You are on page 1of 49

Case Report Session

PERAWATAN NIFAS DAN PERAWATAN LUKA BEKAS SECTIO

CAESAREA PADA P2A0H2POST SECTIO CAESAREA

ATAS INDIKASI IMPENDING EKLAMPSIA

Aziziah 1210313102

Wulan Octaviani 1210312067

Pembimbing :

dr. Hudila Rifa Karmia, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG

2017

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Preeklamsi dan eklamsi merupakan masalah utama dalam bidang

kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian khusus karena preeklamsi

mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas maternal yang tinggi. Sampai

saat ini preeklamsi dan eklamsia masih merupakan ”the disease of

theories”(Manuaba, 2010).Preeklamsi menyumbang 15% sebagai penyebab

langsung kematian ibu di United Kingdom (Symonds, 2010). Angka

kematian ibu di Amerika Serikat terjadi sebesar 16% akibat hipertensi dalam

kehamilan (Cunningham, 2014). Di Indonesia tahun 2011, penyebab

kematian ibu kedua terbanyak yaitu preeklamsi/ eklamsi (25%) (Depkes,

2012).

Angka kejadian preeklamsi pada beberapa rumah sakit di Indonesia

cukup bervariasi. Di RSU Pusat Dr Wahidin Sudirohusodo Makasar (1996-

1999) yaitu 38,46%. Di RSUP Dr Sardjito (1997-2001) berkisar 34,09%

(Sofoewan, 2003). Di RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung, 13,62% (Suhaimi,

2008). Di RSUP Dr. M.Djamil Padang 5,5% (Suryana, 2010).

Pre-eklamsia berat merupakan salah satu indikasi dilakukan tindakan

Sectio Caesarea. Jumlah persalinan sebanyak 1305 di RSUD Ambarawa

Kabupaten Semarang dengan kejadian pre-eklamsia yaitu sebanyak 101 dari

593 kasus Sectio Caesarea (17,03%) pada tanggal 20 April 2015 memperoleh

data dari bulan Januari – Desember tahun 2013, sedangkan pada bulan

2
Januari – Desember tahun 2014 jumlah persalinan sebanyak 876 dengan

kejadian pre-eklamsia 162 dari 398 kasus Sectio Caesarea (40,70%).

Persalinan dengan sectio caesarea dapat menjadi salah satu penyebab

terjadinya infeksi apabila perawatan yang dilakukan tidak benar. Komplikasi

pembedahan selama sectio caesarea >11% (kira-kira 80% minor dan 20%

mayor (Benson, 2009). Jahitan operasi caesar memiliki resiko untuk

terjadinya infeksi yang bisa saja muncul selama berada dalam masa

penyembuhan dari operasi caesar yang telah lakukan (Hardianti, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Sheridan tahun 2012 di Inggris menemukan

terdapat satu dari sepuluh wanita yang melahirkan dengan operasi caesar

mengalami infeksi. Dampak dari infeksi setelah melahirkan adalah membuat

para wanita cenderung kurang bisa merawat bayi mereka dan akan

membutuhkan penyembuhan yang lebih lama dari proses melahirkan.

Periode pascapersalinan merupakanmasa transisi yang kritis bagi ibu, bayi

dan keluarganya secara fisiologis, emosional dan social.Masa nifas atau

perperium dimulai sejak 1 jam setelah plasenta lahir sampai dengan enam

minggu (42 hari) setelahnya. Pelayanan pascapersalinan harus dilaksanakan

pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi, berupa upaya

pencegahan, deteksi dini dan pengobatan komplikasi dan penyakit yang

mungkin terjadi, serta penyelenggaraan pelayanan pemberian ASI, cara

menjarangkan kehamilan, imunisasi, dan nutrisi bagi ibu.1

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Anatomi dan Fisiologi Masa Nifas

Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya placenta

sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu.1

Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut:2

1) Periode immediate postpartum: Masa segera setelah plasenta lahir sampai

dengan 24 jam. Pada masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya

perdarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan teratur harus

melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah,

dan suhu.

2) Periode early postpartum (24 jam-1 minggu): Pada fase ini bidan memastikan

involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lochea tidak

berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan,

serta ibu dapat menyusui dengan baik.

3) Periode late postpartum (1 minggu-5 minggu): Pada periode ini bidan tetap

melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.

4
1. Perubahan Sistem Reproduksi

a. Uterus

Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan

disebut involusi.

Lokasi dari fundus uteri membantu untuk menentukan bahwa involusi

uterus berlangsung secara normal. Fundus dapat dipalpasi pada pertengahan

antara simfisis os pubis dan umbilikus. Dalam 12 jam, ukuran fundus

meningkat setinggi umbilikus atau di atas maupun di bawah umbilikus.3

Pada hari kedua, fundus turun kira-kira 1 cm, atau 1 jari per harinya.

Biasanya fundus turun ke kavitas pelvis dalam 14 hari dan tidak dapat

dipalpasi pada abdomen. Proses normal ini akan lebih lambat ketika uterus

mengalami distended selama kehamilan dengan lebih dari satu janin, janin

yang besar, atau polihidramnion. Ketika proses involusi tidak berjalan seperti

semestinya, subinvolusi dapat terjadi. Subinvolusi dapat menyebabkan

terjadinya perdarahan postpartum.3

Gambar 1.1 Involusi uterus pada masa nifas

Tabel 1.1 Involusi Uterus


Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi baru lahir Setinggi tali pusat 1000 gr

5
Uri lahir Dua jari dibawah pusat 750 gr
Satu minggu Pertengahan pusat- 500 gr
sympisis
Dua minggu Bertambah kecil 350 gr
Enam minggu Sebesar normal 50 gr
Delapan minggu 30 gr

Berat uterus sesaat setelah melahirkan, termasuk janin, plasenta, membran,

dan cairan amnion adalah sejumlah 1000 gram. Dalam 1 minggu, berat uterus

menurun hingga 500 gram, dan dalam 6 minggu, berat uterus menjadi 50

gram, yaitu berat uterus pada keadaan tidak hamil. Uterus pada seorang wanita

multipara biasanya lebih berat dan tidak ada akan pernah kembali ke proporsi

nulipara.Dalam 6 minggu setelah persalinan, uterus mulai menyusut hingga

50-100 gram.3

b. Tempat Implantasi Plasenta

Terjadi kontraksi uterus yang meningkat setelah bayi keluar. Hal ini

menyebabkan iskemia pada lokasi perlekatan plasenta (plasenta site) sehingga

jaringan perlekatan antara plasenta dan dinding uterus mengalami nekrosis

dan lepas. Diameter rata-rata dari plasenta 18 cm, dengan cepat uterus

menurun diameternya menjadi 9 cm dari tempat melekatnya plasenta.

Plasental site, yang berukuran diameter 8-10 cm (3-4 inci), mengalami

penyembuhan melalui proses exfoliation (pelepasan jaringan yang mati).

Sesudah 2 minggu diameternya berkurang menjadi 3,5 cm. Biasanya jaringan

mengalami nekrosis dan lepas dalam waktu ± 6 minggu setelah melahirkan.3

6
Gambar 1.2Involusi placental

c. Afterpains

Kontraksi uterus yang intermitten, dikenal dengan afterpains, yang

merupakan sumber ketidaknyamanan bagi banyak wanita setelah melahirkan.

Keadaan ini lebih akut terjadi pada multipara karena regangan berulang dari

muscle fibers hingga kehilangan tonus otot yang dapat mengakibatkan

kontraksi dan relaksasi berulang pada uterus.3

d. Lokia

Discharge vagina yang dikenal dengan lokia pada masa puerperium

berasal dari plasental site.

Lokia rubra/kruenta(merah kecoklatan) merupakan cairan bercampur

darah segar, dengan partikel-partikel kecil dari sisa-sisa penebalan dinding

rahim (desidua) dan sisa-sisa trofoblas/penanaman plasenta (selaput ketuban)

serta mukus. Biasanya berbau amis dan keluar sampai hari ke-3 atau ke-4

pascapersalinan.3

Lokia sanguinoleta berwarna merah kekuningan berisi darah dan lendir.

Ini terjadi pada hari ke 3-7 pascapersalinan.3

7
Jumlah darah berkurang pada hari keempat, ketika leukosit keluar

menandakan terjadinya proses penyembuhan. Warnanya berubah dari merah

menjadi pink atau sedikit cokelat. Lokia ini dikenal dengan lokia serosa. Lokia

serosa terdiri dari eksudat serosa, eritrosit, leukosit, dan mucus serviks.Cairan

ini seromukopurulen dan berbau khas. 10-15% wanita akan mengeluarkan

lokia serosa selama 6 minggu pascapersalinan.3

Setelah minggu 5-6, sekresi lokia menghilang yang menunjukkan bahwa

proses penyembuhan endometrium sudah hampir sempurna. Lokia yang

sangat berbau tidak sedap apalagi bila disertai dengan gejala sistemik berupa

tanda tanda infeksi menandakan adanya endometritis.

e. Serviks

Gambar 1.3 Serviks nulipara dan multipara

Serviks bengangsur-angsur melunak selama masa puerperium.Seminggu

setelah persalinan, serviks memendek dan konsistensinya menjadi lebih padat.

Serviks tidak pernah kembali ke keadaan awal meskipun telah mengalami

penyembuhan karena akan meninggalkan dilatasi dari 10 cm menjadi 2-3 cm.

f. Vulva dan Vagina

8
Segera setelah melahirkan dinding vagina tampak edema, memar serta

rugae atau lipatan-lipatan halus tidak ada lagi. Vagina dan vulva tampak

meregang selama persalinan. Pada minggu ketiga,vagina akan mengecil dan

timbul rugae (lipatan-lipatan atau kerutan-kerutan) kembali.

g. Perineum

Pada daerah perineum akan tampak goresan akibat regangan pada saat

melahirkan. Biasanya setelah melahirkan, perineum menjadi agak

bengkak/edema/memar dan mungkin ada luka jahitan bekas robekan atau

episiotomi.Bila dilakukan episiotomi, proses penyembuhan luka episiotomi

sama seperti luka operasi lain.

h. Payudara

Payudara disiapkan untuk proses laktasi selama kehamilan. Payudara

dapat membengkak karena sistem vaskularisasi dan limfatik disekitar

payudara dan mengakibatkan perasaan tegang dan sakit. ASI tidak dihasilkan

hingga 3-4 hari pertama setelah melahirkan. Colostrum disekresikan dalam

beberapa hari pertama setelah melahirkan.4

2. Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler

Sistem kardiovaskular akan kembali pada keadaan sebelum kehamilan

dalam kurun waktu 2 minggu pascapersalinan.4

Tabel 1.2Perubahan pada sistem Kardiovaskuler selama masa nifas


Cardiovascular Early Puerperium Late Puerperium
Heart Rate Fall – 14% by 48 h Normal by 2 weeks
Stroke Volume Rise over 48 h Normal by 2 weeks
Cardiac Output Remains elevated and then Normal by 24 weeks
falls over 48 h
Blood Pressure Rises over 4 days Normal by 6 weeks

9
Plasma Volume Initial increase and then fall Progressive decline
in first week

3. Perubahan pada Sistem Urinarius

Ginjal kembali ke keadaan normal dalam waktu 2-3 bulan setelah

persalinan. Dilatasi dari renal pelvis, calyx, dan ureter berakhir pada minggu

keenam dan kedelapan untuk sebagian besar wanita meskipun itu dapat

berlanjut sampai 16 minggu untuk beberapa wanita.3

4. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Segera setelah melahirkan, sistem pencernaan menjadi sangat aktif. Ibu

akan segera merasa haus dan lapar karena kehilangan energi selama

persalinan. Motilitas dari gastrointestinal yang menurun terjadi karena nyeri

pada perineum dan mobilisasi cairan, sehingga mengakibatkan terjadinya

konstipasi.3

5. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

a. Otot dan Sendi

Selama beberapa hari pertama, kadar hormon relaksasi berangsur-angsur

berkurang, ligamen dan kartilago dari pelvis kembali pada posisi sebelum

kehamilan. Perubahan ini dapat menyebabkan banyak wanita mengalami

kelemahan dan nyeri otot, terutama pada bahu, leher, dan lengan. Jaringan

penopang dasar panggul yang teregang saat ibu melahirkan akan kembali ke

tonus semula setelah enam bulan.3

b. Dinding Abdomen

10
Selama hamil, dinding abdomen meregang untuk menyediakan tempat

pertumbuhan janin, tonus otot juga menurun. Hal ini akan kembali ke keadaan

sebelum hamil dalam beberapa minggu, kecuali stria mungkin membutuhkan

waktu lebih lama. Pemulihan dapat dilakukan dengan latihan. 3

6. Perubahan pada Sistem Endokrin

Sistem endrokrin mengalami perubahan secara tiba-tiba selama kala IV

persalinan dan mengikuti lahirnya plasenta. Setelah pengeluaran plasenta,

kadar hormon plasenta dan hormon-hormon lainnya mengalami perubahan.3

Estrogen merupakan hormon wanita utama dan merupakan hormon utama

selama masa kehamilan. Selama hamil, sumber utama estrogen adalah

plasenta dan juga janin. Setelah kelahiran bayi, sumber estrogen menurun

sangat drastis. Dalam waktu tiga jam postpartum, kadar estrogen menurun

hingga 10% dari nilai prenatal.5

Progesteron merupakan hormon kehamilan kedua. Progesteron juga

menurun secara drastis setelah kelahiran bayi dan tidak dapat dideteksi dalam

72 jam setelah persalinan. Progesteron menjadi stabil kembalipada siklus

menstruasi pertama.5

Kadar estrogen dan progesteronserum mengalami penurunan dengan

segera sejak tiga hari postpartum dan mencapai nilai pra-kehamilan pada hari

ketujuh. Nilai tersebut akan menetap bila pasien memberikan ASI pada

bayinya, bila tidak memberikan ASI estradiol akan mulai meningkat dan

menyebabkan pertumbuhan folikel.5

11
Oksitosin akan meningkat selama fase ekspulsi dari masa persalinan.

Selama pascapersalinan, oksitosin melanjutkan fungsi sebelumnya yaitu

mempertahankan kontraksi uterus dengan berkontraksi selama sesi menyusui

dan sampai 20 menit setelah menyusui. Dengan kata lain, hormon ini akan

terus diproduksi bila ibu menyusui bayinya.5

7. Perubahan pada Sistem Intergumen

Terdapat banyak perubahan pada kulit yang muncul selama kehamilan.

Hal ini disebabkan karena peningkatan kadar hormon. Ketika kadar hormon

menurun setelah persalinan, kulit berangsung-angsur kembali pada keadaan

sebelum hamil.

8. Perubahan pada Sistem Neurologi

Pada periode early puerperium setelah persalinan, wanita mungkin

mengalami perubahan neurologi seperti kurang rasa pada kaki dan rasa pusing

akibat anestesi dan analgetik. Selama waktu ini, pencegahan jatuh merupakan

prioritas. 3

9. Perubahan tanda vital

Tanda-tanda vital ibu harus dipantau selama masa nifas ini. Adapun

waktu-waktu pemantauannya adalah sebagai berikut.3

- Setiap 15 menit dalam 1 jam pertama

- Setiap 30 menit dalam 1 jam kedua

- Setiap 4 jam dalam 24 jam pertama

12
- Setiap 8 jam selanjutnya

Pada ibu postpartum, terdapat beberapa perubahan tanda-tanda vital, yaitu

perubahan suhu, nadi, tekanan darah, dan pernapasan.3

a. Suhu

Selama 24 jam pertama, suhu mungkin meningkat hingga 38°C. Hal ini

diduga terjadi akibat meningkatnya kerja otot, dehidrasi dan perubahan

hormonal.

b. Nadi

Dalam periode waktu 6-7 jam sesudah melahirkan, sering ditemukan

bradikardi 50-70 kali permenit dan dapat berlangsung sampai 6-10 hari setelah

melahirkan. Keadaan ini berhubungan dengan penurunan kerja jantung,

penurunan volume darah yang mengikuti pemisahan plasenta dan kontraksi

uterus, peningkatan stroke volume.

c. Tekanan Darah

Setelah melahirkan, terjadi penurunan tekanan intraabdominal yang

menyebabkan terjadinya dilatasi dari pembuluh darah yang mensuplai organ

viseral. Hal ini yang menyebabkan penurunan TDS 20 mmHg ketika ibu

bergerak dari posisi berbaring ke posisi duduk. Akibatnya, ibu merasa pusing

dan mungkin pingsan ketika ia berdiri. Hal ini disebut hipotensi ortostatik.

d. Pernafasan

Pernapasan normal yaitu antara 12-20 kali per menit seharusnya bisa

dipertahankan setelah persalinan.

13
2.2 Perawatan Masa Nifas

Kebutuhan Dasar Ibu Nifas

1. Nutrisi dan cairan

Pada masa nifas masalah diet perlu mendapat perhatian yang serius,

karena dengan nutrisi yang baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan

sangat mempengaruhi susunan air susu. Diet yang diberikan harus bermutu,

bergizi tinggi, cukup kalori, tinggi protein, dan banyak mengandung cairan.

Ibu yang menyusui harus memenuhi kebutuhan akan gizi sebagai berikut:2

a. Mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari.

b. Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral, dan

vitamin yang cukup.

c. Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari.

d. Pil zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi, setidaknya selama 40

hari pascapersalinan.

e. Minum kapsul vitamin A 200.000 unit agar dapat memberikan vitamin A

kepada bayinya melalui ASI.

2. Ambulasi2

Ambulasi dini (early ambulation) ialah kebijaksanaan agar secepat

mungkin bidan membimbing ibu postpartum bangun dari tempat tidurnya dan

membimbing ibu secepat mungkin untuk berjalan.

Sekarang tidak perlu lagi menahan ibu postpartum terlentang di tempat

tidurnya selama 7-14 hari setelah melahirkan. Ibu postpartum sudah

diperbolehkan bangun dari tempat tidur dalam 24-48 jam postpartum.

Keuntungan early ambulation adalah sebagai berikut:

14
a. Ibu merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation.

b. Faal usus dan kandung kemih lebih baik.

c. Early ambulation memungkinkan kita mengajarkan ibu cara merawat

anaknya selama ibu masih di rumah sakit. Misalnya memandikan,

mengganti pakaian, dan memberi makan.

d. Lebih sesuai dengan keadaan indonesia (sosial ekonomis). Menurut

penelitian-penelitian yang seksama, early ambulationtidak mempunyai

pengaruh yang buruk, tidak menyebabkan perdarahan yang abnormal,

tidak mempengaruhi penyembuhan luka episiotomi atau luka di perut,

serta tidak memperbesar kemungkinan prolapsus atau retrotexto uteri.

3. Eliminasi

a. Buang Air Kecil2

Ibu diminta buang air kecil (miksi) 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam

postpartum belum dapat berkemih atau sekali berkemih belum melebihi 100

cc, maka dilakukan kateterisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih

penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk kateterisasi.

Berikut ini sebab-sebab terjadinya kesulitan berkemih (retensio urine)

pada ibu postpartum.

1) Berkurangnya tekanan intraabdominal

2) Otot-otot perut masih lemah

3) Edema dan uretra

4) Dinding kandung kemih kurang sensitif

b. Buang Air Besar2

15
Ibu postpartum diharapkan dapat buang air besar (defekasi) setelah hari

kedua postpartum. Jika hari ketiga belum juga BAB, maka perlu diberi obat

pencahar per oral atau per rektal. Jika setelah pemberian obat pencahar masih

belum bisa BAB, maka dilakukan klisma.

4. Personal hygiene

Pada masa postpartum, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh

karena itu, kebersihan diri sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi.

Kebersihan tubuh, pakaian, tempat tidur, dan lingkungan sangat penting untuk

tetap dijaga.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kebersihan diri ibu

post partum adalah sebagai berikut: 2

a. Anjurkan kebersihan seluruh tubuh, terutama perineum.

b. Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan sabun

dan air. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk membersihkan daerah

disekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, kemudian

membersihkan daerah sekitar anus. Nasehati ibu untuk membersihkan

vulva setiap kali selesai buang air kecil atau besar.

c. Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut setidaknya 2

kali sehari. Kain dapat digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik dan

dikeringkan dibawah matahari dan disetrika.

d. Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan

sesudah membersihkan daerah kemaluannya.

e. Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu

untuk menghindari menyentuh daerah tersebut.

16
Apabila setelah buang air besar atau buang air kecil perineum dibersihkan

secara rutin akan membantu mengurangi risiko terjadinya infeksi. Caranya

dibersihkan dengan sabun yang lembut minimal sekali sehari. Biasanya ibu

merasa takut pada kemungkinan jahitannya akan lepas, juga merasa sakit

sehingga perineum tidak dibersihkan atau dicuci. Cairan sabun atau sejenisnya

sebaiknya dipakai setelah buang air kecil atau buang air besar. Membersihkan

dimulai dari simpisis sampai anal sehingga tidak terjadi infeksi. Ibu diberitahu

caranya mengganti pembalut yaitu bagian dalam jangan sampai

terkontaminasi oleh tangan. Pembalut yang sudah kotor harus diganti paling

sedikit 4 kali sehari. Ibu diberitahu tentang jumlah, warna, dan bau lochea

sehingga apabila ada kelainan dapat diketahui secara dini. Sarankan ibu untuk

mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah membersihkan

daerah kemaluannya. Apabila ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi,

sarankan kepada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.6

5. Istirahat dan tidur

Hal-hal yang bisa dilakukan pada ibu untuk memenuhi kebutuhan istirahat

dan tidur adalah sebagai berikut:

a. Anjurkan ibu agar istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang

berlebihan.

b. Sarankan ibu untuk kembali pada kegiatan-kegiatan rumah tangga secara

perlahan-lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi bayi tidur.

c. Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal:

1) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.

2) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan.

17
3) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi dan

dirinya sendiri.

6. Aktivitas seksual

Aktivitas seksual yang dapat dilakukan oleh ibu masa nifas harus

memenuhi syarat berikut ini:

a. Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah merah

berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina

tanpa rasa nyeri, maka ibu aman untuk memulai melakukan hubungan

suami istri kapan saja ibu siap.

b. Banyak budaya yang mempunyai tradisi menunda hubungan suami istri

sampai masa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu

setelah persalinan. Keputusan ini bergantung pada pasangan yang

bersangkutan.

7. Latihan senam nifas

Setelah persalinan terjadi involusi pada hampir seluruh organ tubuh

wanita. Involusi ini sangat jelas terlihat pada alat-alat kandungan. Sebagai

akibat kehamilan dinding perut menjadi lembek dan lemas disertai adanya

striae gravidarum yang membuat keindahan tubuh akan sangat terganggu.

Oleh karena itu, mereka akan selalu berusaha untuk memulihkan dan

mengencangkan keadaan dinding perut yang sudah tidak indah lagi. Cara

untuk mengembalikan bentuk tubuh adalah dengan melakukan latihan dan

senam nifas.2

18
2.3 Kebijakan Program Nasional Masa Nifas

Paling sedikit 4 kali kunjungan masa nifas dilakukan untuk menilai status

ibu dan BBL, untuk mencegah, mendeteksi, dan menangani masalah-masalah

yang terjadi dalam masa nifas.

Tabel 1.3 Asuhan Kunjungan Masa Nifas Normal6


Kunjungan Waktu Asuhan
I 6-8 jam PP a. Mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri
b. Pemantauan keadaan umum ibu
c. Melakukan hubungan antara bayi dan ibu
(Bonding Attachment)
d. ASI eksklusif
II 6 hari PP a. Memastikan involusi uterus berjalan normal,
uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilicus, dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang
cukup
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
III 2 minggu PP a. Memastikan involusi uterus berjalan normal,
uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilicus, dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang
cukup
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
IV 6 minggu PP a. Menanyakan pada ibu tentang penyulit-
penyulit yang ia alami
b. M\emberikan konseling untuk KB secara dini,

19
imunisasi, senam nifas, dan tanda-tanda
bahaya yang dialami oleh ibu dan bayi

2.1 Preeklamsi

2.1.1 Definisi Preeklamsi

Preeklamsi didefinisikan sebagai hipertensi khas yang terjadi setelah 20

minggu gestasi dengan proteinuria (Cunningham, 2014). Definisi lain,

preeklampsi merupakan onset baru hipertensi (BP ≥ 140/90 mmHg) dan

proteinuria (> 300 mg/24 jam) pada ibu setelah 20 minggu usia gestasi dengan

atau tanpa edema (Cruickshank, 2009).

2.1.2 Faktor risiko

Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai faktor predisposisi pada

perkembangan preeklamsi. Faktor risiko untuk perkembangan preeklamsi

termasuk diabetes (terutama diabetes pregestasional yang tidak terkontrol),

obesitas, nuliparitas atau primiparitas, usia yang ekstrim (lebih sering pada remaja

dan wanita dengan usia maternal yang lanjut seperti lebih dari 35 tahun),

insufisiensi ginjal atau penyakit ginjal kronis, hipertensi yang telah dimiliki

sebelumnya, riwayat preeklamsi, riwayat keluarga dengan preeklamsi, kehamilan

mola, kehamilan multifetal, trombofilia, dan hidrops foetalis. Faktor risiko dapat

muncul sebelum terjadinya konsepsi atau dapat muncul pada selama kehamilan

(Eruo, 2007).

Nulipara merupakan faktor risiko terjadinya preeklamsi, dimana

preeklamsi didiagnosis pada 64% wanita nulipara dan hanya pada 36% wanita

multipara. Usia ibu

20
yang lebih dari 40 tahun juga ditemukan lebih berisiko menderita preeklamsi.

Wanita dengan BMI (Body Mass Index) lebih dari 35 sebelum kehamilan akan

memiliki faktor risiko 4 kali lipat lebih berat dibandingkan wanita dengan BMI

19-27, wanita dengan BMI < 20 menurunkan faktor risiko terjadinya

preeklamsi(Roeshadi, 2004).

Kehamilan multipel juga merupakan salah satu faktor risiko utama

terjadinya preeklamsi. Kehamilan kembar akan meningkatkan risiko preeklampsia

4 kali lipat. Kejadian preeklamsi juga ditemukan meningkat pada wanita yang

menderita diabetes yaitu 9,9% dibandingkan 4,3% pada wanita yang tidak

menderita diabetes (Roeshadi, 2004).

Tabel 2.1. Faktor Risiko Prekonsepsi untuk Preeklamsi

(Eruo, 2007)

21
2.1.3 Klasifikasi Preeklamsi

Berdasarkan ACOG, 2002, preeklampsia dibagi atas dua yaitu (Manuaba,

2004, Widiarti, 2013).

1. Preeklamsi ringan (PER)

a) Tekanan darah 140/90 mmHg hingga 159/109 mmHg

b) Proteinuria 0,3 g atau lebih tinggi dalam spesimen urine 24 jam.

c) Edema kaki, tangan, muka, atau kenaikan berat badan 1 kg/minggu

d) Oliguria

2. Preeklamsi berat (PEB)

a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih tinggi

b) Oliguria 400cc/24 jam

c) Proteinuria 5 gram atau lebih tinggi dalam spesimen urine 24 jam

d) Gangguan serebral atau penglihatan

e) Edema paru atau sianosis

f) Nyeri epigastrik atau nyeri kuadran kanan atas

g) Gangguan fungsi hati

h) Trombositopenia

i) Hambatan pertumbuhan janin

2.1.4 Etiologi

Berbagai teori masih menjadi perdebatan tentang etiologi dan patofisiologi

preeklamsi, antara lain:

1. Faktor genetik

Bukti-bukti secara epidemiologi menyatakan bahwa genetik berhubungan

dengan kegagalan implantasi dan plasentasi. Insiden preeklamsi meningkat 8

22
kali lebih besar dengan ibu yang mempunyai riwayat preeklamsi. Dari

penelitian didapatkan bahwa terdapatnya kelainan autosomal resesif dengan

penetrasi lengkap dan homogenesitas pada keluarga yang diteliti dan adanya

hubungan erat penyakit ini dengan model gen resesif.

2. Faktor imunulogis

Fenomena imunulogi telah dilaporkan berhubungan dengan preeklamsi

yang melibatkan reaksi terhadap sel endotel, peningkatan sirkulasi kompleks

imun, aktivasi komplemen pada arteri spiralis dan plasenta. Preeklamsi paling

banyak terjadi pada kehamilan pertama dan tidak terulang pada kehamilan

berikutnya, juga pada multigravida terjadi pada suami yang berbeda. Kejadian

preeklamsi diduga karena pembentukan blocking antibodies terhadap antigen

plasenta yang tidak sempurna sehingga timbul efekyang merugikan,

sedangkan pada kehamilan selanjutnya dibentuk blocking antibodies yang

sempurna sehingga terdapat respon kekebalan pada kehamilan berikutnya.

(Kee, 2009,Cunningham, 2014)

3. Faktor hormonal

Hormon estrogen mempengaruhi sistim vaskuler dengan

mempertahankan tonus vaskuler yang rendah. Estrogen meningkatkan

produksi NO dan meningkatkan aktivitas NO sintase.

Mungkin hal ini yang menyebabkan preeklampsia pada manusia (Kee,

2009, Cunningham, 2014).

4. Faktor Gizi

Asam lemak tidak jenuh terutama asam linoleat dan asam linolenat punya

peran dalam mengatur aktivitas vaskuler sehingga ada kaitan dengan

23
preeklampsia. Kekurangan asam lemak tidak jenuh pada wanita hamil dapat

meningkatkan produksi tromboksan dan menurunkan prostasiklin yang akan

berakibat naiknya tekanan darah pada preeklampsia. Asam lemak dapat

menurunkan kadar trigliserida, kolesterol dan agregasi trombosit,sehingga

dapat mencegah akumulasi trigliserida yang merusak endotel pembuluh darah.

(Kee, 2009,Cunningham, 2014)

5. Faktor peradangan

Desidua mengandung banyak sel yang apabila diaktifkan dapat

mengeluarkan berbagai zat merugikan. Zat-zat ini berfungsi sebagai mediator

untuk memicu cedera sel endotel. Preeklamsi dapat terjadi akibat gangguan

umum adaptasi inflamatorik intravaskular generalista terhadap kehamilan

(Kee, 2009,Cunningham, 2014).

6. Aktivasi sel endotel

Pada preeklamsi terjadi defisiensi imunologi invasi tropoblas ke arteri

spiralis yang menyebabkan hipoperfusi fetoplasenta, keadaan ini mendorong

dilepaskannya zat-zat ke dalam sirkulasi ibu, perubahan ini memicu aktivasi

endotel vaskuler. Endotel yang utuh akan memiliki sifat antikoagulan dan

menumpulkan respon otot polos pembuluh terhadap agonis. Sebaliknya,

endotel yang rusak mengaktifkan sel-sel endotel untuk meningkatkan

pembekuan serta kepekaan terhadap zat vasopresor. Bukti-bukti yang ada

menempatkan aktivasi sel endotel sebagai hal pokok dalam pemahaman

tentang patogenesis preeklamsi.

24
7. Hiperplasentasi

Menurut data ACOG (American CollegeObstetrics and Gynecology)

kehamilan kembar 4 kali lebih sering terjadi preeklamsi dibanding kehamilan

tunggal. Ini disebabkan proses plasentasi yang dangkal sehingga tropoblas

gagal menginvasi pembuluh darah desidua (Kee, 2009, Cunningham, 2014).

2.1.5 Patogenesis Preeklampsia

1. Vasospasme

Vasospasme adalah dasar patofisiologi preeklamsi-eklamsi. Konsep ini

yang pertama kali diajukan oleh Volhard,1918, didasarkan pada pengamatan

langsung pembuluh-pembuluh darah halus di bawah kuku, fundus okuli dan

konjungtiva bulbar, serta dapat diperkirakan dari perubahan-perubahan

histologis yang tampak diberbagai organ yang terkena. Konstriksi vaskular

menyebabkan resistensi terhadap aliran darah dan menjadi penyebab

hipertensi arterial. Besar kemungkinan bahwa vasospasme itu sendiri

menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah.

Angiotensin II menyebabkan sel endotel berkontraksi. Perubahan ini

menyebabkan kerusakan sel endotel dan kebocoran di celah antara sel-sel

endotel, yang menyebabkan konstituen darah termasuk trombosit dan

fibrinogen mengendap di subendotel. Perubahan-perubahan vaskular ini,

bersama dengan hipoksia vaskular jaringan disekitarnya, diperkirakan

menyebabkan perdarahan, nekrosis, kerusakan organ lain yang kadang-kadang

dijumpai pada preeklamsi berat (Cunningham, 2014).

25
Sekitar 45% dari semua wanita hamil mengalami peningkatan tekanan

darah arteri sampai tingkat hipertensi selama beberapa bulan terakhir

kehamilan. Hal itu dikaitkan dengan hilangnya sebagian besar protein ke

dalam urin (preeklamsi). Hal tersebut sering ditandai oleh retensi garam dan

air berlebihan oleh ginjal ibu dan peningkatan berat badan serta timbulnya

edema dan hipertensi pada ibu. Selain itu, terdapat gangguan fungsi endotel

vaskular, dan spasme arteri terjadi pada banyak bagian tubuh, khususnya pada

ginjal, otak, dan hati. Aliran darah ginjal maupun laju filtrasi glomerulus

menurun, berlawanan dengan perubahan yang terjadi pada wanita hamil

normal. Efek pada ginjal juga termasuk penebalan lempeng glomerulus yang

mengandung deposit protein pada membran basalis (Guyton, 2008).

2. Aktivitas endotel

Preeklamsi adalah suatu defesiensi imunologis invasi trofoblas ke arteri-

arteri spiralis yang menyebabkan hipoperfusi fetoplasenta. Keadaan ini

mendorong dilepaskannya faktor-faktor kedalam sirkulasi ibu. Perubahan ini

kemudian memicu “aktivasi” endotel vaskular, disertai timbulnya gejala klinis

preeklamsi akibat perubahan fungsi sel endotel secara luas. Endotel yang utuh

memiliki sifat antikoagulan dan “menumpulkan” respons otot polos pembuluh

terhadap agonis. Sebaliknya, endotel yang rusak mengaktifkan sel-sel endotel

untuk meningkatkan pembekuan serta kepekaan terhadap zat vasopresor

(Cunningham, 2014).

Terdapat bukti bahwa preeklamsi diawali oleh insufisiensi suplai darah ke

plasenta, mengakibatkan pelepasan substansi plasenta sehingga menyebabkan

disfungsi endotel vaskular ibu yang meluas. Selama perkembangan plasenta

26
yang normal, trofoblas menginvasi arteriol endometrium uterus dan

sepenuhnya melakukan pembentukan kembali arteriol ibu menjadi pembuluh

darah besar dengan resistensi yang rendah terhadap aliran darah. Pada pasien

preeklamsi, arteriol ibu gagal mengalami adaptasi perubahan tadi, dengan

penyebab yang belum jelas, dan terdapat insufisiensi suplai darah ke plasenta.

Plasenta melepaskan berbagai bahan yang memasuki sirkulasi ibu dan

menyebabkan gangguan fungsi endotel vaskular, menurunkan aliran darah ke

ginjal, retensi garam dan air berlebihan, dan peningkatan tekanan darah.

Faktor-faktor yang menghubungkan suplai darah plasenta dengan disfungsi

endotel ibu masih belum pasti, beberapa penelitian mengindikasikan adanya

peran peningkatan kadar sitokin inflamasi seperti Tumor Necrosis Faktor- α

(TNF α) dan Interleukin-6 (IL-6) (Guyton, 2008).

Kegagalan invasi trofoblas dan pelebaran arteri spiralis yang tidak

sempurna pada preeklamsi menyebabkan penurunan aliran darah sehingga

mengakibatkan iskemia plasenta dan hipoksia. Keadaan ini menghasilkan

penurunan kadar faktor angiogenik dan peningkatan kadar faktor anti-

angiogenik, debris plasenta, dan sitokin proinflamatori. Perubahan kadar

faktor-faktor diatas mengaktivasi sel endotel dan kerusakan pembuluh darah

yang mengarah ke proteinuria dan hipertensi. Studi saat ini mengevaluasi

lokasi implantasi sebagai sumber potensial dari ekspresi IL-6 dalam

preeklamsi. TNF dan interleukin-1β (IL-1β) berhubungan dengan beberapa

aspek patogenesis preeklampsia (Prawirohardjo, 2010, Cunningham, 2014).

27
3. Meningkatnya respons presor

Dalam keadaan normal, wanita hamil memperlihatkan sifat refrakter

terhadap infus vasopresor. Meningkatnya reaktivitas vaskular terhadap presor

pada wanita dengan preeklamsi dini telah dibuktikan dengan menggunakan

norepinefrin atau angiotensin II dan vasopressin (Cunningham, 2014).

2.1.8 Penatalaksanaan Preeklamsi

Preeklamsi tidak selalu dapat didiagnosis pasti. Jadi, berdasarkan sifat

alami penyakit ini, baik American College of Obstetricians and Gynecologist

tahun 2002 maupun Kelompok Kerja Nasional High Blood Pressure

Education Program tahun 2000 menganjurkan kunjungan antenatal yang lebih

sering, bahkan jika preeklamsi hanya “dicurigai”. Pemantauan yang lebih

ketat memungkinkan lebih cepatnya diidentifikasi perubahan tekanan darah

yang berbahaya, temuan laboratorium yang penting, dan perkembangan tanda

dan gejala yang penting.Prinsip pengobatan pasien preeklamsi:

1. Menegakkan diagnosis dini preeklamsi

2. Mencegah terjadinya eklamsi

3. Melakukan terminasi kehamilan untuk menghindari angka kematian yang

tinggi pada ibu dan bayi

4. Tindakan nontraumatis

5. Pengobatan dilakukan di rumah sakit

POGI menganjurkan MgSO4 dengan syarat: refleks patela positif,

pernapasan di atas 16x/menit, produksi urin di atas 100cc/4jam, tersedia

antidot yaitu kalsium klorida atau glukonas (Manuaba, 2004).

28
Tatalaksana preeklamsi dibagi atas:

1. Preeklamsi ringan

Tujuan utama adalah mencegah kejang, peradarahan intrakranial, mencegah

gangguan fungsi organ vital, dan melahirkan bayi sehat.

1. Rawat jalan (ambulatory)

Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring),

tetapi tidak harus mutlak selalu tirah baring. Pada umur kehamilan di atas

20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan

uterus pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik

dan akan menambah curah jantung. Diet diberikan cukup protein, rendah

karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia prenatal. Tidak

diberikan obat-obatan diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan

pemeriksaan laboratorium Hb, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan

fungsi ginjal.

2. Rawat inap (dirawat di rumah sakit)

Kriteria rawat inap untuk pasien preeklamsi ringan, ialah: (a) bila

tidak ada perbaikan: tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu; (b)

adanya satu atau lebih gejala dan tanda preeklamsi berat.

3. Perawatan obstetrik

Pada kehamilan preterm (<37 minggu), bila tekanan darah

mencapai normotensif, selama perawatan, persalinan ditunggu sampai

aterm.Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan

ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk

29
melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan.Persalinan

dapat dilakukan spontan bila perlu memperpendek kala II.

2. Preeklampsi Berat

Perawatan dan pengobatan mencakup pencegahan kejang, pengobatan

hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ

yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.

1. Monitoring selama di rumah sakit

Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-

tanda klinik serta pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan

laboratorium, dan USG.

2. Manajemen umum

Penderita preeklamsi berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang

penting adalah pengelolaan cairan karena berisiko tinggi terjadinya edema

paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral

atau infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Bila

terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan

yang diberikan dapat berupa:

i. 5% Ringer-dekstrose atau cairan normosaline jumlah tetesan: <125

cc/jam

ii. Infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse

Ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Dipasang foley chateter

untuk mengukur pengeluaran urin.Diet cukup protein, rendah

karbohidrat,lemak, dan garam

30
3. Pemberian Obat Antikejang

MgSO4(pilihan utama), obat anti kejang lainnya seperti, diazepam,

fenitoin. Magnesium sulfat (MgSO4) menghambat atau menurunkan kadar

asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi

neuromuskular.

Cara pemberian MgSO4:

i. Loading dose: 4 gram intravena (40% dalam 10cc) selama 15

menit.

ii. Maintenance dose: diberikan infuse 6 gram daam larutan

Ringer/6jam atau diberikan 4-5 gram intramuskular. Selanjutnya

diberikan 4 gram im tiap 4-6 jam.

Pemberian diuretik tidak rutin diberikan, kecuali bila ada edema

paru,payah jantung kongestif atau anasarka.Diuretik yang diberikan

adalah furosemid. Di RSU Dr Soetomo Surabaya batas tekanan darah

pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg

dan/atau tekanan diastolik ≥110 mmHg.Penurunan tekanan darah

dilakukan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan

sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP <

125.

4. Jenis antihipertensi yang diberikan adalah untuk lini pertama biasanya

diberikan Nifedipin (10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit,

maksimum 120 mg dalam 24 jam). Antihipertensi lini kedua adalah

Sodium nitropruside (0, 25 µg i.v./kg/menit, infus, ditingkatkan 0, 25 µg

i.v./kg/5menit.

31
5. Sikap terhadap kehamilan :

Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka

sikap terhadap hemilan dibagi menjadi:

1. Aktif(aggressivemanagement):berarti kehamilan segera

diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan

medikamentosa. Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan

satu/lebih keadaan di bawah ini:

a. Ibu : umur kehamilan ≥ 37 minggu, adanya tanda dan gejala

impending eclampsia, kegagalan terapi pada perawatan konservatif

(keadaan klinik dan laboratorik memburuk), diduga solusio plasenta,

timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan.

b. Janin : adanya tanda fetal distress, adanya tanda intra uterine growth

restriction (IUGR), NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal,

terjadinya oligohidramnion, serta adanya tanda-tanda sindrom

HELLP khususnya menurunnya trombosit dengan cepat.

2. Konservatif (ekspektatif): berati kehamilan tetap dipertahankan

bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi

perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu

tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan

janin baik. Selama perawatan ini, sikap terhadap kehamilan hanya

observasi dan evaluasi dan kehamilan tidak diakhiri (Angsar, 2011,

Cunningham, 2014).

32
2.3 Sectio Caesaria

Sectio Caesaria adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi

perabdominal dengan melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding

uterusinterior, biasanya yang sering dilakukan insisi segmen bawah

tranversal(Farrer, 2001).Persalinan sectio saecaria adalah pembedahan untuk

melahirkan janindengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Persalinan

sectiocesaria dipengaruhi oleh beberapa indikasi diantaranya indikasi ibu

danindikasi janin. Indikasi ibu antara lain : disproporsi kepalapanggul/CPD/FDP,

disfungsi uterus, distosia jaringan lunak dan plasentaprevia. Sedangkan indikasi

jain antara lain : janin besar, gawat janin, letaklintang (Kasdu, 2003).

2.3.1 Tipe – tipe Sectio Caesaria

Menurut Farrer (2001), tipe-tipe sectio caesaria adalah:

1. Segmen Bawah: insisi melintang

Pada bagian segemen bawah uterus dibuat insisi melintang yangkecil, luka

ini dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan danberhenti didekat daerah

pembuluh-pembuluh darah uterus. Kepalajanin yang pada sebagian besar kasus

terletak dibalik insisidiekstraksikan atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh

lainnyadan kemudian plasenta serta selaput ketuban.

2. Segemen Bawah: insisi membujur

Cara membuka abdomen dan menyingkapi uterus sama sepertipada insisi

melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapel dandilebarkan dengan gunting

tumpul untuk menghindari cidera padabayi.

3. Sectio Caesaria klasik

33
Insisi longitudinal digaris tengah dibuat dengan skapel ke dalamdinding

uterus anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta kebawah dengan gunting

berujung tumpul. Diperlukan luka insisiyang lebar karena bayi dilahirkan dengan

presentasi bokongdahulu, janin atau plasenta dikeluarkan dan uterus ditutup

denganjahitan tiga lapis.

4. Sectio Caesaria Ekstra Peritonial

Pembedahan ekstra peritonial dikerjakan untuk menghindariperlunya

histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksiluas dengan mencegah

peritonitis generalisasi yang sering bersifatfatal.

2.3.2 Komplikasi Sectio Caesaria

Komplikasi Sectio Caesaria menurut Farrer (2001) adalah:

1. Nyeri pada daerah insisi.

2. Perdarahan primer sebagai akibat kegagalan mencapai homeostatis karena

insisi rahim atau akibat atonia uteri yang dapat terjadi setelah pemanjangan

masa persalinan.

3. Sepsis setelah pembedahan, frekuensi dan komplikasi ini lebih besar bila

sectio caesaria dilaksanakan selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam

rahim.

4. Cidera pada sekeliling usus besar, kandung kemih yang lebar dan ureter.

6. Infeksi akibat luka pasca operasi.

7. Bengkak pada ekstremitas bawah.

8. Penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul.

9. Potensi terjadinta penurunan kemampuan fungsional.

34
BAB 3

LAPORAN KASUS

Nama : Ny. R

Usia : 29 tahun

Alamat : Painan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Status Menikah : Menikah

Pendidikan : SMA

ANAMNESIS

Keluhan Utama:

Seorang pasien perempuan, 29 tahun datang ke KB IGD RSUP. DR. M. Djamil

Padang pada tanggal 29 Januari 2017, pukul 00.15 rujukan dari RSUD dr. M. Zein

Painan dengan diagnosis P2A0H3 post Sectio Caesarea atas indikasi impending

eklampsia.

Riwayat Persalinan Sekarang:

 Sebelumnya pasien memeriksakan kehamilan ke praktek bidan, disana

didapatkan tekanan darah yang tinggi, lalu pasien dirujuk ke RSUD M.

Zein Painan. Pasien diukur kembali tekanan darahnya dengan hasil 180/150

di RSUD Painan, lalu pasien diberikan obat penurunan tensi, karena tidak

ada dokter Sp.An ditempat, pasien dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil

Padang.

35
 Tidak ada dirasakan nyeri pinggang, keluar lendir bercampur darah dari

kemaluan keluar air-air dan keluar darah yang banyak.

 Pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri ulu hati dan pandangan mata kabur.

 HPHT pasien lupa, tidak haid sejak 9 bulan yang lalu

 Gerak anak dirasakan sejak 3 bulan yang lalu

 Riwayat hamil muda dan tua tidak ada mual, muntah maupun perdarahan.

 Riwayat ANC kebidanan sebanyak 7x

 Menarche lupa, haid teratur, ganti duk 2-3x/hari nyeri saat haid (+), mual

(-), muntah (-)

 Keluhan saat BAK tidak ada

 Keluhan saat BAB tidak ada

Riwayat Persalinan Sebelumnya:

1. Tahun 2014, perempuan, BB 2800 gr, SC a.i impending eklampsia, dokter

spesialis, hidup

2. Sekarang

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Pasien tidak ada menderita penyakit tekanan darah tinggi, jantung,

diabetes mellitus, hati, ginjal, paru dan alergi

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit menular, keturunan,

kejiwaan

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan :

- Pasien adalah seorang ibu rumah tangga

- Perkawinan 1x tahun 2013

36
- Riwayat kebiasaan : merokok, minum alkohol dan narkoba tidak ada

- Riwayat imunisasi : tidak ada

- Riwayat kontrasepsi : riwayat memakai kontrasepsi suntik sekali dalam 3

bulan

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Baik Nadi : 90 kali/menit

Kesadaran : Komposmentis kooperatif Nafas : 20 kali/menit

Tekanan Darah : 180/110 mmHg Suhu : 36,5

BB : 60 kg TB : 160 cm

BMI : 23,4

STATUS GENERALISATA

Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak mudah rontok

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor.

Leher :Tidak ada pembesaran KGB.

Paru

Inspeksi : simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis.

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan.

Perkusi : sonor.

Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V

37
Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada, gallop (-)

Abdomen : Status obstetri

Genitalia : Status obstetri

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-/-)

STATUS OBSTETRI

Wajah

Kloasma gravidarum (-)

Payudara

Bentuk : Simetris

Areola Mammae : Hiperpigmentasi

Nipple : Tidak menonjol

Colostrum : Sudah keluar

ASI : Sudah keluar

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak membuncit, luka operasi tenang.

Palpasi :

Kontraksi uterus : baik

Involusi uterus : baik

Nyeri tekan : (-)

Nyeri lepas : (-)

Genitalia

Inspeksi :

38
v/u tenang, perdarahan normal, lokia rubra

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium (28 Januari 2017) :

Hb : 9,9gr/dl Total protein : 5,3

Leukosit : 26,620 mm3 Albumin : 2,7

Ht : 31% Globulin : 2,6

Trombosit : 396.000 mm3 Bil. Total : 0,2

PT : 9,1 detik Bil. Direk : 0,1

APTT : 27 detik Bil. Indirek : 0,1

Ur / Cr : 13 / 0,7 LDH : 368

Na / K / Cl : 147/5,1/112

GDS : 94 mg/dl

SGOT/SGPT : 11/9

URINALISA

Albumin : ++

Reduksi :-

Sedimen :-

DIAGNOSIS

P2A0H2 post Sectio Caesarea atas indikasi impending eklampsia+selesai regimen

MgSO4

39
TATALAKSANA DAN EDUKASI

- Ceftriakson 2x1 Gram IV

- Metil dopa 2x250mg

- Asam Mefenamat 3x500 mg

- Asam Folat 1x1 tab

- Vit C 2x50mg

- ASI on Demand

- Mobilisasi ibu ditingkatkan

- Diet tinggi kalori tinggi protein

- Higienitas diri diperbaiki

FOLLOW UP

28 Januari 2017

S/ - Telah dilakukan SCTPP + insersi IUD

- Perdarahan selama tindakan ±250cc


- Demam (-), ASI (-), BAK (+) dengan kateter

O/ KU/ Sedanng, Kes/CMC, TD/ 110/70, Nd/92x/mnt, Nf/20x/mnt, T/36.7

Abd: - Luka operasi tertutup verban, rembesan darah (-)

- NT (-), NL(-), Distensia (-)

- FUT teraba 3 jari di bawah umbilkus

- Kontraksi uterus baik

Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

40
A/ P2A0H2 post SCTPP a.i impending eklamsia + selesai regimen MgSO4

+ bekas SC

Anak dan Ibu dalam perawatan

P/ - Kontrol KU, VS, PPV, balance cairan, Reflek Patella, awasi tanda-tanda

impending eklamsi

- IVFD RL + Drip Oksitosin 2 mg 20 tetes/menit

- Inj. Ceftriaxone 2x1gr

- Metildopa 3x500mg

- Pronalges supp

29 Januari 2017

S/ Demam (-), PPV (-), tanda impending eklamsi (-)

BAB dan BAK tidak ada keluhan

O/ KU/ Sedanng, Kes/CMC, TD/ 110/80, Nd/90x/mnt, Nf/20x/mnt, T/36.7

Abd: - Luka operasi tertutup verban, rembesan darah (-)

- NT (-), NL(-), Distensia (-)

- FUT teraba 3 jari di bawah umbilkus

- Kontraksi uterus baik

- BU (+) Normal

Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A/ P2A0H2 post SCTPP a.i impending eklamsia + selesai regimen MgSO4

+ bekas SC

Anak dan Ibu dalam perawatan

41
P/ - Kontrol KU, VS, PPV, balance cairan, Reflek Patella, kontraksi uterus

awasi tanda-tanda impending eklamsi

- IVFD RL + Drip Oksitosin 2 mg 20 tetes/menit

- Inj. Ceftriaxone 2x1gr

- Metildopa 3x500mg

- Asam mefenamat 3x500mg

- Pronalges supp

- Vit C 3x1 tab

- SF 1x300mg

30 Januari 2017

S/ Demam (-), PPV (-), tanda impending eklamsi (-)

BAB dan BAK tidak ada keluhan

O/ KU/ Sedanng, Kes/CMC, TD/120/80, Nd/88x/mnt, Nf/20x/mnt, T/36.7

Abd: - Luka operasi tertutup verban, rembesan darah (-)

- NT (-), NL(-), Distensia (-)

- FUT teraba 3 jari di bawah umbilkus

- Kontraksi uterus baik

- BU (+) Normal

Genitalia : V/U tenang, PPV (-)

A/ P2A0H2 post SCTPP a.i impending eklamsia + selesai regimen MgSO4 +

bekas SC

Anak dan Ibu dalam perbaikan

42
P/ - Kontrol KU, VS, PPV, balance cairan, Reflek Patella, kontraksi uterus

awasi tanda-tanda impending eklamsi

- Inj. Ceftriaxone 2x1gr

- Asam mefenamat 3x500mg

- Pronalges supp

- Vit C 3x50mg

- SF 1x300mg

- Ganti verban

43
BAB 4

DISKUSI

Setelah melakukan pemeriksaan pada Ny. R didapatkan masa nifas sampai

hari pemeriksaan (hari ke-3) berlangsung baik dan tidak ditemukan kelainan yang

bermakna. Pertama saat melakukan anamnesis, pasien tidak mengeluhkan adanya

nyeri pada mamme, saat menyusui, perut bagian bawah, dan bekas operasi.

Pasien sudah mampu berdiri sendiri untuk buang besar dan buang air kecil seperti

biasa dan tidak mengeluh adanya darah ataupun nyeri saat buang air. Pada

anamnesis juga tidak ditemukan adanya perdaharan yang banyak berwarna merah

segar. Keluhan lain juga tidak ada dirasakan pasien seperti demam, pusing, sakit

kepala, dan lain-lain.

Pada saat pemeriksaan fisik, papila mammae ditekan dan ditemukan kedua

papila mammae sudah mengeluarkan colostrum, serta ASI sudah keluar. Pasien

tidak tampak kesakitan saat dilakukan penekanan pada kedua papila mammae.

Selanjutnya pada pemeriksaan abdomen, teraba fundus uteri setinggi 2 jari

dibawah simfisis pubis. Menurut Evans (2007) ASI tidak dihasilkan hingga 3-4

hari pertama setelah melahirkan. Colostrum disekresikan dalam beberapa hari

pertama setelah melahirkan.Lokasi dari fundus uteri membantu untuk menentukan

bahwa involusi uterus berlangsung secara normal. Fundus dapat dipalpasi pada

pertengahan antara simfisis os pubis dan umbilikus. Dalam 12 jam, ukuran fundus

meningkat setinggi umbilikus atau di atas maupun di bawah umbilikus.3 Hal ini

menunjukkan bahwa colostrum dan ASI pasien tidak mengalami masalah dan

involusi uterus pasien berjalan normal sesuai dengan waktunya.

44
Kemudian luka operasi dibuka dan dilihat, dapat dinilai luka operasi tenang

dan tidak ditemukan adanya rembesan darah. Selanjutnya dilakukan inspeksi

genitalia dan tampak lokia rubra, tidak berbau, mengenai bagian tengah duk

(pembalut) pasien. Perdarahan aktif berwarna merah segar juga tidak ditemukan.

Lokia rubra/kruenta(merah kecoklatan) merupakan cairan bercampur darah segar,

dengan partikel-partikel kecil dari sisa-sisa penebalan dinding rahim (desidua) dan

sisa-sisa trofoblas/penanaman plasenta (selaput ketuban) serta mukus. Biasanya

berbau amis dan keluar sampai hari ke-3 atau ke-4 pascapersalinan. Sedangkan

lokia yang sangat berbau tidak sedap apalagi bila disertai dengan gejala sistemik

berupa tanda tanda infeksi menandakan adanya endometritis. Sehingga dapat

diambil kesimpulan darah yang keluar dari kemaluan pasien adalah darah

fisiologis masa nifas.

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, edukasi mengenai masa nifas

diberikan pada pasien terkhusus pasien yang akan dipulangkan. Hal-hal penting

yang harus diinformasikan pada pasien yaitu ASI on demand, dimana pemberian

ASI tanpa batas waktu sesuai keinginan bayi. Apabila bayi sering tidur, ibu harus

membangunkan bayi dan memberikan rangsangan ringan pada mulut dan pipi

bayi sehingga bayi mau menyusu. Hal ini dilakukan setiap 2 jam oleh ibu. Dengan

tata laksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup

memenuhi kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6

bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan

sampai usia 2 tahun bahkan lebih. Selain itu pemberian ASI ekslusif ini juga bisa

memberikan efek kontrasepsi alami untuk 6 bulan pertama pada ibu6

Pada hari ke-3 pasien juga dianjurkan untuk meningkatkan mobilisasi

45
untuk mempercepat penyembuhan luka operasi serta mencegah edema pada kaki

dan tidak perlu cemas luka operasi akan basah kembali jika pasien berjalan.

Namun perlu diingatkan pada pasien bahwa pasien belum diperbolehkan

mengangkat beban yang berat hingga minimal 3 bulan setelah operasi.

Selanjutnya pasien diwajibkan untuk mengganti duk setiap 6 jam sekali, untuk

mencegah perkembangan bakteri pada genitalia yang dapat berujung infeksi.

Selanjutnya pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan mengandung

protein tinggi seperti ikan, putih telur, dan lain-lain dengan harapan luka operasi

dapat kering cepat. Perlu diberi tahu pada pasien mengenai mitos-mitos yang

sering disebutkan bahwa mengonsumsi telur ataupun ikan yang banyak dapat

memperlama penyembuhan luka operasi adalah salah. Selama pasien tidak ada

riwayat alergi makanan, penyakit diabetes mellitus, kolesterol tinggi dan penyakit

lain yang membutuhkan diet khusus maka tidak ada pantangan makanan untuk

pasien. Akan tetapi pasien diberikan informasi makanan yang sebaiknya lebih

banyak dikonsumsi seperti sayur dan buah yang kaya akan Vitamin C untuk

penyembuhan luka operasi yang lebih baik.

Vitamin C pada proses penyembuhan luka berperan untuk meningkatkan

sistem imun pasien pasca section caesarea dan membantu proses sintesis pada

kolagen untuk proses penyembuhan luka. Vitamin C berperan dalaam

penyembuhan luka, patah tulang, perdarahan di bawah kulit dan perdarahan gusi 8.

Higienitas diri ibu juga harus ditingkatkan agar tidak terjadi infeksi dalam masa

nifas, untuk mengganti duk minimal setiap sekali 6 jam walaupun duk bersih, hal

ini bertujuan untuk mencegah perkembangbiakan bakteri.Anjurkan kebersihan

seluruh tubuh, terutama perineum.Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan

46
daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk

membersihkan daerah disekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang,

kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Nasehati ibu untuk membersihkan

vulva setiap kali selesai buang air kecil atau besar

Selanjutnya pasien dianjurkan untuk kembali memeriksakan diri 3 hari

sepulang dari rumah sakit, dengan kata lain pada hari ke-6 setelah operasi.

Kunjungan pada hari ke-6 dilakukan untuk memeriksa luka operasi, involusi

uterus berjalan normal, uterus berkontraksi, fundus dibawah umbilikus, tidak ada

perdarahan abnormal, tidak ada bau, menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi

atau cairan dan memastikan ibu menyusui bayi dengan baik serta tidak

memperlihatkan tanda-tanda komplikasi. Selain itu diberikan konseling pada ibu

mengenai perawatan pada bayi, tali pusat dan menjaga bayi tetap hangat.1

Kunjungan dapat dilakukan di poliklinik kebidanan rumah sakit atau praktek

dokter. Edukasi mengenai pemasangan alat kontrasepsi tidak dilakukan karena

pasien sudah kontrasepsi mantap (tubektomi).

Pasien dipulangkan dengan beberapa resep obat, yaitu antibiotik selama 3

hari untuk mencegah kemungkinan timbulnya infeksi pada bekas luka operasi,

asam folat selama 40 hari, beberapa analgetik jika pasien mengeluhkan adanya

nyeri. Terakhir pasien diingatkan jika ditemukan tanda-tanda bahaya seperti

demam, timbulnya rasa sakit pada payudara, adanya perdarahan berwarna merah

segar yang banyak dari kemaluan, nyeri yang amat sangat pada perut bagian

bawah, darah dari kemaluan menjadi sangat berbau, sakit kepala dan lain-lain

pasien segera dibawa ke rumah sakit atau tenaga kesehatan terdekat untuk

diperiksa dan ditatalaksana lebih lanjut.

47
Edukasi dan perawatan yang diberikan kepada ibu dalam masa nifas

bertujuan untuk meningkatkan kesejahtaraan fisik dan pisikologis bagi ibu dan

bayi, pencegahan dini dan pengobatan komplikasi pada ibu, merujuk ibu keasuhan

tenaga ahli jika perlu, mendukung dan memperkuat keyakinan ibu serta

meyakinkan ibu mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga dan

budaya yang khusus, imunisasi ibu terhadap tetanus dan mendorong pelaksanaan

metode yang sehat tentang pemberian makan anak, serta peningkatan

pengembangan hubungan yang baik antara ibu dan anak.7

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin, Abdul Bari. 2009. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.

Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

2. Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba

Medika

3. Anonym. 2008. Chapter 17 – Postpartum Physiologic Adaptations. Available

from: http://www.nccwebsite.org /resources/docs/Postpartumchges.pdf.

4. Evans AT. 2007. Chapter I – Obstetric Care, 4 – Puerperium. In: Manual of

Obstetrics. Seventh Edition. Texas: Lippincott Williams & Wilkins.

5. Behnke A. 2003. The Physical and Emotional Effects of Postpartum

Hormone Levels.

Ambarwati, Eny Retna. 2010. Asuhan Kebidanan Nifas. Jogjakarta: Nuha

Medika

6. Danuatmaja B. 2003. 40 Hari Pasca Persalinan. Jakarta: Puspa Swara.

7. Sulistyawati A. 2009. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas, Yogyakarta: Andi

8. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Umum

49

You might also like