengan refluks memiliki kelainan pada ultrasonogram tersebut.(4,6)
5) Isotope Cystogram

Meskipun Isotope Cystogram menyebabkan ketidaknyamanan yang sama seperti


kateterisasi kandung kemih yang digunakan dalam Voiding Cystourethrography,
pemeriksaan ini memiliki keunggulan dilihat dari dosis radiasi ionisasi yang hanya 1%
daripada yang digunakan pada Voiding Cystourethrography dan pemantauan terus
menerus (ada pemeriksaan ini juga lebih sensitif untuk mengidentifikasi adanya suatu
refluks dibandingkan pemeriksaan flourokopi sesekali yang dilakukan pada Voiding
Cystourethrography).(6)

2.2.8 Penatalaksanaan

Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien, lokasi infeksi, gejala
klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan
pengobatan yang berbeda. Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan faktor risiko penting
terhadap terjadinya jaringan parut pada pielonefritis. Sebelum pemberian antibiotik, terlebih
dahulu diambil sampel urin untuk pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba.

42
Penanganan ISK pada anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah terjadinya
kerusakan ginjal lebih lanjut.
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam penanganan ISK pada anak, dan masih
terdapat beberapa hal yang masih kontroversi. Beberapa protokol penanganan ISK telah dibuat
berdasarkan hasil penelitian multisenter berupa uji klinis dan meta-analisis, meskipun terdapat
beberapa perbedaan tetapi protokol penanganan ini saling melengkapi. Secara garis besar, tata
laksana ISK terdiri atas:
1) Eradikasi infeksi akut,
2) Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih,
3) Deteksi dan mencegah infeksi berulang.

Eradikasi infeksi akut


Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya
urosepsis dan kerusakan parenkim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, berikan antibiotik
dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin, dan terapi
selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada
pola resistensi kuman setempat atau lokal, dan bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan
kuman yang terdapat dalam literatur. Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72
jam pengobatan. Bila dalam waktu tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang
diberikan tidak sesuai atau mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik
dapat diganti. Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan.
Penelitian tentang lama pemberian antibiotik pada sistitis menunjukkan tidak ada
perbedaan dalam outcome anak dengan pemberian antibiotik jangka pendek dibandingkan
dengan jangka panjang. Oleh karena itu, pada sistitis diberikan antibiotik jangka pendek.
Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral selama 7 hari,
tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per oral dengan waktu yang lebih
singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama dengan pemberian selama 7 hari.

NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut, sebagai berikut:


 Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter spesialis anak,
pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.

43
 Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:
• Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
• Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang resistensinya masih
rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti sefalosporin atau ko-amoksiklav.
• Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotik parenteral,
seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan dengan antibiotik per oral
hingga total lama pemberian 10 hari.
 Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman setempat. Bila
tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan trimetroprim, sefalosporin, atau
amoksisilin.
• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali, dilakukan
pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.
Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi terhadap
ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan sensitivitas sebagian besar kuman -
patogen dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin dan seftriakson. Berbagai antibiotik
dapat digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang diberikan secara oral maupun
parenteral, seperti terlihat pada tabel 2 dan tabel 3.
Jenis antibiotik Dosis per hari
Amoksisilin 20-40 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis
Sulfonamid
 Trimetroprim (TMP) dan 6-12 mg TMP dan 30-60 mg SMX /kgbb/hari
Sulfametoksazol (SMX) dibagi dalam 2
 Sulfisoksazol Dosis 120-150 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4
dosis
Sefalosporin:
 Sefiksim 8 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
 Sefpodiksim 10 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
 Sefprozil 30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
 Sefaleksin 50-100 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis
 Lorakarbef 15-30 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis
Tabel 2. Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih.(1)

Jenis antibiotik Dosis per hari


Seftriakson 75 mg/kgbb/hari
Sefotaksim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam

44
Seftazidim 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Sefazolin 50 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Gentamisin 7,5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Amikasin 15 mg/kgbb/hari dibagi setiap 12 jam
Tobramisin 5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam
Tikarsilin 300 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Ampisilin 100 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam
Tabel 3. Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih.(1)

Pengobatan sistitis akut


Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik per oral dan umumnya tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, namun bila gejala klinik cukup berat misalnya rasa sakit yang hebat,
toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi pengobatan parenteral
hingga gejala klinik membaik. Lama pengobatan umumnya 5 – 7 hari, meskipun ada yang
memberikan 3-5 hari, 6 atau 7 hari.
Untuk sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-
sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilinklavulanat, sefaleksin, dan sefiksim.
Golongan sefalosporin sebaiknya tidak diberikan untuk menghindari resistensi kuman dan
dicadangkan untuk terapi pielonefritis. Menurut Garin dkk., (2007), pemberian sefiksim pada
sistitis akut terlalu berlebihan. ISK simpleks umumnya memberikan respon yang baik dengan
amoksisilin, sulfonamid, trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin.(1)
Pengobatan pielonefritis
Para ahli sepakat bahwa antibiotik untuk pielonefritis akut harus mempunyai penetrasi
yang baik ke jaringan karena pielonefritis akut merupakan nefritis interstitialis. Belum ada
penelitian tentang lamanya pemberian antibiotik pada pielonefritis akut, tetapi umumnya
antibiotik diberikan selama 7-10 hari,6 meskipun ada yang menuliskan 7-14 hari atau 10-14
hari.(1)
Pemberian antibiotik parenteral selama 7 - 14 hari sangat efektif dalam mengatasi infeksi
pada pielonefritis akut, tetapi lamanya pemberian parenteral menimbulkan berbagai
permasalahan seperti masalah kesulitan teknik pemberian obat, pasien memerlukan perawatan,
biaya pengobatan yang relatif mahal, dan ketidaknyamanan bagi pasien dan orangtua, sehingga
dipikirkan untuk mempersingkat pemberian parenteral dan diganti dengan pemberian oral.
Biasanya perbaikan klinis sudah terlihat dalam 24-48 jam pemberian antibiotik parenteral.

45
sehingga setelah perbaikan klinis, antibiotik dilanjutkan dengan pemberian antibiotik per oral
sampai selama 7-14 hari pengobatan.(1)
Secara teoritis pemberian antibiotik yang lebih singkat pada anak mempunyai keuntungan
antara lain efek samping obat lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya resistensi kuman
terhadap obat lebih sedikit. Pada kebanyakan kasus, antibiotik parenteral dapat dilanjutkan
dengan oral setelah 5 hari pengobatan bila respons klinik terlihat dengan nyata atau setidak-
tidaknya demam telah turun dalam 48 jam pertama. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
pengobatan 14 hari lebih efektif atau dapat mengurangi risiko kekambuhan. Dianjurkan
pemberian profilaksis antibiotik setelah pengobatan fase akut sambil menunggu hasil
pemeriksaan pencitraan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks
(adanya refluks atau obstruksi) maka pengobatan profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.(1)
Berbagai penelitian untuk membandingkan pemberian antibiotik parenteral dengan
antibiotik per oral telah dilakukan. Hoberman dkk. melakukan penelitian multisenter, uji klinik
tersamar (randomized clinical trial) pada 306 anak dengan ISK dan demam, yang diterapi
dengan sefiksim oral dan dibandingkan dengan sefotaksim selama 3 hari yang dilanjutkan
dengan sefiksim per oral sampai 14 hari, dan hasil pengobatan tidak berbeda bermakna.
Disimpulkan bahwa sefiksim per oral dapat direkomendasikan sebagai terapi yang aman dan
efektif pada anak yang menderita ISK dengan demam. Montini dkk., melaporkan penelitian pada
502 anak dengan diagnosis pielonefritis akut, yang diterapi dengan antibiotik ko-amoksiklav
peroral (50 mg/kgbb/hari dalam 3 dosis) selama 10 hari dibandingkan dengan seftriakson
parenteral (50 mg/kgbb/hari dosis tunggal) selama 3 hari, dilanjutkan dengan pemberian ko-
amoksiklav peroral (50 mg/kgbb/hari dalam 3 dosis) selama 7 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada pielonefritis akut, efektivitas antibiotik parenteral selama 10 hari sama
dengan antibiotik parenteral yang dilanjutkan dengan pemberian per oral.(1)
Pengobatan ISK pada Neonatus
Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati, anoreksia,
ikterus, gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel,
atau distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi infeksi yang belum berkembang
menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis, terutama pada neonatus dengan kelainan
saluran kemih.(1)

46
Pengobatan terutama ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram negatif. Antibiotik
harus segera diberikan secara intravena. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada
umumnya cukup memadai. Lama pemberian antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah 10-14
hari. Pemberian profilaksis antibiotik segera diberikan setelah selesai pengobatan fase akut.(1)
Bakteriuria Asimtomatik
Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman > 105 cfu/mL dalam urin tanpa
gejala klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria, urgency, dan frekuensi) ataupun gejala
klinik ISK atas seperti demam, menggigil, nyeri sekitar ginjal. Bakteri pada bakteriuria
asimtomatik biasanya bakteri dengan virulensi rendah dan tidak punya kemampuan untuk
menyebabkan kerusakan ginjal meskipun kuman tersebut mencapai ginjal.
Secara umum disepakati bahwa bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi
antibiotik, malah pemberian antibiotik dapat menambah risiko komplikasi antara lain
meningkatkan rekurensi pada 80% kasus. Kuman komensal dan virulensi rendah pada saluran
kemih dapat menghambat invasi kuman patogen, dengan demikian kuman komensal tersebut
dianggap berfungsi sebagai profilaksis biologik terhadap kolonisasi kuman patogen.(1)

Pengobatan Suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu
diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus adekuat
untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat disuruh untuk
mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu ditekankan terutama pada
anak perempuan. Untuk mengatasi disuria dapat diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan
dosis 7 – 10 mg/kgbb/hari. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit berat seperti
demam tinggi, muntah, sakit perut maupun sakit pinggang.(1)

Deteksi kelainan anatomi dan fungsional serta tata laksananya


Deteksi kelainan anatomi atau fungsional ginjal saluran kemih dilakukan untuk mencari
faktor predisposisi terjadinya ISK dengan pemeriksaan fisik dan pencitraan. Dengan
pemeriksaan fisik saja dapat ditemukan sinekia vagina pada anak perempuan, fimosis,
hipospadia, epispadia pada anak laki-laki. Pada tulang belakang, adanya spina bifida atau dimple
mengarah ke neurogenic bladder.(1)

47
Pemeriksaan pencitraan sangat penting untuk melihat adanya kelainan anatomi maupun
fungsional ginjal dan saluran kemih, yang merupakan faktor risiko terjadinya ISK berulang dan
parut ginjal. Berbagai jenis pemeriksaan pencitraan antara lain ultrasonografi (USG), miksio -
sistouretrografi (MSU), PIV (pielografi inravena), skintigrafi DMSA (dimercapto succinic acid),
CT-scan atau magnetic resonance imaging (MRI). Dulu, PIV merupakan pemeriksaan yang
sering digunakan, tetapi belakangan ini tidak lagi rutin digunakan pada ISK karena berbagai
faktor antara lain efek radiasi yang multipel, risiko syok anafilaktik, risiko nekrosis tubular akut,
jaringan parut baru terlihat setelah beberapa bulan atau tahun, tidak dapat memperlihatkan
jaringan parut pada permukaan anterior dan posterior. PIV digunakan untuk kasus tertentu,
misalnya untuk melihat gambaran anatomi jika tidak jelas terlihat dengan USG dan skintigrafi
DMSA, misalnya ginjal tapal kuda.
Berdasarkan studi tentang untung-ruginya pemeriksaan pencitraan (cost-effectiveness),
Stark (1997) mengajukan alternatif pilihan pemeriksaan pencitraan sebagai berikut:
1) Anak yang diduga menderita pielonefritis akut dan semua bayi yang menderita ISK perlu
pemeriksaan USG dan MSU. Bila ditemukan RVU, pemeriksaan PIV atau sintigrafi
DMSA dapat dilakukan. Bila pada pemeriksaan USG dicurigai adanya kelainan anatomik
maka PIV lebih disarankan.
2) Anak perempuan dengan ISK bawah (sistitis) berulang sampai dua atau tiga kali, atau
ISK pertama dengan adanya riwayat RVU dalam keluarga, diperlakukan seperti pilihan
no. 1.
3) Sebagian besar anak perempuan dengan ISK serangan pertama atau ISK bawah saja
tidak memerlukan pemeriksaan pencitraan. Kelompok ini cukup dipantau tiap 6-12 bulan
dan biakan urin bila ada demam.(1)

Guideline AAP (1999) merekomendasikan USG ginjal dan voiding cyctoureterography


(VCUG) atau sistografi radionuklir pada anak kurang dari 2 tahun setelah ISK pertama. Untuk
anak yang lebih besar belum ada patokan. Dalam algoritme disebutkan bila respons klinik dalam
48 jam pengobatan tidak nyata maka perlu biakan urin ulangan dan USG sesegera mungkin,
sedangkan MSU atau sistografi radionuklid dilakukan setelah kondisi klinis mengijinkan. Bila
respons klinik baik maka USG maupun MSU/sistografi radionuklid dilakukan setelah kondisi
klinis memungkinkan. AAP tidak merekomendasikan pemakaian PIV dalam tata laksana ISK.

48
Goldman dkk. menganjurkan bahwa USG dan MSU harus dilakukan secara rutin pada
ISK bayi laki-laki. Skintigrafi ginjal dipersiapkan bila pada USG diduga ada kelainan ginjal atau
bila pada MSU ditemukan refluks derajat III atau lebih. CHN guideline merekomendasikan
pemeriksaan USG terhadap semua anak dengan ISK pertama kali, dan terhadap semua anak
dengan ISK febris pertama sekali dilakukan pemeriksaan VCUG 7-10 hari setelah pengobatan
selesai.
Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, pemeriksaan pencitraan dibedakan
berdasarkan kelompok umur, yaitu umur < 2 tahun, 2-5 tahun, dan di atas 5 tahun. Pada
kelompok umur < 2 tahun, dilakukan pemeriksaan USG dan MSU, dan jika ditemukan kelainan,
dilanjutkan dengan PIV atau DMSA, sedangkan jika tidak ada kelainan, anak diobservasi saja..
Pada kelompok umur 2-5 tahun, dilakukan pemeriksaan USG dan jika ditemukan kelainan,
dilanjutkan dengan MSU, dan jika dengan MSU ditemukan kelainan, pemeriksaan dilanjutkan
dengan PIV atau DMSA. Pada kelompok umur > 5 tahun, dilakukan USG dan jika terdapat
kelainan, dilanjutkan dengan PIV atau DMSA, kemudian dengan MSU
jika hasilnya abnormal.
Dalam kaitannya dengan pencitraan, Lambert dan Coulthard (2003) membagi anak dalam
3 kelompok yaitu 0-1 tahun, 1-4 tahun, dan anak yang lebih besar,dan tidak menganurkan
pemeriksan PIV. Pada 0-1 tahun, dilakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui gambaran
anatomi, skintigrafi DMSA untuk mendeteksi jaringan parut, dan MSU untuk mendeteksi refluks
vesiko-ureter serta gambaran anatomi kandung kemih dan uretra. Pada kelompok umur 1-4
tahun, tidak ada konsensus pemeriksaan yang tegas. USG dan skintigrafi DMSA merupakan
pemeriksaan yang sering digunakan. MSU dilakukan jika terdapat kecurigaan terhadap RVU
misalnya terdapat riwayat keluarga dengan RVU atau pada pemeriksaan antenatal terdapat
dilatasi ginjal. Pada anak besar, dianjurkan hanya dengan USG, sedangkan pemeriksaan
skintigrafi DMSA dan MSU dilakukan atas indikasi.
Sebelum tahun 2006, perhimpunan dokter anak merekomendasikan pemeriksaan VCUG
dilakukan secara rutin pada semua anak dengan ISK febris pertama kali. Dengan pemeriksaan
ini, RVU ditemukan pada 20-40% pasien dan sebagian besar di antaranya RVU derajat rendah.
Berdasarkan State of art Conference Swedia, pada anak di atas 2 tahun, skintigrafi
DMSA dengan USG merupakan pemeriksaan yang dianjurkan. VCUG hanya dilakukan jika
skintigrafi DMSA abnormal.

49
Pada 2007, NICE mendefinisikan anak dengan risiko tinggi yaitu: 1) Anak dengan
prokalsitonin yang tinggi karena sensitivitas yang tinggi terhadap refluks derajat berat, 2) bayi
kurang dari 6 bulan dengan demam tinggi, ISK berulang, dan gejala klinis berupa gangguan
aliran air kemih atau ginjal yang teraba, infeksi dengan organisme atipik, bakteremia atau
septikemia, manifestasi klinik yang lama dan tidak memberikan respon terhadap antibiotik dalam
waktu 48- 72 jam; presentasi klinis yang tidak lazim seperti anak lelaki yang lebih tua atau
dengan abnormalitas saluran kemih pada saat pemeriksaan USG antenatal. Anak dengan risiko
tinggi tersebut perlu diperiksa USG dan VCUG pada episode pertama ISK. NICE membuat
rekomendasi pemeriksan pencitraan pada anak dengan ISK, yang dibedakan menjadi
rekomendasi untuk bayi < 6 bulan, untuk bayi 6 bulan hingga 3 tahun, dan untuk anak > 3 tahun.
Masing-masing kelompok umur dibedakan lagi menjadi ISK yang memberikan respon yang baik
terhadap antibiotik dalam waktu 48 jam, ISK atipik, dan ISK berulang/rekuren. Pada semua
kelompok umur yang memberikan respon yang baik terhadap antibiotik dalam waktu 48 jam,
tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan kecuali pada kelompok umur < bulan, yaitu
pemeriksaan USG dalam waktu 6 minggu. Pada kelompok umur < 6 bulan, dilakukan
pemeriksaan USG, DMSA, dan MSU baik pada ISK atipik maupun ISK berulang. Pada
kelompok umur 6 bulan – 3 tahun, baik pada ISK atipik maupun berulang dilakukan
pemeriksaan USG dan DMSA, dan jika perlu dilakukan pemeriksaan MSU. Pada kelompok
umur > 3 tahun, pada ISK atipik dilakukan pemeriksaan USG, sedangkan pada ISK berulang
dilakukan USG dan DMSA.
Pemeriksaan pencitraan hendaknya memperhatikan faktor untung rugi (cost-
effectiveness), faktor tekanan psikologik terhadap anak dan orangtua akibat pemeriksaan invasif,
bahaya radiasi, dan sebagainya dibandingkan dengan manfaatnya untuk tindakan pengobatan,
pencegahan infeksi berulang, terutama pencegahan timbulnya parut ginjal.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang seberapa jauh pemeriksaan pencitraan perlu
dilakukan. Para klinikus mengakui tidak ada satupun metode pencitraan yang secara tunggal
dapat diandalkan untuk mencari faktor predisposisi ISK. Masing-masing pemeriksaan tersebut
memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing, sehingga sering diperlukan kombinasi
beberapa pemeriksaan. Pilihan pemeriksaan pencitraan hendaknya ditentukan oleh tersedianya
alat pencitraan pada setiap tempat atau institusi.(1)

50
Deteksi dan mencegah infeksi berulang
Infeksi berulang terutama pielonefritis akut merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya parut ginjal. Diperkirakan 40 – 50% kasus ISK simtomatik akan mengalami infeksi
berulang dalam dua tahun pengamatan dan umumnya berupa reinfeksi, bukan relaps. Deteksi
ISK berulang dilakukan dengan biakan urin berkala, misalnya setiap bulan, kemudian
dilanjutkan dengan setiap 3 bulan. Jika terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai
dengan hasil biakan urin.
Beberapa faktor berperan dalam terjadinya ISK berulang, terutama pada anak perempuan,
antara lain infestasi parasit seperti cacing benang, pemakaian bubble bath, pakaian dalam terlalu
sempit, pemakaian deodorant yang bersifat iritatif terhadap mukosa perineum dan vulva,
pemakaian toilet paper yang salah, konstipasi, ketidak mampuan pengosongan kandung kemih
secara sempurna, baik akibat gangguan neurologik (neurogenic bladder) maupun faktor lain (non
neurogenic bladder), RVU, preputium yang belum disirkumsisi.
ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien termasuk
memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan menghilangkan atau mengatasi
faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi yang teratur bermanfaat mencegah ISK
berulang. Pada kasus refluks dianjurkan miksi berganda (double micturation maupun tripple
micturation). Koreksi bedah terhadap kelainan struktural seperti obstruksi, refluks derajat tinggi,
urolitiasis, katup uretra posterior, ureterokel dan ureter dupleks yang disertai obstruksi sangat
bermanfaat untuk mengatasi infeksi berulang. Indikasi tindakan bedah harus dilihat kasus per
kasus. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak disirkumsisi meningkat 3-15 kali
dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi pada anak laki
telah terbukti efektif menurunkan insidens ISK.
Pemberian antibiotik profilaksis merupakan upaya pencegahan ISK berulang yang sudah
sejak lama dilaksanakan, namun belakangan ini pemberian antibiotik profilaksis menjadi
kontroversial dan sering diperdebatkan.(1)

Pemberian profilaksis
Antimikroba profilaksis dosis rendah yang diberikan dalam jangka lama telah digunakan
secara tradisional terhadap pasien yang rentan terhadap berulangnya pielonefritis akut atau ISK
bawah. Terapi profilaksis tersebut sering diberikan pada anak risiko tinggi seperti RVU, uropati

51
obstruktif, dan berbagai kondisi risiko tinggi lainnya. Namun demikian, efektivitas antibiotik
profilaksis ini sering dipertanyakan dan masih kontroversial.
Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan mencegah
terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas antibiotik profilaksis
menurunkan risiko terjadinya ISK berulang pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami
infeksi berulang selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk
mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang minimal
terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat digunakan sebagai profilaksis.
Pemberian profilaksis menjadi masalah karena beberapa hal antara lain kepatuhan yang kurang,
resistensi kuman yang meningkat, timbulnya reaksi simpang (gangguan saluran cerna, skin
rashes, hepatotoksik, kelainan hematologi, sindrom Stevens-Johnson), dan tidak nyaman untuk
pasien.
Beberapa penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa pada RVU derajat rendah, tidak
terdapat perbedaan bermakna dalam risiko terjadinya ISK pada kelompok yang mendapat
antibiotik profilaksis dengan yang tidak diobati. Dengan demikian, antibiotik profilaksis tidak
perlu diberikan pada RVU derajat rendah.
The International VUR Study of Children melakukan penelitian untuk membandingkan
efektivitas pemberian antibiotik profilaksis jangka lama dengan tindakan operasi pada anak
dengan RVU derajat tinggi untuk mencegah penurunan fungsi ginjal. Hasilnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok tersebut dalam hal terjadinya parut ginjal
dan komplikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik profilaksis pada RVU
derajat tinggi ternyata efektif.
Montini dan Hewitt (2009) melakukan review terhadap berbagai penelitan tentang
pemberian antibiotik profilaksis dan membuat beberapa kesimpulan, meskipun masih banyak
hal-hal yang belum dapat disimpulkan. 1) Antibiotik profilaksis tidak terindikasi pada ISK
demam yang pertama kali (first febrile UTI) yang tidak disertai RVU atau hanya RVU derajat I
dan II. Ada 3 alasan terhadap kesimpulan ini yaitu: a. penelitian metaanalisis menunjukkan tidak
ada keuntungan pemberian antibiotik profilaksis. b. terdapat risiko meningkatnya resistensi
terhadap bakteri. c. frekuensi terjadinya reinfeksi rendah. 2) Untuk refluks derajat tinggi, tidak
dapat diambil kesimpulan yang jelas, dengan alasan: a. persentase reinfeksi lebih tinggi pada
RVU derajat III dibandingkan dengan derajat 0, I, dan II. b. penelitian metaanalisis membuktikan

52
bahwa dengan antibiotik profilaksis tidak terdapat keuntungan yang bermakna pada kelompok
ini, namun jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian tersebut tidak mencukupi.
NICE (2007) merekomendasikan bahwa antibotik profilaksis tidak rutin diberikan pada
bayi dan anak yang mengalami ISK untuk pertama kali. Antibiotik profilaksis dipertimbangkan
pada bayi dan anak dengan ISK berulang. Selain itu direkomendasikan juga bahwa jika bayi dan
anak yang mendapat antiboitik profilaksis mengalami reinfeksi, maka infeksi diterapi dengan
antibiotik yang berbeda dan tidak dengan menaikkan dosis antibiotik profilaksis tersebut. Belum
diketahui berapa lama sesungguhnya jangka waktu optimum pemberian antibiotik profilaksis.
Ada yang mengusulkan antibiotik profilaksis diberikan selama RVU masih ada dan yang lain
mengusulkan pemberian yang lebih singkat. Pada ISK kompleks pemberian profilaksis dapat
berlangsung 3 - 4 bulan. Bila ternyata kasus yang dihadapi termasuk ke dalam ISK kompleks
(adanya refluks atau obstruksi) maka pemberian profilaksis dapat dilanjutkan lebih lama.(1)
Antibiotik yang digunakan untuk profilaksis:
• Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
• Kotrimoksazol
- Trimetoprim : 1-2 mg/kgbb/hari
- Sulfametoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
• Sulfisoksazol : 5-10 mg/kgbb/hari
• Sefaleksin : 10-15 mg/kgbb/hari
• Nitrofurantoin : 1 mg/kgbb/hari
• Asam nalidiksat : 15-20 mg/kgbb/hari
• Sefaklor : 15-17 mg/kgbb/hari
• Sefiksim : 1-2 mg/kgbb/hari
• Sefadroksil : 3-5 mg/kgbb/hari
• Siprofloksasin : 1 mg/kgbb/hari.
Selain antibiotik, dilaporkan penggunaan probiotik sebagai profilaksis yaitu Lactobacillus
rhamnosus dan Laktobasilus reuteri (L. fermentum); serta cranberry juice.(1)
Indikasi rawat
ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain, ISK pada neonatus, pielonefritis akut,
ISK dengan komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai sepsis atau syok, ISK dengan
gejala klinik yang berat seperti rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan asupan oral, muntah dan

53
dehidrasi. ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan organisme resisten terhadap
antibiotik oral, atau terdapat masalah psikologis seperti orangtua yang tidak mampu merawat
anak.(1)
2.2.9 Komplikasi

ISK dapat menyebabkan gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan meningitis. Komplikasi
ISK jangka panjang adalah parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, komplikasi pada masa
kehamilan seperti preeklampsia. Parut ginjal terjadi pada 8-40% pasien setelah mengalami
episode pielonefritis akut. Faktor risiko terjadinya parut ginjal antara lain umur muda,
keterlambatan pemberian antibiotik dalam tata laksana ISK, infeksi berulang, RVU, dan
obstruksi saluran kemih.(1)
2.2.10 Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366:
749-62.
2. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14: 266-72.
3. Parry CM. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever [Internet]. 2005
[cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org.
4. Pohan HT. Management of resistant Salmonella infection. Paper presented at: 12th
Jakarta Antimicrobial Update; 2011 April 16-17; Jakarta, Indonesia.
5. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk
factors for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-
15.
6. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini M,
et al. A study of typhoid fever in fi ve Asian countries: disease burden and implications
for controls. Bull World Health Organ. 2008;86:260-8.
7. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11 [cited 2011
Mar3].Availablefrom: http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm
8. Zulkarnain I. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan
diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2000: p.6-12.
9. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4. 10.
10. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ 2006;
333: 78-82.
11. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever
[Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.who-int/vaccines-documents/
12. Nelwan RHH, Lie KC, Hadisaputro S, Suwandoyo E, Suharto, Nasronudin, et al. A
single-blind randomized multicentre comparative study of effi cacy and safety of levofl
oxacin vs ciprofl oxacin in the treatment of uncomplicated typhoid fever. Paper presented
at: 55th Annual Meeting ASTMH; 2006 Nov; Atlanta, USA.

13. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Unit Kerja Koordinasi Nefrologi. Konsensus
Infeksi Saluran Kemih pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011.
14. Hidayanti E, Rachmadi D. Infeksi Saluran Kemih Kompleks; Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Available at: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_ISK_-Kompleks.pdf.pdf. Accessed on 14th
May 2018.

55
15. Elder JS. Urinary tract infections. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi Ke-18. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007.
16. Fisher JD, Howes DS, Thornton SL. Pediatric urinary tract infection. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/. Accessed on 14th May 2018.
17. Andriani R. Peranan Pencitraan dalam Deteksi Kelainan Anatomik pada Anak dengan
Infeksi Saluran Kemih Atas. Available at:
http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-02-artikel-06.pdf.
Accessed on 14th May 2018.
18. Ahmed SM, Swedlund SK. Evaluation and treatment of urinary tract infection in
children. Available at: http://www.aafp.org/afp/. Accessed on 14th May 2018.

56

You might also like